Saat menerima bunga itu, yang kupikirkan adalah kenapa Mile tak pernah memberikannya untuk Pim? Apakah dia versi dulu terlalu kaku? Rasa-rasanya tidak, tapi kusimpan pemikiran itu untukku sendiri. "Terima kasih, Phi," kataku, meski segan karena bagiku bunga terlalu sakral untuk diberikan untuk lelaki. Lebih-lebih mawar. Warna merahnya merupakan lambang keindahan di mataku.
"Kamu suka?"
"Suka kok, ini bagus," kataku. "Tapi saat masuk resto tak apa ditinggal? Saya tidak PD membawa buket di tempat umum."
Suamiku pun diam sejenak. "Oh, tentu," katanya. "Tapi sebaiknya dipajang sampai rumah. Aku senang jika melihatnya di dalam kamar."
"Iya."
Usai memesan di resto, aku pun menikmati dua jenis appetizer, yakni canape dan shrimp cocktail bersama Mile. Kebetulan entah kesialan restoran itu ternyata penuh, padahal jam sudah menunjuk pukul 10 sehingga kami tidak mendapatkan tempat privat. Aku tak lagi masalah karena bisa table manner, tapi orang lain pasti sadar penampilanku awut-awutan. Rambut berantakan, wajah berminyak, muka bangun tidur, tidak nyaman duduk ... apapun itu pokoknya risih sekali.
Mile sendiri menawariku pindah tempat atau pulang sekalian, tapi aku menolak karena itu buang-buang waktu. Tidak masalah, Phi. Toh aku juga sudah sangat lapar.
Sayang pilihanku punya konsekuensi besar, sebab Pim dan circle-nya tiba-tiba masuk seolah mereka baru pulang pesta. "Wah ... Tuan Natta!" sapa-nya karena merasa kenal padaku. Aku pun tersenyum dan mengangguk kecil. Lalu mereka duduk tak jauh dengan kami berdua.
Sebetulnya aku tidak masalah dengan Pim-nya, karena dia baik--sejauh penilaianku. Namun, jauh di lubuk hatiku penasaran. Kenapa circle dia orang-orang yang seperti itu? Secara kompak aku dan Mile pun saling berpandangan. Lalu menguping diam-diam sambil menikmati makan malam. Obrolan mereka ternyata seputar fashion, kerjaan, gosip, dan life-style sehari-hari--bahkan yang lelaki pun pro dengan komplotan sosialita itu.
"Kenapa? Kamu makannya tidak selera?" tanya Mile. Dia tetap fokus padaku, meski sempat melirik mereka. "Jika mau barang mewah kan tinggal beli. Kenapa harus iri kepada mereka? Kamu tidak perlu menahannya."
Aku pun menggeleng pelan. "Saya tidak memikirkan itu."
".... terus?"
"Saya belum mau membahasnya," kataku. "Nanti kehilangan selera makan."
"Oh ...."
Mile pun setuju dengan statement-ku, dia diam. Lalu kami lanjut makan hingga hidangan tandas semua. Kami langsung pulang dari resto, mandi, siap-siap tidur--tapi aku sempat sibuk sendiri di kursi wardrobe. (percayalah, sekarang meja itu dipenuhi produk perawatanku. Ada lotion, toner, facial cleanser, eksfoliasi, essens, booster, serum, moisturizer, masker, lip-balm, parfum, bahkan make-up juga tersedia (padahal aku tak pernah memintanya). Macam-macam merk, pula. Dan Mile sering membawa stok baru jika pulang dinas kerja. Aku sampai bingung memakai yang mana dulu. Sebab Mile sigap membelikan skincare sejak aku sembuh dari obat kulit berbau tajam.
Katanya, "Lanjutkan saja, Sayang. Phi suka." Padahal aku cukup irit saat memakainya. Aku tak mencoba semua produk karena terlalu banyak. Jadi cuma beberapa yang rutin kupakai setiap hari. Dari situ Mile tahu aku suka produk mana saja. Dia menandainya, sehingga tiap hampir habis dibelikan baru.
"Kenapa, Phi?" tanyaku agak salah tingkah. Gerakanku memakai essens pun sampai berhenti, lalu Mile ke sisi kanan untuk merangkul bahuku. Dia mengelusnya dengan jemari. Aku merinding. Lalu tersenyum ke cermin dimana ada pantulan kami berdua.
"Tidak ada. Hanya ingin mengagumi istriku dari jarak dekat. Ha ha ha ...."
Sejujurnya dipandangi Mile agak kurang nyaman (aku serasa dimesumi setiap detik) tapi mau tak mau harus terbiasa. Bagaimana pun Mile itu suamiku. Aku miliknya, dan buket mawar di vas wardrobe bukti yang bisa kulihat. Suamiku akan mengganti karangan mawarnya jika mulai layu, aku me-notice-nya beberapa kali. Tapi kini menjadi kebiasaan.
"Oh."
"Kamu cantik, Natta. Serius ...." pujinya, padahal sudah lewat beberapa minggu sejak hari itu. "Aku bisa gila, Sayang."
Aku jadi tak mau sering-sering membalas matanya. "Saya dengar itu kok setiap hari ...." kataku mencoba biasa. "Tapi secantik-cantiknya lelaki, Saya pikir tetaplah menang wanita?"
"Maksudnya?"
Aku kini meratakan lotion pada lengan dan jari-jariku. "Tidak tahu, hanya cemburu melihat Nona Pim setiap kita berpapasan," kataku. "Soalnya mantan Anda cantiknya seperti dewi. Saya jadi suka melihatnya lama-lama. Menawan, Phi. Gaya-nya bagus. Saya juga berpikir dia adalah tipe yang Saya suka."
Mile sampai tak bisa berkata-kata.
Aku sendiri telat sadar omonganku sensitif. Sebab maksudku hanya mengobrol santai, tapi Mile malah tak tahan mendengarnya. Kulihat tangannya mengepal di sisi pinggulku. Aku terkesiap. Lalu memutar duduk setelah meletakkan botol lotion. "Phi?" tanyaku. "Anda tidak apa-apa?"
Mile menatap wajahku keras. "Sejak kapan kamu berpikir begitu?"
".... apa?"
"KUTANYA, SEJAK KAPAN KAMU MENYUKAI PIMCANOCK!" bentak Mile dengan nada tersinggung. Dadaku sampai berat mendengarkan suaranya. Aku terpejam. Lalu menyentuh lengannya dengan jemari.
"Phi, Saya bukan menyukainya seperti itu ...."
Plakh!
"Terus apa? Kamu bilang dia tipe-mu."
Aku pun makin syok dengan reaksinya. Karena tampikan Mile di tanganku panasnya tak main-main.
"Suka--ugh ... tapi dia memang cantik kan? Cuman Saya tidak melibatkan perasaan. Anda paham tidak? Bohong kalau sebagai lelaki Saya bilang dia jelek--"
"SHUT UP!"
Aku pun diam karena Mile belum pernah secemburu ini, padahal secara logika aku lebih pantas untuk takut dan cemas. Siapa tahu Mile masih punya perasaan kepada mantannya, kan? Apa dia tidak ingat mereka pernah menikah, bercinta, atau merasakan momen kelahiran Gabby?
Benar tidak?
Aku hanya merasa kalah karena Pim melebihiku dalam segala aspek. Baik pendidikan, kecantikan, latar belakang, sosial, grade kualitas, dan tentunya yang paling kudengki--wanita itu memiliki rahim untuk melahirkan.
Apa aku masih kurang terlihat mencintainya?
Mile benar-benar mengagetkanku dengan perdebatan kami.
"Phi, Saya benar-benar minta maaf jika menyakiti Anda ...." kataku, lalu mengelus-elus bahunya. Kulihat Mile menatapku makin tajam. Napasnya tertahan, dan rahangnya keras tapi aku berusaha tenang. "Phi Mile ... ya?" bujukku mencoba merayu. "Saya memang tadi salah kata ...."
Mile ternyata tidak melunak sama sekali. "Kamu kularang ketemu dia mulai sekarang ...." katanya. "Persetan dengan tujuanmu. Aku tidak suka. Kalau pun Gabby bertanya Mama kandungnya--ya sudah. Kita harus kumpul-kumpul berempat."
Astaga, ini di luar nalarku.
"Phi ...."
"Titik, Natta. Tak ada tawar-menawar."
Aku kini mengelus pipinya. "Mmh, jangan marah ... tolong," pintaku. "Phi Mile, Anda benar-benar menakuti Saya ...."
Dia tiba-tiba memelukku sayang. "Kemari ...."
Hal yang membuatku lega hingga langsung mengerat pada pinggangnya. Padahal kupikir Mile akan memukulku di tempat. Sebab auranya jadi penuh kebencian jika aku salah langkah sedikit saja.
"Ya ampun ... Natta. Jangan membuatku panik begini," katanya sambil mengelus punggungku. "You're the only one, Sayang. I adore you no matter what--dan segala masalah pasti bisa kutangani, tapi jangan sampai suka orang lain--Pria atau wanita aku tidak toleransi semuanya. You're belong to me, paham? Makanya kunikahi dan ada di sini ...."
Aku pun merasa bercampur aduk. "Meskipun Saya tidak bisa kasih bayi?"
"Apa?"
Aku segera mendongak untuk menatap matanya. "Saya kepikiran setiap Anda keluar di dalam, perut Saya mual--tapi itu jelas bukan karena janin," kataku dengan mata berkaca-kaca. "Saya kadang tak fokus seks karena membayangkan hal aneh, tapi Anda tidak komentar soal ini. Betul ya memang tidak masalah?"
Mile memandangku dengan raut yang sulit kuterjemahkan. "Memang kamu sendiri bagaimana? Ingin punya bayi?" tanyanya. "Aku sendiri sih tidak, sudah cukup. Yang penting Gabby dewasa dan tumbuhnya baik. Hanya saja, kalau kamu masih ingin bayi darimu sendiri ... Phi akan usahakan surrogacy."
Aku pun berpikir sejenak. "Apa itu, Phi?"
"Hmmh, baik. Coba kujelaskan sedikit."
Setelah sekian lama, Mile pun kuajak membahas uneg-uneg tak mengenakkan ini. Dia memberitahuku soal sistem tanam benih. Jadi katanya spermaku akan diambil untuk dimasukkan ke dalam rahim wanita--tapi tunggu ... kenapa baru mendengar rasanya sudah aneh?
Aku kan membayangkan bayi jika dari Mile dan aku. Bukan aku dengan rahim wanita lain.
Ah, mending tidak kalau asal-usulnya begitu.
"Tidak mau."
"Yakin?"
"Tidak usah, Phi. Aku tidak suka kalau bayi-nya dari mereka."
Tiba-tiba Mile berjongkok di depanku. Dia mengambil dua tanganku, mengecup dua telapakku bergantian, lalu menaruhnya di pipi dia. "Hmmh ... jadi fix, ya. Tidak ada bayi-bayi lagi dalam pembahasan kita," katanya. "Dan kalau pun kamu malah mau, sebetulnya aku juga kurang rela."
".... ha ha ha."
Tawaku terlambat datang.
"Maksudku, kenapa harus merawat bayi yang separuhnya dari orang lain?" kata Mile, dengan raut jengkel baru muncul. ".... atau setidaknya ini menurutku saja. Kalau pasangan gay di luar mau begitu, ya itu urusan mereka. Hanya saja Gabby itu persoalan lain. Sudah jelas ibunya kenal dan menjalin hubungan denganku di masa lalu. Resmi pula. Ini sih tidak. Malah mengambil dari wanita sewa. Aku betul-betul kurang suka."
"Ha ha ha ha ha ... Phi ...." Aku pun mencubit-cubit pipinya. "Tapi kenapa tadi tidak bilang? Bagaimana kalau ternyata Saya jawab mau? Apa Phi tak kewalahan melihat bayinya seumur hidup?"
Dia tiba-tiba memeluk pinggangku, lalu menyurukkan wajah di pahaku. "Yaaa, mending aku yang jengkel, daripada kamu kepikiran terus," katanya. "Istriku berhak bahagia, Natta Sayang. You're precious to me ...." keluhnya seperti bocah.
Aku pun membelai helaian rambut Mile dengan jemariku. Kukecup ubunnya. Lalu kutawari seks malam ini. Namun anehnya Mile menolak. Sebab katanya masih ingin menikmati waktu bersamaku. Mile bilang, semakin ke sini dia tahu ada substansi yang melebihi pelepasan nafsu, walau itu berupa kegiatan kecil seperti memanja aku.
"Eh--Phi!!"
Dia pun menaikkan jubah tidurku ke paha. Celana dalamku sampai terlihat, tapi ternyata Mile hanya ingin meluluri kakiku.
"Ha ha ha, kaget? Coba ambil lulurnya kemari. Biar kubantu sekali-kali ...."
"Yakin, Phi?"
"Iya, tentu. Lagipula kalau kakimu cantik, aku sendiri yang menikmati. Ha ha ha ha ...."
Aku pun mengulurkan kotak lulurannya ragu-ragu, tapi Mile membukanya penuh semangat. Dia pun mulai membaluri paha dan betis kananku. Kemudian lanjut ke kaki yang kiri. Tentu saja aku ikut-ikutan beraksi. Kami bertatapan dengan senyum selama melakukannya. Kadang juga saling mengecup jika terbawa suasana.
Hal yang menyenangkan sekali.
Padahal aku sempat menganggap perawatan adalah sisi feminitas yang menggelikan. Sebab aku benci dianggap wanita, tapi begini-begini menyenangkan juga. Aku senang Mile memujaku dengan cara kecil. Bahkan sepulang kerja kusadari ponsel Mile selalu di-silent dalam lemari (kadang juga di laci, atau nakas kamar).
Mile lebih senang menghabiskan waktu bersamaku. Walau pujian "cantik" dan sejenis mulai bosan kudengar.
Gerakan jemarinya lebih lihai daripada aku, jadi saat aku meluluri paha atas. Mile akan menggosok betis ke bawah hingga telapakku bersih semua. Sela-sela jari juga tidak luput dari perhatian. Suamiku sangat detail, terbukti saat lulur gelang kakiku dilepas. Barulah setelah bersih dia memasangnya kembali. Cup.
"Ya ampun--Phi ....! Jangan--"
Kularang dia mengecup mata kakiku. Kudorong bahunya, tapi Mile makin terhibur ketika pipiku memerah.
"APA SIH?! Jangan berlebihan begitu. Saya sudah senang kaki Saya bersih ...."
"No, no. Apa sih yang tidak untuk Madam Muda? Ha ha ha ... kamu harusnya sadar kini jadi Nyonya Romsaithong."
"Tapi kan--"
"Besok-besok kubelikan model yang lain, ya ... dipakai juga," katanya. "Biar gantian tidak begini melulu."
Aku pun kesulitan berkata-kata. Padahal saat nguli kakiku setebal sol sepatu. Sangat kasar. Begitu juga sekujur tubuhku. Kini Mile memperhatikan semua aspek diriku. Bahkan setelah tangan bersih, dia masih memintaku telungkup nyaman.
"Ah! Tapi ini sudah malam ... Phi tidur dulu ya? Lulurannya kita lanjut besok lagi ...."
Aku malah didorong ke ranjang, jubah tidurku dilepas satu per satu, dan aku berakhir memeluk bantal saat Mile menggosok punggungku.
"Ahh ... Phi Mile! Itu tadi terlalu kencang. Rasanya panas kalau sangat keras."
"Hmph, ha ha ha ... oke, oke. Kalau begini bagaimana?"
"Mnnhh ... iya ...."
Dari punggung ke badan depan, aku pun menggosok dada dan perutku sendiri karena Mile tidak mau membuatku birahi. Dia mengiyakan, tapi jalan ke wardrobe lagi karena baru sadar kegiatan ini membuat lotion-ku berantakan. "Wah ... jadi kamu harus mandi lagi? Tadi kan sudah pakai ini ya?"
"Iya ... Phi Mile sih."
Dia malah terkekeh tidak berdosa. "Ya sudah mandi saja, nanti aku yang pakaikan."
"Tapi, sisa kulit Saya? Saya mau beres-beres dulu."
Dia pun menoleh dengan tangan membawa produk rutinku. "Ck ... jangan protes. Biar nanti Phi bersihkan ...."
"Ya ampun ...."
Aku pun kerja dua kali lipat (tak apa, toh Mile yang membayar brand skincare-ku) hanya saja semakin dia perhatian, aku pun makin takut kehilangan.
Aku sulit membayangkan Mile sakit, jauh, berubah, atau malah pergi dariku ....
Aku benar-benar dibuat ketergantungan dengannya ....
Aku benar-benar kecanduan oleh Mile Phakphum, dan itulah fakta yang ada.
Oh, Tuhan ....
Aku bahkan masih berdebar setiap kali disentuh, padahal pernikahan kami sudah berjalan setahun.
"Oh, ya ... Natta. Phi dua hari lalu dapat rekomendasi dari teman. Aku jadi ingat membelikanmu ini waktu di Canberra," kata Mile suatu malam. Itu sekitar seminggu usai kegiatan lulur. Aku pun menoleh, padahal tadi sedang menghapal kamus sebelum tidur.
"Apa Phi?"
Dia membuka paper-bag kecil. Bahannya mewah. Bahkan ada pita dan mercandise juga di dalamnya. Saat diberikan, aku memegang boneka mungil bentuk lipstik. Barulah produk yang sebenarnya dikeluarkan.
"Ini lip-balm," katanya. "Coba aaa dulu bibirmu. Kata temanku ini bagus untuk membuat base sehat."
Aku pun membuka mulut sedikit. Lalu Mile mengoleskannya menggunakan ujung telunjuk. Dia memandangi mata dan bibirku. Gerakannya telaten, tapi aku dikecup juga karena dia tidak tahan.
"Ah, dasar ....." kataku jengkel.
Dia tetap usil seperti biasa ternyata.
"Kenapa? Kan kita menikah. Itu harusnya tidak aneh buatmu."
Keningku pun disentil gemas, dia makin usil. Tapi aku berterima kasih karena lip-balm-nya memang enak dipakai. Rasanya sejuk, serius. Kamusku terlempar saat dia menggelitikiku. Sebab Mile tidak sabar mengumumkan diriku ke pihak publik.
"HA HA HA HA HA HA!! HA HA HA HA HA! GELIIII! GELIIII! PHI MILE, PLEASE! PHI! HA HA HA HA HA! IYAAAA! IYAAAAAAA!! HA HA HA HA HA HA! IYA MAU RESEPSI TERBUKA! YA AMPUN--STOP!! HA HA HA HA HA!"
Selimut di ranjang pun berantakan karena kami bertempur, tapi aku bersedia jujur memenuhi keinginan Mile untuk bertemu keluarga besar. Lagipula, ini sudah anniversary pertama kami. Jika aku masih menutup hati, Mile justru pantas dapat yang lebih baik dariku.
"Hhhh ... hhh ... hhh ... hhh ...."
"Menyerah?"
Dia menindihku yang sedang mengatur napas.
"Iya, bendera putih ... hhh ... hhh ... hh ...." kataku sambil menggoyangkan tangan. "Dua bendera berkibar, Phi. Hhh ... hhh ... hhh ... Saya mau ketemu teman-teman Phi Mile juga ...."
Mile Phakphum pun menyeringai tipis.
"Hmph, bagus," katanya bangga. Dia lalu memberiku nomor Phi Tong, Nong Ta, dan Jeff Bro agar kami lebih akrab. Tapi Jeff bilang baru bisa kumpul awal Januari. Aku dan Mile pun memaklumi. Toh Desember bagi yang sekolah sibuk kelulusan. Baik Ta, Jeff, bahkan Gabby sekalipun.
Anakku wisuda dengan gagahnya di panggung sana. Dia dapat ijazah TK. Barulah turun usai difoto dan berlari ke arah kami.
"DADDDYYYYYYYY!! MAMAAAAAA!!" kata Gabby ceria.
Wali-wali lain pun menoleh sambil tersenyum, dan mereka terhibur saat aku ditabrak peluk Gabby bertepatan Pim datang.
"Halooo, selamat siang ...." sapa Pim dengan senyuman.
Ya, walau Gabby tidak kenal wanita itu. Dia menatap Pim sangsi, meski mereka sudah bertemu beberapa kali. Gabby bahkan hanya mengangguk saat diberitahu Pim ibu asli, dan dia tetap minta gendong padaku.
"Mamaku kan namanya Natta ...." kata Gabby sambil mencengkeram ijazah. "Aku cuma mau foto sama Mama ...."
"Eh, Gabby ... jangan begitu, Sayang."
"Tidak mau ...."
"Mau yaaa?"
Aku tetap memaksanya, sehingga Gabby pun mengangguk setelah kubisiki "Sama Mama pantai setelah ini?", dan syukurlah cara itu berhasil membuatnya tidak jadi kabur. Gabby pun berdiri di tengah Mile, aku, dan Pim ... lalu kami bertiga masuk jepretan akhir sebagai kenangan waktu wisuda. Ckrek!
"Wah ... bagus sekali hasilnya," pujiku saat diberi foto cetak ukuran A5. Pim pun tersenyum. Lalu minta soft-file-nya untuk dicetak sendiri. "Boleh. Dikirim lewat apa, Nona?" tawarku.
"Bluetooth, oke ...."
"Sip, tunggu ya ...."
"Iya."
Selagi Pim dan aku berbagi file dari fotografer, kusadari Mile pergi sambil menggendong Gabby. Dia membelikan tiga balon dari seorang penjual, tapi matanya tetap mengawasiku sesekali.
Demi apa ya, Mile. Sumpah aku tidak sedang PDKT.
"Terima kasih, Natta."
"Sama-sama," kataku. "Oh, ya ... Nona Pim? Boleh Saya tanya sesuatu?"
"Ya?"
"Mm, karena pertemuan pertama kita banyak basa-basi, Sekarang sepertinya baik-baik saja," kataku. "Saya ingin tanya sesuatu kepada Anda ...."
Wanita itu pun memandangku dengan senyuman. ".... soal apa, ya?" tanyanya balik, tapi terasa sekali auranya antipati.
Kurasa dia sama seperti Mile. Mereka berdua tidak suka topik yang sensitif.
"Apa Anda masih mencintai Mile?" tanyaku. Karena terlampau penasaran, akhirnya bertindak masokis saja. Kusadari tatapan Pim berubah usai kutanya. Dia beralih ke Mile dan Gabby dari kejauhan, dan itu membuat senyumnya makin melengkung.
"Cinta? Mungkin pernah kalau terbawa perasaan ...." kata Pim. "Bagaimana pun Mile itu pria baik, tampan, kaya, dan berpendirian. So, memang siapa yang tidak suka padanya?"
Oh, begitu?
Sejauh yang kudengar memang wajar saja.
"Lalu?"
"Seperti kebanyakan pasangan yang dijodohkan. Kami bertemu tiga sampai empat kali. Langsung didatangkan keluarga. Ada lamaran, tukar cincin, menikah, dan bulan madu ...." katanya. "Dia memberikan momen paling romantis di Paris, dan tentunya kami seks beberapa kali ...." Dia geleng-geleng sendiri. "Tapi sebenarnya penerimaanku kepada Mile bukan tanpa korban. Karena menikah dengannya sudah membuat pacarku pergi ...."
Tanpa sadar telapak tanganku mulai berkeringat dingin.
"Eh? Meninggal?" tanyaku, berusaha tenang.
Pim pun menggeleng pelan. "Bukan, tapi langsung melamar temannya," katanya. "Mungkin dia sudah jengkel padaku, kami lost contact, dan ternyata mereka jadi pasangan yang sebenernya."
Wah ... ada yang seperti itu juga.
".... oh."
"Istrinya bahkan hamil bersamaan denganku, kami ketemu di swalayan, dan saat aku memilih tas branded sendirian, mereka berseliweran kesana-kemari berdua," kata Pim. "Kau tahu, kan? Mile sering dinas seperti sekarang. Semua normal. Toh pekerjaannya memang begitu."
"...."
"Tapi, hmm ... mungkin karena waktu itu perasaanku terlalu sensitif, ya? Ha ha ha. Apalagi sedang hamil juga," tawa Pim. "Aku jadi sakit hati dan kecewa akan pilihanku sendiri--kenapa patuh orangtua jika berakhir begini, dan kalau pun ingin marah kepada mantanku tetap salah juga."
"...."
".... apalagi ke Mile yang tak keliru apapun, kan?" kata Pim. "Jadi, ya ... begitu. Ha ha ha
Aku tidak ingat detail pertengkaran kami. Aku pulang ke rumah, tapi Papa dan Mama masih memarahiku juga. Kata mereka, 'Kenapa menyia-nyiakan Mile dan pergi?! Kembali!! Ambil uangnya sebanyak mungkin!' padahal itu sungguh membuatku muak."
"...."
"Aku tidak bisa mencintai Mile sepenuhnya, Tuan Natta. Aku kesulitan memposisikan diri dalam hidupnya," kata Pim mendadak berkaca-kaca. "Aku sudah berusaha melupakan mantanku, tapi setelah menikah yang kuberikan untuk Mile hanyalah bayi--hiks ... hiks ...."
"Eh! Eh! Eh! Nona Pim--!"
Pim pun menangis terisak-isak, tapi menolak sapu tanganku. Dia bilang, dia bukan tipe orang yang mudah lupa, apalagi menggantikan seseorang dengan yang baru. Dia baru menyadarinya setelah si mantan pergi, Mile sakit hati, dan Pim tidak bisa memperbaiki segalanya sesuai harapan. Wanita ini pecah sendirian. Namanya hampir buruk karena kasus korupsi, dan dia merelakan bayi-nya ke tangan Mile daripada tak sanggup mengurus (karena waktu itu emosinya meledak parah), toh memberikan Gabby bisa membuat statusnya aman.
Mile pun tidak melaporkannya pada polisi, malahan saat cerai masih meninggalkan uang dan aset untuk pegangan Pim sendiri. Karena itu Pim masih segan dan hormat kepada Mile. Bahkan dia tak berani muncul lagi tanpa izin sang mantan suami.
Rupa-rupanya Mile tahu Pim tidak bertindak atas kemauannya sendiri, tapi suamiku terlanjur sakit hati karena tak pernah menjadi "nomor satu".
Fakta bahwa Pim masih mencintai mantannya pun terungkap, dan meskipun tak ada perselingkuhan, Mile tetap merasa dia hanya dimanfaatkan--itu sudah melukai harga dirinya.
Mile memang tak suka hubungan seperti itu. Dia ingin pasangan yang hanya fokus padanya, sehingga hubungan itu bertimbal balik dua arah.
"Aku berterima kasih sudah diizinkan untuk melihat Gabby, Tuan Natta ...." kata Pim, usai mengusapi air matanya. "Aku juga bersyukur kamu memenjarakan Aro kapan bulan--ha ha ha ... karena meski membantu, aku baru tahu belakangan dia yang mengompori perjodohanku dengan Mile. So, kuanggap saja dia penyebab mantanku pergi."
"...."
Pim kini tersenyum manis. ".... ya, aku memang tidak sebaik itu, jujur saja," katanya. "Aku hanya ingin mengorbankan seseorang untuk disalahkan, setidaknya dengan begitu perasaanku ringan sedikit."
"Pim, Anda oke ...." kataku sambil meremas bahunya. "Yakin pasti bahagia juga suatu hari ...."
"Iyakah? Semoga kau benar, meski sampai Gabby sebesar ini aku belum menemukan pria yang tepat."
Kami pun berpisah setelah acara wisuda berakhir. Gabby kuajak ke pantai sesuai janji. Lalu aku dan Mile menggandeng tangan mungilnya di kanan-kiri.
"HA HA HA HA HA! SEKALI LAGI, DADDY! SEKALI LAGIIIIIIIIIII!" jerit Gabby saat lengannya diangkat ke udara. Kami pun menemaninya jalan-jalan, tapi ternyata Gabby risih dengan air laut. Apalagi ombaknya besar sekali. Bocah itu pun minta gendong karena ada ubur-ubur nyasar. Dia takut. Lalu memeluk leher Mile erat sekali. "Uuuu ... itu apa sebenarnya, Daddy? Uuu ... lembek. Hiii ....." tunjuknya sambil menatap ke bawah.
Aku pun tertawa-tawa. Lalu mengesun pipinya yang gembil. "Ahhh ... dasar. Bisa jangan menggemaskan?"
"Uuuu ... MAMAAAAAAA!! ADA LAGI YANG WARNANYA HITAAAAM! WHOA APA ITU SEPERTI BUAH RAMBUTAN?! PLISSS!! TENDANG JAUH-JAUUUUUUHH!! IIIIIIIIII!! GELIIIIIIIII! AAAAAAAAAAA!!"
Ah, Gabby.
Terserah, Sayang.
Asal kamu bahagia saja.
"Astaga, Nak. Itu namanya bulu babi ...." kata Mile. Suamiku pun menjelaskan satu per satu apa yang dilihat Gabby. Kemudian kami mengajarinya tentang dunia dengan tangan yang bertaut erat.
TAMAT