JUST A LABORER CONSTRUCTION 8

Paginya aku dan Mile berangkat ke Bandara Suvarnabhumi diantar Peter. Mile memberiku paspor dan visa yang baru jadi, masih mengkilat. Tapi aku tidak tahu kapan dia mendaftarkan identitasku. Pantas Mile kemarin bilang persiapan bulan madu kami belum lengkap. Ternyata masalahnya di aku, dan Mile memperlicin prosesnya agar jadi dalam satu hari. Padahal kukira Mile hanya bingung destinasinya dimana saja, tapi pria ini selalu memberi kejutan.

Aku sendiri biasa setelah pesawatnya lepas landas. Aku tidak mabuk, malahan tekanannya kurang jika dibandingkan kala aku menyopir truck gandeng. Rasanya ringan karena beban tubuh yang melayang. Malahan aku tersentak bangun karena jariku disentuh Mile. "Phi??" kagetku.

Mile senyum saat memperlihatkan sarung tanganku. "Mau kejutan yang lebih banyak?" tanyanya. "Kita nanti melihat salju ...." Dia ternyata hanya ingin memakaikan benda itu.

"Dimana?"

"Di Zermatt, Swiss," kata Mile. "Meski bulan Mei, tempat itu tetap seru oleh musim dingin. Kan negara Eropa lainnya harus menunggu Oktober ke belakang dulu."

"Oh ...."

"Kamu pasti suka, Natta. Aku yakin," kata Mile. "Nanti kuajari ski, terus naik sky-hintertux juga," jelasnya. Sayang semakin suamiku mengoceh, aku makin tidak paham juga. Bagaimana pun luar negeri bukanlah tempat nyata untukku. Aku belum pernah kemana pun. Palingan hanya pindah kota kalau sedang kerja di kontruksi.

"Sky ... hintertux?" tanyaku coba memastikan lagi.

"Ya."

"Apa itu, Phi?"

Mile pun tertawa karena ekspresi wajahku. "Ha ha ha, tidak tahu? Nanti kamu akan melihatnya ...."

Aku pun iya-iya saja. Toh perjalanan ini menghabiskan waktu hingga 14 jam. Untung kursi kami bisa dirubah jadi kapsul yang panjang. Jadi aku pun bisa tidur pulas seharian. Mile sendiri tidak mengobrol denganku setelah itu. Dia sibuk menyortir tempat berdasarkan waktu dan jarak tempuhnya. Lalu mencicil kerjaan dengan membawa laptop.

"Aku benar-benar tak paham apa yang dilakukan oleh orang kaya ...." batinku. Mereka hanya mengetik rumus dan kode di hadapanku, tampak memusingkan. Hanya saja itu bisa menghasilkan uang.

Uang bukan sembarang uang malah.

Aku hanya terbangun saat ingin makan atau buang air. Mile menoleh padaku, dan ternyata dia terjaga setiap kali aku bertanya. "Phi, toilet di mana?"

"Di belakang," jawabnya. "Mau sama pramugari atau kuantar sebentar?"

"Antar," kataku. Karena tak sanggup ditemani wanita seksi ke mana-mana. "Aku benar-benar sudah tidak tahan!"

Mile pun meletakkan laptop dan kacamata ke kursi. Aku penasaran apakah dia tidak tidur sejak berangkat (memang kuat ya?), lalu pria ini menungguku di balik pintu seperti menjaga bocah.

Aku tahu ini agak memalukan, tapi sekuat apapun tenaga kuli-ku, ini tetap pertama kalinya aku naik pesawat. Aku berjanji kepada diri sendiri untuk mengingat denah tempatnya. Aku harus mandiri. Jangan sampai Mile terganggu untuk penerbangan berikutnya.

"Sudah lega?"

"Sudah."

"Kita akan tiba kurang dari sejam lagi."

"Iya."

Namun, beda dengan perhitunganku. Waktu Swiss ternyata punya aturan sendiri. Kami sampai di Zermatt pukul 5 sore, tidak ada matahari. Lalu Mile menangkupkan jaket tebal ke badanku begitu turun landasan. "Dingin, ya. Ha ha ha ha ha."

"Sangat," kataku sambil menggosokkan tangan. "Phi Mile ini benar-benar nerakanya kulkas!"

Aku pun pipis lagi ... pipis lagi ... karena tak biasa suhunya. Untung toilet di sekitar banyak. Sayang lama-lama aku segan keseringan minta berhenti. Bisnya bahkan ganti beberapa kali, barulah turun untuk minta kaus kaki tambahan kepada Mile (dia sendiri yang mongodel koper dan memakaikannya untukku).

Bukan ingin dimanja, ya. Seriusan!

Aku hanya keberatan jaket serta long-coat yang bertumpuk. Belum syal yang membebat sampai batas hidungku. Aku pun berakhir duduk di kursi tepian jalan, tamannya beku. Lalu Mile menunduk di depanku seperti pangeran dongeng.

"Lihat ke kanan biar isi pikiranmu segar," kata Mile sambil membuka sepatu musim dinginku. "Indah, bukan? Swiss adalah negara yang sangat tenang."

Aku pun melihat bukit-bukit dan gunung es yang menyatu di tengah kota. Bahkan rumah penduduk sini juga sangat padat. Mereka sengaja demi mencari kehangatan. Lampunya jernih. Membuatnya lebih cantik karena langitnya juga bertaburan bintang-bintang.

"Hm, memang lebih banyak daripada di Thailand," kataku.

Mile pun menjelaskan langit Swiss masih murni dan jarang terjamah polusi. Bintang pun berani muncul di sini dengan kilau cantiknya. Sayang Mile melarangku untuk membuka ponsel untuk mengambil gambar.

"Kenapa?"

"Itu bahaya. Bukan untuk didesain menjepret pemandangan dalam suhu yang sedingin ini. Kita pakai kamera saja ...."

Aku pun menggeleng saat disodori DSLR seukuran lima kali lipat kepalan. "Phi saja yang menjepret. Saya tidak bisa pakai itu."

Suamiku pun geleng-geleng. "Hmmh ... kalau tidak bisa ya kuajari. Kemari."

Aku pun mendekat ragu, sementara Mile langsung memposisikan tubuhnya di belakangku untuk menjelaskan sambil praktek. Percayalah teori tak semudah real-nya. Apalagi aku menahan hawa dingin sambil berusaha konsetrasi. Jepretanku pun blur, miring, dan fokus tak fokus, tapi Mile membiarkanku sambil tertawa setiap kali terhibur.

"Ha ha ha ha ha ha ... itu kamera mahal, tapi seperti mainan di tanganmu, Natta. Astaga .... ha ha ha ha ha!"

Aku pun menendang kakinya karena kesal. Kuinjak dia. Lalu memotret beberapa kali sampai mendapatkan hasil yang (menurutku) terbagus.

"Kita istirahat dulu sekarang. Nanti malam baru keluar melihat Gunung Matterhorn lagi," kata Mile. Dia menyerah karena mungkin kesakitan (seharusnya jangan coba-coba membuatku kesal). Lalu kami menuju ke hotel. Di sana ada fasilitas pemandian hangat. Tinggal masuk saja ke dalamnya tiap usai reservasi.

Kami menumpang taksi bertenaga listrik selama di kota ini, dan mataku terpana oleh kecantikan Danau Leisee ketika melewatinya. "Rasanya jauh sekali ...." komentarku karena perjalanan ini memakan lebih dari 15 menit.

"Iya, karena kau lebih kedinginan daripada bayanganku," jawab Mile. "Kita pindah hotel biar dapat tempat lebih hangat."

"Oh ...." desahku. Namun, sehangat apa pun itu, Zermatt memang daerah yang sangat dingin. Aku tersiksa, jadi langsung masuk kamar mandi begitu lepas-lepas jaket.

"Natta--"

"Phi, maaf Saya duluan sekarang!" kataku separuh membentak. Mile pun hanya menatapku grasak-grusuk kala melompat ke dalam bak air. Aku tenggelam hingga sampai ke ujung kepala. Dan kulitku langsung memerah karena pori-porinya terbuka. Byur!

Oh, aku bahkan lupa tak menutup pintunya karena tadi benar-benar menggigil seperti boneka kayu.

"Kopi?"

Aku pun menoleh ke belakang saat Mile menawariku untuk kedua kalinya. Pertama sebelum kami menikah. Dan sekarang menjadi bagian satu sama lain. "Terima kasih ...." kataku saat menerima cangkir darinya. Karena bersentuhan, aku pun kaget oleh suhu jari Mile yang mengerut, sebab dinginnya melebihi es batu sendiri. "Phi, Saya pikir Anda juga harus mandi?" tawarku dengan jantung kelojotan. Separuh badanku saat ini masih tenggelam dalam bak kayu berbentuk bulat. Dan lebarnya kira-kira cukup untuk dua orang.

"Hm? Memang kamu oke kalau aku ikut?" tanya Mile. Dia pun menyesap kopinya sambil menatapku. Aku mendongak, dan harusnya Mile yang masih memakai sweater turtleneck tidak semenakutkan itu.

"Saya hanya tidak ingin Anda kedinginan ...." jawabku, meski tidak nyambung dengan pertanyaan Mile. Suamiku pun terkekeh mengetahui aku gelisah. Dia meraih daguku, tapi tidak melakukan apapun hingga melepasnya.

"Aku akan menunggu di depan perapian saja," kata Mile. Dia pergi dari pandangan mataku, lalu menutup pintunya untuk memberiku privasi. Namun, dadaku malah dihinggapi rasa bersalah.

"Phi--!" kataku. Lantas keluar setelah menjambak bathrobe di laci. Kupakai benda itu asal-asalan. Hanya saja kakiku berhenti saat ada desahan di balik sofa.

"Hhh, Natta ... hhh ...." rintih Mile. Dia tengah onani di depan sana. Dari bayangan kakinya, kulihat suamiku mengangkang lebar sekali, pertanda tadi mungkin sudah di ambang batasnya. Pria itu mendongak dengan mata terpejam. Dia menjilat bibir dan hangatnya perapian memberitahuku dia tidak baik-baik saja.

Ya ampun, apa yang sudah kulakukan?

Aku bahkan tak berani mengganggu Mile sama sekali, melainkan hanya menatap bayangannya dari ambang kamar mandi. Kakiku serasa kram usai Mile melepas kocokan penis. Sebab ukuran benda itu menjadi terlihat jelas. Aku pun terkesiap kaget, sampai-sampai hatiku maju mundur ingin melakukan sesuatu untuknya.

"Phi, apakah Anda butuh ... bantuan?" tanyaku tersendat.

"Huh?"

Mile yang masih birahi pun menyisir rambutnya ke belakang. Dia tampak frustasi sekali. Jadilah aku nekad untuk mendatangi.

"Saya tanya, apakah Anda butuh bantuan?" ulangku. Mile pun menatap dengan bola mata yang berkabut. Tapi dia membiarkanku melihat betapa tebal dan panjangnya penis itu.

"Hhh ... ha ha ha. Kalau kamu mau?" katanya, lalu mengocok penis kembali. Benda itu masih keras dan berdiri tegak, membuatku meneguk ludah, tapi tak menolak ketika pinggangku ditarik mendekat. "Sudah siap atau belum memangnya? Aku ingin kita sama-sama enak melakukan itu ...." Dia menatapku dari bawah sana.

Aku pun meraih rahang Mile dengan jemari hangatku. Dia meneguk ludah, sementara aku sendiri fokus kepada bibirnya. Kurasa aku terlalu keras kepada pria ini, padahal Mile berhak atas diriku sepenuhnya. "B-Bisa nanti jangan masuk dulu, Phi?" tanyaku mendadak tergagap. Dia pun tersenyum tipis. Lalu menarikku ulang agar lebih dekat.

"Oke. Kalau begitu duduk saja di pangkuanku," katanya. Dadaku pun membentur hidungnya. Mile tertawa. Sementara aku naik ke pahanya dengan gerakan yang kaku. Aku juga melebarkan kaki untuk menjepit pinggangnya. Barulah Mile menarik bathrobe-ku sekali lepas.

"Begini?" tanyaku dengan napas yang tersendat. Mile pasti mendengar debaran jantungku, tapi dia pura-pura tidak dengar agar aku tidak panik. Bagaimana pun ini pertama kalinya aku datang untuk melayani. Syukurlah jika dia mengerti.

"Hm, benar," kata Mile sambil memeluk pinggangku. Aku pun pegangan ke punggung sofa untuk mempernyaman diri, lalu Mile mulai menyesap puting kiriku. Pria ini membuatku bergeliat pada jilatan pertama. Dia mengecup ujungnya, dan berani sumpah rasanya geli sekali.

"Mm--!" Aku refleks memeluk leher Mile selama dia menjajah dadaku. Punggungku  melengkung curam karena sentuhan darinya, dan rasa nikmat ini mulai menyebar pada kulitku. Sensasinya aneh kala Mile merata turun hingga ke bagian pinggang. Sesekali di membelai gundukan pada bokongku, dan kakiku mengejan karena dia meremas di sana. Mile terus mengulangi hingga badanku memanas. Namun, aku sendiri bingung antara mau dan tidak dikuasai olehnya. "Akh!" pekikku karena mulai digigit. "Mffff--Phi ... perih ...." keluhku dengan kening yang berkerut-kerut. Mile pun memelankan sesapannya, tapi dia hanya memindah lidah ke puting kanan.

"Jangan tegang--"

"Ahhh ....! " desahku karena kocokan Mile pindah ke penisku. Aku pun meremas rambut pria ini. Napasku putus-putus. Bahkan telingaku berubah merah saat penis kami dikumpulkan jadi satu. Semua karena ukuran Mile lebih besar. Aku malu, tapi pria ini tetap mengocoknya bersama dalam genggaman tangannya. Suamiku tidak menghina sama sekali. Terus bergerilya, dan kecepatannya cukup memabukkan untuk pengalamanku yang pertama kali. "AHHHHHHHHH!" teriakku bersamaan dengan geraman dirinya. Aku sungguh tak menyangka melakukan ini sangat nikmat. Kulitku jadi sensitif, padahal jelas-jelas Mile adalah sesama pria. "AHHHHHHH! Phi Mile ....! Nngh... tolong lebih cepat lagi!!" pintaku lepas kendali.

Tangan kiriku pun ikut naik dan turun, tapi bisa menahannya juga jika merasa terlalu kencang. Sadar-sadar aku panik karena melihat ereksikusendiri, Mile menyadarinya. Lalu dia mengecup bibirku.

"Phi, Saya ini--"

"It's okay, it's okay. Itu normal ... jangan terlalu memikirkannya," kata Mile. Lalu memburu bibirku semakin liar. Ucapannya pun membuatku tenang. Aku merasa aman. Lalu kami mengulangi kocokannya dari awal. Lama-lama Mile pun membuatku mengeluh ingin pipis, tapi dia malah mendekap erat daripada melepasku ke kamar mandi. Mile pun mengurut penis kami semakin intens, meremas ujungnya, dan ternyata yang keluar bukan urin, melainkan sperma kami yang muncrat-muncrat ke perut.

"AHHH HHH ... hhh--Phi Mile--!"

"Ahh--hhhrrrmmm ... Natta ....!"

Kami pun saling mendekap selama klimaks bersama, tapi bathrobe-ku tak bertahan dari pangkuan. Benda itu pun melorot ke lantai. Aku telanjang penuh, dan rasanya risih sekali saat cairannya mengalir ke belahan pipi bokongku. "Phi?" sebutku karena Mile tiba-tiba membelai lubangku di belakang. "Mhh ...."

"Yakin tidak mau sampai tuntas?" tanya Mile. Dia menekan kerutan liangku sambil tersenyum. Napasnya pendek. Lalu menggesek naik turun menggunakan jari tengahnya yang panjang. "Tapi kalau belum siap pun tak apa-apa ...." katanya. Namun, mata pria ini jelas-jelas berharap padaku.

Sejujurnya aku sendiri penasaran rasanya ditusuk Mile, sebab suamiku ini tampak menginginkannya berkali-kali. Sensasi penisku disentuh dia saja beda dengan onani sendiri, apalagi jika liang rapatku dibuka? Aku pun berpikir selagi Mile meratakan basah-basah sperma pada tempat itu. Kami bertatapan, tapi entah kenapa tanganku menghentikannya tanpa keinginan sendiri. "Hmmh, jangan," larangku dengan mata yang berkaca-kaca.

Kami pun langsung bersitegang canggung. Aku ingin menangis. Sebab dalam momen ini malah ingat memo Aro di atas kadonya.

Susah-susah kudekatkan orangtuamu ke sahabatku yang cantik, eh ternyata kau lebih suka lubang belakang---

Aku benar-benar ingat detail kalimatnya. Mungkin karena dadaku perih ketika menyadari kebencian serta dengki di dalam maknanya. Mile pun memindah tangannya pada pinggulku. Menatap ekspresiku. Sepenuhnya ingin menelaah aku sebenarnya kenapa.

"Sayang, Natta ... ada apa?" tanya Mile. Dia menyadari aku pun ingin bercinta, tapi bingung cara mengungkapkan kegelisahan ini. Bagaimana kalau si Aro dan Mile nantinya punya masalah? Padahal hubungan kekerabatan mereka tadi baik. Buktinya orang itu sampai diundang segala. "Tell me, ok? Atau memang belum ingin saja?"

Aku pun ragu-ragu menjawab. "Phi marah tidak kalau Saya belum bisa?" tanyaku, mencoba menyelami matanya. "Tapi, mn ... selain itu Anda boleh lakukan apapun mulai sekarang ...." tegasku. "P-Pakai mulut dan paha m-misalnya? Saya pasti akan berusaha jika diajari caranya ...."

Sambil menjilat bibir, Mile pun memastikan perkataanku sekali lagi. "Benar-benar apapun, Natta?"

"Iya."

Aku segera mengangguk pelan.

"Kecuali di sana, begitu?"

"Mn, iya Phi--t-tapi kalau Saya mau kapan-kapan bilang sendiri. Bagaimana?" tanyaku seperti tengah tawar menawar.

Mile pun berpikir keras, dia tak menemukan jawaban, dan akhirnya gagal fokus karena aku berani  menggesekkan bokong ke batang penisnya. Kubilang, Phi ... kau juga boleh melakukan itu. Nyaris-nyaris masuk pun tidak masalah, hanya saja tolong jangan kelewat batas sebelum aku sendiri yang mengizinkannya.

"Ha ha ha, baiklah ... siapa bilang aku akan marah sama kamu? Pegangan ...." kata Mile sambil berdiri untuk menggendong. Meski kaget, aku pun refleks memeluk pinggangnya dengan kedua kaki. Dia membawaku ke ranjang. Lalu merebahkanku di atas sana.

Seperti janjiku, aku pun bersedia membuka kaki untuknya. Dia langsung memegangi kedua lutut dalamku. Lalu menunduk untuk menstimulasi pintu liangku. Dia menjilat beringas di sana. Menyesapnya. Menggigit paha dalamku, bahkan betah melakukannya cukup lama. Aku pun meremas seprai di bawah kami. Merintih lembut. Lalu menjambak rambutnya selama Mile menikmati penisku dalam mulutnya.  "Ahhh!" desahku. "Mmnggff ... anhh ... Phi Mile--mmh .... pelan sedikit. Phi ....!" kataku tetapi tak diindahkan olehnya.

Mile pun menindihku setelah membuat pahaku gemetar. Dia mencium bibir dan leherku seperti vampir kehausan, dan tampaknya makin stress karena permintaanku tadi. Anehnya, Mile benar-benar tidak melewati peraturanku. Dia patuh, seolah akulah pengendalinya di sini, meski faktanya dia lah yang justru menikmati tubuhku.

"Ahhh! Hnngh ... hh," desahku selama Mile menggigiti otot perutku. Dia menikmati kegiatan kami setelah kubuat klimaks kedua kalinya, tapi tentu yang dipakai adalah pahaku.

Sepuluh menit lalu, kujepit penisnya dalam posisi berhadap-hadapan. Kupeluk kakiku sendiri. Lalu Mile memaju mundurkan batang besarnya diantara kerapatan kulit. Suamiku pun akhirnya muncrat secara lancar, tak berjeda. Walau butuh waktu lama hingga kulit pahaku merah karena gesekan berkali-kali.

Phi Mile! Sakit ....! Sakit ....! Panas--! batinku menjelang Mile klimaks tadi.

Gesekan penis Mile membuat kulitku beruam (kini agak perih) tapi aku senang karena berhasil menangani nafsunya. Dalam dada aku merasa itu sama sekali tak cukup. Mile harus merasakan nikmat yang lebih banyak, karena itu kudorong dia agar duduk dan terus mengatur nafas.

"Natta--!"

"Saya bisa ....!" kataku, lalu menunduk mendekati penisnya dengan bibirku.

Mile yang tadi hanya membuka restleting pun kulepas celananya. Lalu kuurut penis tebal itu dengan jari sebelum mengulum.

Awalnya hanya di ujung, semakin ke bawah, dan kami saling bertatapan selama aku melakukannya.

"Hhmmh ... Natta ...." geram Mile sambil menjambak rambutku. Telinganya pun memerah oleh belaian lidahku. Pipiku disentuh, tapi tiba-tiba dia menarik bagian tengkuk agar benda itu makin terbenam ke dalam sana.

"Uhhhkkkkk!" keluhku yang refleks terpejam. Aku pun terkejut karena  kepanjangan Mile sanggup menyodok jalur kerongkonganku. Aku tersedak sampai kelopak mataku berair, tapi ini bukanlah masalah besar. Malahan kubiarkan Mile melakukannya terus menerus. Dia memanduku, dan aku dibiarkan lepas hingga dia klimaks untuk ketiga kalinya. "Pfuuuahhh!" kataku hingga terbatuk-batuk. "Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

"Tunggu, tunggu. Kemari ... are u ok? Natta? Bibirmu ada yang luka? Bisa lihat Phi sebentar saja?" kata Mile segera meraih daguku. Dia pun menatap kedua mataku yang berair dan berubah merah. Dia cemas, sementara aku merangkak ke arahnya seperti balita.

"Phi ...." kataku, yang entah kenapa mendadak ingin dimanja.

Mile pun memangkuku sekali lagi, dia memeluk pinggangku. Lalu pria ini mengecupi bibirku yang hampir luka. Dia menenggelamkanku dalam ciuman dalam. Sangat hangat. Sangat lembut. Bahkan kami tertawa setelah menyelesaikannya.

"Ha ha ha ha ha ha .... "

"Ha ha ha ha ha ha ...."

Mile juga menawariku agar berubah cara panggilan. Dari "Saya-Anda" ke "Aku-Kamu", tapi aku langsung menolak keras. Kepalaku bahkan menggeleng kencang hingga heran, tapi aku bilang begini pun sudah nyaman. Sejujurnya aku takut suatu hari semena-mena kepadanya (bagaimana pun karakter asliku keras) tapi kurasa Mile Phakphum adalah sosok yang harus selalu kuistimewakan.

"Phi Mile sudah hangat sekarang ...." kataku sambil meremas jemarinya. "Tinggal mandi, kan? Apa setelah ini kita jadi keluar?"

"Yeah, tentu ...." kata Mile, yang mengadu hidungnya pada hidungku. Dipikir-pikir dia memang suka sekali begitu, aku terpejam. Lalu kami mandi bersama sebelum pergi.

"Kalau kamu belum tahu, ini masih di sekitar pegunungan Alpen," kata Mile, yang sudah berani menggandengku lebih sering. Dia menunjukkan dua sisi kota Zermaft dengan pencahayaan yang berbeda. Sebab jam 7 malam bagian dalamnya sudah gelap, tapi luarnya ternyata belum. Aku juga diajak Mile untuk naik sky hintertux yang dia janjikan. Dan ternyata itu merupakan istilah dari kereta gantung di atas Gunung Matterhorn.

Kata Mile, itu adalah landasan kereta gantung tertinggi di dunia. Jadi aku bisa melihat tanah bersalju di bawah sana lebih leluasa. Lajunya memang lambat karena tujuannya untuk menikmati pemandangan. Dan Mile membiarkanku memonopoli kamera karena ingin menjepret segala hal yang kusuka. Mulai dari pohon-pohon beku, perumahan yang tertimpa salju, gundukan gunung es, lalu wajah Mile sendiri--

"Hei, sedang apa kamu ini. Ha ha ha ...."

"Diam di sana, Phi! Diam dulu! Saya ingin dapat gambar-gambar bagus!" kataku sambil menunjuk layaknya pelatih. Mile pun tersenyum  saat aku menjepretnya. Aku puas. Lalu menatap layar bergantian dengan Mile yang duduk di depan mataku.

"Tampan sekali, suamiku ...." batinku sambil membelai potretnya.

"Kenapa?" tanya Mile terheran-heran.

"Tidak."

"Hei, aneh sekali kamu ini. Kasih lihat--"

"Tidak. Saya masih ingin foto-foto lagi. Anda diam," kataku sambil menjauhkan kamera.

Mile pun mengalah dan meladeni keusilanku. Bahkan sepanjang jalan itu aku mendapatkan ratusan fotonya atas hasil tangaku sendiri.

"Ha ha ha ha ha! Ha ha ha ha ha! Tidak kenaaaaaaa!"

"Hei, Natta. HAPUS!"

"Tidak mau ....! Ha ha ha ha ha ha!"

Sebelum masuk resto, dia pun mengejar karena aku dapat satu aib-nya ketika meler. Itu membuat kami lupa betapa dinginnya suhu di luar sana, padahal napas kami sampai mengepul diantara salju-salju.

"ASTAGA, NATTA! HATI-HATI!"

.... ya walapun segalanya tak semulus bayanganmu. Faktanya aku tersandung ketika mencoba kabur. Tubuhku tercebur ke dalam retakan danau es. Kameraku terlempar ke tumpukan salju, lalu Mile berlari kencang demi menolongku yang tak bisa beberenang.