EKSTRA CHAPTER 1

6 Tahun Kemudian ....

Castellon De La Plana, Spanyol.

"DADDDYYYYYYYYYY!!!" jerit balita umur 1,7 tahun itu. Baru saja dia bangun, sudah membuat keributan di kamarnya. Sempat ada suara "Gabruk!" juga dari dalam. Dan ketika Apo sigap datang, dia tertawa karena nyaris menabrak selimut berjalan di depan pintu.

"BUAHAHAHAHAHAHAHAH!! Lila, Kau ini sedang apa sih? Ayo ikut Papa," kata Apo, lalu menggendong anak pertamanya itu. Dia menyingkirkan selimut yang membelit, kemudian mendudukkannya ke kursi tinggi di ruang makan. "Mau susu? Sarapan dulu, ya. Pa ambilkan kau bubur di dapur."

"Daddy ... mau Daddy ...." rengek balita itu. Biasanya dia tenang dan menunggu, tapi tidak bisa kalau bukan Mile yang datang.

"Aisssh, Daddy masih tidur jam segini, apalagi akhir pekan. Diam dulu sama Papa. Biar dia istirahat sampai jam 10 nanti."

"Uunngg." Meski protes, Lila tetap menurut pada akhirnya. Dia sarapan bubur dan susu. Walau jika kumat kesal membuat mangkuk berantakan.

"Lila, hei, jangan begitu. Nanti kotor," larang Apo. Lila malah makin menjadi-jadi. Dia mengaduk bubur hingga tumpah ke sisi mangkuk, lalu menjerit hingga adiknya ikut menjerit di kamar.

"Mau Daddddyyyyyyyyyyy!!!!!"

"Oeeeeeeee!! Oeeeeeeee!! Oeeeee!!"

Apo pun pusing seketika. "Oh, shit. Ya ampun. Sam ikutan bangun!" Dia berlari ke kamar, dan melihat Mile baru bangun karena tangisan si bungsu.

"Oh ... ssshh ... shh ... ssh ... shh ...." kata Mile. Dia duduk dengan rambut awut-awutan, lalu menggendong Samuel dengan tepukan di bokong. "Pagi, Sam. Hmm, jeritanmu kencang sekali."

"Fiuuh ... biar aku saja yang mengambil alih, sini," kata Apo. "Phi, kau urusi Lila saja. Dia memanggilmu sejak tadi. Ada di ruang makan anaknya."

"Iyakah? Sebentar."

Apo menerima Sam, sementara Mile berajalan menyeret kaki keluar. Dia menggunakan sandal lantai terbalik, tapi tak peduli dan segera datang. "Halo, Lila? Morning ...." sapanya, lalu menggendong si sulung.

Ya, memang begitu setelah mereka menikah 3 tahun lalu. Mile memutuskan tinggal di Spanyol karena membuka banyak bisnis di sana, sementara kalau ada perlu baru pulang ke Thailand. Toh perusahaan utama sudah dipegang kakaknya, Pomchay. Mile jadi lebih bebas menjalani sesuatu, dan dia membawa Apo serta ke sana.

Awalnya sih, mereka hanya berdua saja. Tapi karena sering pulang pergi ke tanah air, Apo tiba-tiba bercelutuk. "Phi, tidak ingin punya baby?"

"Hah?" bingung Mile. Apo pun menunjuk pasangan gay yang memeluk bayi kembar di dada masing-masing.

"Itu, seperti mereka."

Waktu itu keduanya ada di bandara. Niatnya ingin masuk ke gateway langsung, tapi berhenti sebentar karena obrolan bayi.

"Ho, itu pasti surogasi. Memang kau tidak apa-apa?" kata Mile.

"Iya, lah. Kan ada yang prosesnya pakai injeksi. Aku ingin lihat Phi yang versi kecil. Pasti lucu. Ya ampun!"

Kening Mile langsung mengerut. "Kenapa sekarang jadi aku?"

"Ayolah ... aku mau coba satu, yang Phi Mile. Kalau sanggup merawatnya dengan baik, nanti lah versi aku menyusul belakangan," pinta Apo.

Akhirnya, Mile dan Apo melakukan program surogasi yang pertama hingga Lila Vricsayye Romsaithong lahir ke dunia. Sekitar 5 bulan kemudian, mereka yakin melakukan program yang kedua, barulah Samuel Vricsayye Wattanagitiphat ikut melihat dunia.

Like Daddy, Like Daughter. Lila otomatis lebih dekat dengan Mile, sementara Sam sering tenang kalau di gendongan Apo. Namun, meski memang merepotkan, mereka suka dengan kehadiran dua bocah itu.

"Papa ... Papa ... Papa ...."

Ada-ada sajaaaaa tingkahnya. Terutama Lila. Apo pernah melihat jarinya menerobos celah di bawah pintu hanya untuk mengusili dia. Atau menemukan Lila masuk kulkas karena gerah. Bahkan suatu hari melempar-lempar pampers dari laci kasur seenak hati.

"Astaga, anak ini," kata Apo. Palingan, kalau sudah gemas karena ngompol atau semacamnya, Apo akan menyerbu Lila dengan sun dan gelitikan, lalu mereka berdamai dengan belanja susu di mini-market.

"Ayo, pilih mana. Setelah ini kita beli boneka untukmu."

Lila hanya duduk di kereta dorong sambil menyedot susu dari botolnya. Sesekali dia menggapai udara, lalu mengambil jajan dari rak di sekitar.

"Wah, aku cemburu sekali. Kenapa kau selalu jago menenangkan baby-baby kita?" kata Apo setelah pulang. Mile bahkan mengecek data-data bisnis di sebelah ranjang Sam, lalu beralih fokus dari tablet yang ada di tangan. Shit! Sam maupun Lila memang tenang kalau bersama Mile, tapi Apo selalu kesulitan menangani Lila.

"Hmm, kau tadi bertempur dengan Lila lagi? Dia minta apa kali ini."

"Boneka saja. Oh, dan beberapa permen panjang. Tapi aku juga beli baju-baju manis untuk dia. Kenapa?"

"Tidak, itu bagus," kata Mile. Mereka pun berciuman sebentar, sampai Lila memanggil kencang dari ruang tamu.

"Papaaaaaaa!! Permenku ada yang tetinggalan!" kata Lila, masih agak cadel saat berbicara. Dia mengacak-acak meja tamu pendek itu, dan bibirnya meleyot karena sedih. "Huaaaaaaa!! Permen Doraemon-kuuuuu!"

Hiaaaah! Perilaku cengeng ini pasti bawaan dari ibu surogasinya. Bukan asli Mile sendiri. Makanya, ketika program yang kedua, Apo tidak mau meminta bayi dari wanita yang sama. Mile pun setuju, lalu sekarang Sam jadi sangat tenang. Dia hanya menangis sesekali, dan mudah tersenyum bahkan mengoceh.

"Uaa ... uaa ... uaaa ...." kata Sam Sambil berkedip-kedip. Bayi lelaki itu tertawa saat dicium, dan menatap Apo penuh binar saat digendong.

"Oh, iya. Mom-nya Sam ingin datang menjenguk nanti sore. Itu pun kalau kau tidak keberatan sih," kata Mile tiba-tiba. Lelaki itu menunjukkan ponselnya kepada Apo. Dan di sana ada chat singkat dari Mariane. Apo pun membacanya berkali-kali, lalu terdiam lama. "Dia mau pindah ke Madrid, jual rumah, lalu menetap di California. Sepenuhnya ganti kartu hijau sih katanya. Jadi takkan kembali kemari."

"Hm, okelah. Mana tahu dia ingin mengambil foto berdua terakhir atau bagaimana," kata Apo.

"Oke, sekarang biar kubalas dulu."

"Hm."

Sorenya, Mariane benar-benar datang, walau Apo terkejut dia sudah hamil lagi. Itu baby milik pasangan gay lain, katanya. Dan kalau nanti sampai di Madrid, Mariane bilang akan melahirkan dulu sebelum jual rumah.

Well, Apo biasa saja tahu soal surogasi, hingga menjalani langsung program itu. Sebetulnya dia miris, tapi juga senang ada wanita-wanita seperti Mariane. Sebab dia tidak memilih jalur pelacuran untuk mencari uang. Sebaliknya, Mariane menaikkan ekonomi keluarganya dengan cara ini. Wanita itu mengumpulkan pundi-pundi euro sebanyak mungkin, lalu menetap di wilayah yang dia sukai untuk memulai hidup baru.

"Sam Sayang, yang pintar ya dengan Pa Apo," kata Mariane sambil mengemong baby-nya yang kesekian itu. "Patuh, jangan rewel. Kau aman bersamanya di sini."

Seolah-olah paham omongan sang ibu, Sam pun tertawa dengan raut cerahnya. "Aaa ... auauau ... mnn ... un."

Mile menggendong Lila waktu itu. Di menemani Apo dan Mariane di sekitar Samuel, lalu mereka mengobrol ini dan itu. Banyak hal. Kedepannya sekolah Sam bagaimana, atau kalau menjelaskan pertanyaan Sam di masa depan harus bilang apa ... yang pasti, Mariane siap datang kalau ada apa-apa.

"Baiklah, hati-hati di jalan, An," kata Apo. Dia mendekap Sam saat Mariane masuk mobil, sementara Mile tidak lupa menyelipkan se-amplop tebal uang euro untuk bekal wanita itu pindahan.

"Iya, daaaaah ...." kata Mariane.

"Hati-hati," kata Mile.

Mereka pun saling melambaikan tangan, lalu Mile dan Apo berpandangan di halaman teras. "Dia keren sampai titik ini," kata Apo. "Kudengar sudah 9 tahun jadi Mama surogasi. Dia sampai tidak kuliah setelah lulus. Jadi, aku ikut senang dia  S1 setelah ini."

"Hm, apalagi sudah masuk tes UCLA, kita doakan saja semuanya sukses," kata Mile. "Usia 27 belum terlambat untuk memulai sesuatu yang baik."

Apo mengangguk pelan. "Aku malah berharap dia dapat suami secepatnya setelah kuliah," katanya. "Pasti kukirim hadiah kalau dia menikah. Ha ha ha."

"Suami yang kaya pastinya."

"Sepertimu? Yeah, dia pantas. Tapi lebih bagus lagi kalau dari ras yang sama," kata Apo. "Maksudku, hmm ... An bilang rahimnya selalu disewa pasangan gay luar negeri. Jadi, dia pernah bilang ingin punya baby yang satu ras. Biar dia tahu kalau profesi ini sudah berakhir. Katanya tenang kalau sudah begitu."

"Hooo."

Apo lalu memandang Lila di gendongan Mile. "Mom-nya Lila sendiri kok tidak pernah kesini, ya? Apa kabar dia? Atau sudah lama berhenti?"

"Dia? Entah ya. Irene tidak pernah menanyakan Lila lagi sejak 4 bulan lalu. Tapi dia memang sempat bilang kalau ada tawaran kerjaan lain."

"Oh ...."

"Baiklah, ayo masuk. Tidak baik kalau baby Sam tetap di luar. Kulitnya masih sangat merah."

"Oke," kata Apo. Dia pun menciumi Sam sebelum mengekori Mile, walau mereka berhenti karena sang suami tiba-tiba mendapat telepon.

"Iya, halo?"

"Dari siapa, Phi?"

Baru beberapa detik Mile mengangkat, raut wajah lelaki itu sudah sangat tegang.

DEG

"Irene kecelakaan?"

"Iya, tiba-tiba. Jadi kami sangat butuh uang untuk operasi dadakannya. Bisa Anda datang ke rumah sakit XXX? Irene bilang Anda adalah klien paling kaya yang pernah menyewa dia," kata lelaki yang mengaku sebagai tunangan Irene di seberang sana.

"Oh, baiklah. Kirim saja alamatnya. Kami datang."

"Terima kasih banyak. Maaf merepotkan. Kata dokter operasinya tinggal 30 menitan lagi. Terima kasih sekali lagi."

Tuuuuuttttsss ....

Mile dan Apo pun datang bersama ke lokasi setelah itu.