JUST A LABORER CONSTRUCTION 7

Selamat membaca! Semoga suka!

___________________

Nah, apa kalian penasaran pendapatku tentang hubungan kami yang baru? Bagaimana pun kami adalah Suami-Istri (atau Suami-Suami) yang menikah dan dekat tanpa pertentangan keluarga, tapi saling menerima itu persoalan lain.

Aku sendiri tak paham substansinya malam pertama. Aku hanya tahu gambarannya dari imajinasi liar yang sudah umum, tapi kami berdua tak sampai melakukannya. Sejak dipeluk, aku hanya berusaha diam di dada Mile. Di situ nyaman, tapi pikiranku lah yang justru kemana-mana. Seperti jika telungkup kelamaan ... apa aku akan me-liuri piama Mile? Aku pun pindah-pindah posisi, susah tidur. Karena biasanya bisa rebah sembarangan tanpa memikirkan sejelek apa pose-ku. "Hnngh, Phi. Sebentar ...." kataku, membuat Mile membuka mata.

Jujur aku kepanasan oleh keberadaan kulit lainnya. Ini tak biasa. Apalagi memakai kaus kaki segala. Namun, tampaknya Mile adalah tipe yang disiplin soal jam istirahat (aku menghormatinya), jadi dia kuturuti toh ada AC dalam ruangan. Untung Mile mau menyesuaikan pergerakanku ke mana, walau itu membuatnya sering terbangun. "Hm? Kenapa lagi, Natta? Tidak nyaman?"

"Iya, maaf. Saya bingung tidurnya harus bagaimana," kataku jujur. Berbagi napas saat hadap-hadapan saja sesak, apalagi balas memeluk? Situasi ini pun membuat aku ingin berteriak, bahkan kalau bisa lari keliling lapangan bola dengan hanya memakai celana boxer.

AAAAAAAAAAAAAAAAAARRGGH!

.... tapi itu cuma sebuah pengandaian.

Aku tetap berusaha mempernyaman diri sendiri. Kali ini posisi memunggungi.  Jadi Mile bisa memeluk pinggang rampingku dari belakang. Wah ... sumpah. Tangan kuli-ku pun berusaha memindah tangannya, Mile mengerat. Lalu ibu jari pria ini mengelus pinggulku lembut. Tidak konsisten sih. Mile hanya melakukan itu jika kesadarannya naik dan turun. Aku kegelian, padahal ini bukan apa-apa dibandingkan seks yang sebenarnya.

"Sampai kapan kamu tidak mau tidur, hm ... Natta? Tutup saja kedua matamu itu," tegur Mile pada akhirnya. Aku pun berdebar karena ketahuan insomnia. Ini jam 1 malam, dan tentunya pagi masih sangat lama.

Ah, sial! Kenapa waktu rasanya berjalan lambat sekali?!

Padahal aku bolak-balik lebih dari 20 kali, mengganggu Mile. Malahan akhirnya kembali menghadap suamiku. "Phi, bagaimana kalau pelukannya ditunda dulu?" tanyaku. "Maksud Saya, ini terasa sungguh mengganggu. Anda juga ikut kesulitan lelap, kan? Sangat tidak bagus jika sampai pagi Saya masih begini."

"Tidak."

Aku pun kehilangan kata-kata. "...."

"Karena jika bukan sekarang, nanti kamu malah kabur-kaburan sampai kapan pun. Itu jelek, paham Natta?" tegas Mile. Lalu membuka mata kembali. Suamiku pun menata ulang tangannya di pinggangku, membelai halus. Lalu mendekati wajahku perlahan. Kukira Mile akan menciumku dadakan seperti dulu. Ternyata tidak, melainkan hanya berkeliling dengan bibir itu. Mile tampak menikmati kegiatannya menghidu tiap jengkal wajahku. Alisku dikecup. Barulah dia mendekap erat agar aku sadar statusku kini benar-benar miliknya.

Kurasa aku tahu kenapa mahar menikah itu banyak sekali, Batinku. Ya, karena ujung-ujungnya begini. Seorang suami akan menunjukkan dominasinya jika butuh dimanja. Itu sah-sah saja, tapi aku sangat kesulitan bertahan. Aku risih karena berbagai macam alasan. Aku kesal sampai stress. Tahu-tahu ketiduran sendiri setelah capek bersabar di tempat itu.

"Sayang, Natta ...."

Kepalaku pun pusing karena alarm menjerit pada keesokan hari. Aku bahkan uring-uringan hingga nyaris melempar benda tersebut, untung suara lembut Mile sudah menembus telinga duluan. Aku pun duduk sambil memijit kepala, bingung total. Dan mataku merah saat kami saling bertatapan.

"Hnngh? Sudah pagiii?" tanyaku.

Mile sendiri habis mandi dan menata rambutnya dengan pomade saat itu. Suamiku sudah tampan pada jam segini. Dia tipe disiplin, tapi aku tidak heran karena Mile merupakan seorang pebisnis.

Suamiku pasti biasa bangun lebih pagi lagi, mungkin sebelum subuh. Lalu dia memilih arloji di laci untuk dikenakan. "Iya, baru jam 6," katanya. "Ayo bangun. Di bawah nanti Ibu, Ayah, dan Gabby akan berkumpul setengah 7."

"Ahhh, sshhh ...." keluhku saat buminya berputar-putar. Mile pun mengecek karena aku menunjukkan gejala tantrum. Semua karena kemewahan ini tidak serta merta bisa langsung kuterima.

"U ok?"

"Tidak."

"Ada yang bisa kubantu, mungkin?"

"Saya nanti memanggil Paman dan Bibi dengan cara bagaimana?" tanyaku sambil mendongak. Mile pun memintaku ikut dia saja (Ibu dan Ayah) tapi soal Gabby aku tak punya gambaran. Kata Mile bocah itu baru usia 6 tahun, sangat cerdas. Namun fakta dia sering memakai Bahasa Inggris saat bicara membuatku takut. Aku sendiri hanya mengenal "yes, no, alright, ok, before, after, definitely, tomorrow, yesterday, today" dan kosa kata dasar serupa. Bisa bayangkan jika kami berhadap-hadapan? Aku pasti seperti orang tolol kalau sampai tidak paham, apalagi jika Gabby mengoceh secepat kereta.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Gabby itu menyesuaikan kok. Kalau diajak ngobrol tanpa Bahasa Inggris, pasti dia ikut-ikutan begitu," kata Mile.

"Iyakah?"

"Hm," kata Mile. "Tapi jangan tersinggung jika masih memanggilmu 'Phi Natta'. Dia masih bocah, oke? Tapi aku akan membuatnya paham secara perlahan lahan."

"Oke, Phi."

Aku pun buru-buru turun dan mandi kilatan. Jangan terlambat! Karena ini adalah hari pertamaku gabung dengan Keluarga Romsaithong. Mile bilang akan mengurus KK baru kami Minggu ini, biar margaku segera berubah. Jadi bulan depan suratnya (mungkin) sudah turun dari atasan.

"Selamat pagi, Natta Sayang ...."

"Selamat pagi, Nak."

"Gud meowning, Phi Natta ....!"

Sapaan keluarga baruku pun kubalas lengkap senyuman. Aku juga lebih percaya diri karena bisa table manner. Ya, walau soal luwes belum seperti mereka. Namun, usai mengantar Gabby ke sekolah ternyata Mile tidak mengajakku ke bandara. Dia bilang bulan madunya diundur mulai besok saja. Belum terencana total. Toh Mile ingin bertemu Ibu dan Bapak dulu.

"Kenapa?" tanyaku, setelah mobil Mile keluar gerbang TK Gabby.

"Kemarin aku sempat memberi pilihan kepada mereka," kata Mile. "Tepatnya sebelum tamu pulang semua. Antara pindah ke rumah baru, atau dibangunkan ulang ... tapi Bapak lebih suka tanah yang ada di sana."

"Eh?"

Sejak kapan Phi Mile punya ide itu?

"Tapi menurutku itu buang-buang waktu, Natta. Tanahnya juga tak seluas desain pemberianku," kata Mile. "Jadi, kalau pun mau beli petak di sekitarnya butuh proses yang lama. Jadi Ibu kuminta membujuk Bapak."

"...."

"Ya, siapa tahu mereka berubah pikiran," kata Mile. "Aku takkan membiarkan Bapak terus-terusan di sana. Beliau baru sembuh. Jadi lingkungannya harus mendukung secara total."

Sebetulnya aku tersinggung dengan ucapan barusan, tapi itu tolol. Karena alasan Mile melakukannya benar-benar logis. Dia komentar soal air minum yang pernah dihabiskan dari tempatku (katanya terlalu berkapur), jadi Mile ingin memindah Bapak secepat mungkin. Katanya, donor ginjal mungkin bagus jika sudah cocok, tapi bagaimana kalau nanti rusak lagi? Maunya marah, tapi malah tidak jadi. Sebab aku berakhir setuju dan syukurlah Ibu bilang Bapak sudah berubah pikiran.

"Apa ada barang yang masih tertinggal?" tanya Mile saat proses pindahan. Ibu dan Bapak pun duduk di jok belakang. Mereka menggeleng, dan kulihat Bapak sudah memegang kresek jika nanti muntah di tengah-tengah perjalanan. Kami memang tidak punya benda berharga selain motor. Palingan hanya lemari penuh hadiah dari Mile. Jadi motor dan lemari pun diangkut oleh mobil pick up di belakang sana.

Astaga, ini benar-benar dadakan untukku.

Tapi kenapa Mile tak bilang apapun? Atau diskusi denganku dulu, misalnya? Kenapa otak pria ini selalu bercabang lima? Aku sungguh tak sanggup berpikir ke arah sana.

"Hooeeeeekkk!"

"Bapak! Bapak! Ya ampun ... Bapak!" panik Ibu saat Bapak mabuk darat. Mile pun membuka jendela mobilnya lebih lebar. Dia hanya melirik, tapi tidak berkomentar apapun hingga kami sampai pada lokasi rumahnya.

"Silahkan turun .... ayo masuk," kata Mile saat keluar memandu. Dia menunjukkan rumah minimalis 2 lantai yang menawan. Warnanya dominan cokelat, hitam, dan putih tulang. Terus di depan gerbang ada 2 satpam dan 2 pelayan yang menunggu kami.

"Halo ...." sapa mereka dengan senyuman.

Lemari dan motor bututku pun jadi benda paling burik, sangat kotor. Setidaknya jika dibandingkan dengan indahnya bangunan itu.

"Wah ... terima kasih, Nak!" kata Ibu yang sedang menggandeng Bapak. Mile pun tersenyum, walau tak menyangka akan dipeluk Bapak.

Oke, akhirnya terjadilah adegan paling dramatis tiap kali mereka berdua bertemu.

Ya, bagaimana ya ... Bapak memang tipikal pria yang manis di dalam. Hatinya mudah tersentuh. Apalagi jika diajak bicara secara lembut. Tubuh kurusnya pun tampak lucu saat melangkah masuk setengah berlari. Apalagi ada dua kandang burung, kandang marmut, serta kucing-kucing baru untuk dipelihara.

"Ha ha ha ha ha! Lucu ....!" kata Bapak sambil menggendong kitten-kitten ragdoll barunya. Mile sengaja memberi mereka hiburan agar tidak bosan. Sebab suamiku merasa sudah mengambil putera semata wayang Keluarga Wattanagitiphat yang dulu ada untuk mereka.

"Suka?" bisik Mile tiba-tiba di telingaku. "Bapak juga punya TV yang besar di dalam, speaker musik, kolam ikan koi ... dan Ibu dapatkan set memasak yang dia impikan."

Aku pun memandangnya dengan perasaan yang bercampur aduk. "Butuh beberapa tahun Saya nguli andai yang memberikan adalah Saya ...." kataku, menyimpan kesal pada diri sendiri.

Mile malah tertawa karena menikah dengannya pun bagian dari usaha. Terus kenapa tidak dari dulu saja? Katanya. Aku bilang, aku tidak mau menikah dengan Mile karena hartanya, tapi syukurlah semakin ke sini aku bisa membaca karakter dari suamiku. Mile bilang harusnya rumah mereka lebih besar lagi, tapi Ibu menolak gambar yang diberikan Peter karena itu memberatkan hati dia.

"Kita kan cuma 2 orang, Nak ...." kata Ibu, lalu Peter menyampaikannya kepada Mile. Jadilah 4 orang pekerja saja yang ditaruh di tempat itu.

"Ini, yang buat 'jajan' Ibu-Bapak, bayar satpam, juga pelayannya sekaligus," kata Mile saat kami masuk mobil lagi. Dia memberiku kartu kredit lain (kali ini bukan hitam, tapi hanya seperti biasa). Kemungkinan karena Mile menyesuaikan kebutuhan sebagaimana kira-kira setiap kali bertindak.

"Jadi Saya boleh memberikan gaji sebanyak kemauan sendiri, begitu?" tanyaku.

"Ya, tentu. Tapi biasanya aku memberikan 16.000 baht untuk para pekerja setiap bulannya."

"HAH?! APA?!" kagetku benar-benar tak tertolong. Mile sampai ikut-ikutan syok mendengarkan suaraku, dia melotot. Sebab gaji pelayan Mile 3 kali lipat UMR yang membuatku kasihan kepada teman-teman kuli-ku dalam kontruksi. Namun, aku sadar dunia memang sekejam itu. Aku hanya beruntung. Sampai-sampai air mataku menetes dua sampai tiga kali.

"Hei, Sayang? Natta ...."

"Saya tidak apa-apa ...." kataku segera mengendalikan emosi. Memalukan sekali aku menangis setelah lupa terakhir kapan. Sampai-sampai genggamanku pada kartu pun jadi gemetar samar.

"Yakin? Mau beli jajan dulu biar merasa baikan? Kita bisa berhenti di toko-toko jika kamu mau."

"Tidak perlu ... Saya hanya kaget melihat sudut pandang Phi Mile lebih jauh," kataku jujur.

Mile pun membawaku berputar-putar kembali, jangan pulang dulu. Karena tadi sebenarnya hampir sampai rumah. Dia bertanya, apa mau tinggal pisah dari Ibu-Ayah juga? Aku menggeleng. Karena menurutku ini lebih dari cukup. Aku senang saja bertemu mertuaku setiap harinya. Mereka baik, tapi Mile tampak memikirkan suatu hal sendiri dalam otaknya.

"Hmmm, baiklah. Sementara begitu tidak masalah ...." katanya. Namun, yang kutangkap dari kata 'sementara' pasti bermakna pindahan. Entah kapan, dan itu membuatku sungkan memilih ketika Mile menawarkan tempat bulan madu.

"Terserah, Phi. Saya ikut. Saya juga tidak tahu tempat bagus untuk dikunjungi," kataku.

"Hmff ... baiklah," kata Mile. Sampai rumah, aku pun membantunya dalam packing-packing biar cepat. Lalu Mile bilang dia punya cuti 9 hari untuk dimanfaatkan. Selain Peter, suamiku pun memberitahu nomor manajer dan sekretarisnya. Jadi aku bisa bertanya dimana dia jika suatu hari mencari.

[Peter]

[Manajer Bas]

[Sekretaris Perth]

Namun, setelah tersimpan, nama-nama ini masih terasa tak nyata dalam ponselku.

"Sudah diterima belum?"

"Belum, Phi."

"Cih ... padahal tadi kusuruh mereka untuk konfirmasi ulang," dumal Mile sambil menutup restleting koper kami. Percayalah itu pertama kalinya aku mendengar Mile berdecih. Bahkan dia menelpon ketiganya langsung agar aku tak menunggu terlalu lama.

[Peter: Halo, Tuan Natta. Ini Peter. Silahkan menghubungi Saya jika ada apa-apa :)]

[Manajer Bas: Selamat siang, Tuan Natta. Saya manajernya Tuan Mile. Jika ada keluhan, Anda boleh bertanya-tanya kepada Saya]

[Sekretaris Perth: Permisi ... apa benar ini nomornya Istri Tuan Mile? Saya diminta beliau untuk menghubungi Anda terkait konfirmasi kontak]

Aku pun merasa aneh saat orang-orang ini merendah di hadapanku. Sebab secara kasta harusnya mereka lebih terhormat. Sangat berpendidikan. Hanya saja aku di-ratu-kan secepat angin hanya karena menikah.

Apa ini tidak apa-apa?

Aku hanya merasa jabatan "Istri Mile" agak menakutkan.

"Sekarang sudah?"

"Iya ...."

"Bagus. Kalau begitu aku akan mandi dulu. Panasss ... tidur siang rasanya tidak nyaman kalau badanku selengket ini," keluh Mile sebelum berlalu.

Aku pun menyeret koper-koper kami ke pojokan kamar agar lebih rapi. Tapi karena tidak tahu harus apa, akhirnya kudekati gunungan kado pernikahan dari sanak kerabat Mile. Di sana ada banyak box yang dihias elegan. Sangat simpel, klasik, dan cantik. Namun, mataku terpaku ke salah satunya yang berhias pita ungu matang.

[FR: Aro]

"Susah-susah kudekatkan orangtuamu ke sahabatku yang cantik. Eh, ternyata kau lebih suka lubang belakang."

Aku pun terkesiap membaca memo tersebut. Apalagi font-nya ditoreh sejelas mungkin. Tulisannya rapi dengan puplen yang berwarna biru. Tekanannya tajam, tapi instingku mengatakan jangan sampai Mile membaca ini.

"Natta, Sayang ... kamu tidak mau mandi juga?" tanya Mile tiba-tiba.

"Eh? Ya ...." kataku sambil mencabut memo tersebut. Aku pun mengantunginya ke saku belakang. Mile bingung, tapi segera kuangkat kado di tangan demi konfirmasi aku sedang apa. "Anu ... Phi, Saya ingin buka-buka kado. Tidak apa-apa, kan? Maaf Saya dahului karena agak penasaran."

Mile pun terkekeh saja. "Oh ... hhhh, tentu. Kukira tadi ada apa. Silahkan. Mau buka semua juga terserah. Aku belum sempat untuk hal-hal yang seperti itu."

"Oke ...."

Aku pun melipir mandi segera. Kurobek memo-nya. Lalu kumasukkan ke dalam kloset dengan siraman air yang kencang. "Sebenarnya siapa si Aro ini? Sepupu Mile? Keponakan Mile? Paman Mile? Kenapa dia seberani itu ...." gumamku saat robekan tadi menghilang di dalam lubang.