KITTY PO 57

Apo lihat ruangan itu ribut sekali. Dokter fokus kepada pekerjaannya, suster mondar-mandir, percakapan cepat, alat operasi yang dioper-oper. Tapi dia tak bisa menimbrung. Si manis bingung usai gagal menyentuh. Senyumnya hilang karena tak tahu kelembutan pipi si mini Kitty. Wajah pucat itu dihiasi mata kosong. Suara Apo serak dan sakit di tenggorokan. "Baby Sammy," panggilnya. "Baby Katty, ini Mama. Kalian bisa dengar, tidak? Mama ingin menunjukkan kalian ke Daddy ...."

Kedua bayi terus menangis. Sammy menendang-nendang udara, tangannya membentang. Tubuh itu penuh dengan darah, air ketuban dan lendir-lendir. Matanya mengatup dengan cairan tipis. Mulutnya menjerit kencang. Beda dengan Katty yang hanya merintih sebentar sebelum diurus secara khusus. Untung anggota Katty lengkap semua, ada kepala badan hingga mata kaki yang mungil. Namun jangan tanya ukurannya tak lebih besar dari telapak. Dia seperti bayi kucing betulan. Kulitnya merah. Saat disentuh dari timbangan badannya pun serapuh jelly. "Ush, ush, ush ... Sayang. Kau aman di tempat kami. Selamat datang bersama kakakmu yang paling tampan. Kalian berdua tangguh dan keren."

Apo melihat semua proses operasinya secara langsung. Badannya sakit. Dia pusing dengam perasaan dilempar sejauh mungkin (padahal hanya di tempat). Si manis pun menangis seorang diri. Dia berjongkok. Ingin rasanya mengenggam diri sendiri tapi tak mampu. "Apa aku sudah mati?" gumamnya. "I-Iyakah? Hiks ... hiks ... tapi aku ingin main bareng Sammy sama Katty ...." Dia dilewati semua orang di tepi ranjang. Tubuhnya ditabraki, tetapi anehnya selalu tembus. Pada saat itu yang dia pikirkan hanyalah satu. "Phi Mile ... hiks, hiks, hiks ... Phi Mile ... aku kangen sama Phi Mile ... hiks, hiks ...."

Apo rindu dengan sentuhan Mile. Pelukan suaminya yang hangat. Apo benar-benar menyesal karena menolak waktu di mobil. Harusnya, jika memang itu pelukan terakhir, dia tak memberontak sekasar itu.

Isi hati dan kepalanya hanya dipenuhi mimpi-mimpi. Apakah dia berkesempatan untuk mewujudkannya? Apo bohong jika dia mengatakan benci Mile Phakphum.

"Aku mencintaimu juga, Phi. Hiks, hiks ... aku hanya tidak suka Phi melakukan hal seperti itu. Aku benar-benar cinta sama Phi Mile. Hiks, hiks ... Phi, Apo tidak suka di sini. Lantainya dingin ...."

Remaja itu terus mendengar teriakan bahwa jantungnya berhenti. Dia kesepian. Namun tidak lagi karena pelukan yang diharapkan datang. Apo pun dituntun berdiri. Didekap erat. Wajahnya tenggelam di dada bidang yang aromanya begitu dirinya kenal. Parfum Gourlain, warna oranye. Sangat harum, mahal, mewah, dan begitu menenangkan. Si manis pun mendongak perlahan-lahan. Menatap Mile, dan ternyata wajah itu dihiasi senyum yang tampan. "Phi ada di sini kok. Kau tidak pernah sendiri," katanya. "Ha ha ha ... ternyata begini ya rasanya perut dibelah. Sayang, Phi senang tahu yang kau alami di meja itu."

"Huh?"

"Suprise?"

"Phi Mile?"

"Hm?"

"...."

"...."

"I-Ini benar-benar Phi Mile, tidak?"

Mile pun tersenyum semakin lebar. "Ya, karena aku juga tak tahan sendiri. Di sana gelap. Lebih enak jika mencari istriku," katanya. "Ternyata tidak jauh ya? Sayang, UGD kita bersebelahan. Ha ha ha ...."

Berbanding terbalik dengan tawanya, mata Mile justru mencucurkan cairan yang bening. Padahal tadi dia gugup bangun karena mendengar dokter menampari bokong bayi, tapi yang dibawa pergi hanya serta merta jiwa sahaja. Raga Mile masih terbaring di ranjang bedah. Dia tak peduli lagi karena ada suara banyak tangisan. Dari Apo, Sammy, dan Katty tercinta. Mile lebih tidak tahan jika terbaring di tempat itu. Dia ingin ada di sisi mereka secepat mungkin.

Apo pun memandangi perut Mile yang bekas ditusuk-tusuk. Dia mengusap darah dari tempat itu. Bertanya, kenapa? Tapi Mile hanya menggeleng pelan. Katanya, Apo tak perlu tahu yang buruk-buruk. Biar dia saja yang menanggung. Si manis pun ingin marah, tapi bibirnya dicium.

Pertautan yang amat lembut.

Segala perasaan ditumpahkan di tempat itu. Apo tertular menangis. Apalagi saat Dokter Napvtik menyatakan detaknya kembali lagi. Dia pun dihempaskan semacam angin. Dipisahkan dari Mile. Secara paksa remaja itu dibuat kembali pada raganya. Dia ingin lari, tetapi tak bisa. Apo berontak. Jemari bercincinnya menggapai Mile, tetapi sang suami diam di sana. "Phiii! Phiiiiiii!" jeritnya di luar kendali. "Phi Mileeee! Phiii! Phiiii! Aku janji mau maafkan kalau Phi ikut denganku! Phi Mileeeeee! Please, pleasee!" pintanya tidak karuan. Bayangan yang Apo lihat malah semakin menjauh. Mile ditelan gelap. Senyum di bibir itu pun menghilang begitu saja.

Selesai.

Apo dibuat bangun dengan wajah-wajah asing yang mengitari sekitar ranjang. Dokter Napvtik senyum. Para suster lega. Mereka tidak tahu seberapa duka Apo ketika membuka mata kembali. "Oh ya Tuhaaaaaan ... kita berhasil, Dok! Barusan kita benar-benar berhasil! Ini kelahiran Superfetasi pertama di RS ini! Dokteeer!"

Proses yang panjang sekali. Apo dengar dia butuh 4 jam lebih penanganan. Belum hectic-nya. Hingga sekarang tersadar total dan hidup, tetapi dirinya begitu lingung. Apo diam saja saat digeladak menuju ke kamar lain. Dia meracau-racau karena dadanya sakit. "Phi Mile mana ... Phi Mile ...." gumamnya (yang Apo pikir sudah berteriak macam orang gila). Padahal di telinga orang dia hanya sedang membuka mulut sedikit. Tiada suara yang keluar bagaikan baru mengoceh. "Phi Mile, Phi Mile ... aku nak lihat Phi sekarang juga .... hiks ...." Daripada tantrum, remaja itu malah disuntik lagi agar tidur tenang.

Waktu terasa singkat setelah itu. Apo tidak tahu seberapa lama dia hilang kesadaran, yang pasti segalanya terasa berat untuk ditanggung. Kepala pening, badan ngilu, perut kram, telapak kaki dingin dan dikaus kaki. Pada jendela kamar ada dua nenek baru yang menggendong cucu mereka di lengan.

"Nee, sudah saatnya dia masuk inkubator lagi. Dokter mencari."

"Oh, baiklah."

"Tolong botol susunya bawa kemari? Aku agak kesusahan menjangkaunya."

"Hm."

Sang mertua pun berlalu dengan wajah sendu. Dia memberikan buntalan mungil itu ke suster yang jaga. Bayi prematur memang hanya boleh sebentar di luar, karena belum ada 5 menit sudah disuruh berbaring lagi.

"Mama ...." panggil Apo dengan susah payah.

"Eh? Sayang? Apa kau sungguh terbangun?" May refleks menoleh karena suara lemah itu. Dia berjalan mendekat dengan mata bengkak, pertanda belum habis duka tapi harus berpijak setegar batu. "Hai ... lihat ini Baby Sammy-mu yang tampan. Dia benar-benar mirip Mile."

Sammy dibaringkan di dada Apo. Bayi itu tengkurap nyaman dengan Apo yang refleks mendekap. Entah kenapa matanya panas karena menyentuh si bayi pertama kali. "Dia harum ...." gumamnya sembari mengesun kening. "Mama, kulitnya harum sekali." Dia memuja, tapi tidak bisa tenang dan damai.

"Iya, Sayang. Sammy memang tak ada bandingan," kata May. "Dia cucu Mama yang paling ganteng sejagat raya."

"...."

Harusnya Apo tertawa karena bangga. Dia sudah berhasil mengandung bayi hingga jadi anak manusia. Hanya saja bukan ini yang dia fokuskan. Apo begitu kehilangan hingga matanya menatap May dengan ketakutan. "Ma, Phi Mile-ku mana ...." tanyanya dengan dada sesak. "Ma, dia sudah lihat Sammy atau belum? Terus Katty bagaimana? Ma ... aku mimpi Phi Mile kena tusuk ...."

"No ...." May pun duduk di sebelah Apo. Kebetulan ranjang VVIP besar di kamar itu. Dia sentuh tangan Apo pelan-pelan. "Bukan begitu, Sayang. Suamimu memang terlibat insiden. Kejadiannya 4 hari lalu. Kau tak sadar," jelasnya. "Biar Mama ceritakan pelan-pelan. Kau dengarkan, ya. Tolong jangan keburu emosi."

Si manis pun menyimak kondisi Mile Phakphum. Yang semula kehilangan sebelah ginjal, ususnya robek, dan limpa-nya tersenggol mata pisau.

Sang suami telah melewati operasi pencangkokan organ. Pemotongan dan penyambungan 3 usus. Dapat 5 jahitan berbeda, dan hidupnya sekarang tergantung pada lubang ventilator.

Banyak selang menempel pada tubuh Mile. Itu pun mending setidaknya nyawanya masih ada. Kondisi Mile memburuk hingga turun dari kritis. Sang suami sore tadi dinyatakan koma oleh dokter dan dengan harapan hidup yang kecil.

Perpisahan bisa terjadi sewaktu-waktu.

"Mama, hiks ... Phi Mile kok begitu ...." gumam Apo. "Tidak, Sammy dan Katty harus digendong Phi juga. Aku mau lihat seperti Kak Michele menggendong George. Hiks ... Maaaa ... aku kangen sama Phi Mile ...."

"Oeeeeee!" protes Sammy, yang mulai tak nyaman. Bayi itu berontak sekuat tenaga. Dia disingkirkan dari Apo daripada keduanya menangis bersama. "Oeeee! Oeeeee! Oeeee! Oeee!!" jeritnya amat gelisah.

Rasa bersalah Apo semakin menganga. Sebab dia mengetahui fakta dari Michele dan Anna siangnya. Mile memang kena masalah sebelum menjemput Apo daftar senam, dia mati-matian membela diri setelah diserang protes beberapa orang. Usut punya usut pencoretan proyek dulu tak semulus dugaan. Ada dari kolega yang tidak terima merugi karena Mile lepaskan. Sebagai lelaki cepat tanggap sang suami jelas gugup pergi. Pantas pukul 3 dia landas dari rumah. Segala hal pun Mile selesaikan dengan cepat nan tepat waktu, tapi lelaki itu bertemu Apo dalam kondisi mental terkuras.

Mile sedang butuh tempat peraduan agar tenang. Mungkin dulu pekerjaannya tak pernah ada gejala, sebab perannya hanya sebagai lelaki bujang. Jika stress tinggal pulang, mandi, makan lalu olahraga di gym rumah. Mile juga bisa langsung tidur karena lelah menggerogoti badannya. Sayang kini Mile punya tambahan tugas mulia. Bukan hanya sebagai suami, tapi juga ayah si kembar Sammy dan Katty. Lelaki itu kewalahan dengan dirinya sendiri. Rusaknya organ-organ tak sebanding dengan beban yang dirasa. Selama ini dia pun terkena anxiety karena Apo bukan istri yang bisa diandalkan sebegitunya. Si manis adalah remaja dengan mood-nya naik turun dan mudah tersinggung.

"Pelakunya kemarin sudah ditangkap lagi," kata Nee setelah kuat menemui Apo. "Namanya Arthee, orang asing. Dulu dia mencuri mobil Jeff untuk membayar pengobatan ibunya. Tapi Arthee keburu masuk penjara karena laporan Mile. Menurut pengakuan saksi mereka tak sengaja bertemu di RS ini. Arthee diketahui masuk untuk mengambil mayat ibunya. Bisa kukatakan ini hanyalah musibah, tak ada yang salah, tapi ibu Arthee memang meninggal dunia. Kita mana tahu dia punya motif yang seperti itu, Sayang. Mile menyelesaikan semua masalahnya hingga berada di sini. Kuharap kau pun tidak semarah itu padanya. Tolong maafkan puteraku jika belum jadi suami sempurna."

".... hiks, Mommy ...."

Mereka saling berpelukan.

"Aku tak bisa melihat cucu-cucuku seperti ini, tidak sanggup," kata Nee sambil meremas bahu Apo. "Tangisan pertama mereka tak didengar orangtuanya sendiri. Kalian begini. Bertengkar seperti bocah hanya karena hal-hal kecil yang terdengar bodoh. Karena itu, kau harus kuat untuk seterusnya ... ya Sayang ya? Kau harus belajar dewasa sedikit. Jangan mudah ambekan seperti dulu."

"Umnn, hiks ... hiks ... Mommy Sorry ...." kata Apo sepenuh hatinya. "Hiks, hiks ... Mommy, Apo benar-benar minta maaf ... huhu ...."

Hari itu pun Apo akhiri dengan perasaan buntu. Dia menyusui baby Sammy sambil memandangi Mile. Ranjang sang suami mulai dipindah ke sisi dia. Lelaki itu hanya diam, tak peduli seberapa kencang anaknya menangis. "Oeeeeee!! Oeeee!! Oeeeee!! Oeeeee!!" Bayi itu seperti memanggil-manggil ayahnya. Dia sering rewel padahal baru melihat dunia. Sammy juga punya kebiasaan baru. Dia tenang jika dibaringkan di sebelah Mile yang tak pernah sadar.

"Kami punya foto-foto mereka untukmu. Jangan sedih ...." kata Rom begitu pulang dari kantor. Sang mertua kembali ke kursi pimpinan. Dia menyempatkan diri untuk mengambil album yang ingin Apo ketahui selama tidur. "Lihat, Sayang. Ini waktu baru diangkat dari perutmu. Sangat tampan ...."

"Pappy ...." Apo pun memeluk benda tersebut. Dia menangis lagi karena topik apapun jadi sensitif. Dia harap Mile bisa membuka-bukanya juga suatu hari.

"Ha ha ha ha ... cucuku mandi comotan di perut. Bokongnya bulat," komentar Man sore harinya. Papa Apo juga meluangkan waktu dari pekerjaan. Dia tampak santai, tapi ketegaran tersebut hanyalah topeng. Man benar-benar berantakan di kantor semenjak itu. Dia tidak fokus, inginnya segera lari tiap hari menjenguk para cucunya. "Apo, kau tak Papa sangka kau sekarang menjadi ibu. Apo Sayang ... Papa kemarin beli hadiah loh, tapi lupa mau bawa karena sudah kepingin ke sini."

Tiba-tiba Apo malah melempar albumnya.

"APO!!!"

"Tidak mau! Tidak mau! Semuanya gara-gara baby! Hiks, hiks ... kesaaaaalll! Hiks, hiks .... huaaaaaaaaaaa!!!" Remaja itu membuat beberapa foto keluar dari slot-nya. Banyak yang berserakan di lantai sebab ada juga belum terpasang. Dia duduk dan menjambak rambutnya sendiri. Entah kenapa dadanya berubah panas karena melihat si kembar kitten.

Apo membayangkan bagaimana jika tidak ada bayi. Dia pasti tidak perlu ke tempat senam segala. Si manis menolak bonding dengan kedua anaknya. Dia berteriak dan marah-marah kepada semua orang. Mulai dokter, suster, orangtuanya, mertuanya ... dan siapa pun yang membahas bayi--dia benci. Kegiatan menyusui pun berhenti di hari ketujuh.

Persetan dengan tidur bersama Sammy dan Katty. Apo ingin dewasa, tapi kata "dewasa" itu membebaninya. Si manis hanya ingin di sebelah Mile untuk bersandar pada bahunya. "Phi Mile ... bangun ... hiks ... Phi Mile, Apo kangen ... Phi Mile ... hiks, hiks ... Apo mau jalan-jalan kok sama Phi Mile ... hiks, hiks ... Apo mau diajak pergi ...." kata Apo sambil memeluk dada sang suami. Pasangan itu membuat siapa pun prihatin. Namun mereka hanya bisa keluar karena Apo lebih tenang jika dibiarkan berdua.

Bayi-bayi saja tak diizinkan di tempat itu.

Apo marah jika melihat Sammy dan Katty. Dia mengamuk hingga keduanya dibawa ke tempat lain. Sammy menjerit, Katty dari hari ke hari semakin lemah. Bayi prematur setelapak tangan itu punya napas yang semakin pendek.

"Bagaimana ini, Katty lebih butuh ibunya daripada kakak ...." kata Nee. "Lihat, dia perlu dipeluk setidaknya 20 menit sama Apo. Anak itu serius tidak mau melihat bayinya lagi?"

Man yang baru dibentak hanya menggeleng pelan. Dia melipir pergi sambil menggendong Sammy. Ditepuknya bokong bulat itu karena menangis. Ah, lihatlah betapa kacaunya. Para suster gugup mencarikan susu untuk asupan pengganti. Mereka lebih panik daripada biasanya, karena ini adalah keluarga atasan mereka sendiri.

"Tidak, hari ini belum ada perubahan," kata May, yang baru menyusul keluar kamar. "Sebaiknya kita tunggu dulu sampai besok pagi. Siapkan saja menu yang paling dia sukai. Siapa tahu Apo mau makan."

Suara Nee pun dipenuhi harapan. "Oh, ya ampun ... aku ingat Apo sering belajar memasak," katanya. "Nanti akan kucari buku resep dia dulu. Di sana pasti ada banyak daftar."

"Iyakah?"

"Hu-um. Puteraku dicekoki Tom Yum gagal berkali-kali. Tapi walau tidak enak mereka makan bersama. Mungkin bagus jika besok kubawakan duplikatnya untuk Apo."

"Bagus, kalau begitu biar kami yang jaga di sini. Kalian pulang," kata May. "Aku yakin pekerjaan Rom pun lebih banyak dari kami. Kau bilang saja kalau ingin gantian bagian memasak. Apo pasti suka dengan hasil tangan kita."

"Oke." Nee pun memeluk besan cantiknya. Dia baru keluar setelah berpamitan sebaik mungkin. Senyumnya dipenuhi beban yang sama besarnya. "Kabari aku kalau ada apa-apa. Kita berusaha bersama."

"Ya, pasti."

"Sampai jumpa besok pagi."

"Hm."

Bersambung ....