11 Desember 2019
Seminggu setelah wisuda Gabby, sebetulnya ada peristiwa yang takkan perulupa. Tiba-tiba Mile bangun pukul 2 pagi untuk menerima telepon bisnis yang urgen, padahal baru terlelap bersamaku usai bercinta. Mile grasak-grusuk dengan badan separuh telanjang. Dia mondar-mandir mencari dokumen dalam lemari. Tentunya rahasia karena aku sendiri baru tahu ada berkas di lacinya.
Aku pun terbangun dengan kepala pening. Langsung duduk. Lalu menatap suamiku dengan mata mengantuk. "Mmh ... Phi?" panggilku. "Ada apa, ya? Kok buru-buru sekali?"
Mile menoleh dengan wajah paniknya. "Iya, Sayang. Sebentar. Ada masalah di perusahaan. Ha ha ha. Kamu tidur saja tak apa."
Meskipun begitu, mana mungkin aku mengabaikan?
Saat menikah, aku telah bersumpah ada untuk dia bahagia dan sulit. Jadi, kubantu Mile bersiap-siap usai bilang ada dinas mendadak. Aku pun turun ranjang, meski tertatih. Kakiku sakit kelamaan mengangkang, tapi segera menuju padanya untuk mandi bersama.
Usai bersih-bersih 10 menit, Mile masih mondar-mandir lagi untuk berpakaian ala kantor dengan cepat. Dia membuang bathrobe ke lantai lalu bercelana di depan lemari (tak peduli telanjang). Bahkan memakai kemeja langsung tanpa singlet dan aku membantunya memasang dasi.
"Tenang, tenang. Phi, tolong bernapas sedikit. Semua akan baik-baik saja," kataku sambil memelototinya.
"Tapi, Natta--"
"Sshhh, percaya pada Saya, oke? Semakin Anda tenang, semakin situasinya bisa dikendalikan," selaku. Mile pun menurut seperti baby Kimi yang kuelus. Pria ini diam saat arlojinya kupasang. Kerahnya kurapikan. Bahkan pomade rambut dan parfumnya aku juga yang menata. Dia terlalu panik sampai tak bisa mengurus diri sendiri. Kuajak bercermin. Kemudian kutepuk bahunya untuk memastikan semua beres. "Sudah oke? Hm?" kataku. "Phi Mile itu hebat, pasti bisa selesaikan segalanya. Good luck," kataku.
"Ahh, terima kasih ya, Sayang ...." kata Mile, lalu mengecup keningku. Dia melakukannya secepat kilat. Kemudian pergi dengan sepatu klimis berwarna hitam dengan aku menyusulnya.
Jujur, aku ingin menatap suamiku pergi karena sedih dan khawatir. Bagaimana pun baru sekarang Mile terbangun tengah malam oleh masalah kantor, dan dia ternyata sudah ditunggu Peter, Manajer Bas, dan Sekretaris Perth di halaman rumah. Mereka necis semua, lalu Mile masuk ke dalam mobil.
"See you ya, Sayang. Jangan lupa langsung tidur lagi," kata Mile tanpa menatapku. Namun, bisa kupastikan wajah itu menoleh sebelum pergi. Aku pun memberikan kiss-bye padanya dan senyum itu muncul karena aku melambaikan tangan.
"Hati-hati!" kataku, tanpa peduli masih ber-bathrobe dengan kissmark di mana-mana. Ketiga pria pasti paham bos-nya baru nge-seks denganku. Pipi mereka merah. Lalu mengekori dari belakang.
Usut punya usut ternyata Mile ke Hangzhou, China. Dan dia memakai jet pribadi agar lebih cepat sampai ke sana. Lewat ponsel suamiku bilang bahwa dia sampai ke tujuan pagi-pagi. Aku senang. Sebab ternyata "si kolega" yang marah telat pada pertemuan. Suamiku dan anak buahnya pun bisa sarapan. Mereka tetap profesional. Lalu aku menyemangatinya lewat voice note.
🔊 "Phi Mile, lakukan yang terbaik untuk hari ini. Sayangnya Daddy menunggu di rumah. Aku dan Gabby nanti mau ke toko bunga. He he. Boleh kan halaman belakang kutanami sesuatu? Aku suka sekali dengan lavender."
Mile memang tidak membalasnya langsung. Aku tak masalah. Karena suamiku memang sibuk sekali. Dia pasti menghabiskan sarapan dulu. Lanjut kerja. Buktinya malam-malam tetap mengirim sebuah pesan.
[Phi Mile: Iya, lakukan saja. Mbb, Apa sayangnya Daddy sudah tidur?]
Aku pun mengobrol dengan Mile 5 menit lewat telepon. Kami tertawa meski sebentar, lalu Mile bilang akan lembur dan sulit dihubungi. Aku sendiri tak masalah karena Mile sudah konfirmasi. Akan kutunggu dia. Tapi berapa terkejutnya aku saat pagi televisi di home-theater kompak memberikan berita yang pelik.
Kata seluruh presenter, ada penyakit baru yang muncul di China dan menewaskan 1.296 penduduk lokal, yakni Covid-19. Mereka bilang penyebarannya berpusat di Wuhan, China. Bahkan beberapa bandara langsung ditutup agar warga negara lain tidak ada yang keluar masuk dari sana. Mereka diisolasi mulai dari Wuhan, Beijing, Shanghai, Guangzhou, Shenyang, Xi'an, dan Hangzhou juga termasuk dalam wilayah siaga kuning.
BRAKHHH!!
PRANGGGGGG!!
"Mama!!"
Aku sampai menjatuhkan vas bunga mawar yang baru kurangkai. Semua pecah di lantai. Sebab baru semalam Mile bilang ada perjalanan ke Wuhan untuk urusan kedua.
"TIDAK!!"
Sebutlah aku terlalu dramatis. Tak masalah. Sebab aku terlalu panik memikirkan Mile yang menantang mati dan kakiku merangkak-rangkak ke layar demi melihat jelas seberapa banyak mayat yang dibuang akibat tak ada yang berani menguburkannya. Apalagi para petugas menggunakan baju khusus seperti astronot untuk menangani mereka. Banyak tenaga medis yang mati akibat peristiwa itu. Mereka terjangkit virus yang tiba-tiba meledak, padahal dugaan asal-usulnya masih belum jelas.
Kontroversi ada di mana-mana.
Mile belum menghubungiku lagi, meski sudah kutelepon berkali-kali. Karena dia sendiri mungkin sedang menjalani rapid-test sebagaimana umumnya turis negara asing.
[Otoritas kesehatan Wuhan telah merevisi angka kematian akibat virus corona. Data terbaru menunjukkan, jumlah korban meninggal lebih banyak 50 persen dari data sebelumnya]
[Dilansir dari Hong Kong Free Press, Pusat Pencegahan dan Kontrol Epidemi Wuhan pada Jum'at--]
Apapun kata-kata presenter waktu itu kuabaikan. Aku mencari kalender. Lalu mengecek kapan Mile kira-kira akan pulang. "Ini sudah tanggal 19 Desember, ya Tuhan. Harusnya besok ...." kataku dengan air mata berjatuhan. "Hiks, hiks, hiks ... Phi Mile, setidaknya beritahu aku Anda baik-baik saja ...." gumamku seketika sesak napas.
Gabby seketika bingung menatapku. Dia menarik bajuku. Lalu bertanya dengan polosnya. "Mama, are you owkayy?" tanyanya. "Kenapa air matanya keluar. Mama nangis? Cerita sama Gabby Mama kenapa ...."
Aku yang terlalu emosional pun memeluk dia. Aku kesal dan mendadak lemah karena ketakutanku dulu terjadi juga. Aku benar-benar tidak mau kehilangan Mile, aku cinta padanya. Namun kesedihanku makin digampar karena sorenya Mile video-call dari Wuhan sana.
"Natta Sayang ... Jangan panik dulu, oke? Kalau kamu tenang semua baik-baik saja," kata Mile. Gantian dia lah yang menenangkanku dari seberang sana. Suamiku berada di hotel waktu itu, katanya baru selesai kerja. Namun ketajaman perasaanku tentang dia mana mungkin bisa dibohongi.
"AKU TANYA APA PHI MILE IKUTAN TERKENA?! BILANG TIDAK, TOLONG!!! BILANG PADAKU CUMA DIISOLASI!!" bentakku berapi-api. Wajahku bahkan memerah karena amarah--kenapa dia baru mengabari sekarang--tapi ternyata Mile benar-benar menghancurkan ekspektasi.
"Aku positif, Natta," kata Mile, masih dengan senyumnya. "Peter, Bas, dan Perth juga begitu. Kami tak ada yang boleh keluar hotel hari ini. Petugasnya galak. Mereka bahkan memberikan dua kali tes sore tadi."
".... apa?"
"Tapi seperti katamu, semua akan baik-baik saja," kata Mile, yang mulai terbatuk-batuk di depan layar. "Maaf, aku belum bisa pulang sampai entah kapan ...."
"Tidak, tidak, tidak ...." Aku pun mematikan sambungan segera. Aku tidak tahan. Tapi Mile terus menelepon berkali-kali.
Maaf, Mile.
Aku tidak bisa melihat kenyataan.
Aku benar-benar tidak sekuat itu.
Aku pun melolong sendirian di dalam kamar. Aku nyaris gila. Apalagi kini berita Covid menyebar di seluruh sosial media. Mau menyetel TV atau membuka ponsel, semua membuat bulu kuduk merinding. Karena mereka terus memberikan berita update terkait kondisi Wuhan terus-menerus. Katanya, orang-orang yang panik pindah justru menulari tetangganya. Menyebar di wilayah yang dituju masing-masing. Bahkan negara lain pun ikutan terkena.
"LANTAS KENAPA SIH MILE MALAH KE SANA?! TOLOL YA?!" batinku memaki kasar.
Belakangan aku baru tahu Mile dan tiga anak buahnya sudah landas ke udara saat beritanya muncul. Jadi dia bilang "Aku besok akan ke Wuhan", bertepatan dengan saat di bandara untuk pergi-- oh, ya. Aku memang sempat lupa perbedaan waktu antara Thailand dengan China --tapi maaf, jika Mile sampai kenapa-kenapa aku akan tetap membencinya.
"Phi, apa Anda benar-benar tak boleh pulang?" tanyaku lewat video call. Begitu kuat, aku pun menghubungi Mile lagi walau mata bengkak dan hidung memerah, padahal itu tengah malam tapi aku insomnia. Aku pun terbaring miring dan berselimut dengan cahaya lampu tidur. Sepenuhnya ingin manja kepada Mile padahal dia yang terkena Covid. "Saya kangen ...." kataku terang-terangan.
Aku sudah tak peduli harga diri karena sangat rindu. Sebab ini sudah lewat 13 hari, tapi Mile malah terjebak di sana.
"Belum, Sayang. Bandara Wuhan kan ditutup total," kata Mile dengan nada lembut. "Aku juga tak pernah keluar. Hanya makanan dan tidur di hotel ini."
Mendengar itu, aku malah menangis semakin deras. "Jangan keluar, Phi ... hiks ... hiks ... hiks ...." kataku. "Tidak lucu kalau besok Phi Mile sudah jadi mayat. Tidak suka ... hiks ... hiks ... hiks ...."
Mile pun memenangkanku dengan segala cara. Dia menyanyikan lagu sembarang lagu, meski suaranya serak. Itu pun sambil mencicil tugas lewat laptop. Suamiku siaga online karena Thailand mulai terjangkit, dan dia selalu sedia air minum dalam gelas ukuran jumbo.
Aku juga mengontrol jadwal dia minum obat. Kutanya, "Pagi ini Phi Mile sudah minum kan? Jangan sampai dibawa ke rumah sakit ...." setiap hari. Termasuk siang dan malamnya juga. Untung suamiku dapat kamar hotel sebelum di-rapid, jadi begitu dapat gejala positif, dia bisa memohon kepada dokternya untuk isolasi mandiri.
Mile bilang dia membayar mahal tidak masalah, karena biaya hotel setiap hari tidak setara dengan nyawanya. Daripada campur baur dengan pasien rumah sakit, kan?
Lama-lama Mile menghubungi keluarga di Bangkok untuk meminta bantuan. Paling tidak uang yang dibawa jangan sampai habis selama nyaris sebulan di situ. Bagaimana pun dia menanggung biaya Bas, Perth, dan Peter sekaligus. Parahnya Bas sempat parah sehingga dilarikan ke rumah sakit.
Bas pun mendapatkan perawatan intensif. Bahkan Mile, Perth, dan Peter harus pakai baju khusus untuk menjenguknya. Lelaki itu nyaris meregang nyawa. Dia mati suri dan kembali lagi dalam dua menit. Lalu segera ditaruh dalam ruang khusus.
"Aku tidak bisa pulang sekarang. Tidak dulu, oke? Kami pergi berempat, maka harus pulang berempat," kata Mile. Dia video-call aku lagi saat ada simpang siur otoritas China akan membangun rumah sakit darurat dan isolasi di Wuhan. Sebab total infeksi dikonfirmasi di kota itu telah direvisi menjadi 50.333 pada pertengahan Januari 2020, meningkat dari 325 kasus, dan data jumlah kematian sekarang mencapai 3.869, lebih 1.290 dari jumlah sebelumnya berdasarkan berita CNBC Internasional.
Mile betul-betul membuatku khawatir. Dia terserang pneumonia dadakan yang makin parah. Tapi respek-nya kepada Bas tak pernah berakhir. Dia bertahan setiap hari sebagai pimpinan, meski wajah Bas begitu pucat. dan sempat memberikan wasiat kepada keluarga di Pattaya karena sudah menyerah.
Kata Bas: "Maaf, aku tidak bisa pulang, Ayah ... Ibu, titip salam juga ke pacarku, Jobby. Kalau sampai meninggal di sini, kuperbolehkan dia menikah dengan siapa pun."
.... dan aku menangis kencang saat Bas sungguhan meninggal.
Dalam bayanganku, Job pasti terpukul dengan kabar ini, tapi berita buruk ternyata belum berakhir. Usai Bas --dengan terpaksa-- dimakamkan di Wuhan, sebagaimana prosedur pasien Covid yang punya banyak peraturan ketat. Gantian suamiku dan Peter lah yang makin parah.
Perth sampai panik karena harus bolak-balik mengurus obat mereka, dari kamar hotel A + B, dan itu dilakukan nyaris dua bulan. Seolah-olah main game survival, Covid-19 ternyata menjangkiti Thailand ketika Januari 2020 akhir. Sehingga warga di sini panik, dan sekolah mulai diliburkan semua.
Tidak ada lagi pendidikan, jalan-jalan, dan sosialisasi setelah itu.
Bahkan membeli bahan makanan untuk sehari-hari saja sulit.
Ajakan Mile resepsi ulang secara publik juga di awang-awang. Karena dia bahkan belum sempat memperkenalkan diriku ke keluarga besar.
Kok memperkenalkan, kami bertemu saja tidak bisa.
Ibu dan Bapak juga fokus di rumah, mereka tidak belanja-belanja di luar. Untung Ibu punya hobi berkebun jadi stok aman semua. Beliau memiliki sayur sendiri untuk dipanen, walau harus perhatian dan memetik setiap hari. Semua orang harus irit karena pandemi sungguh meresahkan. Bahkan ada mall yang ditutup karena pegawainya sudah rata kena Covid.
"Phi Mile, semangat. Ulang tahunmu yang ke-35 sampai lupa lho. Anda dan Peter pasti segera sembuh ....." kataku menyemangati.
Sejujurnya aku sering menangis melihat suamiku pucat, bahkan aku pernah onani di kamar karena merindukan sentuhannya. Bagaimana aku dan dia terpisah begitu lama. Sampai-sampai Gabby bertanya Daddy-nya kapan akan pulang.
"Kapan-kapan, Sayang. Mama juga tidak tahu," kataku. Lalu bocah murung itu gabung tidur denganku.
Gabby juga sering menangis karena gagal naik kelas karena sekolah ditiadakan. Apalagi seragam sekolah barunya sudah siap di lemari. Padahal Gabby 7 tahun sangat excited dengan kehidupannya di tingkat SD. Dan dia menangis lagi saat mendapati diriku terisak pada bulan Februari.
"Mama kenapaaaa? Hiks, hiks ... hiks ...."
Dia adalah satu-satunya yang memelukku saat memandangi kue ulang tahun buatan sendiri. Karena hingga kini Mile belum pulang dan dilarikan ke rumah sakit bersama Peter.
Apakah suamiku akan meninggal seperti Bas juga?
Aku tidak pernah tahu.
Belakangan berita kematian tidak aneh lagi di telinga, karena kami berguguran satu per satu seperti hujan.
"Eh? Pulang? Serius?" tanyaku kepada Ibu Nathanee pada suatu sore. Beliau datang menggunakan masker. Langsung cuci tangan dan lain-lain. Kemudian duduk di ruang tamuku sambil membawa bolu cokelat untuk Gabby.
"Iya, Nak. Sepupu Mile yang bernama Jeff sampai rumah hari ini. Dia tak tahan lagi di USA. Untung bandaranya sudah dibuka kembali--ya walaupun mungkin hanya sebentar. Setidaknya yang negatif Covid bisa menyebrang ke tanah air. Itu pun mending jadi Jeff dan Napvtik bisa melakukan pernikahan secara tertutup."
"Oh ...."
Namun, ternyata rencana pernikahan itu ditunda karena Jeff tak sampai hati. Apalagi mendengar Mile makin parah, berikut Phi Tong dan Nong Ta ikut-ikutan positif Covid.
Kami hanya bisa berdoa hingga bulan Juli--ulang tahun Gabby datang, dan Mile hanya memberi selamat kepada anak semata wayangnya sambil terbaring di rumah sakit. "Gabby Sayang, Daddy masih di sini kok. Baik-baik saja ya sama Mama Natta ...." katanya lewat video-call yang kesekian kali. "Jaga Mama selalu. Apalagi kalau Daddy ternyata tak bisa pulang ...."
Gabby yang polos pun justru bertanya. "Sakitnya Daddy dimana?" sambil menunjuk hidungnya. "Di sini? Daddy pasti bisa sembuh ...."
.... tapi aku justru kabur saat percakapan itu terjadi.
Aku syok dan menangis karena Mile juga ikut-ikutan meregang nyawa, padahal Peter berangsur sembuh di ranjang RS dan boleh pulang ke hotel.
Hanya saja suamiku tidak, tolonglah ....!
Dia justru mulai pingsan berkali-kali.
BRAKKKHHHH!!
"SAYA AKAN MEMBENCI ANDA, PHI! SAYA AKAN MEMBENCI ANDA KALAU SAMPAI MATI!! PLEASEEE, SIAPA YANG BILANG MAU MENIKAH DENGAN SAYA SECARA PUBLIK!! SAYA SUDAH SIAP DAN PERCAYA DIRI!! AYO PERGI! HIKS ... hiksss ... AYO PERGI BERSAMA KEMANA PUUUUN .... PHIIII .... hiks ... hiks ... hiks ...."
Usai mengamuk di kamar mandi, aku pun merosot diantara mouth-wash dan odol yang berceceran. Aku menyatakan cinta untuk Mile berkali-kali, walau tak ada yang mendengar.
"Hiks, hiks ... hiks ... Phi Mile ... pulang ...." isakku krisis identitas. Rasa-rasanya aku jadi lupa genderku lelaki atau perempuan. Karena aku sudah tak malu lagi menangis separah apapun jika suamiku yang terkena musibah. "Hiks ... hiks ... pulang, Phi ... Saya kangen ...." kataku sambil mengusap wajah dengan lengan dan telapak tangan. "Saya benar-benar mencintai Anda ... hiks ... hiks ... hiks ... Phi Mile ...."
Aku pun berpasrah saat mendengar Phi Tong meninggal lebih cepat daripada bayanganku. Dia tak bertahan, tapi Ta sembuh tidak lama kemudian.
Pada masa-masa itu Covid-19 memang berlaku seperti sihir, sebab dia membuat orang yang sehat hari ini, besoknya meninggal. Atau yang akan meninggal, justru bisa sembuh.
Seperti suamiku.
Mile ternyata membaik setelah aku menangis 3 hari berturut-turut di depan patung Buddha, kudoakan dia. Karena yang kupercaya hanya Tuhan jika Dia ingin mengambil cintaku.
Aku tak berharap banyak, kecuali Mile tenang, jika sungguhan pergi, namun bisa kupastikan bahwa aku kuli paling beruntung di dunia karena menjadi Istrinya.
"Don't cry, sweety ...." kata Mile, seolah-olah ingin membelai wajahku dari jauh sana. "Ya ampun, Sayangnya Daddy bengkak semua ...."
"Ini gara-gara siapa ...." protesku jengkel karena tak bisa menyusul ke Wuhan akibat bandara Bangkok ditutup. "Phi Mile, Saya mencintai Anda. Hiks ... hiks ... yang kuat ... Saya selalu menunggu di rumah ...." kataku merengek-rengek.
Akhirnya pada bulan September akhir suamiku pun berhasil pulih. Dia pulang bersama Perth dan Peter saja, sementara Bas tenang di langit bersama Phi Tong, padahal mereka belum berkenalan jelas denganku. Aku jadi cengeng, meski hanya membaca memo pernikahan dari Phi Tong yang bertanya nama panggilanku. Lalu aku menjawab dengan kata-kata parau. "Panggilan Saya, Natta, Phi ... Natta. Itu kalau sama keluarga," bisikku. "Tapi orang-orang luar biasanya panggil Saya Apo ...." kataku seperti orang gila.
Aku bicara pada memo hingga Mile pulang. Suamiku muncul di ambang pintu. Lalu aku turun ke tangga dan sempat tersandung sendiri.
"PHIII MILLEEEEEEE!!!" jeritku kekanakan untuk pertama kalinya.
"EH! EH! SAYANG--JANGAN DULU!! AKU HABIS DARI LUAR, MAU CUCI TANGAN--"
Persetan dengan cuci tangan!
Aku pun memeluk suamiku setelah kami terpisah 9 bulan. Kucium dia dengan kasar, tak peduli Gabby melihat. Toh Mile sudah dinyatakan sembuh. Aku menjambak kemeja dan menamparnya karena terlalu kesal, tapi bibirnya kucium lagi setelah Mile meringis sakit.
"Ahhh! Natta--"
"Sshhh! DIAM! SAYA KANGEN!!" bentakku. "PHI TIDAK TAHU SAYA PUN HAMPIR MATI BUKAN KARENA COVID!!" Lalu menyeretnya ke kamar mandi agar kami bersih-bersih berdua. Ku-shampoo rambutnya sambil terisak, lalu kubaluri badan Mile dengan napas yang berat. Meskipun begitu, aku tak mau segera melepaskannya.
Selama di bath-up, aku telungkup di tubuh Mile untuk mencumbu dirinya, tapi tetap penis suamiku yang menguasai bokong bulat ini. Aku teramat bergairah, campur rindu, dan terharu, maka jangan salahkan jika setelah di kamar mandi, penis Mile masih kutunggangi di atas ranjang. "AHHHH! SSSSHH ... NATTA! NATTA!"
Mile pun mendesis setiap saat. Dia kewalahan sebab bokongku kuat mengisap penisnya begitu rapat, apalagi kami tak bercinta dalam waktu yang lama. Rasanya liangku betul-betul ingin kepuasan di dalam. Aku membuang seluruh kondomnya ke lantai, dan Mile kucekik selama aku bergerak di atas dirinya.
"AHHHH! Ahhh!! Phi Mileeee! Phiii--hhh ... nnghh ...." desahku entah ke ronde berapa. Perasaan aku tidak bosan membuat Mile merintih. Kujepit penisnya, meski sempat lemas. Lalu kugesekkan dadaku ke mulutnya, agar Mile mau mengulum.
"AHHHH ... hhhh ...." desah Mile, yang hati-hati menyentuh karena dia cemas aku tertulari Covid. Namun, aku tidak ragu untuk bercinta dengannya. Karena kalau pun kami mati sebaiknya berdua saja. "Hhh ... Natta ...."
Usai posisi duduk, aku masih berlutut dan memasukkan penisku ke mulut Mile. Aku menjambaknya, tapi setelah klimaks di bagian leher aku sendiri merosot ke bawah untuk gantian mengisap penisnya.
"Hhhh--hhh ... jangan begitu dulu--hhh ... Jangan, Sayang--sini ...." kata Mile sambil menarik lengan kiriku. Aku pun diajak melakukan seks lebih lembut (dia capek setelah perjalanan jauh), lalu memintaku berbalik dengan bokong di depan wajahnya. Kata Mile, dia memang lebih suka seks mutual. Jadi saat aku mengisap penisnya, sementara suamiku melakukan penetrasi di liangku yang basah.
"Ahhh ... Phi Mile ....!"
"Nikmat, Sayang?"
"Hhh ... hhh ... iya--hhh ..." kataku, lalu kembali mengulum penis Mile sebaik mungkin.
Kuakui seks tersebut merupakan pelampiasan frustasi, karena selain stress dan rindu, aku juga tidak mau ingat kesedihan-kesedihan yang kami alami selama hampir setahun ini. Aku pun melakukan banyak hal nakal untuk Mile, karena saat dia mulai menyerah, aku masih bergeliat di atas ranjang sambil meremas putingku.
"Phiii, lagi ...." kataku.
Mile pun ikutan frustasi karena dia sama rindunya. Lalu menghabisi segala aspek diriku di ranjang itu. Aku tak peduli berdarah untuk ketiga kalinya sepanjang seks bersama Mile. Karena hari itu aku hanya ingin bersetubuh dengan kekasihku, cintaku, milikku, suamiku, belahan jiwaku--atau apapun sebutannya jika masih ada yang lain.
"Lagi, Phi .... nghh ...." kataku setelah dituruti tambah satu kali. Mile yang sudah berkeringat sekujur badan pun menatap diriku yang mengobok liang dengan jari. Aku haus dia, tapi juga menangis karena membayangkan nyaris kehilangan. "Hiks ... hiks ... hiks ... Phi Mile, Saya hanya ingin yakin Anda benar-benar pulang ...."
Mile pun akhirnya maju lagi untuk menghantam liangku hingga ranjang berantakan. Bantal dan guling juga berjatuhan karena perbuatan kami, tapi kami tidak punya ampun.
"Sshhh, shhh ... Sayangku ...." bisik Mile, sambil mendekap di akhir. Dia mengecup keningku begitu lama. Penisnya masih di dalam, tapi aku tak melarangnya hingga hilang kesadaran. Oh, sumpah demi apapun itu pertama kalinya aku pingsan setelah kami bercinta
"Sayang ... Natta?"
Akhirnya panggilan lembut Mile pun makin istimewa di telinga. Aku tak mudah bosan. Karena aku tahu hanya Mile berani begitu. Eksistensinya betul-betul berarti dalam hidupku. Dia tak terganti, dan syukurlah pandemi Covid ini surut total pada tahun 2022.
Waktu itu kami sudah menjalin hubungan selama 4 tahun. Jadi bisa melaksanakan resepsi publik. Barulah disusul oleh Jeff dan Napvtik satu bulan kemudian. Hal yang mengajari kami bahwa kehidupan itu memiliki sisi hitam dan putih. Baik dan buruk. Jatuh dan sukses. Kemudian siklus ini berputar lagi di masa depan.
Kami hanya harus saling menjaga setiap saat. Baik lewat doa, cinta, perhatian, pujian, dukungan, dan lain sebagainya ... karena sumpah pernikahan ini tak hanya terucap di hadapan mata manusia, melainkan Tuhan pun telah menjadi saksinya.
"Sudah selesai?" tanya Mile tiba-tiba.
"Huh? Sudah, Phi ...." sahutku, lalu meletakkan persembahan dan bunga ke guci biksu kuil. Suamiku meletakkan miliknya juga. Kami pamit. Sementara Gabby yang menunggu di mobil tiba-tiba menunjukkan layar ponsel.
"Mama, lihat dulu akun TikTok Gabby ...."
"Hmm?"
"Gabby ingin bisa naik sepeda. Seperti ini ...." Anakku menunjukkan sepeda merk Aviator AT8877 yang panjangnya 20 inci. Dan tentunya itu cocok untuk anak 10 tahun. Dia bisik-bisik di telingaku katanya minta belikan, tapi harus aku yang merayu Mile dahulu. "Ya, Mama ya ...." katanya seolah mengatakan topik super duper rahasia.
"Huh? Kenapa tidak minta sendiri? Daddy pasti belikan kok."
"Sshhh ... shhh ... tidak akan," kata Gabby sambil menaruh telunjuk di depan bibir. "Daddy kan baru marah kemarin. Katanya Gabby main PSP terus. Jadi tidak berani bilang ...."
Aku pun terkikik geli. "Xixixixixi ... boleh. Nanti Mama mintakan," kataku sambil melirik Mile yang menyetir di depan. "Tapi janji dulu sama Mama ...."
"Hm?"
Aku mengulurkan kelingking. "Besok nilai matematikanya harus 100, bagaimana?" kataku. "Deal? Soalnya kemarin masih salah dua ...."
Gabby pun menautkan kelingkingnya padaku. "Deal ....!" cengirnya lucu. Pulang jalan-jalan kami pun mampir ke toko sepeda. Mile melipatnya ke dalam bagasi. Lalu pulangnya Gabby kuajari berputar di halaman.
"Bagus, sekarang pegang setirnya seperti ini ...." kataku mencontohkan.
"Begini, Mama?"
"Yup, benar. Terus kayuh secara perlahan ...."
Gabby pun mulai mengikuti instruksiku.
"Ahhhhh! Tapi aku takuuuuuuuut ....!"
"Tenang, tenang ... Mama pegangi sampai jalannya turun."
"Mmnnhh ... setirnya goyang-goyang!! MAMA!!"
"Kamu bisaaaaa ...."
"MAMAAAAAAAAA!!"
"Satuu, duaa, tigaa ... LEPASS!!"
"MAMAAAAAAAAAAAAAAAAA!!"
"HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!"
Mile yang bermain bersama Kimi dan Momo pun tertawa lepas. Sebab sepedanya beroda 4, tapi drama-nya Gabby tak pernah berakhir.
EKSTRA CHAPTER
[Tamat]