KITTY PO 73

Reba refleks memeluk anaknya, sementara Apo diblokade sang bodyguard. Dari kejauhan api menyala berwarna oranye, sinarnya memendar silau melalui kelokan lobi. Air memancar hingga lantai jadi basah. Kegelapan itu membutakan mata setiap orang.

"Kebakaraaaan! Kebakaraaaan!"

Teriakan itu berlanjut.

Demi menyelamatkan nyawa banyak yang berseliweran kesana-kemari. Apo sendiri ingin segera pergi ke bayi-bayinya, tapi lobi begitu gelap dan licin. Melangkah sekali pun kakinya bisa terpeleset. Untung Apo dipegangi sang bodyguard. "Jangan, Tuan Natta! Bahaya!" bentaknya tiada takut.

"T-Tapi, Sammy sama Katty bagaimana? Baby-baby aku ...."

Bodyguard itu mempererat cengkeraman di lengan Apo. "Tenang saja! Ada teman saya juga di sana! Pasti membantu, Tuan. Anda cukup jangan ceroboh! Ingat kan kamar itu lebih dekat ke api daripada kita? Yakin dia akan membawa mereka keluar dari sana."

"T-Terus, Jeffy?" rengek Apo. "Jeff kan baru melahirkan baby Aire tadi. Siapa yang membantu Phi Jirayu membawa mereka? Ummh, please. Aku nak susul temanku." Dia tampak kesakitan saat berusaha melepaskan diri.

"No, no. Anda tetap berada di sini saja. Biar saya yang datangi."

"J-Janji ya ...."

Mereka saling bertatapan diantara sinar senter para suster yang tengah mendorong brankar berisi pasien.

"Anda yang harus janji sama saya. Jangan kemana-mana!" tegas bodyguard itu. "Di sini saja sampai saya dan yang lain kembali, paham?!"

"Oke."

Bodyguard itu pun berlari menjauh.

Apo baru sadar Reba kesulitan menenangkan Lian kala fokusnya berganti. Wanita itu menggendong Lian ke tempat teduh karena air yang tidak berhenti. Reba tahu air berguna menanggulangi api, hanya saja Lian benci basah dan terus menjerit di pelukannya. "Phi Reba, Phi Reba, apakah ada yang bisa aku bantu?" Dia mendekat dengan raut khawatir.

"Mamaaaaa! Hiks ... Mamaaaaa!" Lian meremas bahu Reba begitu kencang.

"Aduh, bagaimana ya? Lian memang begini kok, Po. Tenang saja nanti diam sendiri. Dia mungkin hanya panik."

"Oh, um, oke."

"Tapi, kenapa bisa kebakaran, ya? Dari mana asal apinya?" Reba terus menepuki bokong Lian. "Perasaan tidak ada dapur di lantai ini. Apakah konsleting listrik?"

"Aku juga tidak tahu."

Reba menatap chaos-nya orang-orang yang bertabrakan di tangga darurat. Mereka rebutan turun ke bawah, bahkan ada yang bertengkar karena tidak mendapatkan tempat. Lobi menuju tangga benar-benar penuh manusia. Mereka memblokade jalan seperti zombie yang ingin menyerang target. "Tidak ada jalan keluar dari sini," katanya dengan mata yang berpendar lembut. Diantara cahaya tipis Apo bisa tahu, kegelisahan Reba mungkin lebih besar daripada dia. "Kita harus menunggu, Apo. Kecuali mau dipukuli macam orang itu."

Apo pun menoleh perlahan, tepatnya ke lelaki yang ditendangi dari tangga karena mendesak paksa. Dia bonyok pipi akibat dihajar dua pria, sampai-sampai memegangi wajah yang terluka. Tubuhnya bangun lagi, walaupun mendesis ngilu. Otak Apo serasa mendidih sesaat. "Um, bagaimana ya? Mungkin kita harus cari jalan lain? Di lantai ini ada atau tidak?" tanyanya. "Jujur aku belum hapal karena baru beberapa kali kemari."

"Ada, sih ... tapi mengingat denahnya kemungkinan sudah dilahap api," kata Reba. "Tempatnya lebih jauh dari sini."

"Ah ...."

"Hiks, hiks, hiks ... MAMAAAAAAAAA!" teriakan Lian makin menjadi. Dia mulai kepanasan karena api mendekat. Untung kepanikan itu diredakan oleh kedatangan banyak orang. Ada para babysitter Apo yang membawa Sammy-Katty. Keduanya berlarian paling depan disusul baby Aire dalam pelukan bodyguard. Jirayu pun menyusul sambil membopong Jeff meski kondisinya lemas. Paling belakang adalah bodyguard lain yang membuat jalan.

"Sammy! Katty! Baby ....!" pekik Apo auto menyerbu bayi-bayinya. Ponsel di saku bajunya bergetar oleh panggilan Mile. Apo mengabaikan dulu sangking senangnya bertemu mereka. "Kalian baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka? Oh, Sayang. Mama takut kita tidak bisa bertemu lagi." Dia menciumi kening baby-baby yang mulai menangis itu.

"Mmhh, mmhh ... oeeee!! Oeeee!! Oeeee!!"

"Oeeee!! Oee!! Oee!!"

"Oeeee!! Oeee!! OEEEEEEEE!!"

Tangisan baby Aire ikut membuat suasana jadi ramai. Padahal menurut saran Reba mereka ke lantai yang lebih tinggi dulu demi menjauhi api, tapi saat bodyguard Apo akan menunjukkan jalan, Jeff malah diletakkan di lantai karena mengeluh perutnya sakit. Dia tidak mau diajak lari karena getaran tapak kaki membuat selangkangannya nyeri. Apo dan Reba segera mengecek kondisinya. Kening lelaki itu penuh keringat dan wajahnya pucat sekali. Dia mendusel ke dada sang suami dan menangis pelan. "Hhh, hhhh ... Phi, tidak mau. Tidak ... aku--hhh ... capek. Mau mati saja daripada begini. Sakit ... hiks ...."

"Iya, Sayang. Maaf kalau harus dibawa begini. Kan kau tadi lihat sendiri perabotan kamarnya nyaris terbakar. Sabar dulu, jangan ngomong mati-mati. Jelek serius, aku tidak suka dengarnya," kata Jirayu sambil mengelus-elus punggung istrinya.

"Brengsek, hiks ... huhu--sakit ...."

Jujur Apo tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya, apalagi dulu dia di-caesar, bukannya normal seperti Jeff. Apo pun minta bodyguard mengamankan baby-baby dulu. Termasuk Aire mungil yang kulitnya sudah memerah. "Kalian semua pergi ke atas duluan! Nanti kami pasti menyusul belakangan!"

"Baik, Tuan!"

"Baik!"

Ketiganya langsung meninggalkan gerombolan itu, walau sayang Lian tak mau diajak. Lian masih menangis, dan terlalu menempel ke Reba. Dia tidak mau kemana pun asal sang ibu masih di sini. Reba sendiri mengeluarkan steleskopnya demi mencari tahu detak jantung Jeff yang katanya melemah. Napas Jeff juga kurang stabil, akibat dehidrasi habis melahirkan.

"Huaaaaaaaa!! MAMAAAAA! HUAAAA!!"

Apo pun dapat bagian menenangkan bocah itu dengan memeluknya.

"Bagaimana perasaanmu, Jeff? Selain susah napas ada lagi? Pandanganmu buram tidak? Pusing?" tanya Reba, sambil mengarahkan senter mungil ke mata Jeffsatur.

"Hnngh, mm." Jeff hanya menggeleng, termasuk kala mata kanannya dicek sekalian.

"Bagus, seharusnya tidak apa-apa. Tetap bertahan, ya. Sesakit apapun kalian harus tetap ke lantai atas. Tidak lama lagi bagian ini pasti terbakar. Lihat?" Reba membuat Jeff menoleh ke arah yang dia tunjuk. "Tangga ke bawahnya pun mulai dilalap api. Pokoknya kuat terus demi bayi kalian berdua. Besok masih ada hari bagus untuk kita semua. Percaya?"

"Tidak tahu, hiks ... tidak tahu ...."

Jeff tampaknya sudah down, sehingga Jirayu lah yang disemangati Reba segera naik dahulu. Lelaki itu bilang terima kasih sudah memastikan kondisi istrinya. Dia bangkit susah payah, meskipun lengannya kencang dan pegal. Kelelahan tampak jelas di pasangan itu sebelum kakinya mulai menapak tinggi. Dititinya satu per satu anak tangga gelap itu. Makin ke atas pemandangan makin hitam saja sampai sulit melangkah ke tempat aman. Semua karena cahaya api masih di belakang. Namun Apo mengalihkan pandangannya, karena kondisi mereka mengkhawatirkan juga.

"Ini, Phi. Lian ...."

"Ah, iya. Thank you."

Reba memasukkan peralatannya kembali ke jas dokternya.

"Kita pun harus gabung mereka. Ayo!"

"Iya, iya. Sebentar."

"HUAAAAAAAAAAAA!!"

Lian pun digendong Reba kembali. Bocah itu sempat rewel tidak mau, tapi tetap didekap di pinggang Reba. Apo sendiri diseret sang bodyguard agar tak terlalu mempedulikan yang lain. Bodyguard itu mulai jengkel karena butuhnya dia hanya mengamankan Apo. "AYO, TUAN NATTA! CEPAT! CEPAT! CEPAT!"

"Aduh, pelan-pelan!"

"LEBIH CEPAT!"

Saat itulah terdengar ledakan api dari lobi. Suaranya menggelegar, diikuti kobaran cepat yang bergulung-gulung hingga melahap siapa pun yang di tangga. Pilihan keliru karena mereka tidak tahu di bawah sana mulai terjangkiti. Golongan pertama selamat, tapi yang ikutan di belakang terpapar kobaran semua. Apo tidak tahu bagaimana kondisi mereka setelah itu. Dia hanya menangis, tapi mengusap air mata yang mengalir segera setelah turun. "Hiks, Phi Mile ...."

Apo ingin sekali menjawab panggilan sang suami, tapi masih diseret terus oleh bodyguard-nya. Tungkai remaja itu agak kaku karena pegal olahraga bareng Mile belum sembuh total. Ototnya serasa tertarik semua, dan sakit dipakai bergerak.

"SEMUANYA, LEWAT SINI!" teriak bodyguard itu. "Titip hidung jangan lupa! Asap ledakannya mulai naik ke atas! Ayo!!"

Apo refleks menurut, tapi Reba fokus menutupi hidung Lian. Wanita itu tak bisa melindungi dirinya sendiri, karena jiwanya sebagai ibu. Apo sakit hati melihatnya berjuang di belakang sana. Reba jelas beda dengan dirinya yang dibantu banyak orang. Wanita itu tidak menangis, melainkan sangat tegar. Kakinya sempat terantuk entah apa, tapi langsung dipakai berlari lagi.

"Lewat sini, Phi Reba! Ikuti suaraku, jangan ketinggalan! Di sini gelap!"

"Iya!"

Reba belok ke kiri sebagaimana kemana Apo menuju. Beruntung bodyguard yang ditugaskan Mile menjaganya termasuk personel lama. Lelaki itu pasti ingat denah rumah sakit milik Romsaithong. Dia terus memimpin perjalanan sambil menjalin komunikasi dengan kawannya. "Kami 29 meter di belakang kalian, ganti!" katanya lewat walkie talkie. "Belok kemana setelah ini? Ada ruang bersalin di sekitarku. Mulai nomor 2026 kode 5!" Napasnya tak kalah ngos-ngosan karena fokusnya terbagi menyorot pintu dengan senter ponsel juga.

"Terus! Terus! Kalau ada lobi lain belok ke kanan! Itu paling sepi diantara yang lain! Tidak ada orang! Lebih cepat naik ke arah kami, ganti!"

"OKE!"

Tarikan di lengan Apo mengencang, tapi dia senang perjalanan ini lancar. Tidak ada halangan atau desakan orang lain yang memang belok ke arah berlawanan. Mungkin karena arah itu cerah oleh cahaya jendela, mereka cenderung mengambil yang mudah dilihat mata. Namun, kejanggalan mulai terjadi. Apo hanya mendengar suara langkah kaki mereka. Tidak ada lagi Reba atau Lian di belakang sana.

"Tunggu, tunggu, tunggu!!" jerit Apo.

"Ada apa, Tuan?"

"Phi Reba dimana? Phi Reba!"

Bodyguard itu pun berhenti karena Apo mulai memberontak. Si manis melepaskan cengkeraman dan merogoh ponsel dalam saku. Di sana ada panggilan tak terjawab Mile sebanyak 26 kali. Namun lelaki itu tak lagi menghubunginya.

[Phi Mile: Sayang, apa kau baik-baik saja? Aku baru dikabari bawahanku RS kebakaran karena ada perampokan]

[Phi Mile: Sayang, janji sama Phi kau akan ikut sama bodyguard. Dua-duanya bersamamu kan? Jangan terpisah dari mereka]

[Phi Mile: Phi sudah dekat, tolong jaga dirimu dan anak-anak. Phi ke sana!]

"Tuan Natta!"

Apo malah lari kembali ke belakang. Dia tidak bisa mengabaikan suara hatinya. Sebab Apo yakin ada sayup-sayup suara tangisan Lian sebelum berhenti. Entah apa sebab berhentinya, yang pasti tiba-tiba hilang. Remaja itu menyorot jalan lobi dengan senter ponselnya sendiri. "Maaf, Phi Mile! Tidak bisa!"

"TUAN NATTA! TUNGGU, TUAN NATTA!"

Bodyguard itu pun menyusul balik, tapi dihentikan ambrolan atap yang tiba-tiba. Dia syok sekali sampai mundur karena lantai atas ternyata dipenuhi perampok berseliweran. Mereka menembaki entah siapa, karena suara revolver dan mesiu bersatu padu hingga mendebarkan jantung--dor! Dor! Dor!

"Awassss!"

Berikutnya ada seorang perampok yang jatuh begitu saja di hadapannya. Tubuhnya menerobos bolongan atap hingga terbatuk dan memuntahkan darah. Lelaki ini membawa ransel warna hitam yang tampaknya menjadi incaran. Si bodyguard terpaksa berkelahi di tempat agar tidak ada yang turun menyusul Apo. "Berhenti kau, Keparat!!" makinya sambil menjambak baju bagian depan. Dia membogem muka lawan yang tampak terengah. Meski api menjalar ke tempat mereka tidak menjadi alasan.

"Arggh!"

"Jangan coba-coba kau ke sana ya Brengsek! Diam atau kuambil nyawamu!"

Bogeman itu dibalas tendangan perut.

Apo tidak tahu seberapa kacau situasi yang dia tinggalkan. Remaja itu terus berlari hingga mendapati Reba berjuang diantara banyak orang yang berpencar. Beberapa mulai ikut jalur gelap hingga menabraki Apo. Beberapa mengabaikan Apo begitu saja, bahkan Reba yang berada dalam pitingan seorang lelaki.

"Arrghh! Sakitt, Krisss! Sakittt!!" pekik Reba, yang ternyata dalam dekapan mantan suaminya dari belakang. Lengan lelaki itu melingkar di lehernya karena berontak. Dia nyaris mencekik Reba yang kakinya menendang-nendang minta dilepaskan. "Aku takkan ikut denganmu, Bajingan! Tidak malam ini atau sampai kapan pun! ARRRGHHHH!"

"PHI REBA!" teriak Apo karena Reba mulai dijambak Kriss tak manusiawi.

Lian tersungkur di lantai dalam kondisi pingsan dan pipi lebam. Tampaknya bocah itu baru ditinju hingga tak sadarkan diri.

"PHI REBA! YA AMPUN, LIAN!" Di tangga Apo maju mundur karena bingung dengan keselamatannya sendiri. Namun dia yakin baby-baby sudah aman di tempat yant lain. Remaja itu mendekap Lian di dadanya dengan senter yang menyorot benda di sekitar. Apo tampak sungguh-sungguh mencari hal dapat dipakai memukul. "Ah! Ketemu!"

Apo pun merangkak demi mengambil tiang infus yang ambruk di lantai. Sayang, baru saja tangannya sampai, sudah ada pelatuk yang menodong tepat ke bagian kepalanya--kacrak!

"Berhenti atau kutembak kepalamu sekarang!"

Bersambung ....