JUST A LABORER CONSTRUCTION 9

Hmmm ... senang tidak aku kembali?

Karena istriku pingsan semalam, untuk sementara biarkan kisah ini diteruskan olehku dulu: Mile Phakphum Romsaithong.

Aku memang menjadi suami lagi sejak kemarin lusa, padahal status itu sudah lenyap 4 tahun lalu. Rasanya menikah lagi sempat kuanggap mustahil, tapi Apo memberiku banyak petualangan. Dia berkali-kali ragu untuk menerimaku, padahal sejak awal sudah kuberitahu ini bukanlah candaan. Apo tahu aku pria seperti apa--aku kaya. Tapi aneh tidak sedetik pun kutemui dia ingin datang untuk memanfaatkan. Padahal Apo bisa kan ... mau-mau saja meskipun tanpa menyukaiku? Hanya saja Ibu benar soal social eksperiment itu. Usaha kami tak sia-sia, bahkan Ayah bilang kenapa Apo Nattawin baru ditemukan sekarang.

"Beri dia hadiah lebih banyak lagi, Nak. Tumpahkan saja dan lihat bagaimana reaksinya selama mendapat perhatian begitu banyak," kata Ibu, saat mengajak bicara serius di ruang tengah. Beliau menganjurkan aku bertingkah seperti pangeran. Aku ikut saja, tapi Apo ternyata tak lupa dirinya. Dia mati-matian kerja di toko barang demi mempertahankan harga diri. Katanya ingin melunasi hutangnya dengan rincian. Bahkan menabung dan tetap mau bertemu denganku setiap weekend. Lelaki ini pun menepati perkataannya. Dia mengulurkan amplop berisi uang kumal 2-3 kali, tapi aku tahu dia sedang menyiksa diri sendiri.

Dari situ aku yakin Apo bukanlah lelaki sembarang lelaki. Dia seperti berlian, sehingga kakiku tergerak pergi untuk memesan perhiasan untuknya.

"Yang ini di bawah 12 karat, Tuan Romsaithong. Sebelahnya lagi 20-29 karat," jelas penjaga toko berambut sebahu itu. Aku pun menatap berbagai jenis kalung indah yang ditunjukkan. Lalu kupilih si paling menawan untuk dibawa pulang. Benda itu memang kusiapkan sebelum Apo yakin kepadaku, tapi awas sampai tak jadi milikku pada akhirnya ....

Aku pun makin gencar menemui Apo dengan gemblengan yang keras. Kutempa dia dengan table manner, dan attitude bertemu orang kaya, padahal aku tahu dia tertekan selama melakukannya.

Biarkan, tak masalah.

Apo Nattawin memang kuincar 100% jadi pasanganku, dia harus kunikahi. Maka perlatihan ini kupastikan takkan sia-sia.

Benar saja pada bulan keempat. Dia bertanya sebelum menyerah padaku. Lalu bersedia datang sebagai pasanganku yang baru. Ya, walau lelaki ini sulit sekali kusentuh. Tapi berkomitmen pun sudah kemajuan besar. Karena itu sejak di altar kupuja dia sebagai pangeran bukan karena suruhan ibuku.

Apo Nattawin kunilai pantas menjadi panutan Gabby, dan kuharap dia bisa menularkan sisi berlian itu ke anak semata wayangku. Dia mungkin lelaki yang tidak paham dengan anak-anak, tak masalah. Sebab menjadi baik seperti sekarang pun mewakili makna role model yang sebenarnya.

Apo pun kupaksa paham posisinya sebagai istriku, kupeluk dia, walau tingkahnya selama mau tidur benar-benar ribut.

Apa dia tidak tahan AC?

Ah, tidak mungkin. Palingan hanya sedang gelisah.

Percaya atau tidak aku ini tipe yang mudah terbangun, namun selama Apo belingsatan aku pura-pura tidak tahu. Kucek ulang Apo baru tidur pukul 4. Kubelai wajahnya dengan jariku, dan kuakui dia begitu tampan.

Apo punya garis wajah dan rahang yang tegas. Alis cantik, mata cantik, hidung tinggi, dan bibirnya begitu ranum. Andai dia tahu aku menciummya malam itu, mungkin lelaki ini akan mendorongku seperti dulu. Baiklah, biar kurahasiakan saja sampai kapan pun. Toh aku suaminya yang kini berhak menyentuh.

Tapi menyiksa juga kalau Apo antipati terus begini. Bila ereksi di pagi hari, aku pun buru-buru turun ranjang untuk onani, sekalian mandi keramas biar bersih tanpa dirinya sadari. Daripada bingung di sebelah Apo kan? Istriku yang tidur kini menjadi salah satu pemandangan favoritku. Karena dia tipe sembarangan yang sering memperlihatkan otot di balik piama itu.

Tapi apa ini disebut cinta? Menurutku tidak. Karena setiap orang itu boleh memaknai cinta dengan versinya sendiri. Siapa pun tidak bisa mengadiliku hanya karena bersikap baik, terobsesi memiliki, dan ingin menafsui Apo di bawahku. Karena bagiku itu bisa dirasakan pada setiap orang yang dikagumi.

Toh Apo masih menutup diri. Aku rasa itu belum dinamakan cinta. Karena bagiku sejatinya kami tidak sejalan. Mungkin jika suatu hari Apo memiliki perasaan dan pemahaman sepertiku baru kuanggap cinta yang valid. Tapi aku tahu lelaki sebaik Apo pun harus diperlakukan dengan baik juga.

Aku ingin menunjukkan Apo tempat yang belum pernah dia kunjungi, hal-hal yang belum pernah dia tahu, walau harus kucicil satu per satu. Kurasa Apo pantas mendapatkan hal seperti ini. Dia manis ketika tertawa, tak peduli kumisnya tumbuh atau cukuran dan tampak bersih (ya, aku realistis saja karena istriku kali ini adalah lelaki).

Aku memandang sisi feminim Apo tetap sebagai pejantan--bukan wanita, dan aku ingin menyentuhnya jika dia mau saja (tapi tidak tahu juga kalau suatu hari nanti aku kelepasan).

Coba-coba berhadiah, sebetulnya aku sengaja mengambil tempat dingin sebagai tujuan untuk menjebaknya. Karena aku penasaran apakah dia tertarik kuajak melakukan seks perdana. Kuperhatikan Apo ini egois, tapi bisa perhatian. Karena itulah dia akhirnya gugup mendatangiku demi menyerahkan diri.

Awalnya, oke ... semua masih baik-baik saja. Apo lucu karena bereaksi layaknya perjaka. Bahkan liang rapatnya sempat berkedut karena kugodai ujung jari. Dia tampak senang dengan sentuhanku, lalu kutawari apa sudah mau ... ternyata dia menolak.

Kenapa? Pikirku.

Ekspresi Apo tampak tidak beres, walau bukan bermakna ketakutan. Dia sudah mau kusentuh bagaimana pun, lantas kenapa aku dilarang merasakan nikmat dirinya secara utuh? Aku pun berhenti mengorek hatinya secara paksa, tapi tetap penasaran dengan apa yang terjadi.

Apa cukup dengan ditunggu?

Hatiku agak lemah karena pagi ini Apo sedikit manja padaku.

"Phi?" tanyanya.

"Hm? Iya, Natta?"

Apo pun mengambil kompresan dari dahinya. "Aku demam?"

"Ya, sedikit. Untung tidak sampai parah."

"Karena tercebur yang waktu itu?"

Aku malah mengembalikan kainnya di dahi. "Jangan sepelekan, oke? Suhu di luar itu sangat dingin," kataku. "Sudah jatuhnya di malam hari, air danaunya terlalu beku, plus kau belum makan sejak kemarin ...."

Dia hanya mendengarkan omelanku. "...."

"Pantas sekarang menjadi panas, padahal besok kita harus ke bagian Alpen Timur."

Apo justru berbalik memunggungi. "Kalau begitu Saya benar-benar minta maaf," katanya. "Tapi bisa berdebatnya besok saja, Phi? Kepala Saya sekarang terlalu pusing ...."

Aku pun mendekapnya dari belakang. "Oke." Kukecup lehernya yang terasa hangat. "Phi cuma khawatir kamu kenapa-napa."

Apo pun tak menolak ketika ku-pukpuk pahanya (kadang juga bokongnya), meski aku tahu dia bukan bayi. Istriku tidak protes meski bergeliat risih. Ekspresinya kesal. Lalu meringkuk seperti bola agar tubuhnya tak disentuh lagi. "Mhhh ...." keluhnya dikarenakan culture shock. Bisa kubayangkan Apo tak pernah mengira akan dinafsui, tapi akan kutekan dia untuk mengerti agar menjadi berlianku sampai kapan pun.

"Natta, makan dulu ya?" tawarku dengan berbisik padanya. "Kamu bisa dikatakan puasa 2 hari kalau tidur sampai sore."

"Tidak dulu, Phi."

"Natta ...."

Apo Nattawin pun menoleh karena nada panggilanku beda. "Oke ...." Dia mungkin takut jika aku sudah tegas, sampai sampai matanya terluka dan ingin mengamuk seperti monster. Dia mungkin ingin mandiri seperti kuli-kuli pada umumnya. Hampir turun ranjang, tapi kumarahi dia agar tetap duduk saja. Apo juga sempat membentak "APA SIH PHI? SAYA INI BISA SENDIRI!" karena sendok dan piringnya tidak kuberikan. Lalu dia membuka mulut untuk kusuapi agar merasakan lebih banyak dominasi.

"Mmmh ... enak," keluh Apo dengan mata yang berair. Mulutnya mengunyah, tapi sambil menahan emosi. Bahkan kulihat tangan istriku mengepal di sisi badannya demi kontrol diri.

"Kamu mau pukul aku, Natta?" tanyaku.

"Hm, ingin sekali."

Apo pun membuang muka sambil mengucek mata kirinya.

"Kepikiran sampai bunuh aku?"

"Saya masih sayang sama Ibu-Bapak," katanya, lalu membuka mulut untuk menerima suapanku kesekian kali.

Sebetulnya aku kasihan karena tidak memberikan ruang. Tapi Apo ini tipe yang aslinya sulit diatur. Takkan kubiarkan dia menguasai hubungan 100%, atau aku akan dinomor-duakan. Sebagai gantinya aku janji ke diri sendiri jika dia patuh pasti kunomor-satukan. "Sudah kenyang?"

"Sudah, cukup. Malahan Phi yang menyuruh Saya terus sejak tadi," katanya, dan itu membuatku tertawa. Aku lalu mengembalikan piring dan gelas susu yang sudah kosong (padahal tadi Apo sempat menolak) tapi akhirnya habis juga karena Apo kuwajibkan makan sehat.

Tidak ada alasan kurang uang lagi, ya Natta! Sekarang makan banyak daging, sayur, buah, dan susu sapinya! Kataku.

Kusadari Apo tipikal yang patuh selama konteksnya logis. Atau dia betul-betul tidak tahu dan demi kebaikan diri sendiri.

Ibu dan Bapak pasti mendidiknya dengan cara benar, walau aku sendiri tidak tahu bagaimana detail prosesnya.

"Hmm, suhumu sudah mendingan ternyata ...." kataku pada sore hari. Kucek dia dengan termometer baru. Apo diam, padahal aku ingin sekali dengar seperti apa pendapatnya. "Cepat juga ya pulihnya? Aku senang daya tahan tubuhmu ternyata begitu baik."

"Saya biasanya cuma tidur kalau sakit," kata Apo sambil ganti piama di atas ranjang. Dia memang kusuruh, biar keringat sebelumnya tak menempel lama, tapi uring-uringan juga begitu kupeluk erat. "Phii ... tolonglah. Bisa jangan sentuh Saya dulu ...." pintanya sambil memegang tanganku kala putingnya kuraba. Apo pun merintih karena bagian itu kugesek lembut--dia langsung berdebar. Namun aku sendiri tersulut bahagia mendengarkan suaranya. "Akh ...."

Lelaki ini menggeliat tidak nyaman dalam rengkuhanku, dia berontak. Hanya saja langsung diam oleh kecupanku yang berkali-kali.

"Ugh--Phi--!"

"Sssh, diam dulu," kataku. "Kamu mungkin takkan menyukai ucapanku, tapi bisa tidak dengar sebentar?"

"Apa?"

Apo pun menatapku jengkel karena piamanya naik ke dada.

"Suamimu ini direktur operasional, paham? Jadi setelah kita bulan madu, aku pasti mulai jarang pulang," kataku "Mungkin kita pun hanya bertemu saat pagi atau malam saja."

Apo pun mulai menyimak. "...."

"Kamu akan lebih sering main sama Gabby. Didik dia, tapi bisa kan fokus kepadaku ketika kita berdua?"

Mulai mengerti, Apo pun bertahan saat puting kecilnya kuremas-remas. "Akhh, mmh ...." lenguhnya dengan mata berair menggairahkan. "Iya, Phi--" Dia kubuat mengangguk untuk melayaniku selagi ada kesempatan, selain itu terserah mau mengajak Gabby main kemana saja. Aku yakin lelaki ini takkan membawa anakku aneh-aneh. Karena dia sendiri pun baru belajar menikmati fasilitas di luar. Kusuruh dia potong rambut, perawatan, belanja, jalan-jalan, makan di resto, nge-gym, karaoke, atau apa pun itu, asal Gabby diajak selalu. Lalu kuberitahu kapan biasanya orang rumah beristirahat. Baik siang atau malam. Plus jangan sampai tidak perhatian pada momen-momen keluarga. Mulai tanggal ulang tahun, waktu anniversary, perayaan hari besar keagamaan dan lain-lain ... karena semua itu termasuk prioritas dalam keluarga Romsaithong.

"Jadi, Saya harus menghapalnya ... hh ... iya kan Phi?" tanya Apo yang kini berpasrah pada sentuhanku. Aku pun menindih dia, kutatap lurus. Demi apapun mata istriku indah sekali.

"Ya. Jika perlu tandai pada kalender ponselmu," jawabku. "Lima hari sebelum acara, hm? Kamu kan butuh waktu untuk persiapkan hadiah."

"Mmhh, iya ...."

Ketegangan membuat Apo meremas bahuku. Namun lama kelamaan mampu menikmati tarian lidahku pada putingnya. Tempat itu mulai memerah karena kuhisap kuat--jadi sangat imut. Dan dadanya membusung karena caraku menyedot terlalu kelaparan. Mungkin Apo berpikir apa gunanya ganti piama jika berakhir kujamah lagi. Tapi aku memang senang melihat kalung berlian di lehernya kesana kemari. Baik saat piama itu menempel, atau sudah kulepas kancingnya. Dan kuakui pemandangan rusuk Apo menghentak adalah keindahan tersendiri selama dia menyebut namaku.

"Akh!! Phi Mile--hhh ... Phi ...."

Aku berubah tamak sejak dia mendesah. Itu seksi. Maka jangan salahkan jika aku ingin mendengar sensasinya berulang kali.

Beres dengan badan depan, kuserang leher jenjang Apo yang masih dihiasi bekas gigitan. Aku pun makin bergairah karena dia memeluk bahuku erat. Sebab itu membuatku merasa betul-betul dia butuhkan.

Sensasinya seolah istriku ingin bergantung setiap detik. Padahal dalam keseharian kenyataannya Apo sulit kutangani.

Selama kucium, Apo juga mencakar punggungku. Bekasnya bertambah lagi. Kemudian kubalas dia dengan stimulasi pada liangnya.

"Armmhh, hhmmh ....!"

"Aku tidak akan memasukkannya, Sayang. Aku janji jadi tenang saja," kataku sebelum dia salah paham lagi (tapi jika Apo mau, tentu aku takkan mundur).

Merasa yakin, Apo pun melepas jambakan pada celananya. Dia kupeloroti, dan matanya menatap nanar dua jariku yang masuk ke dalam mulut. Bola matanya bergerak pada saliva yang kuambil, tapi dia tidak berkomentar merasakan jalur liangnya kulumuri hingga basah sekali. Setidaknya dengan begini Apo akan menerima secara bertahap. Malahan bagus jika dia berpikir memenuhi kebutuhan biologis suami sendiri itu bukanlah kriminalitas.

"Phi, geli ...." keluh Apo karena aku tak mau berpindah tempat. Istriku sampai meneteskan air mata karena kesulitan mengatur hasrat. Apalagi tangannya kusingkirkan sebelum mengocok penisnya sendiri. Mungkin Apo ingin melampiaskan nafsu ingin bercinta, tetapi kularang. Sebab aku mau Apo fokus saja pada sentuhan yang kuberikan. "Geli--hiks ... geli, Phi--mmhh ... tolong jangan men--hh ... nya di sana teru--"

Suaranya terpotong oleh lumatanku pada bibirnya.

Pintar ....

Jika boleh jujur aku kecanduan bagian itu sejak mencoba pertama kali. Tapi sial reaksi Apo justru trauma berbulan-bulan. Padahal teknik ciumanku sering membuat orang tergila-gila. Namun Apo ternyata lebih tangguh dari yang aku pikirkan. Aku pun yakin dia lelah meladeni sisi dominanku sampai inginnya menyerah. Tapi sebagai "Mile Phakphum" aku juga percaya bisa dapatkan hatinya suatu hari.

"Phi Mile--"

Kami pun berebut kendali ketika Apo bertingkah. Tapi gerakanku lebih gesit saat meremas tangannya di sisi kepala.

"Jika kamu lupa, Natta. Bisa jawab dulu pertanyaanku kemarin malam?" tanyaku sambil menggesekkan lutut pada liangnya. "Sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Phi lihat kamu tidak masalah dengan semua ini."

Apo pun merona, pertanda aku mulai bisa membaca hatinya. "...."

"Hm?"

"...."

"Phi ini tidak memaksamu mau seks-nya lho. No need to equate two different issues," tegasku. "Aku cuma ingin kamu jujur kenapa sebegitunya. Biar diselesaikan dulu masalahnya. Apa aku ini monster buat kamu? Aku takkan kasar kalau kamu takutnya langsung kenapa-kenapa."

Apo justru gelisah kupojokkan sejauh ini. "Sakit ...." katanya. Malah mengeluhkan ereksi tanpa rangsangan.

Penis Apo memang kubiarkan keras sejak tubuhnya mulai kucumbu. Dia tersiksa. Tapi aku benar-benar butuh jawaban tadi darinya.

"Sakit, Phi ... sakit ...." kata Apo sambil memejamkan mata.

Aku justru menguatkan remasanku pada lengannya. Dia melawan, dan dalam sedetik otot-otot bisepnya langsung mencuat kencang. Amarah membuat Apo menggeram ribut. Kakinya menendang udara. Tapi usai kutampar bokongnya, istriku pun langsung meneteskan air mata.

"Hiks ...."

Suara isakannya memang hanya terdengar sekali (dia pasti menahannya), namun air mata Apo tetap keluar tak berjeda setelah itu.

Oh shit!

Aku tak menyangka Apo Nattawin yang keras pun bisa menangis sesak. Bahkan hidung dan bibirnya memerah dalam hitungan detik. Dia tadi pasti sudah di ambang batasnya, kupeluk dia. Lalu Apo juga balas memelukku erat. "Saya benci siapa pun kerabat Phi yang bernama Aro ... hiks--" adu istriku pada akhirnya. Isakan itu pun terbebas begitu satu nama lepas. Barulah aku menghirup lehernya yang beraroma khas croissant.

"Hmmmh, Natta Sayang ....."

Aro? Pikirku sembari menenangkannya. Memang kenapa dengan sepupu tunggal Ayah itu? Segala cara kubuat Apo mengaku bagaimana ceritanya. Karena itu dia pun mengatakan banyak hal secara sentimen hingga berakhir menjambak robek bajuku--krakh!

"Phi ....!" Aku pun paham Apo ingin penisnya diurus. Sebab pemaksaanku tadi membuatnya kebas dan ngilu di bawah sana. "Ahhh! Mmnghh ... AH!" desahnya karena aku turun mengulum penisnya. Apo pun berteriak kencang. Bahkan rontaan itu memenuhi ruangan. Kakinya nyaris mencekik leherku akibat refleks membelit ke sana. Dia kesakitan, tapi akhirnya lega juga karena kupuaskan.

Kulihat-lihat klimaks istriku jadi panjang karena emosional. Bahkan dia tak peduli lagi andai aku menerobos peraturannya. Seratus persen Apo melepaskan penjagaan karena lanjut menangis (dia jadi mirip kucing tantrum). Tapi sudah cukup aku menghancurkan mentalnya hari ini. Aku tak mau kepercayaan istriku hilang karena melampaui batas. Toh tujuan utamaku sudah tercapai.

Apo harus tetap memihakku, walau nanti minta maaf kepadanya dulu. Dan murasa tangis lelaki itu berhenti karena aku onani di depan matanya. Mungkin Apo lega karena aku teguh pendirian. Karana itu dia pun membuka hatinya perlahan-lahan. "P-Phi ....?" tanyanya.

"Ssshh ... jangan berisik," tegurku. "Memang gara-gara siapa aku begini ...." Apo pun diam menatap ketegangan penisku. Lalu dia menonton sejak aku mulai mengurutnya. Dia pun sulit berkedip sambil mengatur napas yang pendek. Bahkan istriku masih fokus hingga aku muncrat pada belahan bokongnya. Splart!

Mungkin Apo berpikir aku sama tersiksanya jika tak mendapatkannya. Padahal jelas-jelas kakinya kini mengangkang lebar di depan mataku.

"Sssh ... Natta ... ahhhh!" desisku sambil memejamkan mata.

Apo pun mencemaskan perubahan ekspresiku. Dia tampak tak siap, namun tiba-tiba mencicit sambil meremas seprai dengan cakaran. "Phi Mile apa tak masalah dihina Aro begitu?" tanyanya.

"Huh, apa?" kataku, yang belum sadar dari euforia.

"Maksud Saya, kalau pacaran mungkin orang tak masalah. Tapi menikah--mn, Saya rasa kerabat Anda banyak yang tak suka dengan--"

"So stupid, I'm done ...." kataku lalu menindihnya ulang. "Aku ini menikah denganmu, Natta. Ibu-Ayah setuju. Selesai. Kenapa harus pusing-pusing memikirkan perkataan orang lain?"

Apo pun tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya terus menenangkan diri. Seolah ingin lupa, padahal aku menunggu dia bicara.

"Natta?"

"Umm ...."

Tiba-tiba saja dia membenamkan wajah ke bantal. Dan telinganya memerah disebabkan hal yang gamang kutafsiri. Jemari Apo bahkan menggeliat penuh erotika. Menghipnotis nafsuku. Seolah-olah lelaki ini ingin aku datang dengan sendirinya. Hei, kenapa? Pikirku kala Apo membiarkan liang basahnya kubelai. Hati-hati kutekan cincin ototnya yang rapat. Dia melenguh, dan putingnya jadi keras lagi ketika kusentuh. "Akhhh--nghh ...." cicitnya sembari menggigit bibir. Meski ragu aku pun mencoba menekan ujung penisku ke dalamnya--dia tak melawan. Bahkan mulai menggigit punggung tangan dengan keringat menetes. "Ugh ...." lenguhnya, lagi-lagi memancing desir nikmat di dalam dadaku. Secara impulsif darahku pun mendidih seperti kawah. Dia pasti ingin seks, tapi kupastikan reaksinya dulu.

"Natta sudah mau?" tanyaku lembut.

"...."

Jawabannya hanya berupa kelopak mata yang terbuka redup.

"Natta ....?"

Sambil menjilat bibir, aku pun mulai melakukan penjarian. Dan diamnya istriku kali ini kuanggap persetujuan. Sulit bisa lupakan bagaimana mata sembabnya berkilau karena sisa air mata. Atau ketika Apo menguatkan diri saat kudesaki ujung jari manis dan tengahku. Oh, sempat lupa. Cincin pernikahan kami pun kulepas agar dia tak terluka, tapi bulu kuduknya tetap berdiri karena pipi hangatnya kucium. Mulai dari kening, hidung, hingga bibir bengkak itu pun merasakan kecupanku. Barulah dia menoleh karena dagunya kutarik pelan.

"Umnhh ...."

Perut ramping Apo pun mengejan karena dorongan penisku. Dan ternyata dia mau berhadapan saat liangnya kudesak masuk. Sedikit demi sedikit kegugupannya jelas karena helaan napas yang putus. Dan istriku berkedip memesona meski keningnya mengerut sakit.

"Phi, pelan-pelan--" pintanya membuatku terkesiap..

Apo pun menahan pinggulku sebelum memompa. Lalu kuremas tangannya penuh perasaan, walau rasanya tercekik di dalam sana. "Iya."

Plakh!

"AHHHHH!" desah Apo seketika. Tak kusangka dia klimaks pada tumbukan pertama. Tampaknya nikmat. Jadilah aku menunggu istriku tuntas dulu dengan penis yang melemas. Kurasakan ujung batangku memenuhi tempat itu meski tak bergerak. Dia pun berdarah, tapi anehnya tidak mengeluh sakit sekali pun. Semua itu hanya dia ekspresikan dengan cakaran yang tajam. Dia menjambakku. Lalu kupindah tangannya pada bahu saja. Plakh! Plakh! Plakh! Plakh! Plakh!

"HNGHHHH--Phi Mile--!"

"Pegangan, kemari," kataku sambil mengecup jemarinya.

Tubuh Apo pun berguncang di bawah tubuhku. Selangkangannya gemetar. Bahkan otot liang itu mengisapku lebih kencang daripada mulutku pada putingnya.

"Ahhhh--tolong tunggu--p-pelan sedikit--!" kata Apo yang mulai berkaca-kaca. Pinggang rampingnya pun meliuk dalam pelukanku. Dia merintih samar. Lalu kusibak poni rambutnya yang berantakan. "AHHH! Sakit--! Phi---hhh ... hh ....!" jeritnya karena aku mulai lupa diri.

Demi Tuhan aku mendadak benci sudah sabar sejak awal. Sebab jika kutahu Apo senikmat ini, mungkin dia sudah kuperkosa waktu kami bertemu pertama kali.

"Natta ...."

Dia hanya mencoba bertahan dalam kuasaku.

"Apo Nattawin istriku ...."

Apo pun menutup matanya dengan lengan karena lama-lama tidak sanggup. Kakinya mengunci pinggangku disebabkan tumbukan terlampau kencang. Dan dia terus memanggil namaku, meski sangat kewalahan. "Phi--hh ... hh ... Phi Mile ...."

Percuma.

Mau kudorong sampai bagian terdalam pun penisku masih tertinggal dua hingga tiga senti. Apo pun meremas perutnya. Sebab bagian itu menonjol hingga dia merasakan mual.

"Umffff--!"

Aku pun mengganjal kepala Apo dengan lengan sebelum dia muntah. Istriku pasti syok, karena itu kupertahankan posisi ini sementara dirinya menutup mulut.

"Bertahan, sedikit lagi ...." bisikku sambil mengecup keningnya.

Apo pun mengangguk pelan. Namun tanpa kusadari bibirku menyeringai melihatnya ereksi lagi. Benda itu pun menusuk-nusuk perutku untuk minta perhatian. Kukocok cepat. Lalu si empunya menggelinjang di atas seprai yang kusut. "Ini nikmat--Phi ...." katanya sambil memelukku. "S-Saya mau keluar lagi ...." Suaranya kedengaran malu. Aku pun tertawa kecil karena tak tahan betapa menggemaskannya dia. Kubelai rambutnya. Lalu kubenamkan hidungku pada ubunnya.

"Sabar, tunggu aku."

"Umnn."

Pelukan Apo pun semakin erat, dia mengunciku. Seolah-olah guncanganku bisa melumatnya kapan saja. Lama-lama Apo pun menyembunyikan wajah ke bahu kiriku. Tak mendesah lagi, tapi napasnya tersengal hingga jeritan terakhir ketika kami berdua klimaks bersama.

"AHHHHH!!"

"Hhrrhhgmmh."

Geramku selagi menumpahkan hasil hasratku dalam dirinya. Apo pun menahan sensasinya hingga aku selesai. Katanya hangat, sampai-sampai tak berani menjawab apa masih mau lagi.

"Phi Mile--!" kata Apo karena tubuhnya kubalik mendadak. Dia pun kaget karena kubuat berlutut. Pahanya gemetar nikmat. Tapi setan dalam diriku tak mengizinkan tangannya menempel ke dinding kamar. Lengan-lengan istriku justru kutarik mundur sekali. Kupenuhi lagi. Dan dari belakang bisa kulihat sepasang telinga itu memerah pekat. "Akhh--!" desahnya hingga mendongak ke langit-langit.

Suatu hiburan melihat bokong istriku berguncang dengan air mani putih lengket. Kupuaskan dia berkali-kali. Puncaknya Apo tak bisa berlutut lagi.

"AHHHH!"

Istriku pun ambruk kebelakang hingga duduk ke pangkuan. Penisku masih di dalam. Lalu kudekap tubuhnya seerat mungkin agar merasa sangat disayangi.

"How was that's? Enak?" tanyaku sambil menarik dagunya agar menoleh. "Sudah kukatakan ini akan baik-baik saja ...."

Apo pun balas menatap, sayang dia hanya kuat sedetik karena tak kuat dadanya kujajah lagi dengan pijatanku.

"Jujur aku masih ingin melanjutkannya jika kamu masih bisa ...."

Apo pun merinding karena lehernya kuendus intens. "Jangan ...." Dia seperti merengek minta dilepaskan.

"Jangan ... berhenti?" godaku.

Apo tentu berupaya pergi, tapi kupeluk pinggangnya agar tetap di sisiku. "Phi Mile ...."

Senyum tipisku pun akhirnya keluar perlahan. "Apa, Sayang ....?"

Apo terlihat sangat gelisah.

"Saya ini--"

.... tapi apapun yang Apo katakan, dalam sedetik senyum itu berubah jadi seringaian.