KITTY PO 1

16 Tahun Kemudian ....

Sejak kucing kesayangannya pergi, Mile tak bisa memandang dunia dengan cara sama. Hiruk pikuk dan warna terasa hilang, meninggalkan sisi monoton di dada. Mile sulit menerima kenyataan. Saat malam pun kadang dihantui kematian Apo. Waktu serasa berjalan lambat. Mile tak tertarik ke semua calon istri yang disodorkan, lalu membuang foto-foto mereka ke tempat sampah. Seperti makanan basi, Mile jengkel bila orang lain menanyakan identitas pasangannya, tak peduli umur sudah menginjak kepala tiga. Mereka bilang pria seumurannya pantas berkeluarga, tapi memang apa urusannya? Mile ingin menentukan kehidupannya sendiri, takkan pernah ada yang mengerti dukanya hingga sekarang.

Dulu, sebelum kesibukan menggempur dari segala arah, Mile pernah belajar menggambar karena ingin melihat wajah Apo kembali. Dia gabung dalam komunitas seni. Gigih berlatih. Dalam hati menyesal kenapa tidak pernah memotret Apo satu pun. Mile sangat merindukan si kucing hitam. Terutama air mukanya yang manis. Tutur kata nakal sungguh bisa menghiburnya, Mile pun menyesal pernah memarahi Apo hanya karena perabotan pecah. Dia merasa jahat karena tak bisa menahan diri. Toh kebahagiaan si kucing hanya sebentar.

Kenapa tidak menunggunya sadar akan perasaan ini? Kenapa Mile baru merasakan kehilangan setelah terpisah lama. Apo membuatnya jungkir balik di tengah kerasnya hidup, tidak bisakah ada keajaiban untuk kedua kali? Mile bahkan membeli steloskop di kamarnya. Dia sering mengecek apakah ada bintang jatuh lain sehingga Mile bisa memohon kehidupan Apo kembali. Sayang rasanya mustahil. Malahan hari-hari yang Mile jalani serasa mengambang, tak peduli seberapa banyak gambar ilustrasi yang dia pajang di kamar. Dia memuja Apo meski sendiri, sebab siapa pun pasti sulit percaya pada ceritanya.

Like--what the hell, dude? Seekor kucing bisa jadi manusia? Mile tak bisa berbagi rasa sakitnya, karena mereka justru bisa menganggapnya gila.

Mile pun mengunci perasaan itu hingga lulus sekolah, kuliah, kerja--bahkan diangkat ke jabatan chief di perusahaan. Dia hanya menjelaskan sedikit saat ditanya sang ibu.

"Aku sudah punya pacar, Mom. Calon. Jangan menggangguku dulu, bisa tidak? Kalau dia siap pasti kubawa pulang."

Mile tahu kebohongan takkan menyelesaikan apapun, karena dia terus dikejar oleh keluarga. Saat pertemuan penting sering diledeki. Bahkan sepupu sendiri ada yang ditawarkan pamannya daripada bingung--katanya. Mile pun tertawa random ketika rindu. Mengapa bisa jatuh cinta sebegininya kepada seekor kucing. Dia tak bisa melepaskan rasa bersalah, meskipun memelihara yang baru. Ujung-ujungnya membiarkan keponakannya mengambil asuh.

"Aku tidak bisa, Po. Aku benar-benar tidak seperti itu ...." kata Mile suatu malam. Dia sulit tidur karena bermimpi buruk, memori Apo menghembuskan napas terakhir adalah hal yang paling membuat tremor.

Mile pun memutuskan libur kantor pada keesokan pagi. Sangking resahnya yang ada di dalam dada. Di umur ke 30 dia merasakan jalan-jalan lagi setelah sekian lama. Kemudian meluncurkan skateboard seperti jaman sekolah dulu.

Benar-benar Sabtu pagi yang indah. Cuaca Kalasin sedang cerah dengan mentari yang hangat. Sinarnya terus menyiram bumi yang hijau. Mile bisa mendengar suara kicauan burung yang riang, gemerisik daun-daun di pokok besar, juga bel sepeda anak-anak yang lewat. Dia mendengarkan lagu lewat headset bluetooth, sepenuhnya refresing hingga bebannya terangkat.

Ah, Apo. Bagaimana kabarmu sekarang di syurga sana? Apakah bertemu peri dan bidadari? Bagaimana dengan para malaikat yang suka tersenyum? Mile membayangkan kucing hitamnya digendong sayang. Lalu ditepuki dalam selimut hangat. Mile tidak ingin ingat hal yang buruk-buruk, cukup nikmati saja imajinasi yang indah. Mile akui imajinasi kekanakan telah menjerat jiwanya, padahal di luar dia seperti pria dewasa pada umumnya. Dengan jas, dasi, setelan necis dan pomade pada hari kerja ... semua tampak normal tanpa cerita dongeng ajaib. Namun diam-diam Mile mengoleksi buku-buku fiktif. Dan semakin penuh rak itu, dia juga makin ingin membacakannya ke Apo.

Apakah kucing itu mau diajak tidur di sebelahnya? Mendengarkan Mile bercerita, mungkin? Dia akan memuja Apo ke ujung dunia, tak peduli seperti apa tanggapan orang bila mau kembali. Berkali-kali Mile berusaha menampar diri sendiri. Apo pergi--takkan datang padanya lagi. Dia pun berpikir apakah mulai besok menyerah saja--Mile lelah. Dia akan mulai mencoba kencan buta, meskipun malas.

"Ha ha ha ha ha! Masuuuu ....! Sakit sekali tahu! Dasar ...."

Namun hari itu justru terasa berbeda. Mile mendengar suara yang renyah, apalagi ketika dipakai tertawa. Mile mengenalnya di masa lalu, dia ragu. Meskipun begitu tetap menoleh. Skateboard dia hentikan begitu saja. Mile menentengnya. Ternyata itu adalah dua remaja pulang sekolah. Mereka berjalan berdampingan. Berseragam SMA, dari tampaknya baru kelas 10. Perbedaan warna bajunya mencolok sekali. Mile pun langsung mengejar mereka dari belakang. "Tunggu! Tunggu dulu!" panggilnya diantara orang-orang lewat.

Mile pun naik ke skateboard-nya agar lebih cepat. Dia membuat seorang wanita tua terkejut, untungnya tak sampai jatuh. Mile lalu menghadang kedua remaja. Wajahnya kalut. Apalagi salah satunya benar-benar persis Apo. "TUNGGU! Hahh ... hahh ... hahh ... tolong tunggu aku sebentar ... hhh ... hhh .... Apo ...." Napas pria itu berisik sekali.

"Apa? Kenapa, Om? Ada apa dengan temanku?" bingung si remaja yang disebut Masu. Mile pun menoleh padanya, ke kiri lagi. Sementara si empunya bahu tampak kebingungan.

"Aku?"

"Ya ... hhh ... hhh ... hh ...."

"Om kok tahu namaku? Dari mana?" tanya Apo, masih menunjuk hidungnya sendiri. "Ah, maksudku ... memang kita kenal, ya? kapan?"

Masu pun berkacak pinggang. "Iya loh. Aku juga asing dengan wajah ini. Kayak Bapak-bapak di pom bensin bukan sih, Po?"

"Hush, mulut," kata Apo. Lalu menunggu Mile berdiri tegak. "Memang ada apa sih, Om? Salah orang ya? Kalau tidak penting aku mau jalan lagi. Kami harus menukarkan kupon di kafe itu," tunjuknya karena sudah dekat. "Soalnya limited edition ...."

Oh Tuhan ... bahkan gerak bibir dan ekspresinya sama! Apakah Mile sedang bermimpi? Kenapa rasanya deja vu sekali? Ya ampun ... INI DUNIA NYATA KAN?!! BILANG KALAU INI BUKAN MIMPI!! SIAPA PUN! MILE MAU DIGAMPAR ASALKAN--"APO!" katanya, langsung memeluk.

Sangking rindunya Mile membuat Masu melotot, juga siapapun yang lewat sana. Mereka terheran-heran, tapi Apo justru terpana. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" batinnya. Dia sempat mendorong, tapi Mile justru menangis. Dia pun saling pandang dengan Masu. Bingung total, apalagi remasan Mile pada seragamnya kencang sekali. Pria ini bisa mengoyak kerahnya. Mile kalap. Tapi aromanya begitu wangi. Apo pun bertahan, Masu risih. Sahabatnya tampak khawatir.

"Hussh, Apoooo ... ayo-ayo cepat pergi. Nanti habis!" kata Masu. "Abaikan saja Om-om ini, please. Siapa tahu dia orang aneh ...."

Apo pun lebih percaya Masu, tapi mau ikut tetap saja sulit. Pelukan pria ini kuat sekali. Dia sesak. Bisanya cuma mengingatkan dengan pukulan pelan. "Om, tidak bisa napas, hh--serius. Om ... bisa lepas aku sebentar? Aku tidak--"

Mile pun tertawa kecil sebelum melanggarkan pelukan. "Ha ha ha, oke. Maaf, maaf. Aku hanya ... aku hanya terlalu senang," katanya sambil mengusap pipi. Bagian itu basah. Hidung Mile merah. Apo sampai tak bisa menilai itu hanyalah akting. "Aku ...

hm, boleh tidak bicara denganmu sebentar?" tanyanya. "Temanmu ajak tidak masalah. Aku tak bermaksud mencelakaimu, ya?" Tatapannya tulus sekali.

Masu menunjukkan kupon di tangannya. Wajahnya asem, mungkin sudah ingin minum frappe.

"Umm, boleh. Tapi aku mau tukarkan kuponnya dulu," kata Apo. "Kami sudah kehausan, Om. Latihan paginya keras sekali."

"Oh ... oke. Silahkan," kata Mile sambil tersenyum. "Maaf aku menghentikanmu di jalan begini."

Apo dan Masu pun permisi, sementara Mile ikut di belakang mereka. Dia tahu Masu bisik-bisik rahasia, kemungkinan mengompori Apo kabur. Dia pasti dianggap penjahat, tapi Mile berpikir keras bagaimana cara agar dipercaya. Dia pun menunggu di luar sambil mengawasi dua remaja itu. Jangan sampai mereka pergi, Mile tersenyum, meski sikap ramahnya makin membuat mereka takut.

"Apa aku tampak setua itu? Ya ampun ...." batin Mile sambil mengusap air matanya. "Tapi memang tua kalau dibandingkan mereka berdua."