KITTY PO 64

Sepanjang acara, penyakit clumsy Apo kumat hingga hapalannya hilang semua. Padahal baris sambutan yang harus diucapkan tak sebanyak sang suami, tapi Apo nge-blank dihadapkan batang microphone usai pemotongan pita. Remaja itu 'a-u-a-anu ...' dan gagap dadakan. Dia demam panggung, tapi Mile memeluk pinggulnya erat. Lelaki itu menyelesaikan keseluruhan speech sambil tersenyum bangga. Dia tampak cerah kala memperkenalkan Sammy dan Katty kepada wartawan bisnis. Segala QnA dijawab Mile, sementara Apo berdiri di sebelahnya sebagai sorotan manis.

"Aduh cantiknya, istri Tuan Mile. Gemas sekali, ya? Lirikannya centil loh kalau dilihat-lihat," puji seseorang, yang berdiri dekat dengan panggung.

"Iya, masih muda lagi. Umur berapa sih? Kok terlihat seperti adikku."

"Hu-um, setuju. Frame mukanya itu loh, macam sepantaran keponakanku, tapi masak sih?"

"Terlihat baru belasan bukan? Dia benar-benar seperti remaja. Apa cuma karena baby face?"

"Iya kaliiiiii. Pasti karena baby face. Adikku saja pacaran putus nyambung terus. Masak remaja sudah berani menikah? Mana anaknya lucu-lucu. Mmhhh, benar-benar keluarga wattpad."

Apo pun malu-malu menatap mereka. Dia ikut melambaikan tangan lalu digiring ke sesi photoshoot. Keluarga kecilnya mendapat jepretan berkali-kali, yang artinya dipastikan masuk ke majalah bisnis awal tahun nanti. Si manis ditanya-tanya staff yang gemas pada anaknya. Di belakang panggung dia istirahat untuk menyusui sambil puk-puk bokong Sammy.

"Iiiyyy, kok tijur ciiiiiih. Katty, Kakak kan mau kenalannnn," kata salah satu diantaranya. Mereka menoel-noel pipi Katty, tapi malah tertawa semua saat si jelita membuka matanya.

"Aww, gemec! Lihat! Lihat! Lidah kecilnya bergerak-gerak! Aduh, mau gendoooong!"

"Aku! Aku! Aku juga!"

"Aku duluan dooong. Udah kepingin anak ini. Kali saja ketularan."

"Akuuuuuuuuuu!"

Apo pun geleng-geleng melihat betapa excited mereka. Selebihnya fokus ke proses make-up dan hair do para artis. Mereka orang-orang yang disewa Mile untuk konser memeriahkan pembukaan Universal Sammycat's Studios. Apo nyaris tak menyangka diva yang dulu dia tonton dengan Mile semasa sekolah hadir mengepas gaunnya cukup dekat.

"Cantik sekali, Nona Adeline. Aku jadi ingin minta tanda tangannya. Suara beliau betulan bagus!" batin Apo, tapi sudah diinterupsi Mile yang datang dari kamar mandi.

"Sayang ...."

"Iya, Phi?"

Apo menoleh ke sang suami.

"Tunggu lagi, bisa tidak? Ini mau keliling bareng kok susah ya. Baru ke sini ada telepon. Aku mau cari tempat sepi biar tidak berisik," kata Mile.

"Umn, tidak apa-apa. Phi santai, ini kan baru jam 7."

"Hmm, tidak masalah kan?"

"Iya."

"Sabar ya, Sayang. Habis ini kita lihat ramai-ramai."

"Iya."

Mile membelai pipi istrinya sebelum pergi. Dia pindah dari balik lemari gaun ke sisi yang lain lagi. Semua karena koper-koper aksesori digotong masuk ke dalam area. Banyak benda yang harus dipersiapkan dalam konser megah itu. Apo yakin anak-anak BT sudah berada di luar. Mereka menikmati all-pass gratis berupa gelang kertas untuk menaiki semua wahana. Apo memang mengusulkannya agar teman terdekat ikutan senang. Mile setuju, bahkan Earth boleh diajak Masu. Begitu pun Jirayu, yang diajak Jeff serta ke dalam. Mereka juga boleh meminta jajanan yang disediakan. Segala benda oleh-oleh siap dibawa pulang, mumpung tak ada batasnya.

"Ugh, kangen Jeffy ...." gumam Apo sambil celingak-celinguk. "Nak ketemu sama Masu juga. Umnh, dimana ya ...."

Sebetulnya Apo membawa ponsel di saku bajunya, tapi karena menggendong Sammy tak bisa chat-chattan. Apalagi Sammy semangat menyedot ASI-nya. Sulung gembul itu semakin beringas seolah masih kehausan, padahal Apo sudah menyusuinya 10 menitan. "Xixixi, tidur ...." gumamnya saat mulut Sammy terlepas mendadak. Apo menutupi dadanya dengan syal dan jaket kembali. Dia menata rapi bagian itu sebelum si baby direbahkan ke stroller. "Sleep well, mini Kitty. Anak Daddy pinter tidak rewel di tempat seramai ini." Dia puk-puk dada Sammy sambil menaikkan selimutnya perlahan.

Seperti kakaknya, Katty tidur lagi setelah keningnya dielus-elus staff. Dia diberikan kepada Apo karena ada kerjaan berikutnya. "Thank you, Tuan Natta. Lucu sekali si adik! Iiii, jadi kepingin anak perempuan juga."

"Sama-sama."

"Saya pamit dulu ya?"

"Iya."

"Saya juga, Tuan."

"Umn."

"Kalau butuh apa-apa panggil saja ke kami. Pasti datang. Dadah!"

Apo pun mengangguk sambil tersenyum. Dia menghirupi aroma harum bayi-bayinya gantian sangking gabutnya. Namun lama kelamaan remaja itu berjalan meski tertatih. Semua orang di sekitar memberikan akses karena ingin mencari Mile Phakphum. Di sebelahnya ada seorang staff yang mendorongkan stroller Sammy. Pikirnya, "Kok tidak balik-balik ya? Ini sudah 20 menit loh."

Keduanya menuju ke area di samping panggung. Chaos mengerikan menghiasi playground tersebut. Para pengunjung tampak berjubel demi menikmati taman hiburan baru mereka. Apo lihat ada banyak pasangan kencan berlalu lalang di sekitar. Keluarga hang-out, remaja seumurannya main game-machine, bahkan yang sudah kakek-nenek ikut penasaran akan tempat ini. Mereka menikmati jajan sambil tertawa-tawa. Apo pun senang Universal Sammycat's membawa keceriaan sebagaimana si kembar menyempurnakan rumah tangganya dengan Mile Phakphum.

Soal bodyguard, mereka benar-benar mengamankan Apo begitu keluar. Si manis pun digiring 6 orang, lengkap milik Mile selama bergerak ke mana saja. Dia dibawa ke tempat Mile tadi telepon, tapi karena hilang lagi Apo tak bisa tak heran.

"Eh? Tadi benar di sini kok beliaunya," kata salah satu bodyguard.

"Heh, bukan! Itu loh sudah ke sebelah air force. Siapa tadi yang mengajak Tuan Natta ke sini?" sahut bodyguard yang baru gabung mendatangi Apo. "Ayo, ayo ... pindah! Sekitar panggung mau dipakai lewar parade artis, tahu. Cih, lain kali jangan buat Tuan Natta repot! Beliau harus menghemat tenaga untuk berjalan, ya kan Tuan?" Lelaki itu mengambil alih gendongan Katty pada dadanya. "Sini, saya bantu biar Anda tidak kerepotan."

"Ha ha ha, ya ampun. Tidak masalah kok. Kalian serius sekali," kata Apo. "Aku cuma nak lihat Phi Mile saja. Dari tadi kok betah telepon."

Ketujuh bodyguard itu pun menggiring Apo ke tempat berbeda lagi. Di sana memang (agak) tenang karena air force merupakan wahana seperti telur yang melesat dan mengambang-ngambang. Ada jendela yang terpasang di sisi samping dan atas. Pengunjung bisa melihat pemandangan bawah juga karena lantainya berbahan transparan. Namun, berbeda dengan laporan, kini Mile tidak sedang telepon. Lelaki itu justru mengobrol dengan seorang wanita super cantik. Jantung Apo sampai berdebar, karena merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

"Hihihi, Mileeee ... kukira siapa loh? Seriusan ini kau?" kata wanita berkulit putih itu. Senyumnya menawan, matanya berbinar, hidungnya mancung, dan caranya tertawa sungguh mengalihkan dunia. Apo pun terpana, walaupun bingung. Diam-diam dia merasakan pening mendadak, tapi ingatannya samar akan wajah itu.

Siapa, ya?

"Iya, aku Mile. Ha ha ha, tak kusangka bisa bertemu denganmu lagi, Reba. Kukira kau kemana setelah sekian tahun."

Reba--sebutan yang membuat Apo diserbu memori usang. Sebagai inkarnasi kucing, si manis pun meng-capture sosok Dirlaba pada kehidupan sebelumnya. Remaja itu sempat memegang pelipisnya sendiri. Dia terserang mual. Apo bahkan mau muntah, tetapi selalu tak jadi-jadi. Remaja itu pun membuat bodyguard sekitarnya khawatir. Namun si manis tetap bilang 'tidak apa-apa.' akan peristiwa itu.

"Miaawww! Miaww! Miaww!"

"Tidak inginkah kau melihat yang lain dulu, Mile?"

"Tidak, aku ingin kucing ini, Mom."

"Baiklah, kita akan membawanya pulang."

"Ayeeee! Terima kasih, Mom!"

Pandangan Apo buram-jelas-buram-jelas persis seperti saat memimpikannya pertama kali. Bedanya sekarang lebih nyata karena mereka bertiga berada di satu tempat. Mile, dirinya, dan Dirlaba pasti pernah melakukan pertemuan begini di masa lalu. Wanita itu seperti vampir karena tak berubah banyak seiring berjalannya waktu--dia masih secantik dulu.

"Hai, Mile."

"Reba, kau di sini."

"Ya, aku sedang mencari sesuatu."

"Boleh bergabung?"

"Boleh, memang kau sedang mencari apa, Mile?"

"Kalung untuk Po."

"Sudah menemukan yang kau sukai?"

"Belum, semua bagus. Boleh minta saran?"

"Bagaimana dengan yang ini? Kau bisa menambahkan inisial di loncengnya. Chloe juga menggunakan yang serupa."

Satu nama lagi--Chloe, si kucing yang sama cantiknya dengan sang pemilik. Apo baru ingat soal itu, tapi Dirlaba tidak membawa peliharaannya seperti dulu. Wanita itu malah menyeret koper khusus berisi Persia putih (tampaknya masih kecil, karena mungkin anak atau justru cucunya).

"Apakah Chloe yang sebenarnya sudah mati?" pikir Apo. Hatinya agak sedih memikirkan itu, tapi siklus kehidupan memang berlalu begitu cepat. Dirinya saja 18 tahun, dan punya anak kembar yang imut. Remaja itu campur aduk, antara rindu dan cemburu kepada Dirlaba menjadi satu.

"Iya, aku pindah ke China setelah junior, Turki setelah senior, yang terakhir Jerman sebelum kembali lagi," jelas Reba. "Papa sih yang suruh. Katanya cocok untuk kuliah kedokteranku, Mile. Lagian ada kerabat juga yang jaga. Jadi, sampai master aku menetap di sana."

"Oh, lumayan ya," sahut Mile. "Aku hanya di NBA sampai S3. Cuman melihatmu sepertinya seru kalau pindah-pindah. Banyak pengalaman."

"Ha ha ha, apa sih. Tidak juga," kata Reba. "Malah tidak enak, tahu. Bingung dengan bahasa dan budayanya setiap pergi. Aku jarang sama keluarga karena itu. But, now it's okay. Balik ke Thailand rasanya luar biasa. Tetap tidak seperti negara kelahiran, ya? Xixixi, di sini ada nenekku tersayang."

"Hmm, congrats," kata Mile sambil tersenyum. "Terus ke sini sama siapa? Ada teman? Kulihat-lihat kok cuma sendiri."

"Aku--"

Apo tak mau menyimak setelah itu. Dia segera mengajak para bodyguard mundur. Terbakar cemburu membuatnya ingin langsung ke parkiran. Si manis melupakan jadwal keliling-keliling, toh kurang lebih sudah tahu rasanya. Bedanya dulu sepi, kini ramai. Apo membuat siapa pun bingung, terutama Mile yang mencarinya setelah puas mengobrol.

[Phi Mile: Sayang, kau di mana?]

[Phi Mile: Kok tidak ada di belakang panggung]

[Phi Mile: Jadi main bersama tidak? Ini mumpung belum larut]

[Phi Mile: Belum menyapa teman-temanmu loh. Kulihat mereka asyik berputar di sini]

[Panggilan tidak terjawab]

[Panggilan tidak terjawab]

[Panggilan tidak terjawab]

[Phi Mile: Apo Nattawin Romsaithong, bisa jawab telepon suamimu?]

[Phi Mile: Phi khawatir loh, serius. Ini dimana, ya? Bodyguard juga tidak ada yang menjawab]

[Phi Mile: Sayangku ....]

[Phi Mile: ]

[Phi Mile: -sending you a sticker-]

Apo pun menjawab panggilan terakhir, walau para bodyguard dia suruh diam. Setelah 'berpisah' dengan Mile lama, dia tak mau ngambek separah dulu. Hanya saja dadanya panas oleh api tak terima. "Halo, Phi."

Suara Mile terdengar kaget. "Aduh, akhirnya dijawab juga," katanya. "Kau dimana, Cinta? Aku sudah berputar dua kali loh mencarimu. Jangan jauh-jauh. Kakinya masih sakit kan. Gips-nya belum dilepas total."

Cinta, katanya? Apo kini ingat 100% bahwa cinta pertama Mile bukanlah dirinya.

"Iya, Phi. Cuma di parkiran kok. Sudah masuk mobil," jawab Apo sebal.

"Hah?"

"Nak pulang ...."

Suara Apo mulai terdengar goyang.

Di seberang sana Mile pun kehilangan kata-kata. Lelaki itu tampak linglung hanya karena sisi manja Apo keluar lagi.

"Pulang ya, Sayang? Astaga kenapa ...." tanya Mile. "Sammy dan Katty rewel kah? Perasaan tadi baik-baik saja."

Sebagai istri Apo memaksakan kehendaknya malam itu. Dia merengek hingga Mile pun datang buru-buru. Si manis tak menangis, tapi mematikan telepon di tengah obrolan. Dia diam saja begitu Mile sampai, bahkan membuang muka sambil menenangkan Katty. Baby itu tiba-tiba menangis kala Mile ingin penjelasan. Terpaksa sang suami menyetir pulang diantara keributan yang sengit. Katty menjerit, Sammy pun tertular cepat. Kedua bayi minta mimik, sampai Apo harus berpindah ke jok belakang.

"Berhenti dulu, Phi. Please, setidaknya aku bisa memegangi botol pumping Sammy."

"Oh, iya, iya. Sebentar ...." kata Mile. Dia langsung turun setelah menepikan mobil. Dibantunya Apo berpindah tempat, meski kesusahan jalan. Si manis sigap mengambil botol hasil perasan ASI-nya. Sebagai kakak, Sammy sering mengalah di saat seperti ini. Satunya mengedot, satunya lagi langsung mimik susu. Mile menatap kakacauan tersebut dengan mata tak terbaca.

"Kau kenapa, Sayang?" tanya Mile masih penasaran. Dia berdiri di ambang pintu mobil sampai kecapekan. Trotoar kering itu menjadi saksi betapa lama Apo mendiamkan dia.

"...."

"...."

"...."

"Istriku ...."

Apo mengelus-elus pipi Sammy setelah tenang. Ditariknya dot pumping itu secara perlahan. Dia juga meletakkan Katty pada stroller hati-hati. Si baby prematur sempat menggeliat dan bersin-bersin karena udara malam. Namun si manis rupanya masih tak mau membahas. Dengan raut datar dia mengancingkan baju seolah Mile tak ada di sana. "Sudah, Phi. Ayo lanjut," katanya dingin. "Aku lapar sekali, belum makan malam."

Mile benar-benar tak habis pikir.

"Apo--"

"Phi Mile, tolong ... aku capek nak tidur saja," sela Apo, entah sejak kapan mahir menaik turunkan perasaan Mile. Dia mengambil long-coat yang dilepas dari punggung kursi, lalu mengenakannya sebagai selimut. Rupanya remaja itu punya gaya marah baru. Mile sungguh tak diajak bicara, meskipun mereka di satu tempat.

"Oke."

Mile mengecup kening Apo sambil memasangkan sabuk pengaman.

"...."

"Istirahat ya, Sayang. Sampai rumah nanti pokoknya harus bicara."

"...."

Lelaki itu memutari mobilnya kembali. Rasanya sepi jika Apo tidak di sisinya lagi. Mile bahkan tidak berani menyetel musik sepelan apapun, karena bisa mengganggu tidur si kembar mungil. Dia benar-benar dalam kesunyian selama perjalanan. Dipikirnya lagi apa yang salah dengan hari ini.

"My god, ternyata itu ...." batin Mile setelah sadar. "Anniversary kita kan memang terlewat beberapa bulan lalu. Cuman belum ada hadiah setelah kuucapkan waktu itu."

"...."

Mile melirik pantulan wajahnya di cermin depan. "Ckckck, bodoh kau Mile. Kenapa tidak peka sama sekali?" Dia geleng-geleng sendiri. "Sepertinya ada yang salah dengan otakku karena kelamaan tidur."

Bersambung ....