KITTY PO 63

2 Hari Kemudian ....

Acara launching Universal Sammycat's Studios diadakan pukul 2 siang ini. Usai mengundang anak-anak BT, menyiapkan baju, dan menghapal selembar sambutan, harusnya Apo tenang karena semua telah terencana. Namun subuh-subuh dia bangun demi belajar jalan. Apo tak ingin kaki pincangnya terlihat jelas di depan orang hingga terpeleset di kamar mandi. Mile pun terbangun dengan rambut awut-awutan. Si manis menjatuhkan banyak benda dari lemari kayu. Ada sabun, sampo, mouthwash, odol, facial, shaving foam, juga pisau cukur yang patah menjadi dua. Apo nyaris menginjaknya karena clumsy. Dia syok dengan kelakuannya sendiri. Remaja itu tertawa karena sudah terbiasa melakukannya. Memar satu dua rasanya bukan masalah karena 5 bulan ini begitu. Beda dengan Mile yang baru melihat, wajahnya pun pucat karena Apo terduduk di lantai basah. Dia buru-buru menghampiri meski tergopoh. "Apo!" serunya. "Apo, kau tidak apa-apa, Sayang? Sakit bagian mana? Bilang sama Phi Mile apakah ada yang luka?"

Si manis hanya menggeleng pelan. Susah payah dia berusaha duduk di kloset sambil mendesis. Bibir ranumnya tersenyum membuat Mile melihat betapa semangat Apo menyambut momen keluarganya. "Tidak kok, Phi. I'm fine."

"Really?"

"Umn."

"Lain kali bangunkan Phi ya kalau butuh apa-apa. Sampai berantakan begini."

Bola mata kecokelatan Apo menatap Mile yang memunguti kekacauan di bawah sana. "Phi, maaf. Aku benar-benar tidak sengaja soal itu."

"What? No need," kata Mile. "Ini sih sepele, Po. Coba Phi periksa lukamu sebelumnya." Lelaki itu menyingkirkan benda-benda tersebut di pojok ruang. Biar nanti dibereskan pelayan saja. Toh cuma stok, isinya segelan semua. Plester Apo yang terakhir saja belum kering. Kini sudah ada beret lagi di kulit mulusnya. Mile meniupi bagian perihnya terus menerus. Dia kesal karena Apo jarang mengeluh seperti dulu. Maksud Mile, bukannya tak suka Apo makin dewasa. Ini adalah progress yang bagus, sebenarnya. Namun ego Mile sebagai lelaki yang mencintai bernafsu dijadikan tempat bergantung istrinya, daripada kenapa-napa begini. "Aduh, Sayang. Siku dan lututmu kena. Phi ambilkan 2 band aid dulu ya. Nanti sakit kalau keserempet orang."

"Iya, Phi."

Mereka bersitatap selagi Mile mengurus luka-luka Apo. "Kau tadi ngapain, hm?" tanya Mile. "Tumben buka-buka lemari stok segala."

Si manis membuang muka. "M-Mau cukuran."

"Ha?"

Rona merah pun merambati pipi-pipi Apo.

"Yang bawah sudah sih, kapan hari. Ketiak juga. C-Cuma--ugh ... lihat, Phi. Mukaku kok tumbuh kumisnya sih. Padahal mau foto bareng Sammy dan Katty. Masak iya aku tampil begini."

"Ha ha ha ha ha," tawa Mile. "Kukira apa, Sayang. Mana sudah terlanjur panik."

Bibir Apo manyun-manyun. "Tapi jelek, tahu. Kesannya kotor. Kaget loh pas sikat gigi sambil ngaca ada yang tumbuh di sana-sini," keluhnya. "Lip-gloss-ku nanti keliatan aneh dong Phi."

Bahu Mile bergetar-getar mendengar celotehan sang istri. Batinnya, sudah gede ya, Sayangku. Karena Apo dulu jarang merawat diri, potongan rambut pun berantakan. Mile bahkan masih ingat betapa buluk boxer yang Apo cuci jaman sekolah, dan dijemur di asramanya. Kini semuanya telah berubah. Apo semakin berhasrat memperindah diri. Remaja itu tampak senang ditemani mencukur kumis di depan wastafel.

"Agak aneh ya? Kamu 18 baru tumbuh kumisnya," celutuk Mile tiba-tiba. Dia membalurkan shaving foam ke bagian dagu seperti Apo. Keduanya menikmati rutinitas pagi sambil menatap pantulan cermin.

"Iya, Phi," jawab Apo. "Titidku juga begitu kok. Malas bangun sampai umur 17. Tidak tahu kenapa. Takutnya nanti terlambat dewasa."

"Hm?"

"M-Maksudku, dalam banyak hal," koreksi Apo. "Kadang suka merasa teman-teman lebih cepat berkembang daripada aku, Phi. Aku sedih."

"Lho ...."

"Aku takut ketinggalan mereka semua."

Mile pun menyemangati sang istri, sebab menurutnya Apo tak pernah tertinggal. Si manis hanya mengerjakan kehidupannya dengan cara terbalik. Menikah dan punya anak dulu, baru sekolah dan karir. Sama halnya kala membuat warna hijau melalui palet. Kau bebas mencampur kuning dulu baru biru, atau biru dulu baru kuning belakangan. Pada akhirnya sama-sama hijau hasilnya. Dia pun mengacak-acak rambut si manis. Dikecupnya bibir itu usai sikat gigi. Acara deep-talk pun ditutup dengan dan morning sex yang panas bath-up.

Apo dipangku berhadap-hadapan. Pinggang rampingnya dikecup Mile makin ke atas, bekas jahitan caesar-nya diraba hingga empunya merintih. Si manis berjengit merasakan bahunya digigit gemas, tak butuh waktu lama Mile sudah menghisap dua putingnya bergantian. Dari sana keluarlah cairan manis tipis-tipis, dan lidah Mile memutarinya disertai isapan kencang. "Ahhh, hhh," desah mereka bersamaan. Jemari Apo terus mengocok penis mereka diantara himpitan tubuh, dia terpejam beberapa kali merasakan panas suhu selangkangan menyebar luas, lama kegiatan intim ini tidak terjadi. Apo pikir dia takkan berpeluk dengan Mile lagi seperti ini. Bibirnya meracau "Phi Meee, Phi--Mai--hhh ...." sepanjang seks. Dalam hati setitik syukur hinggap ke sanubarinya karena Mile tak pernah tahu kapan dia nifas, atau melihat fase-fase terburuk "rupa"-nya pasca melahirkan.

Kau tahu? Bagi remaja seperti Apo masih ingin dipandang indah setiap saat. Jeda "perpisahan" saban bulan membuat segalanya kembali ke setting-an awal (bahkan mungkin Apo lebih ringan lagi). Si manis belum berani menimbang bobot badan sejak dibawa pulang dari rumah sakit. Dia takut melihat angka yang tertera nantinya. Baju-baju di lemari saja terasa longgar semua. Sebutan 'chubby' dan 'bulat' dari mertua kini hilang tanpa sisa. Mile sebenarnya merasakan tulang-tulang Apo menonjol di beberapa bagian. Kulit telapaknya merasakan keprihatinan diantara nikmat menyentuh sang istri. Mile bilang, "Kau juga, habis ini makan yang banyak ya. Phi tidak bisa melihatmu tirus lama-lama."

"Ahhh, nnnh ... mmhh. Iya--Phi--" jawab Apo diantara tusukan penis Mile dalam bokongnya. Gerakan mereka memang tidak brutal seperti dulu, kondisi yang sama-sama masih sulit membuat seks waktu itu dilakukan seadanya saja. Mile memeluk pinggul Apo dengan belaian lembut. Hirupan hidungnya pada leher, sebanding dengan betahnya remasan Mile di gundukan sintal si manis. Sambil menghentak, bagian itu diremas-remas hingga memerah. Lidah Apo pun mengecap seuntai sperma putih yang menempel pada jarinya. Mile terkekeh melihatnya seseksi itu, euforia mengenai kepiluan pun terlupakan sejak mereka bertatapan sambil memuaskan hasrat satu sama lain.

"Ahh! AHHHH! Phi Mile--ahh! T-Terlalu dalam--Phi ... sakit---mmhh," keluh Apo, sebelum bibirnya dilumat membabi buta. Bukan karena liang senggamanya luka seperti dulu, tapi kakinya yang fraktur sempat terhantam pondasi bath-up. Mile pun menggeser posisi mereka ke depan sedikit. Diantara air hangat bertumpah ruah, tempat sempit, dan aroma harum ruang itu Apo menjerit karena pahanya gemetar. Kerinduan di dadanya bersatu dengan pertemuan organ intim mereka. Apo tidak dilepaskan meski klimaks yang pertama datang begitu cepat.

"Apo, bisa berdiri tidak, Sayang?" tanya Mile usai mengisi Apo hingga penuh. "Atau kita pindah ke kamar saja? Phi bisa kalau cuma menggendongmu ke sana."

"Tidak mau--hhh ... hh, sesak--hh. Kamar Phi--"

"Oke, kalau begitu pegangan."

"Ummh!"

Seperti bayi koala, Apo pun naik ke pelukan Mile, meski satu kakinya sulit diajak kompromi. Dia perlu menopangnya dengan kaki sehat hingga sampai ke ranjang. Sumpah Apo takut jatuh dadakan karena licin sekali. Mile jelas tak membiarkan itu terjadi, sang suami bingung karena Apo ternyata tak berat sama sekali. Direbahkannya remaja itu secara perlahan. Perlu kesabaran lebih untuk menata kakinya di tepian pondasi sebelum menghentak ulang.

Tak banyak percakapan mereka setelah itu. Mile hanya melihat Apo mendesah di bawahnya, begitu pun Apo fokus kepada sang suami yang berusaha memuaskan mereka. Panggilan untuk sarapan pun kompat diabaikan, mereka tertawa karena si pelayan pergi sambil menggerutu.

Sebentar lagi, Apo.

"AHHHH!! ANNHH! AHHH!"

Gairah berpendar di mata Apo yang bergerak ke sana kemari.

"AHHHH! Nghhhh, annh ...."

Tunggu aku kita keluar bersama nanti.

Seprai di bawah cengkeraman Apo sudah terkoyak, remaja itu meneguk ludah beberapa kali meski tenggorokannya kering. Apa karena tubuhnya dilanda gersang? Refleksi polos pun terpampang di cermin dinding. Gugup dan keringat dingin Apo rasakan karena Mile tiba-tiba menggila dalam menggempur. Jilatan pada putingnya membuat Apo merinding, dia mengerang sambil memalingkan muka karena dadanya digigiti menyeluruh. Tak pernah Apo berpikir Mile akan bernafsu padanya dalam kondisi begini. Tonjolan merah di dadanya agak bengkak karena disedot seolah isinya ingin dihabiskan. Jemarinya mencoba berpegangan ke tengkuk Mile, atau apapun, tapi sering tergelincir tak tentu arah. Guncangan ranjang serasa seperti gempa. Anak rambut Apo teracak-acak oleh cengkeraman sang suami yang bola matanya berkabut.

Menghela napas, hangat Apo rasakan dari embusan milik Mile pada lehernya. Mulut dan gigi lelaki itu terbuka untuk meraup tulang selangka. Apo berusaha mencari posisi nyaman karena rasanya mereka semakin turun merosot ke tepi ranjang. Dia mengerjap untuk menatap mata tajam Mile Phakphum, pemandangan otot perut yang telanjang membuat Apo disirami nafsu memuncak setiap detik.

Mile membersihkan tumpahan air pada tubuhnya dengan sapuan lidah yang rakus. Wajah Apo terbakar memikirkan mereka akan membasuh diri lagi setelah ini. Mile memerangkap Apo di bawahnya dengan lengan bila beringsut. Si manis seperti mual, karena tusukan dalam tubuhnya menjadi-jadi. Perutnya menyembul karena ujung penis gemuk yang membentur. Seolah-olah Mile ingin merobeknya, tapi yang tertinggal adalah rasa nikmat tidak terkira.

Binar mata Apo menerawang jauh, dia terbatuk pelan karena ciuman Mile datang dan pergi begiru cepat. Kadang meraup, kadang terpisah. Bila dia dikecup, harus siap sedia untuk dikunyah seperti roti, insting paling dasar dari berahi menguasai mereka seperti percikan api. Punggungnya meliuk curam dengan mata terkesiap karena Mile masih bergerak ribut, padahal baru saja melepaskan mani hangat hingga mengalir ke pintu liangnya yang amat sesak.

Degub jantung mereka terbagi menjadi satu, bersahutan dan berisik diantara tarikan napas yang tersengal hebat. Paras Apo memerah seiring kelopaknya mengeluarkan titik air mata. Pinggul berlekuknya diusap dengan cakaran. Mile pun mendapat balasan pada bahunya yang liat. Sang suami menyusuri perut rata-nya, meskipun berhias selulit tipis. Dia melilit Apo dengan ciuman lagi dan lagi. Remaja itu tidak bisa melepaskannya sama sekali. Betis bawahnya mendapat usapan posesif. Apo makin bergejolak karena ereksi Mile membengkak dalam tubuhnya. Lenguhan pun keluar dari mulut karena Mile meremas ereksinya juga kala menusuk perut tidak sabaran.

"AAHHHHH, PHI MILE ...."

Apo pun menggigit bibir bawahnya disertai desisan kecil. Selagi mereka muncrat bersama, Mile berbisik kecil padanya, "Tanggung jawab, Apo. Kau membuatku kesulitan berhenti." Lalu mengikis angan dengan remasan di pangkal paha. Di sana geli, tapi lebih banyak nikmatnya. Si manis pun melihat Mile menyeringai saat mengangkat tubuh dengan punggung yang menegak. Sang suami seolah tengah memamerkan badan atletis yang mengkilap oleh peluh karena melakukan hal mesum padanya. Otot liang Apo berkedut kala ditinggalkan sejenak. Kerutannya seperti tengah meremas udara kosong nan lapar. Mile pun mengocok penisnya sendiri agar benda tebal nan panjang itu memproduksi benih baru lebih cepat diantara urat-urat yang menyembul jelas.

Dominasi seorang suami Mile tampakkan hingga Apo mencengkam bantalnya tak tahan lagi. Namun remaja itu meraung karena analnya dipaksa membuka lebih lebar oleh satu dorongan kencang.

"AHHHHH--henti--"

Suara benturan penis dan bokong itu memenuhi udara. Apo pun menggelinjang dengan delikan takut, entah hasrat nan kebinatangan macam apa yang datang kepada Mile pagi itu karena berat tubuh kuatnya serasa menimpa tanpa berjeda.

Dia membuat Apo merenggang dan menyempit demi menelan kejantanan yang menggelora. Remaja itu mengeluh, tetapi pelukannya semakin mengerat juga. Bagaimana prosesnya terjadi, Mile jadi leluasa keluar masuk. Persetan dengan jarak waktu, karena kini semua akan terbayarkan.

"Nnghh, annnh! Anhh!" Tangan Apo berpegangan pada otot punggung Mile selama sang suami mengecap asin darah pada dadanya. Bunyi basah pun terdengar diantara hunjaman Mile yang becek nan lengket di bawah sana. Dia mengerjapkan mata, lalu menunduk untuk melihat apa yang Mile lakukan terhadapnya. Si manis berusaha menenangkan diri sendiri dari pikiran akan hamil lagi, atau tidak setelah ini.

Erangan Apo pun makin keras seiring Mile mempercepat gerakannya. Awang-awang kamar putih sejenak, sebab sulutan gairah itu tak memberi ampunan padanya. Pinggang dan dada Apo terlonjak berkali-kali, orgasme entah ke berapa datang ke mereka seiring linangan mata Apo membanjir. Semburan putih kini membasahi perut Mile dan Apo pada puncak kenikmatan. Aliran darah mereka mulai menyurut seiring sengalan napas yang memburu karena pulihnya dari ketegangan. "Hhhhh, hhh, hhh ... hhh ..."

"Aku benar-benar mencintaimu, Apo," kata Mile sambil mencium kening si manis. "Terima kasih telah menungguku selama ini."

Apo pun mengangguk pelan. Disambutnya dekapan Mile dengan senyuman yang sangat lega. Dia bilang, "Sama-sama," meski nyaris tidak terdengar. Mile tidak bosan menciumi bibir itu, hingga Apo menampar bahunya malu. "S-Sudah ... awwh! Phiii ...! Aku ini lapar sekali ...."

Mile baru berhenti meski tak rela. Dia membelai pipi Apo yang pucatnya sudah menghilang. "Hm, hm ... Baby-ku capek, ya? Aduh maaf tapi suamimu ini ingin servis lebih, boleh tidak?"

"Huh?"

"Bukankah aku sudah menjadi "Daddy?", so, pakailah untuk menyebutku kepada si kembar mulai sekarang," kata Mile. "Daddy Sammy ... Daddy Katty ... hhh, gemas sekali kedengarannya."

Pandangan Apo pun melembut, dia tak menyangka bisa mewujudkan sebagian dari impian Mile untuk menjadi kepala keluarga secepat ini. "Umn." Dia mengangguk untuk konfirmasi, walau omongan Mile saat berangkat ke acara launching cukup mengagetkan didengar.

"Apa, Phi? Admin baru?"

"Ya? Tiga orang ...." Mile mengulum senyum sambil menyetir mobil dalam kecepatan sedang.

"Tapi Sammy dan Katty kan kicik kali, ya ampun ... buat apa Stagram resmi segala?"

"Kau belum tahu ponselmu kubuka semalam?" Mile malah membahas yang lain. "Sebentar lagi pasti centang biru karena kau istriku. Tapiiii ... misal kewalahan tak perlu meng-handle-nya sendiri, Sayang. Kau pakai akun private saja untuk melihat-lihat yang terjadi di luar sana."

"Oh ...."

"Nah, untuk keluargaku? Takkan kubiarkan orang lain tidak tahu, lalu berlaku semena-mena padanya."

Apo pun diam sejenak, perasaannya campur aduk karena diakui Mile dalam circle-nya sampai begini. Dia pikir, ya sudah. It's okay to be Mile Phakphum wife? Tidak harus ikut-ikutan muncul ke publik sampai ranahnya lebih. Namun Apo sadar followers-nya meningkat pesat sejak admin Mile mengunggah foto pernikahan mereka. Dari yang disebut "Ucil-ucil" dia sudah dilirik banyak rekan bisnis Mile karena menjadi The Face of Romsaithong juga. Bukan hanya Newyear, empat bodyguard pun Mile berikan untuk mengawalnya kemana-mana setelah ini.

"Tapi Phi, mereka tidak muncul di belakangku kan? Kalau untuk jalan-jalan sama Masu dan Jeff?" tanya Apo. "I mean, cuma untuk acara formal yang kelihatan."

"Iyaaa, begitu juga boleh, Sayang," kata Mile sambil geleng-geleng. "Tidak harus setiap momen kok, kapan pun kau merasa aman, ya tidak usah bawa. Hanya saja, tetap hati-hati karena sekarang ada si kembar juga."

"Iya, Phi."

"Terus, bisa jadi kita kita berada pada situasi tak terkendali seperti di RS. Kau melahirkan, aku ditusuk orang. Ha ha ha ha ... sumpah hari itu aku menyesal tak membawa bodyguard satu pun."

"...."

Mile menoleh ke Apo. "Tidak sempat, maksudnya."

".... oh."

"Tapi aku yakin semuanya baik-baik saja mulai sekarang."

Apo terpejam ketika pipinya dielus jari. "Umn."

"Bersiaplah melihat wajah kita berempat di majalah bisnis akhir pekan nanti."

Memasuki tol, Mile pun mempercepat laju agar segera sampai. Sammy dan Katty yang tidur di stroller belakang menggeliat kaget oleh getaran mesin sesaat. "E-emmh, e-emmh ... nnh," lenguh mereka sambil mengucek mata. Sinar matahari pun menyambut pukul 1 siang. Begitu turun di Universal Sammycat's Studios, Apo segera menutup atap kain untuk bayi-bayinya. "Wahh! Ramai sekali, Phii ...." cengirannya refleks keluar melihat tempat itu dipenuhi pengunjung yang membeludak.

"Bagus?" tanya Mile.

"Iya! Bagus! Bagus! Mereka kelihatan semangat sekali!"

Sorot mata si manis pun dipenuhi impian kembali. Dengan lembut, Mile segera menggandeng Apo sebelum mendorong stroller masing-masing satu. Mereka disambut para wartawan yang meliput, serta bodyguard yang berbaris di gerbang. Tiada yang lebih membuatnya bangga hingga hari ini tiba di dunia

"Tersenyum terus, Sayang," batin Mile. "Aku paling suka melihatmu bahagia seperti ini."

Bersambung ....