KITTY PO 25

Sore harinya Apo baru bangun dari tidur, namun tubuhnya tidak di sofa seperti tadi. Mile pasti menggendong dia ke sana, hanya saja lelaki itu tak ada. Apo mendengar suara ketikan laptop dari ruangan sebelah, mungkin Mile memanfaatkan waktu untuk bekerja mumpung Apo belum bisa dibawa berbulan madu. Tampaknya seks mereka cukup intens hingga analnya masih terluka, tapi Apo yakin dia sudah mendingan. Apo sudah bisa jalan sejak tadi pagi, tapi bukan berarti luka-nya mengering total. Dinding liangnya masih terasa kaku, kalau dipakai bergerak cepat agak perih. Apo sampai tak berani pup selama 4 hari ini, tapi sepertinya barusan tidak tahan.

Apo bangun karena perut bawahnya mengejan mulas, dia pun turun ranjang dengan mata yang agak mengantuk. Apo membuka kloset, dan duduk perlahan. Namun saat sungguhan pup dia tak tahan menangis. "Ugh, Mama sakit ...." batinnya, lalu memeluk lutut sendiri hingga selesai. Remaja itu lega setelah menuntaskan buang air, tapi dia kaget karena saat membilas kloset darahnya ikut mengucur. Air yang mendorong bersih pun bercampur merah, dia mundur. Lalu segera menutup kloset dan termenung lama.

"Apo ....?"

Suara Mile memanggil dari luar sana.

"....."

"Apo Sayang ....? Sudah bangun ya? Habis ini mau makan malam? Phi mau keluar sebentar. Apakah ada titipan?"

Apo pun segera menemui sang suami. "Ah, ada Phi. Mau es krim ...."

"Sip, apa lagi?"

Si manis sampai terseok karena ingin bertemu Mile segera. Untung dia tidak jadi jatuh, Mile pun sigap meremas lengan Apo dan menahannya. Pinggang Mile dilingkari dengan dua lengan kurus itu. "Peluk Phi Mile," katanya, manja-manja. "Jangan langsung pergi dulu ...."

Mile Phakphum tidak tahan menepuk ubun istri mungilnya. "Ha ha ha, ini sudah," katanya. "Tapi kenapa suaramu begitu? Pilek atau karena baru tidur? Kok tidak sekalian mandi? Ini sudah jam 5 sore lho. Nanti kumannya bertumbuh pesat."

Apo Nattawin tetap mendongak dan tidak mengatakan apapun. Matanya seperti menggoda Mile, meski remaja itu sedang sedih. Dia tidak tahu seberapa lucu ekspresi yang dibuatnya. "Iya habis ini mandi," katanya. "Tapi Phi Mile tidak lama kan? Beli-nya jangan jauh-jauh ya. Kenapa tidak makan makanan di hotel saja?"

"Huh? Memang kau sendiri tak bosan?"

".... mn, iya sih Phi."

"--kan?"

"Phi, tapi aku mau bilang sesuatu dulu ...."

"Hm?"

Alis tebal Mile naik sebelah.

".... s-soal itu?"

"Itu ... apa?"

"Itu lho, Phi ...." Pipi Apo merona. "Mn, itu-ku masih berdarah ternyata. Aku takut."

Ekspresi Mile langsung berubah. "...."

"Tidak apa-apa kan, Phi? Kupikir sudah sembuh, tapi kok ... pas dipakai pup sakit lagi ya? Aku jadi tidak berani makan banyak," adu Apo. "Maksudku, nanti kalau next pup tetap perih, bagaimana? Itu-ku ada yang salah, kah Phi? Aku yakin merasa sehat kok."

Aura Mile makin menggelap. "Sakitnya hanya pas dipakai pup?" tanyanya, lalu melingkari pinggul Apo dengan satu lengan. Mile mencoba biasa saja, padahal jemari sudah bergetar hebat saat ini.

"Iya."

"Kapan kau terakhir melakukannya?"

"Eh?"

"Ke toilet, Apo. Jangan membuatku semakin cemas," kata Mile dengan mata terpejam. Dia mengadu hidung dengan si manis, suaranya jadi makin goyang seiring waktu. "Kenapa baru bilang sekarang ...."

Apo yang tidak panik, pun ikutan resah. Dia tampak bingung mau bilang apa, lalu mengaku apa adanya, meskipun kaku. "Baru tadi kok, baru tadi," katanya. "Tenang, Phi. Darahnya tidak keluar setiap saat. Cuma pas dipakai pup seperti tadi--"

Kali ini Mile Phakphum tak peduli lagi. Dia membawa Apo ke rumah sakit, lupakan makan malam karena hatinya tak tenang. Untung dokter spesialisnya perempuan. Apo pun mau digandeng masuk untuk diperiksa.

Ada sekitar 10 menit Mile menunggu, lelaki itu duduk di kursi luar sambil memikirkan hal yang tidak-tidak. Dia amat berharap Apo tidak kena friksi yang parah. Maksud Mile, ini baru 4 hari mereka menikah. Trauma akan Kitty Po dibawa para medis masih menghantuinya, Mile pusing dan menyesal bila Apo sampai kena infeksi.

"Tuan Romsaithong ...." panggil Dr. Sprite Laemluang. Wanita bertubuh gempal itu langsung menyentakkan Mile, membuat kakinya segera mendekat untuk dapat keterangan.

"Iya, Dok? Bagaimana dengan istri Saya? Ada masalah?" tanya Mile dengan mata berkaca-kaca.

"Sebaiknya kita bicara di dalam," kata Sprite. "Sekalian temani istri Anda siuman. Barusan dia kubius untuk memudahkan prosesi. Katanya malu kalau buka-buka celana dalam kondisi sadar."

"Oh, baik."

Mile pun dipersilahkan duduk di sebelah ranjang medis, Apo sudah terbaring lelap dengan celana rapi kembali. Dokter Sprite pasti kesusahan mengurus istri mungilnya, tapi wanita itu sepertinya penyabar.

"Lukanya ada di dalam, tidak satu titik," jelas Dokter Sprite. "Cukup jauh juga, Tuan. Bukan di sekitar pintu liangnya. Karena itu jarang terjadi pendarahan. Tapi aman kok, hanya butuh perawatan dan kontrol terkadwal. Hanya saja, dia ini baru 17 tahun?"

"Kami menikah 4 hari lalu, Dok. Astaga maaf. Aku memang keterlaluan," kata Mile sambil memeluk si manis. Dia duduk di sisi ranjang Apo Nattawin. Wajah dia benamkan di dada itu hingga Dokter Sprite tak tega marah. "Aku tidak tahu jadinya separah ini."

"Oke, oke. Aku tidak akan ikut campur, Tuan. Jangan khawatir," kata Dokter Sprite. "Tapi tolong dengarkan penjelasanku."

Mile pun diberitahu lebih detail lagi, bahwa ini terjadi karena proses perenggangan liang Apo menerima ukuran penisnya. Si manis rupanya berusaha terlalu keras, bagaimana pun fisiknya masihlah rapuh. Dia legal, tapi untuk seks tubuhnya syok. Hati boleh menerima, namun inner child-nya masih sangat kental.

"Jadi, Saya harus menunggu dia lebih dewasa lagi kah, Dok? Misal sampai umur 20 tahun?" tanya Mile gelisah. "Maksud Saya tanpa seks. Saya pasti usahakan kalau memang begitu." Di bawah meja dokter jemarinya mengetuk

tak jelas.

"Bukan, bukan. Tidak harus begitu kok. Anggaplah ini semacam proses adaptasi saja," kata Dokter Sprite. "Lagipula Anda suaminya, kan? Bukan pemerkosa dari sembarangan tempat. Kutanya-tanya Tuan Nattawin juga cinta kepada Anda ternyata. Ini bagus, Tuan. Sangat bagus. Karena takkan berdampak pada mentalnya. Maksudku, Tuan Nattawin melakukannya suka rela. Dia tahu dan memahami resikonya. Istri Anda akan semakin belajar."

Mile tak bisa berkata-kata.

Dokter Sprite jadi tahu cinta lelaki ini sama besarnya, dia pun berbisik-bisik untuk mengatakan nasihat yang paling penting. "Pssst, tapi lebih halus lagi ya lain kali. Kasihan," katanya, seolah sedang bergosip. "Foreplay wajib lama, jangan lupa lubrikan. Makin bagus lagi kalau tahan dulu 1 minggu ini. Ehem, aku tahu pengantin baru memang cukup struggle. Jadi, ya ... begitulah."

Mile diam-diam memendam malunya sendiri. "Iya, baik Dok."

"Tapi kalau kering tak masalah kok, walaupun belum seminggu. Yang penting tetap jaga kebersihan dan lebih kontrol. Plus salep dan obat dariku dipakainya tepat waktu," kata Dokter Sprite sambil menulis resep. "Coba nanti kubawakan pembalut juga. Cek-cek apa ada darah yang keluar di luar pup sejak terjadi. Nah, tanda sembuh bagaimana? Ya kalau dipakai tak sakit lagi. I mean, tidak sesakit yang sekarang."

Resep itu pun dirobek dan berpindah tangan.

"Terima kasih."

"Ya sama-sama," kata Dokter Sprite sambil tersenyum. "Jangan sampai ini seperti fisura ani."

Lagi-lagi bisikan itu membuat bulu kuduk Mile merinding. Dia pun segera menebus obat, dan menggendong si manis keluar RS. Apo masih tidur saat dibaringkan di mobil tapi tidak lagi saat perjalanan pulang. "Phi Mile ...." panggil Apo sambil mengucek mata. Dia pun duduk dan berkedip-kedip. Keduanya bertatapan lewat spion depan yang mungil. "Kita dimana, ya? Tadi dokter bilang apa ...."

Mile melirik sekilas. "Bukan apa-apa, Sayang. Sementara cuma boleh sentuh tanpa masuk-masuk," katanya, bohong. Mile sengaja daripada Apo nantinya tak enak hati. Dia kurang suka kalau membebani hati si manis. "Jadi, maafkan Phi, ya. Pokoknya jangan berpikiran aneh lagi. Besok pagi kita pergi senang-senang."

"Eh? Serius, Phi?" tanya Apo. "Wah ... berangkat honeymoon-nya jadi besok?"

Mile mengusap pipi Apo sekilas. "Iya, Sayang. Biar refresh. Kita lupakan masalah ini sampai kau sembuh nanti."

Senyum Apo langsung mengembang lebar. "Yasssssssssssshh! Universal Studiooooooooo!" jeritnya seolah sehat 100%. Namanya jiwa bocah, dialihkan sedikit langsung lupa. Mood Apo bahkan baikan usai dibelikan es krim.

"Senang?" tanya Mile saat di kafe.

"Senang! Senang!" seru Apo. "Apalagi dapat bear soup dan waffle berries. Aku suka semuanya ...."

"Ha ha ha, memang kau pikir isi menu paket 1 cuma es krim?"

"Iya, Phi."

"Sekarang makanlah yang banyak. Jangan skip dinner lagi, Po. Tenang, dokter bilang kau akan segera sembuh."

"Ashiaaap."

Apo pun menikmati makanannya dengan suka cita, dia tetap ceria karena tak ada rasa khawatir. Remaja itu berceloteh seperti burung kecil, dia membuat Mile lega melihat ekspresi wajahnya. Oh, Tuhan. Apo mungkin belum paham seperti apa dunia pernikahan yang sebenarnya. Namun Mile sudah merasa cukup untuk sekarang. Dia menyuapi Apo daging hasil panggangannya. Sesekali mereka tertawa karena lelucon ringan.

"Phi, Phi. Serius lho. Dulu Mama bilang aku pernah mengelus ular berbisa. Tanganku masuk ke kandangnya, ya ampun! Tapi si ularnya diam dan ssttt ... sssst ... lidahnya begini ke aku. Petugas kebun binatangnya sampai syok dan menarikku kencang---sattt! Terus aku menangis karena kaget. Ha ha ha ha ha ... bukan takut, ya. Kaget saja. I swear. Habis itu Mama menemukan aku yang semula hilang ...."

Mile pun mengikuti alur saja. Dia ikut tertawa karena Apo tertawa, padahal dalam hati masih khawatir. Usai pulang ke hotel Mile juga tak ikut ke kamar mandi. Rutinitas sikat gigi bersama dia tiadakan daripada nanti kelepasan.

"Eh? Aku sendiri?"

Apo mengintip di balik pintu itu.

"Iya, Sayang. Kau duluan biar Phi-nya packing persiapan besok," kata Mile beralasan. "Kita bawa banyak koper lho. Biar tidak gugup pergi ke bandara."

Meski bingung, Apo pun mengangguk kecil. "Oke, Phi." Dia menerima tas bening berisi obat dan salep. Lalu tenggelam di dalam sana. Remaja itu pasti bingung karena menemukan stok pembalut juga. Lebih bingung lagi karena saat melepas celana dia sudah memakai pembalut--oh, pasti Dokter Sprite yang pakaikan. Apo menemukan bercak darah di benda tersebut. Tapi hanya sedikit dan tidak sampai mengalir. "Hmm ... Phi Mile tidak bilang, tapi sepertinya aku harus pakai ini," gumamnya coba berpikir. "Sampai sembuh saja kan? Aku tidak mau pakai lagi kalau sudah. Nanti seperti wanita."

Malu-malu si manis pun menurunkan celananya sampai tuntas. Dia lalu bersih-bersih dan membaca resepnya sedetail mungkin. Ada tata caranya juga bahkan, wow! Mulai menghanduki areal privat dan membubuhkan salepnya sendiri. Apo juga dapat tutorial dengan gambar ilustrasi kotak-kotak.

"Sudah?" tanya Mile begitu dia keluar. Sang suami masih beres-beres dan memasukkan banyak lipatan baju ke koper. Beberapa sudah rapi dan ditaruh ke pojokan kamar.

"Umn, Phi Mile mau dibantu apa?"

Apo segera mendekat.

"Hmm, coba cek perlengkapan transport? Sana, di sofa. Sengaja Phi sisihkan biar tidak tercampur."

"Oh, oke."

"Pastikan semuanya ada, Po. Terutama paspor dan sejenisnya."

"Siap."

"Besok berpakaian yang tipis saja, Singapura panas pada awal September ini," kata Mile terus menyerocos. Dia segera menata semua koper ketika selesai. Tidak lupa membuang benda tak terpakai ke tempat sampah. Apo diam-diam mengawasi suaminya di ujung sana, dia heran kenapa orang kaya seperti Mile suka mengerjakan apapun sendiri. Maksudnya, kalau tidak sedang terpaksa? Apo jadi ingin meniru begitu juga.

"Phi Mile, visa-ku ada di mana, ya? Kok tidak ada?"

"Huh? Iyakah?"

"Iya. Di sini cuma ada paspor kita, visa Phi Mile, inhaler, kartu kredit, ponsel, memo, sunscreen semprot, dompet, buku asuransi, dan terakhir pouch isi dolar Singapura."

Mile pun mengecek ke bawah meja. Di sana ada pulpen menggelinding, kontak mobil dan visa. Benar saja Apo tidak menemukan salah satunya. "Ini, simpan," katanya sembari mendekat. "Masukkanlah semua ke dalam sana."

"Oke ...."

"Perlengkapanmu sendiri sudah dimasukkan ke dalam tas? Bawa yang kecil kalau untuk dipakai di luar."

"Belum, Phi," jawab Apo. "Besok kan mau dipakai lagi habis mandi. Pasti

kutata kok kalau selesai. Memang berangkatnya jam berapa? Pagi banget ya?"

"Jam 7."

"Wah ...."

"Jadi 10 pagi kita sudah sampai sana. Langsung ke Universal Studio kalau masih kuat bermain. Sounds good? Kita menyesuaikan situasi saja nanti."

"Mau ...."

"Ya sudah sekarang tidur mumpung hampir jam 10. Kita tak boleh terlambat bangun."

"Ayay."

"Kemarikan dulu tas-tasnya? Akan Phi taruh bersama yang lain."

Apo pun merangkak ke ranjang terlebih dulu, lalu menarik selimut setelah minum segelas air. Itu memang kebiasaannya sebelum tidur, namun si manis punya rutinitas baru juga. Dia menunggu Mile untuk datang, siap-siap memeluk kalau sang suami ikut berbaring. Jujur Apo suka dengan punggung dan dada Mile Pakphum. Dia jadi merasa hangat kalau mendusel di sana. "Thank you sudah jadi suamiku, Phi," bisiknya dengan senyuman kecil. "Aku senang Phi Mile mengajakku ke tempat-tempat yang menyenangkan."

Bersambung ....