Sebelas hari kemudian, sebetulnya aku boleh pulang dari rumah sakit. Namun, karena dinas Mile masih dua hari lagi, suamiku bilang istirahat saja hingga dia sendiri menjemput. Aku pun mulai jalan-jalan keliling RS sambil memegangi tiang infus. Merasakan badanku kaku karena kebanyakan baring dan bobotku turun banyak akibat jarang makan. Lewat kaca RS bisa kulihat potretku yang kurus, makin kumal, dan luka-lukaku menjadi kering. Parahnya terasa gatal karena memang menuju sembuh. Kadang gemas sekali ingin menggaruknya, aku kesal. Apalagi jika ada kulit mengelupas yang bernanah. Padahal harusnya aku senang karena perban di tubuh berkurang, tapi melihat kulit luarku rusak separah ini ... entah bagaimana pendapat Mile nantinya.
Apa Mile tidak masalah?
Saat video call saja aku sudah ketar-ketir.
Sebab pipiku sempat bengkak dan tampak asimetris di layar.
Kini di toilet RS bisa kulihat rahangku sedikit aneh. Ada luka sobeknya, dan memarnya masih walau plesternya dibuka. Gambaran orang kerasukan iblis dalam film horor pun lebih parah aku. Mataku berkaca-kaca. Bahkan air mata mendadak turun saat aku harusnya fokus kencing saja.
"Hei, Bung. Kau kenapa?" tanya pria di sebelahku.
"Ah, aku tidak apa-apa."
Betapa memalukannya diriku ini ....
Aku pun mengusap pipi dengan punggung tangan. Kumasukkan penis kembali dalam celana. Lalu membasuh wajah di wastafel, meski keperihan jari. Aku juga belum mandi sejak hari penculikan. Entah bauku seperti apa. Untung dibantu suster mengusap badanku setiap hari.
[Phi Mile: Sayang, ternyata aku bisa pulang awal. Senang tidak? Ini otw dari bandara]
Rautku pun buram membaca pesan tersebut. Aku syok hingga terbisu. Dan ini adalah pertama kalinya aku tak ingin bertemu Mile. Persetan dengan rindu atau tidak, aku benar-benar tidak percaya diri. Bahkan ponsel baru dari Mile sampai merosot dari tanganku.
"Eh! Eh! Eh!"
Untung tak sampai terjatuh, semua aman. Toh aku duduk di tepi ranjang RS yang empuk. Namun, panik menyelamatkan ponsel membuatku kaget. Dan jariku tak sengaja memencet layar hingga beberapa emotikon terkirim.
[Natta: 🥺🥺🥺🤧🥺🥺🥺🥺😭😭😭]
"HAH?! Bangsat ...." desisku dengan pipi memerah.
Jeleknya Mile langsung membaca pesanku. Dia lama tak membalas. Mungkin sama kagetnya karena aku belum pernah begitu.
"Sial!"
Aku pun mematikan ponsel saat panggilannya masuk. Aku tak siap. Malahan berdebar gila seorang diri.
"Mama, are u ok?" tanya Gabby yang digendong Peter. Tiba-tiba anakku sudah kembali dari tempat bermain RS. Dia membawa es krim, dan pipiku makin memerah seolah ketahuan mencuri.
"Ok kok ... ok. Aku baik-baik saja ...." kataku. Lalu meminta Peter membelikan baju ganti di toko terdekat. Aku juga bertanya suster apa sudah boleh mandi, untung diiyakan. Sayang Mile sampai lebih cepat dari dugaanku. Dia khawatir dan mempersingkat perjalanan. Langsung memburuku, padahal hati memaki-maki kenapa tak menunggu penampilanku lebih rapi.
"Sayang, Natta!"
Mile membuka pintu kenop agak tergesa-gesa. Dia tersengal. Lalu memandangku dari ambang pintu.
"...."
"Oh, kukira kamu kenapa. Syukurlah ...." katanya, lalu meletakkan oleh-oleh ke sofa. Aku pun menatapnya campur aduk. Dia mendekat, tapi langsung kutampik karena ingin memeluk.
"Jangan dulu, minggir," kataku sambil memelototinya.
"Hei, kenapa?"
"Pokoknya jangan lakukan itu. Sakit tahu. Anda duduk, Saya ini mau mandi."
Gabby dan Mile pun memandangku sama bingungnya. Mereka diam. Kemudian aku menyeret kaki ke kamar mandi, meski Mile sempat mengejar.
"Sayang, yakin bisa sendiri? Kubantu ya? Kamu ini sebenarnya kenapa?"
Aku mendorongnya sebelum tenggelam di balik pintu. "DI LUAR SAJA!" bentakku. Sehingga Mile menurut karena aku sedang begitu sensitif.
Apa kau tak mencium bau keringatku yang setebal dosa?! Brengsek. Aku saja tidak tahan dengan diriku sendiri ....
Usai mandi, Mile ternyata membongkar oleh-olehnya bersama Gabby. Mereka duduk di sofa panjang, dan Gabby senang dapat robot keren baru yang bisa diremot. Kedua mata Mile pun memandangku, aku tak mau membalas ... atau lebih tepatnya belum sanggup karena kondisi fisikku parah sekali.
"Hai ...." sapaku, meski dengan bola mata bergerak gelisah.
"Hai juga. Sudah siap?"
Aku mendekat pada akhirnya. "Sudah, tapi barang-barang Saya belum diberesi."
"...."
"Sebentar ...."
Aku pun memasukkan ponsel, charger, buku-buku dongeng Gabby, dan tumpukan baju kotor ke dalam selempang khusus. Mile hanya memperhatikan karena aku masih murung (atau lebih tepatnya salah tingkah) dan memilih mengemong Gabby dengan mata yang tidak melepaskanku.
"Natta, kamu ini sebenarnya kenapa?"
Akhirnya, sampai rumah aku pun ditanya lagi. Dia super penasaran, sampai-sampai kemana pun melangkah aku selalu diikuti sampai mau bicara.
"Phi Mile--"
"Bisa bicara sebentar?"
Pakh!
"Sakit, Keparat!!" bentakku saat dia menarik tanganku. Mile pun refleks melepaskan karena jariku mengoreng. Aku belum sembuh. Lalu dia mengangkat tangan seperti tersangka.
"Fine, fine. Tenang ... maaf aku tadi lupa total ....."" katanya, lalu mendekat perlahan untuk memeluk. ".... tapi apa kamu tidak kangen sama sekali, Natta? Hm? Phi kerja cepat biar bisa ketemu ...."
Aku pun mundur dan protes, tapi akhirnya didekap Mile juga. Dia mengesun pipiku. Aku risih. Bukan karena tak suka, tapi sendi badanku kaku semua--plis lah. Ya ampun ....
Kalau ditanya kangen atau tidak tentu aku juga sama.
"Phi ...."
"Hmm ....?"
"Apa Anda tidak melihatku?" tanyaku. Lalu mengomel habis-habisan. "AKU INI SAKIT! Badanku luka semua! PHI BISA TIDAK JANGAN DEKAT-DEKAT?! Anda tidak tahu Saya pakai baju saja perih! Saya sempat demam, Phi Mile! SAYA CAPEK JADI JANGAN DIGANGGU DULU!"
"Sebentar ...."
"JANGAN DIBUKA-BUKA! ARGH!"
Aku pun main jambak-jambakan baju dengan suamiku. Dia inginnya melihat badanku, aku menariknya. Sampai-sampai aku terjebak ke dinding karena Mile kukuh melepaskan ketegangan lenganku. Dia pun menariknya perlahan sambil berbisik, "Sshhh, ssh ... biar Phi cek dulu separah apa."
Merasa tak punya opsi selain jujur, aku pun mengalah meski dengan tatapan berkaca-kaca. Kulepaskan kepalanku seiring dia menarik kancing bajuku satu per satu. Lalu kemejaku diturunkan sampai bahu dan lengan kurusku. Cara suamiku menatap seperti memindai. Dari atas ke bawah. Bawah ke atas lagi. Lalu dia mengelus keningku yang mengemu darah.
"Phi, bilang ...." pintaku dengan perasaan was-was. "Saya pasti kelihatan jelek sekali ...."
Dia langsung paham apa masalahnya.
"Hmm ... istriku ternyata bisa insecure juga?" kata Mile, seolah itu bukan masalah besar. "Kan memang belum sembuh, Sayang. Sebentar aku coba Google dulu. Pasti ada cara membuat lukanya cepat lebih baik."
Aku benar-benar tidak paham apa yang Mile lakukan. Suamiku nyata-nyata mengeluarkan ponsel di depanku. Dia surving sebentar untuk membaca artikel bergambar keropeng luka. Lalu tersenyum kecil. "Lihat? Kamu bisa pakai pengobatan ini."
"Huh?"
Aku menatap layar ponsel yang disodorkan di depan mukaku.
"Kolagen."
"...."
"Itu akan bikin kulitmu makin bagus saat proses penyembuhan. Jadi biar jaringannya tak mengerut atau menebal asal-asalan," jelas Mile. "Kemari. Duduk dulu. Kita baca-baca lebih jauh." Dia pun menunjukkan artikel lain. Barulah Mile mencatat daftar perawatanku.
Jujur, aku benar-benar malu sekali, padahal ini hal yang paling kuhindari sejak dulu. Terbukti aku tak peduli, meski Mile sudah menyuruh sejak kami menikah--ingat kan? Diantara opsi gym, belanja, main, dan lain sebagainya--hanya saran memperindah diri lah yang kutinggal total.
Aku tidak pernah masuk salon, apalagi dapat rekomendasi dokter kulit dan kecantikan. Sebab aku sangsi dan menurutku lelaki ya harus "jantan".
Aku tidak pernah malu dengan kulitku yang gelap. Toh makin kencang ototku semakin percaya diri. Saat bercermin aku seolah merasakan kebanggaan. Hanya saja--ck ... daripada begini aku memang memilih sembuh. Aku tak sanggup kalau luka-lukaku membekas, maka akhirnya aku mengangguk mau saat Mile mengulurkan kertasnya.
"Simpan dulu, besok kutemani ke klinik RS bagian kecantikan."
Aku pun memandangi tulisan-tulisan Mile. "Bukannya ke kulit dulu ya?"
Sumpah, Demi Tuhan ... ini pembahasan macam apa diantara kami?
"Mm, hm. Maksudku dua-duanya sekalian."
Aku pun memandang Mile, lalu segera mengancingi ulang bajuku. "Oke." Dia pasti peka aku malu berat. Karena usai bicara langsung pamit masuk ke kamar mandi. "Permisi, Phi. Saya mau BAB dulu," kataku. Padahal setelah di dalam tidak melakukan apapun. Aku hanya berdiri di depan cermin dan melepas baju. Lalu kuraba sendiri leherku yang memiliki bekas cekikan. Di sana merahnya sudah menghilang. Tinggal garis lipat. Hanya saja aku malah tak siap sembuh.
Bagaimana pun artikel tadi mengatakan kolagen punya manfaat yang lain. Yakni selain memperbagus jaringan kulit juga akan mencerahkannya--tunggu-tunggu ... bagaimana rupa-ku nanti kalau sudah tidak gelap?
Bulu kudukku merinding saat membayangkan tampilanku berubah feminin. Aku geli sendiri. Apalagi setelah pulang dari klinik, dokter kulit dan kecantikan kompak memberikan obat aneh-aneh. Ada yang berfungsi memperhalus keropeng luka. Mendinginkan bekas ruam kelupasan. Bahkan ada yang membuat nanahku mengering sehari. Obat-obat itu membuatku lebih sibuk sehabis mandi. Karena setelah memakai celana dalam, aku tak boleh langsung berpakaian.
Aku punya rutinitas baru duduk di ranjang untuk mengoleskan obat. Jadi luka-lukaku dapat perhatian semua.
"Ha ha ... makin sembuh kan? Bagus ...."
Mile hobi memandangku tiap akan pergi kerja, dan sesekali mata kami bertemu di pantulan saat dia bersiap di depan cermin. Jika sudah begitu aku pun membuang muka. Lalu pura-pura memberesi obat yang berserakan di atas ranjang.
"Iya, Phi."
"Kalau begitu jangan sedih lagi ...." katanya. "Setelah lukanya hilang kan step selanjutnya bisa dipakai."
"Mnm."
Dia juga tak pernah menyentuhku lagi, kecuali mencium. Itu pun pada momen tertentu seperti sekarang. Mile paham dia harus pergi setelah siap ke kantor. Namun aku tetap di kamar dan menunggu obat kering sambil sarapan setangkup roti (aku memang tidak pernah ikut jadwal pagi sejak saat itu. Baik sarapan atau mengantar Gabby) semua sudah ditangani oleh orang lain.
Akhirnya dalam 5 hari lukaku mengelupas semua, bahkan yang bernanah sekali pun bisa dibubuhi lotion khusus--DEMI TUHAN JENISNYA BANYAK SEKALI!! Meskipun begitu aku tetap membuka medium bag dari dokter kecantikan. Isinya perintilan produk lengkap cara memakainya, tapi aromanya tetap obat bukan seperti handbody wanita. Merk-nya saja tak pernah kulihat di pasaran, serius. Aku jadi yakin ini memang produk mahal (Mile yang membayarnya waktu itu) karena usai check-up kulit aku tak sanggup muncul di depan dokternya lagi.
Aku justru melipir langsung ke mobil. Sementara Mile menyusul ke parkiran setelah menyelesaikan transaksi.
"Kenapa? Ha ha ha ... kok malu? Ini kan RS keluargaku sendiri," katanya.
Saat menerima, aku justru pura-pura tidak dengar. "Um, bisa jangan dibahas, Phi? Saya benar-benar heran kenapa begini."
"Ha ha ha ha, dasar ...."
Mile tetap melaju tenang dengan mobilnya. Aku memangku tas produk itu, tapi sampai rumah hanya memandang keluar jendela. Pasalnya pelayan ikut disuruh Mile mengontrol jadwal minum kolagenku. Aku diawasi 4 kali sehari. Bahkan saat ganti produk lagi malah 5 kali sehari--what the fuck!! (Oh, iya ... jangan heran aku mulai bisa Bahasa Inggris karena guru lesku makin keras akhir-akhir ini). Apalagi beliau tua, jadi mendapat respekku. Aku pun diajari detail kecil american english terutama bagian speech dan listening session, tapi hasilnya tidak buruk sama sekali.
"Waaaaawwwww! Mama makin cantik ya Daddy ...." kata Gabby pada suatu pagi. Bola mata anakku berbinar sampai berhenti mengunyah sarapan. Dia --ternyata-- sadar perubahanku, padahal program rawat-merawat ini baru berjalan dua bulan.
"Ha ha ha ... memang cantik. Daddy sudah tahu sejak awal melihat fotonya."
"Ehhh?"
Mile pun menyeringai padaku sambil menepuki ubun Gabby. "Bukan apa-apa, Sayang. Ayo makan saja. Nanti kamu terlambat sekolah."
"Uh, uh. Owkayyy!"
Ngomong-ngomong soal jam ranjang kami, Mile dan aku tetap bercinta tapi memang baru setelah lukaku kering. Ini karena aku sering diraba setiap malam. Suamiku birahi. Bahkan aku ditelanjangi pas tidur--tahu-tahu saat bangun penisnya sudah menerobos analku dalam posisi miring.
Tentu dengan kondom licin yang dipersiapkannya entah sejak kapan. Aku sendiri syok usai membuka mata langsung mendesah, sementara Mile mendekapku dari belakang begitu erat.
"Mnmm--ahhh!! Phiii--!!"
"Sshhh, shhh ... aku hanya ingin menyentuh sedikit," katanya sambil mengigiti telingaku. Tapi, siapa sih yang percaya padanya? Yang ada sebelah kakiku kram karena diangkat lama, dan aku terus digempur dari belakang, padahal mataku mengantuk sekali. "Mnnh ... ahhnnh .... j-jangan kencang-kencang, Phi--tolong!" protesku sambil meremas lengannya.
Aku pun separuh sadar saat melayani. Aku masih ada di ambang mimpi. Dan begitu sadar Mile sudah klimaks di atas perutku sambil mengocok penisnya.
"Hahhh, hhh, hh ... hhhh."
Deru napasku memenuhi ruangan.
Aku pun mengocok penisku sendiri dengan kaki yang masih mengangkang. Sejujurnya sedikit frustasi karena belum ikutan keluar. Mile pun membantuku klimaks dengan kedua tangannya. Dia kesulitan. Lalu menyingkirkan jemariku sekalian agar lebih leluasa.
"Ahhh .... nnghh. Lebih cepat, Phi ...." pintaku sambil memegangi kedua lututku sendiri. Namun setelah tuntas kukira seks-nya pun ikut selesai--hanya saja Mile masih membalik badanku agar menungging karena katanya 'mumpung aku sudah bangun--' (DEMI APAPUN BADANKU PEGAL SEKALI!! Siapa yang tahu sebelum bangun kami sudah melakukan seks berapa ronde?) "Aahhhh! Ahhhhh!" jeritku sambil berpegangan pada punggung ranjang.
Pinggulku pun dicengkeram Mile dari belakang. Dia menahannya. Lalu mengaku tergila-gila pada bentuk bokongku yang makin bulat karena aku lebih kurus.
"Mmmhh, iyakah?" tanyaku, disela-sela tusukan Mile.
"Hmmmh ... menurutku segini adalah yang paling bagus. Pertahankan," katanya sambil mengecup pipiku.
Aku pun merangkak saat hampir ambruk, kemudian mencakar dinding karena didempet menuju ke sana.
"Nhh ... nnghh .... ahhh!"
Aneh ....
Apa yang kukhawatirkan Mile justru suka. Sebab katanya dia makin mudah melingkari pinggangku yang kecil. Pria ini menjilat otot bisepku yang menyusut. Dia memuji lagi. Lalu menggigitnya di beberapa tempat karena gemas.
"Ya Tuhan, cantikku ...." desisnya saat bekas luka kulitku semakin pudar. Untuk kesekian kalinya, aku dijebak Mile dalam situasi seks serupa. Bahkan dia makin betah merabaku--terutama bibir karena bagian itu semakin berwarna segar kemerahan. "Hhh ... hhh ... kenapa tidak dari dulu-dulu kamu seperti ini ...."
PLAKHHH!!
"AHHHHHH!!!" teriakku karena terkejut dengan ngilunya. Sumpah pahaku langsung kaku saat Mile menghujam liangku menembus atas. Dia tertawa. Sementara aku memegangi perut selama diguncang olehnya. "Ohh--fuck!! Phi ... hiks ... s-sakit ... sakit ...." keluhku, karena mendadak ada darah yang mengalir dari selangkanganku setelah sekian lama.
Entah sebab Mile bersemangat akan perubahanku, atau yang lainnya--yang pasti, jam seks kami makin intens sejak perawatanku memasuki bulan ketiga.
Malam sebelum tidur dia pasti langsung menyuruhku buka baju--jika Mile tidak lembur tentunya--pagi sebelum ke kantor masih nambah meski hanya 15 menit. Bahkan siang-siang sekalipun--YA AMPUN AKU TIDAK HABIS PIKIR!! Mile pernah membohongiku minta diantarkan file tertinggal untuk seks di ruang kerja.
"Phi, tapi ini tidak apa-apa kah?" tanyaku sebelum mendekat.
"Why not? Ini kan jam istirahat," katanya sambil memberikan isyarat dengan telunjuk. "Kemari ...." katanya. Lalu menepuk-nepuk pahanya. "Duduk yang nyaman dan menghadap padaku."
"Iya."
Pinggangku pun ditarik mendekat. Aku naik ke pangkuannya. Lalu mulai bercumbu dengan suamiku di sana.
"Akkhhh ... perih--"
"Sshhh ...."
"Hiks, Anda bisa melepas puting Saya kalau gigitnya begitu ...." kataku mulai mengomel-ngomel.
Namun, rupanya penampilan merubah segala hal. Karena Mile versi sekarang tidak takut atau cemas sedikit pun jika aku marah. Katanya aku makin lucu dan menggemaskan. Bahkan saat protes dan serius sekali pun.
"Oh, aku baru ingat sesuatu ....." katanya usai muncrat di dalamku. Aku yang telanjang sambil memeluk pinggangnya dengan kaki pun menurut, padahal panik juga kalau pulang nanti celanaku basah karena sperma darinya keluar (Mile memang tidak merencanakan hal ini. Tiba-tiba bernafsu saja. Jadi dia memintaku menampungnya di dalam karena tak punya kondom).
"Hmmh?" tanyaku sambil menata resteling dan sabuk Mile.
"Lihat. Phi sudah menyimpannya lama tapi baru ingat."
Saat suamiku mengeluarkan kotak dari dalam laci, aku pun berdebar karena kini perhiasan yang dia berikan tidak hanya kalung, tapi juga cincin dan gelang kaki.
"Tunggu, tunggu--apa ini tidak berlebihan?"
Aku pun menahan tangan Mile saat memakaikan gelang di kaki kiriku.
"Ssssssh, tidak-tidak. Tentu tidak," katanya, yang kukuh mendandaniku. "Kamu pasti cocok memakainya, Natta Sayang. Makin cantik."
"Phi ...."
Meskipun merengek, semua perhiasan dari Mile pun menempel di tubuhku. Dia tampak bangga. Karena katanya--aku yang telanjang dan memakai perhiasan pun sudah melebihi siapa pun.
"Hmmh, tidak sia-sia aku mengawalmu dari awal. Ha ha ha ...." kata Mile sambil mengadu batang hidung kami. Dia pun mengecup bibirku beberapa kali. Tak ingin melepas, untung waktu istirahat ada habisnya jadi aku baru boleh turun.
"Akhh--!!"
BRUGHHH!!
"Natta!!"
Ya, walau seks di kantor itu sedikit di luar nalar. Aku pun malu karena kakiku gemetar. Tapi Mile membantuku berdiri, berpakaian, lalu memintaku tidur di sofa kantornya daripada tak mampu pulang sendiri.
Tuhan ....
Aku pun menunggui Mile sambil meringkuk seperti bocah, tapi wajahku berkeringat sehabis seks dan Mile baru membangunkanku ketika malam.
"Sayang, Natta ...."
"Hmmmh?"
Dia menepuk-nepuk bahuku.
"Ayo, yok. Pulang ... Phi tidak jadi lembur karena tadi sudah kuselesaikan," kata Mile, yang tengah jongkok di sebelahku. "Nanti kamu masuk angin kalau terus terusan di sini."
"Iyakah?"
Aku mengucek mataku.
"Hm."
"Jam berapa ini Phi?"
"Sembilan," kata Mile. "Tapi kita mampir dulu di resto, ya? Sejak tadi siang kita sama-sama belum makan ...."
"Unnnghh ...."
Entah terdorong apa, aku pun menggeliat seperti kucing untuk merenggangkan otot. Tulangku berbunyi, tapi Mile terhibur saat memandangku begitu.
"Sudah sadar belum?"
"Masih mengantuk ...."
"Wah ...."
Aku pun mengerjap-ngerjapkan mata merahku, dia mengesunku, tapi bahunya langsung kudorong karena ingat sesuatu. "Phi, tapi kalau kelihatan bagaimana?" tanyaku, merujuk pada bokongku yang lengket. Tak dipungkiri aku merona saat itu, tapi Mile segera melepas long-coat miliknya untuk aku pakai. "Baunya benar-benar seperti Phi Mile ....." kataku sambil menghirup kerahnya.
Mile pun terkekeh-kekeh. Lalu menggandengku keluar, walau aku bersembunyi di balik bahu lebarnya. Ah! Jangan sampai ada yang sadar jalanku aneh! Apalagi para karyawan Mile menatap kami dengan tatapan terpana. Seolah-olah--"Wah ... ternyata itu istri baru Tuan Muda!!" tapi belum diperhatikan. Karena saat aku datang dikira cuma orang suruhan.
"Mile, apa ini tidak apa-apa?" tanyaku kedua kalinya seharian ini. Sebab pernikahan kami rahasia, tapi kedatanganku tadi siang telah mengubah segalanya.
"Tidak apa-apa. Kan yang minta rahasia kamu sendiri ...." jawab Mile. "Aku sih sejak awal tidak masalah ...."
"Ugh ...."
Padahal ini sudah berjalan 9 bulan sejak pernikahan kami (Ha ha ... agak konyol tidak sih?) Tapi aku merasa kembali jadi pengantin baru saat disapa CTO muda perusahaan ROMSAITHONG CORP di parkiran.
"Halooo! Tuan dan Nyonya Romsaithong ...."
Nyonya katanya?
"Halo juga, Je. Kau pun hampir lembur hari ini?"
Jeje Kuncalach--pengganti Aro sejak dijebloskan dalam penjara langsung senyum dengan cerahnya. "Iya, Tuan ... memang agak hectic hari ini."
"Ha ha ha. Just do the best ... jangan membuatku kecewa setelah merekomendasikanmu kepada Ayah."
"Baik ....!"
"Kamu berdua duluan ...."
"Oke, Tuan Mile. Hati-hati ...."
Ramah sekali orang itu ....
Aku pun tersenyum kepada Jeje sebelum masuk ke mobil. Mile membukakan pintu untukku. Lalu kami menuju ke Restoran Perancis untuk fine dinner romantis.
.... TUNGGU BUKAN!
"Eh? Phi?"
Aku kaget saat Mile belok ke kiri mendadak. Dia menyeringai, tapi kejutanku sebenarnya tidak sampai sana.
"Mau kemana, huh? Apa itu yang kamu pikirkan?" kata Mile. "Jangan khawatir, Sayang. Nanti kita tetap putar balik kok. Aku hanya penasaran rasa melakukan ini karena belum pernah."
Aku pun terheran-heran. "Huh? Melakukan apa, Phi?"
"Nanti kamu tahu sendiri ...."
Aku pun mengeratkan long-coat Mile ke tubuhku. Tiba-tiba berdebar, dan ternyata suamiku berhenti di toko bunga untuk memberiku sebuket mawar.
"Pegang."
"Hah?"
Aku jelas kaget sekali. Mataku membulat. Sebab saat Mile kembali, dia sudah menyodorkan benda itu tepat di depan wajahku.
"Selamat anniversary kencan, Istriku ...." kata Mile. "Aku baru ingat 18 Oktober adalah waktu Bible merangkum fotomu setahun lalu."
Bersambung ....