KITTY PO 17

Sejak Apo pulang ke apartemen, jujur jiwa Mile serasa hampa. Padahal baru lewat dua hari, tapi dia sering terlolong bengong. Mile kadang menilik kamar tamu yang sudah kosong, Apo mana tahu dia selalu mengecek ranjang si manis setelah lembur. Mile akan menaikkan selimut Apo, atau membenahi pose tidurnya yang berantakan. Melihat wajah lucu Apo, Mile jadi ingin menghancurkannya di bawah tindihan. He's hot inside, no need to deny. Apo terlalu menggairahkan dengan piama beruang itu. Si manis dengan penis mungilnya sering terngiang dalam kepala. "Ahhh, Phi Mile ... anghh, nnhh ...." desah Apo dalam mimpi-mimpi basahnya.

Mile mulai gila dan solo sendiri di kamar mandi, tepatnya sejak menjamah penis Apo pertama kali. Melonggarkan liang mungil itu dia ingin segera memasukinya, tapi memang tidak consent jika mereka belum menikah. Diizinkan menyentuh saja Mile sangat senang, dia ingin sekali segera menyeret Apo ke altar sumpah.

Well, dia adalah lelaki 32 tahun. Mile akui penisnya sudah terlalu kaku. Batang perkasa itu butuh sarang untuk menjepit sekuat mungkin. Mile makin sering solo begitu Apo meng-ghosting. Si manis jarang membalas chat-nya usai pamit ke hari-hari ujian. Itu terjadi satu bulan sejak hari pem-bully-an. Apo tiba-tiba saja menolak kencan, mengirim jadwal via PDF, lalu stiker gemas-nya muncul pertama kali.

[Apo: Phi Mile ... do'akan aku yaw. Mau bertempur 6 hari penuh]

[Apo: Minggu depan aku baru free, tapi tidak usah kencan dulu ya. Masih ada ujian praktik ]

[Apo: Oh, iya. Makasih laptop dan ponsel barunya! Aku jadi mudah membuat makalah]

[Apo: Satu lagi. Phi Mile, misal aku butuh beli alat-alat praktik, Phi Mario boleh aku ajak jalan kan? Soalnya sekalian dia tak punya kerjaan. Kan mengawasiku saja pasti sangat bosan]

[Apo: Buat belanja saja kok, Phi. Ada kanvas, cat akrilik, stik es krim untuk membuat miniatur rumah, kain rajut, sterofoam, dan lain-lain. Phi-nya biar tidak repot-repot. Terakhir, selamat bekerja Nanti kalau sudah selesai aku kabari]

Baru kali ini Mile dibalas Apo sebegitunya. Si manis kini paham cara menyudutkan lawan, padahal dulu dia yang sering begitu ke Apo.

[Phi Mile: Oke, yang semangat. Kalau sekiranya butuh bantuan khusus bilang langsung Phi saja. Nanti diusahakan]

[Apo: Okay ]

Bohong bila Mile tidak cemburu kepada Mario. Dia tahu pacar Lulu itu takkan macam-macam, tapi asyik sekali ya bisa kesana-kemari dengan kucingnya. Mereka tidak tahu sefrustasi apa Mile di kantor, lelaki itu berusaha mengontrol diri agar tidak menyusul Apo ke apartemen. "Sebentar lagi, Mile. Sebentar lagi dia lulus sekolah. Kau harus mencuci isi kepala," gumamnya kepada diri sendiri.

Mile pun minum-minum di bar rumah setelah sekian lama, terakhir kali 6 bulan lalu saat perusahaan genting dan turun. Hal itu diketahui sang ayah, kebetulan Daddy Rom sedang mencari udara segar selarut itu. Dia terbangun entah kenapa, dua mata bahkan langsung jernih melihat Mile menuangkan wine.

"Kenapa, Nak? Belum tidur? Apa kau ada masalah?" tanya Rom karena sudah pukul dua.

"Hmp, tidak juga. Hanya sedang kepikiran sesuatu," kata Mile.

Rom pun duduk di kursi sebelah Mile, ikut menuangkan wine merah lalu meneguknya bagai anak muda. "Oke, soal apa?" tanyanya sambil meletakkan gelas.

"Ha ha ha ha ha ...."

Alis tebal Rom naik sebelah. "Hei, Daddy ini sungguhan bertanya ya. Kok malah tertawa-tawa," katanya. "Kenapa sih? Sudah lama kau tidak cerita-cerita ...."

Di usia segini Mile memang tak pernah lagi menceritakan tentang romansa ke orangtua, toh mereka pusing setiap kali dia menolak perjodohan. Mile merasa tak pantas mengatakan isi hati sedikit pun, tapi kali ini berbeda. Mungkin dia sebetulnya ingin membagi kegelisahan dengan yang lain, tapi yang mengetahui tentang kucing Apo hanya keluarga. Nee sudah mendukung sejauh ini, sang suami hanya menyimak. Pria itu tak mau meributkan pilihan Mile, toh mau menikah saja sudah bagus. Dia hanya mendengarkan informasi tentang Apo jika Nee cerita, dan dari prestasi yang diraih si manis Rom senang saja.

"Daddy seriusan tak apa? Soal Apo."

"Ya? Terus kenapa?" tanya Rom balik. "Bukankah selama ini Daddy ikuti kemauanmu? Tak ada protes lho. Tinggal kau sendiri bagaimana. Nah sebenarnya apa yang kau rasakan di sini."

Mile menatap dadanya yang ditunjuk Rom sekilas. "Maksudku, Apo memang begitu kecil, Dad. Dia sekarang masih sekolah," katanya. "Daddy dan Mommy apa benar-benar tak keberatan punya menantu manja? Dia takkan bisa memperlakukan kalian selayaknya menantu idaman."

"Oh."

"Ya, dia belum punya banyak keahlian, memang. Mungkin malah minta diajari kalian melakukan sesuatu di masa depan. Belum lagi dia cengengnya tidak tertolong, too clingy asf--ha ha ha," kata Mile. "Kutebak Apo juga takkan bisa masak untuk menyenangkan mertua, kalau dipamerkan ke kolega pun bentuknya hanyalah bocah. Dia sama sekali belum dewasa, aku tahu. Aku saja yang keterlaluan mengambilnya sedini ini. Aku jahat."

Meski tidak berkomentar, Rom tetap meremas bahu Mile lembut. "...."

"Tapi aku tidak bisa melepaskannya untuk orang lain, Daddy. Aku terlalu mencintainya," kata Mile dengan mata berair. "Padahal ekspektasiku tidak begini, tapi aku tetap ingin--ah, apa ya ... untung Apo mau menerimaku."

"...."

"Jujur setiap menciumnya aku merasa bersalah, apalagi jika menyentuhnya lebih," kata Mile. "Aku tahu yang kulakukan adalah merebut masa depannya, karena dia bahkan tidak merasakan masa berpacaran normal. Mungkin suit-suit dengan gebetannya, naksir senior atau juniornya di sekolah.

Aku panik dia direbut orang jadi tetap melamarnya kapan bulan."

"Mile ...."

"Karena itu aku ingin mengajaknya sering jalan-jalan, membelikan dia hadiah, memujinya, mengganti style dan lain-lain--aku harap dia tidak minder dengan teman-temannya hanya karena mau denganku," kata Mile. "Daddy aku ingin bocah ini bahagia, senyum terus, jadi tolong setelah Apo kunikahi tetap bangga kepadanya."

"Astaga, Mile. Kau pikir Daddy selama ini bagaimana ...."

Mile tetap tidak sanggup menghentikan air mata yang mulai mengalir. "Ya, kali saja, Dad. Bagaimana pun aku ini anak tunggal, maka dia pun akan menjadi menantu tunggal. Daddy dan Mommy takkan bisa membanggakan yang lain."

"...."

"Jadi, jangan tuntut Apo seperti menantu pada umumnya, ya Dad. Apo benar-benar butuh belajar dulu," kata Mile dengan suara yang sudah tidak karuan. "Dia pasti jadi hebat kalau kita awasi bersama."

Rom pun memeluk Mile dan mengomel panjang, bukan karena tidak terima, melainkan sebaliknya. Rom tersinggung karena dianggap sempit, padahal Apo juga menantu yang dia nantikan. Saat melihat Apo dibawa pulang Rom memang tak sempat mengajaknya bicara intens, sebab si manis ternyata banyak temannya. Siang Apo sering dikunjungi anak-anak BT, kalau tidak tidur dan malamnya adalah waktu pribadi dengan Mile. Rom juga punya kesibukan sendiri, dia memang bukan lagi presdir, tapi mengawasi di balik layar. Jika ditanya Rom pun ingin mengemong Apo sesekali. Mungkin mengajaknya bercanda dan main-main.

Melihat berapa usia Apo, si manis memang belum waktunya dituntut. Dia perlu banyak pengertian dan arahan untuk memacu semakin baik.

"Ckckck, ya sudah. Jangan menangis lagi sekarang. Daddy jadi bingung siapa yang sebenarnya belum dewasa," tutur Rom, walau dia paham Mile begitu karena perasaannya terlampau dalam. "Yang penting dia pun betah bersama kita, Nak. Soalnya tidak ada bocah lain di rumah ini. Coba pelan-pelan suruh Apo beradaptasi."

"Ha ha ha--yeah, ok, Dad," kata Mile sambil mengusap air matanya.

"Kalau bisa tidak perlu pindah rumah juga, di sini saja. Toh anggota keluarga kita sedikit. Makin sepi nanti," kata Rom, mau tak mau Mile makin tertawa geli. Dia tak menyangka sang ayah tetap santai di situasi seserius ini. "Daddy dan Mommy pasti menyayanginya."

Paginya Mile pun membelikan banyak buket untuk si kucing. Lalu menaruh semuanya di sisi makam. Di hari cuti dia memanfaatkan waktu untuk bicara sendiri. Mile bukannya gila, tapi hanya ingin menegaskan keseriusannya lagi dan lagi. Dia harap si kucing tidak mendapat hantaman keras setelah jadi manusia. Sebab dirinya pun ingin bahagia saat mereka sudah bersama.

.... melewati dua wujud, dua kehidupan, dua kesempatan, dan Mile takkan menyia-nyiakan hal indah ini untuk selama-lamanya.

[Apo: Phi, besok sudah waktunya pengumuman loh. Aku gugup]

Dua minggu kemudian Mile pun langsung bangun meskipun masih mengantuk (semalam lembur) Sebab banyak chat Apo yang muncul saat ponselnya dibuka.

[Apo: Aku benar-benar tidak bisa tidur, ya ampun. Maaf Phi aku chat-nya jam segini. Insomnia. Ckck. TBL-TBL-TBL. Takut banget loh ]

[Apo: Ih, sekarang sudah jam 4 pagi aku malah ingin merem. Jangan ah! Aku mau mandi dulu, walau mata-ku pasti ada pandanya ]

[Apo: Phi Mile, kalau rangking-ku  malah jatuh apa ponsel dan laptopnya kukembalikan? Deg-degan banget aku sekarang lagi di kelas ]

[Apo: Sangking deg-degannya berangkatku malah kepagian Mau tumbang rasanya Phi Kupikir ini sudah jam 7 lebih. Aku-nya belum sarapan. Huhu]

[Apo: Phi sibuk ya? Aku spam begini marah tidak sih? ]

[Apo: Phi MILLLLLEEEEE BEL-NYA BUNYIIIIIIII WTF ASDFGHJKL UEUEUEUEUUEUEUEUE *Sounds of crying*]

[Apo: WHOAAA GILAAAA! TADI PAK KEPSEK SUDAH LEWAT MENUJU KE MADING AKU TIDAK BERANI LIHAT PENGUMUMANNYA! ]

[Apo: PHIII MILEEEEEEEEEE AKU GILAAAAAAAAAAAA! NAMAKU TADI DIPANGGIIIIILLLL SPEAKER!!!]

[Apo: Ternyata salah dong HEH AKU BUKAN KELAS XII-A YA! SALAH SEBUT YA AMPUN KUKIRA AKU YANG TADI JUARA 2]

[Apo: --menunggu dengan letoy karena Phi Mile masih centang satu --astaga, Phi. Bangun. Phi dimana sih. Ini pengumuman speaker-nya sudah sampai XII-C]

[Apo: *mumumu*]

Mile pun syok karena baru bangun, tapi alarm memang dia matikan karena semalam jadwal rapat kolega-nya ada permintaan tunda lusa. Setelah lembur Mile tentu berharap bisa tidur banyak, dan ini sudah pukul 8. Chat terakhir Apo baru dua menit lalu, tapi anehnya begitu ditelepon si manis tidak mengangkat.

Hei, ada apa memangnya?

Mile benar-benar khawatir. Dia pun turun dari ranjang dengan jubah tidur yang berantakan.

"Apo, angkat Phi ...."

.... tuuutsss ....

Sampai 5 kali tetap saja begitu. Mile pun menghubungi Mario sambil memaki diri sendiri di dalam hati. Kenapa baru kepikiran?!

"Iya, Phi Mile?" sahut Mario di seberang sana.

"Apo," sebut Mile tanpa basa-basi. "Apo bagaimana, Mario? Dia centang dua tapi tidak mengangkat telepon. Ada apa dengan Sayangku?"

"Oh, ya ampun. Maaf otakku baru bisa konek," kata Mario, tanpa tahu seberapa deg-degannya Mile Phakphum. "Apo pingsan, Phi. Dia dapat juara satu dengan rata-rata 9,4. Padahal tadi lompat-lompat lho sama temannya. Naik panggung, tapi setelah difoto sama pak kepsek malahan pingsan. Dia di UKS sekarang. Belum siuman. Kata dokternya anemia parah. Sepertinya kurang tidur, kelelahan, dehidrasi, dan belum sarapan. Sekarang aku di luar beli makanan untuknya. Sorry tadi masih di perjalanan."

Mile seketika kebingungan, antara senang dan sedih lebih dominan paniknya. Dia pun langsung mandi dan ganti baju tanpa menutup sambungan. Mobil dia setir ugal-ugalan menuju sekolahan Apo. Dia menerobos keributan murid, walau dikira paman Apo saat sampai di UKS.

"Owalah, jadi Anda ini wakil wali-nya toh? Om-nya ya?" tanya dokter tua yang mengipasi Apo. "Soalnya barusan Mama Apo bilang terjebak macet. Kalau begitu silahkan, silahkan. Duduk di sini jika mau menjenguk. Saya mau laporan ke kantor dulu."

"Iya, terima kasih ...." kata Mile yang segera menggantikan tempat duduk. Dia menyibak poni si manis yang tengah terpejam. Jerawatnya ada yang hilang, tapi ada juga yang baru muncul. Pasti Apo stress menghadapi ujian akhir. Tapi dia benar-benar hebat sekali. Dia sukses. "Selamat ya, Sayang. Mulai besok kelas XII sudah libur jadi harus tidur banyak-banyak."

Mile mengecup kening si manis, lalu mengipasinya dengan koran bekas yang tadi dipakai dokter. Tampaknya AC ruangan memang masih rusak, tak ada pilihan hingga Apo siuman.

"Mnnnh, pusing ...."

Apo mengucek matanya.

"Eh? Sudah bangun?"

"Phi Mile ...."

"Iya, Sayang? Phi Mile ada di sini ...."

"Ugh, kepalaku berdenyut-denyut. Aku tidak mimpi kan, Phi? Hnnghh ...."

Apo pun berusaha duduk, sementara Mile membantu menata bantal dan posisi punggungnya. Mereka bertatapan beberapa detik, Apo merona. Dia meremas selimut karena tahu ini nyata.

"Phi Mile aku juara satu ...." katanya. "Phi Mile aku bisa melakukannya. Aku hebat--"

Mile refleks memeluknya erat. Si manis tenggelam pada dadanya, remaja itu menangis karena bangga. Dia dipuji Mile dari hati yang paling dalam, hingga suara tangisnya terdengar amat berarti.

"Iya, paling hebat. Yang terhebat. Usahamu takkan sia-sia."

"Umn, hiks ... hiks ... hiks ... thank you. Tapi bukan yang terhebat juga," kata Apo. "Bintang pelajar kami tetap yang tahun lalu. Namanya Napvtik, dari kelas XII-E. Dia memang tangguh sekali. Masak rata-rata sampai 9,7. Gila ya. Dia makan kalkulator dan kamus setiap hari? Kudengar SNMPTN-nya diterima di 6 universitas. Sial, Phi. Dia pasti bingung memilih yang mana."

Mile pun tertawa kencang. "Ha ha ha ha ha ha ha, kadang-kadang memang ada yang seperti itu. Dia istimewa," katanya. "Mungkin nanti jadi kebanggaan negara juga, malah bagus kan? Ada yang sekonsisten itu mempertahankan prestasi. Kadang-kadang kita malah tak terima kalau bintang pelajar malahan pendatang baru. Berasa tipuan."

"Iya."

"Tapi kau juga bisa membanggakan dengan cara lain kok. Jadi salah satu pilot, misalnya?" kata Mile usai melepas pelukan. "Ingat, teman-temanmu yang rangking belum tentu sukses di masa depan. Kan di kehidupan nyata harus berprestasi lagi. Tetap yakin. Late game boleh, asal happy ending, hm? Namanya juga lagi usaha."

"Umn, Phi."

Apo pun sarapan begitu Mario datang, tapi langsung keluar karena menyadari ada Mile. Dia hanya tertawa-tawa karena diberi selamat circle BT. Sebab Mario juara 2, meskipun dia hanya menyamar (itu pun memakai dokumen yang diakali). Ucapan selamat pun menjadi hiburan untuknya, karena pelajaran anak SMA sudah di luar kepala. Apalagi Mario mahasiswa fisip MIPA sungguhan. Dia sendiri heran kenapa tidak ketahuan, makin terhibur lagi karena Green dan Tay gondok di belakang sana. Hanya Vegas yang kembali di urutan 3, tidak ada lagi baku hantam hari ini.

"Enak?"

"Umn, enak Phi."

Mile mengusap sudut bibir Apo yang comot saus. Dia senyum-senyum melihat si manis makan lahap sekali. Keduanya pun saling pandang lama sekali, walau harus terkejut ketika May datang tiba-tiba.

"YA AMPUUUUUUN SAYANGGKUUUU! MAAF MAMA TADI KEJEBAK DI TENGAH JALAN! SELAMAAAAATT!!"

Bersambung ....