EKSTRA CHAPTER 2

MILE pun menghentikan mobilnya di kawasan rumah sakit Provincial Del Castello dengan cepat. Namun, dia tidak serta merta turun. Lengan Apo juga ditahannya agar tetap di tempat, walau lelaki itu langsung mengerutkan kening.

"Tunggu, tunggu dulu. Jangan keluar," kata Mile. "Di sini saja, oke? Jaga Lila dan baby Sam di sini. saja."

"Eh, kenapa?"

"Menurut saja padaku," kata Mile. Dia menoleh ke jok belakang. Lalu tersenyum ke Lila yang tiduran sambil main game ponsel. "Halo, Sayang. Coba lihat Daddy sebentar?" pintanya.

Lila pun menoleh dari layar ponselnya. "Ya, Daddy?"

"Di sini saja sama Pa Po, ya. Jangan main-main kemana pun. Nanti Daddy kembali," kata Mile.

Lila pun tersenyum lebar. "Iya, tapi  ec klim! Beli itu ya nanti? Buat Lila banyak-banyak!" pintanya.

"Hm, yang pintar." Mile lalu mengelus pipi Sam yang masih tidur di gendongan Apo. "Dengar, orang ini agak aneh. Jadi, jangan sampai mereka melihat kalian juga."

"Aneh bagaimana maksudmu?" tanya Apo.

"Ya, hanya karena Irene cerita aku klien terkaya, kenapa serta merta langsung minta uang padaku? Tidak wajar. Pasti ada sesuatu," kata Mile.

Kepanikan Apo pun mereda perlahan. Dia mulai berpikir rasional dan diam saja saat disayang di pipi.

"Sudah ya. Biar aku saja yang menemuinya. Pastikan semuanya aman."

CKLEK!

Mile pun keluar sendirian. Punggungnya menjauh dari parkiran rumah sakit, sementara Apo menelan ludah kesulitan. Kini kekhawatirannya pindah dari Irene ke sang suami sendiri.

Bagaimana kalau Mile kenapa-napa melawan orang itu? Bagaimana kalau ternyata benar-benar tipuan? Apo rasa, Mile adalah pilihan paling benar dalam hidupnya. Bila tidak lelaki itu, bagaimana kondisinya sekarang? Hanya Mile yang paling peka dan menjaga Apo dengan cara terbaik selama ini.

"OEEEEE!! OEEEE!!! OEEEEEE!" Tiba-tiba, Sam menangis begitu kencang, padahal dia tadi tidur lelap. Apo sampai kaget dibuatnya, Lila juga. Sang kakak perempuan auto meletakkan ponsel karena cemas adiknya, lalu ikut menenangkan Sam.

"Astaga, Sam? Hei, ssss ... shhh ... shh ... cup, diam, Sayang. Pa Po ada di sini. Ssssh ... ssh ... ssssh," kata Apo. Segala cara dia lakukan, mulai dari menepuki bokong, meminumkan susu dalam dot, memberikan empeng kosong, bahkan menggendongnya sambil digoyang-goyang. Namun, yang ada jeritan Sam semakin kencang.

"OEEEEEEEEEEE!!! OEEEEEEE!!! OEEEEEEEEE!!! OEEEEEEE!!! OEEEEEE!!! OEEEEEEEE!! OEEE!!"

Pecah sekali suaranya hingga menembua gendang telinga. Apo pun membuka jendela mobil tipis-tipis agar udara masuk, lalu Sam dikipasi dengan majalah otomotif Daddy-nya.

"Ya ampun bisa gila aku lama-lama. Kau ini kenapa, Sayang? Sssssh ... ssssh ... sssh," kata Apo terus menerus. Kulit Lila sudah memerah karena emosi yang dikeluarkan ke permukaan. Sam bahkan berani menampik tangan Lila yang ikut menepuki dadanya lembut seolah-olah bayi itu marah dan ingin belari.

Apa dia ikut khawatir kepada Mile juga? Kenapa Mile lama sekali? Apo jadi tidak sabar untuk menyusul--

"OEEEEEEEEEEE!!! OEEEEEEE!!! OEEEEEEEEE!!! OEEEEEEE!!! OEEEEEE!!! OEEEEEEEE!! OEEE!!"

Semuanya masih ribut sampai seorang wanita yang menggandeng anak 7 tahun ikut prihatin saat sampai di parkiran. Dia tidak tega langsung membuka mobilnya sendiri, malah menghampiri Apo untuk ikut menenangkan.

"Halo, Tuan? Boleh kubantu sebentar?" tawar wanita itu. Apo yang sudah bingung pun mau keluar juga. Dia sebenarnya sulit percaya pada orang asing sejak Mile bilang seperti tadi, tapi seorang ibu tidak mungkin tidak tulus. Dia pun menyerahkan Sam kepada wanita itu, lalu berdiri terpekur memandang bagaimana caranya bernyanyi untuk Sam di gendongan sambil berjalan-jalan kecil.

"Papa, Sam oke?" tanya Lila yang ikutan turun dengan rok mengembangnya. Gadis kecil itu menggandeng tangan kiri Apo, lalu berkenalan dengan anak si wanita. "Halo, aku Lila."

Bocah lelaki itu menyahut dengan senyuman juga. "Halo, Lila. Aku Roger," sapanya ramah. Rambut pirangnya diterpa angin dari balik mobil, sementara Lila meringis tersenyum seiring adiknya menjadi tenang.

"Memang ibunya kemana, Tuan? Lagi berobat?" tanya si wanita sambil menciumi pipi Sam.

DEG

"Ah? Tidak, anu ... suamiku sedang di dalam untuk menemui seseorang. Biasanya dia yang jago mengurus baby. Maaf, ya merepotkannmu."

Wanita itu langsung paham situasi di depannya. "Owalah, begitu. Iya, sama-sama. Ini, baby-nya sudah diam lagi. Silahkan," katanya. Apo pun menerima Sam dalam gendongan, meski bayi itu masih sedikit merengek-rengek. "Semoga bahagia selalu. Adikku juga mulai program surogasi tahun lalu. Sayang suaminya mengajak pindah ke kota sebelah. Aku jadi jarang gendong baby lagi."

Apo langsung nyengir mendengarnya. "Oh, iya. Makasih juga sudah dibantu. Aku tidak tahu harus bagaimana membalasnya."

Wanita itu malah menyebutkan nama. "Aku Fay. Sudah, ingat saja namaku. Mana tahu suatu saat aku malah butuh bantuanmu di jalan," katanya. "Jangan sungkanan, orang Asia. Di sini kita semua keluarga."

"Oke."

"Aku pulang dulu, ya? Ayo Roger! Sini!"

Roger pun melambaikan tangan kepada Lila sebelum masuk ke mobil. Mereka langsung berlalu, sementara Apo senyum lebar kepada wanita itu.

Untung selalu bertemu dengan orang-orang baik, walau senyum itu langsung hilang tidak lama kemudian ....

DEG

"MILE!!" teriak Apo ketika melihat sang suami ditemani jalan beberapa suster. Pergelangan tangannya kirinya diperban, keningnya diplester, sementara dua sekuriti memegangi tangan lelaki muda agar masuk ke mobil polisi yang baru datang.

WIUW WIUW WIUW WIUW!

Seketika kacau sekali situasinya. Orang-orang yang akan berobat di sekitar menoleh karena penasaran, sementara Mile langsung mendatanginya setelah pamit kepada salah satu suster.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Ya ampun, tanganmu, keningmu ...." kata Apo.

Mile malah tersenyum dan segera menggendong Samuel. "Aku senang di sini semua baik-baik saja," katanya. "Hmph, harumnya masih sama. Aku pikir sudah tidak bisa bertemu lagi denganmu." Mile lebih seperti bicara kepada Sam yang bahkan hanya berkedip.

"Iya, dia pasti juga senang. Tadi menangis kencang waktu kau masuk. Jadi benar dia tadi orang jahat?" tanya Apo selagi mereka masuk ke mobil.

"Iya. Bukan tunangannya, tapi seorang klien yang gagal memeluk bayinya," kata Mile. "Irene sudah diberi uang yang besar, tapi bayi surogasinya meninggal. Jadi dia minta separuh dikembalikan, tapi Irene sudah membelikannya dalam bentuk rumah, tanah, dan barang-barang."

"Ya ampun ...."

"Ya dia mengamuk. Irene juga tidak tahu kalau ponselnya dipakai. Dia pingsan lagi pasca persalinan," kata Mile. "Tapi sekarang sudah selesai. Pelakunya dibawa ke hukum, kok. Aku juga baik-baik saja."

"Oh ... aku jadi ingin menjenguk Irene. Bagaimana kondisinya? Baik?"

"Sebaiknya jangan. Dia bilang ingin sendirian untuk menenangkan diri," kata Mile. "Ayo pulang. Semua aman saja kok. Kalau baikan kita hubungi ulang nanti. Mana tahu perasaannya membaik."

"Oke." Apo pun gantian menyetir mobil untuk pulang hari itu, walau kecewa dua bulan kemudian. Irene tidak pamit ke mereka dulu sebelum pindah ke Peru, melainkan hanya mengirimkan surat serta uang se-amplop tebal yang ternyata pernah diberikan  Mile kepadanya hari itu.

Terima kasih atas kebaikanmu dan Apo, Mile. Tapi aku tidak bisa diberi uang ini cuma-cuma. Sudah kukembalikan, ya. Lebih baik buat beli jajan Lila saja. Aku pergi. Sekarang kehidupanku sudah stabil kok, meskipun jadi kasir kafe belum cukup untuk belanja yang macam-macam. Tapi aku senang daripada dulu.

[Irene Rosewood Siaahan]

"Sial, aku menangis," kata Apo sambil mengucek matanya. Padahal suasana hatinya baik setelah berganti piama, tapi tidak lagi setelah membaca tulisan itu di sebelah Mile.

"Sudah, biarkan saja. Dia sekarang sudah memilih. Seperti mamanya Sam, walau agak kurang beruntung," kata Mile. Lelaki itu pun menarik surat dan amplop uang dari tangan Apo, lalu menariknya agar rebah di pelukan dada Mile yang hangat.

"Ya ampun, tapi aku masih kasihan. Huhuhu."

Mile malah terkekeh dan menarik selimut untuk mereka berdua. "Jangan kasihan, buat apa," katanya. "Lebih baik perbaiki hubunganmu terus menerus dengan Lila. Dia titipannya dari Irene. Buktikan bisa menjaganya dengan baik seperti Sam, meskipun dia bukan darimu."

Apo malah memukul dada itu kesal. "Tentu saja, ya ampun! Siapa bilang Lila bukan anakku? Dia anak pertamaku. Brengsek kau."

"Hahahaha." Mile pun mengecup kening Apo sayang. Dia membisikkan kata-kata "good night" seperti angin, walau ketenangan seperti itu membuatnya lupa mengucapkan "good night" lain untuk semua temannya di sosial media. "Baguslah, kita benar-benar jadi satu keluarga yang kuat mulai sekarang," batinnya senang. Dan hal itu disempurnakan oleh telepon Nathanee pada keesokan pagi.

"Mae mau datang kemari dengan Pa? Hari ini? Kenapa mendadak sekali?" tanya Mile saat dia baru duduk sarapan.

"Iya, untuk merayakan ulang tahun Pa, Sayang. Jangan bilang kau lupa. Ya ampun."

Mile pun tertawa kecil dan meminta maaf. "Ahaha, iya aku baru lihat kalender. Nanti aku siapkan segera rumah untuk menyambut kalian."

"Sip, jangan lupa kamar tamunya dibersihkan semua. Phi Chay dan istrinya mau ikut ke sana, tahu," kata Nathanee yang membuat Mile terkejut.

"Wah, iya? Jadi semakin ramai nantinya."

"Hu-um. Padahal istrinya baru hamil 3 bulan. Tapi kata mereka sudah ingin gendong baby. Mungkin Sam akan dimonopoli mereka nantinya. Ha ha ha."

Mile pun ikutan tertawa senang. Dia pun memberikan kabar itu ke Apo, lalu mereka sarapan cepat untuk beres-beres rumah bersama para pelayan.

"SELAMAT DATAAAAANG, NENEK NEE!" seru Lila sambil berlari menghambur kepada neneknya itu. Senyumnya cerah sekali, apalagi saat Pin, istri Pomchay langsung menghambur kepada Apo.

"Aaaaa!! Adik Ipar, coba aku ingin menggendong Sam! Aaaaaa!"

Apo pun tertawa karna Pin kelewat semangat, untung saja Sam dalam kondisi baik saat itu. Dia mengoceh ria dan tak rewel meski diciumi tak henti-henti.

"Kau denganku saja, Adik," kata Pomchay sambil menculik Apo ke belakang. "Kita buat sesuatu untuk ulang tahun Pa nanti malam."

"Oke!"

"Hei, Phi. Pastikan kompornya kecil kalau memasak bersama Apo," canda Mile sebelum melipir ke ruang tamu sambil menggeret koper ibunya.

Apo malah menjulurkan lidah pada sang suami sebelum pergi. "Bodoh amat, ha ha ha. Sana pergi. Ayo, Phi Chay! Aku sudah tidak sabar buat kue!"

"Yups, c'mon."

Hari itu, adalah hari yang penuh keceriaan. Semua berkah seperti turun ke bumi, dan meliputi keluarga besar Romsaithong yang sangat hangat. Semoga tetap bertahan esok, lusa, dan selama-lamanya.

EKSTRA CHAPTER END