KITTY PO 74

Apo membeku di tempat. Padahal sekitar sana bising, tapi hanya detak jantungnya yang jelas. Remaja itu perlahan berdiri sesuai dengan instruksi Kriss. Dia mundur-mundur karena moncong pistol diarahkan kepadanya selalu.

"Pergi! Sana! Jangan ikut campur urusan kami!" bentak Kriss, yang suaranya bisa Apo kenali meski memakai masker.

Apo akhirnya menurut karena dia memikirkan keselamatan Lian. Tepat saat itulah listrik menyala kembali hingga rumah sakit kembali terang benderang. Lampu-lampu menyala sebagaimana urut parlelnya. Kriss pun membawa pergi Reba dan memaksanya turun dari tangga.

"AYO, JALANG! CEPAT! KITA TIDAK PUNYA BANYAK WAKTU!"

"AKKKHHHH! LIAAAANNNN!"

"BERISIK!"

"MMMHPHH! MPHH!" berontak Reba tak henti-henti. Saat itulah Apo punya kesempatan menggendong Lian ke atas. Dia berkaca-kaca, tapi menguatkan terus menguatkn diri untuk menyelematkan satu. Tubuh kecilnya disenggoli banyak perampok. Rupa-rupanya mereka memanggul gulungan lukisan berharga tinggi yang dipajang di gedung ini. Semuanya tersimpan dalam tas hitam ransel hasil jarahan, padahal Apo sendiri tidak tahu sejak kapan Mile mengoleksi lukisan mahal.

Remaja itu jatuh di kelokan tangga karena belum terbiasa dengan berat badan Lian. Dia tergopoh-gopoh dengan tungkai luka karena tulang di dalamnya baru sembuh. Apo merasakan nyeri tak berkesudahan. Dia berharap ada yang menggantikan gendong, tapi tidak ada orang. Diabaikan mereka saja sudah bagus, karena perampok-perampok ini sepertinya selesai dan ingin melarikan diri. Dia tak peduli dengan lukisannya yang penting bisa segera aman dari sini.

"Aduh!"

Apo jatuh untuk kedua kalinya.

Kali ini yang menyenggol perampok terakhir. Dia menggunakan baju hitam-hitam seperti yang lain, tapi lebih kekar lagi. Apo pun memeluk Lian semakin erat. Kepalanya sempat terantuk dinding, tapi pusingnya masih bisa ditahan. Apo bilang, "Maaf! Maaf! Aku tidak sengaja! A-Aku hanya ingin lewat saja! P-Permisi ...." Namun lengannya malah dicengkeram.

"Tidak, tunggu."

"A-Apa ...."

Mereka saling bertatapan. Apo dag-dig-dug parah tidak bisa mengenali wajah itu lebih detail, semua karena masker yang menutup separuh bagian. Remaja itu menyentakkan tangan tapi tenaganya tidak sanggup mengimbangi. Dia hanya bisa meringis-ringis.

"Tolong lepas--!!"

"Tidak akan."

"A-Apa?"

"Kau istri presdir itu kan? Ha ha ha, aku melihatmu dalam majalah, manis! Karena itu jangan bohong dan ikut aku sekarang ...."

"E-Eh--tidak mau--!"

"Ayoooo!"

"Tidak! Tidak mau! Tidak!"

Apo tetap diseret ke bawah. Dia kebingungan melihat para perampok itu berkumpul lagi. Mereka tidak ke bawah melainkan diskusi ulang.

"Bagaimana ini? Di luar ada mobil polisi! Tidak bagus!! Kita harus punya tawanan!"

"Aku punya!"

"Aduh!"

Apo langsung diseret ke kerumunan perampok. Dia dilempar begitu saja di tengah-tengah mereka. Lian nyaris menyusruk lantai jika Apo tidak mengorbankan siku. Bagian itu ikut luka hingga air matanya menetes. Tremor mulai hingga di tubuhnya meskipun tergolong ringan.

"Istri pak presdir cukup kan? Malah kalau ditukar uang kita bisa dapat lebih!" kata perampok tadi.

"Wah? Benarkah? Kenapa kecil sekali? Dia benar-benar bunga yang muda!"

"Cantik--"

"Mmhh--tidak mau!" Apo membuang muka ketika dagunya diraih. Dia membuat perampok di hadapannya kesal. Sebuah gamparan pun hadir di pipinya. "Arrghhhhhh!" Berikutnya jambakan rambut. "Mmhh---s-sakiiiit."

"Dengar, jangan tinggi hati ya kau, Pelacur. Keberadaanmu hanya untuk mengamankan kami. Jika tak berguna, aku takkan segan-segan membunuhmu di sini."

Lebih parah daripada tadi, sekarang pelatuk yang mengarah ke Apo banyak sekali. Bunyinya renyah pada telinga, tapi menarik ulu jantung karena bisa saja mencabut nyawa.

"Hiks, hiks ... Phi Mile ... P-Phi Mile ... sakit ...." keluh Apo sambil menahan rambutnya agar berhenti dijambak (atau setidaknya rasa sakitnya semakin ringan). Dia malah dihempas begitu kasar. Hidung Apo nyaris membentur lantai, tapi untung tidak jadi. Remaja itu meringkuk sambil memeluk Lian. Dia terisak diantara para perampok yang pusing sendiri.

"Menurutku dia jangan disakiti. Nanti suaminya bisa mengamuk."

"Alahhhh."

"Tunggu, jangan begitu. Aku setuju soal biarkan saja istrinya. Tak masalah lah digampar sekali dua kali agar kita dibiarkan pergi. Enak saja. Kalian amankan dulu lukisannya. Kita nanti kabur belakangan."

"Baik!"

"Baik!"

"Baik!"

"Yang lain berikan pengumuman di balkon. Lelaki ini di tangan kita, dan kami akan menembaknya kalau ada polisi yang naik. Sebagian menyusul setelah dapat jalan menuju mobil! Biar kupikirkan rencana cadangan selagi kalian pergi!"

"Siap!"

Gerombolan pun terpecah menjadi dua. sebagian pergi, sebagian lagi melingkari Apo seperti benteng. Mereka sering menendanginya jika berusaha bangun dan kabur. Apo diam daripada perutnya yang bekas jahitan sakit. Dia mendesis karena bagian itu masih ngilu kalau dapat benturan keras. "Argghh! Arrgh! B-Berhenti! Arrghhh!"

"Makanya diam! Biarkan teman kami pergi dahulu, tolol! Dasar bocil jelek banyak tingkah!"

"Argghh! Arghhhh!!" Apo melotot melihat ponselnya meluncur dari saku kemeja. Mau meraih panggilan sang suami tangannya malah diinjak sepatu kencang. "ARRRRGHHHHHHHH! PHI MILEEEEEEEEEE!" jeritnya membahana seantero ruangan.

Tendangan-tendangan berikutnya pun datang. Apo makin meringkuk seperti terenggiling karena terlanjur terkepung. Saat itulah ada seorang perampok sadar, bahwa keanehan terjadi kepada remaja di hadapannya.

"Heih, tunggu--tunggu, berhenti menendang dulu. Jangan bilang ada darah mengalir di celananya. Kenapa?"

"Apa?"

"Hah? Darah apa? Aku kan menendang bahu dan perutnya saja. Tidak mungkin kalau--"

"Lihat!"

"Mm--mhh, hiks ... hiks ... hiks ... sakit, hiks perih...." keluh Apo sambil meremas kemeja bagian perutnya. Dia baru merasakan nyeri luar biasa. Siapa pun tidak tahu dia pendarahan janin baru hingga Reba datang setelah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Kriss.

"APO! APO! LIAN!! TIDAK! K-KALIAN SEMUA BARU MENGAPAKAN DIA?!"

Semua perampok pun menoleh ke arah wanita berpakaian dokter itu. Karena kewaspadaan tinggi, sekitar 9 moncong senjata pun mengarah padanya tak tanggung-tanggung.

"MUNDUR!"

"TIDAK!"

"MUNDUR ATAU KEPALAMU BOLONG SEKARANG!!"

"SILAHKAN, BRENGSEK! SILAHKAN! APA KAU TAK LIHAT DIA BUTUH PERTOLONGAN?! MILE ADA DI BAWAH SANA, DAN ISTRINYA SEKARANG MENGANDUNG BAYINYA! BUTA APA?! BIARKAN AKU MEMBAWA DIA--"

Tiga peluru pun melesat dengan emosional. Reba tertembak pada bagian perut dan kedua tulang kakinya. Hal itu menjadikan mulut Reba diam seketika. Suasana pun sunyi setelah Reba ambruk mengeluarkan darah di lantai.

"Hakkkhh, hhh. Hhh ... hhh ...." desis Reba sambil menekan perutnya sendiri.

"KAU SINTING APA? KITA SUDAH SEPAKAT KALAU BISA JANGAN BUNUH ORANG!! BRENGSEK! KALAU BEGINI KITA HABIS NANTI DI PENGADILAN!!" bentak salah satu perampok.

"Ya, memang habis kalau tertangkap. Sekarang kita pergi berhubung lift RS-nya sudah bisa dipakai. Turun pencar! Jangan jadi satu! Persetan aku tak peduli lagi dengan tawanan ini. Cepat atau lambat pasti polisi naik kemari. Kita susul semuanya sekarang!"

"Oke!"

"CEPAT!"

Api kebakaran di ruangan itu pun makin membesar, asap hitam diterpa angin ke langit dan semakin tinggi. Di bawah sana Mile sedang berkelahi dengan beberapa petugas damkar. Dari tadi dia ingin masuk sendiri tapi tidak diperbolehkan mereka maupun polisi.

"ARRRGHHH! ISTRIKU DI DALAM, BAJINGAN! ISTRIKU, APO! DI DALAM! ANAK-ANAKKU! MASIH BAYI! MEREKA BERTIGA SEMUANYA DI ATAS--!!"

Mile dihempas berkali-kali oleh gerombolan orang berseragam itu.

"Tenang, Tuan Romsaithong! Tenang dulu. Jangan masuk sendiri itu bisa berbahaya! Anda tidak lihat apinya apa? Pondasi bawah sudah hancur dan Anda bisa ikut terbakar. Biarkan petugas kami bekerja! Anda tenang!"

Mile meninju dua dari mereka sekuat tenaga. "KAU SURUH AKU TENANG DI SAAT SEPERTI INI?! HAH?! ANAKKU! BAYI-BAYIKU--!! APO--!!"

Mile justru ditinju balik hingga perkelahian berlanjut semakin parah. Mile murka, namun dia tetap saja kalah jumlah. Bodyguard yang Mile bawa hanya dua karena langsung menyusul di perjalanan, mereka tidak bisa mengimbangi para petugas yang merasa pekerjaannya diganggu.

"BRENGSEK!"

Mile akhirnya diseret mundur dari kobaran api. Dua balkon RS itu ambruk tepat saat dirinya dilempar ke tanah.

"ARHHH!" teriaknya tanpa sadar. Bongkahan semen lawas pun batal meremukkan tubuhnya. Para petugas hanya mendecih dan geleng-geleng sebelum lanjut membantu proses penyemprotan air.

"Hkkss, Apo ... tidak, Sayangku ... Apo ... kau takkan pergi seperti ini. Apo-ku ... kucingku, Apo ...."

Dua bodyguard Mile pun segera membantu berdiri. Mereka babak belur karena melawan para petugas.

"Tuan Mile! Tuan Mile!"

"Tuan Mile! Tuan Mile!"

Mile berusaha menegakkan badan. Matanya berkaca-kaca, tapi saat itulah dia melihat seorang wanita berlari lewat jalur belakang di tempat parkir. Dia adalah Nazha, suami Reba. Dengan cerdik sosok itu menyelinap di balik barisan mobil.

Mile pun segera melepaskan dirinya. Meski mengejutkan para bodyguard, dia tak peduli panggilan mereka yang mulai memanggil-manggil.

"TUAN MILE, MAU KEMANA?!"

"TUAN MILE?! ANDA SEBENARNYA KENAPA?!"

"TUAN MILE!"

"TUAN MILE!!"

Mile terus mengikuti kata hatinya, karena dia tahu sejak melihat Nazha berkelahi dengan Kriss wanita itu punya pemikiran yang tak manusiawi. Terbukti bagaimana Nazha melepas jaket luarannya begitu saja, melalaui pijakan rawan dia memanjat balkon belakang RS dan langsung meniti paralon besi.

"NAZHA! HEI! TUNGGU!" teriak Mile. "APA KAU AKAN KE DALAM JUGA?! MAU MENCARI REBA YA KAN--"

"DIAM KAU PHAKPHUM! KALAU KETAHUAN AKAN KUSUMPAL MULUTMU!" bentak Nazha separuh menyela. "KALAU IKUT, AYO! ISTRI DAN ANAKKU JUGA DI SANA, KEPARAT! KITA TIDAK BISA MENGANDALKAN SEMUA PETUGAS ITU!" Dia terus memijak sekat paralon dengan sepatu sol tebal. Rambut panjang wanita itu mengayun-ayun diterpa angin malam yang sangar dingin. Kunciran ponytail-nya sedikit melonggar. Tanpa ba bi bu, Mile pun langsung melepas jas luarnya juga biar tidak ribet.

"OKE, AKU MENYUSUL!!" teriak Mile.

Keduannya pun mulai memanjat terus ke atas. Para petugas baru berdatangan di belakang saat Mile dan Nazha sampai lantai 3. Mereka terlambat menahan semuanya karena pergerakan tersebut cepat. Mile yang terbiasa di balik meja kantor bahkan kalah gesit dengan suami Reba.

Nazha benar-benar selincah laba-laba merambat. Dia tidak ragu memegang benda yang agak panas hingga telapak tangannya melepuh. Mile bisa melihat seberapa gigih wanita itu untuk melindungi keluarga barunya. Keringat merembes di wajah mereka berdua.

"PHAKPHUM! CEK JUGA LANTAI DI BAWAHMU SIAPA TAHU ADA YANG KELEWATAN! LEWAT KACA JENDELA YANG KANAN! LIHAT APA ISTRI KITA BERADA DI DALAM!"

"OKE!"

"AKU AKAN MENGECEK BAGIAN ATAS!"

"KAU FOKUS SAJA BISA TIDAK?! JANGAN MENOLEH KE BAWAH TERUS CEPAT NAIK LAGI!"

"BAJINGAN YA KAU! AKU MENGAJARIMU CARANYA MALAH SUSAH DIAJAK BEKERJA SAMA! CIH!"

"MEMANJAT SAJA BISA TIDAK SIH? BAGIAN SINI SEMAKIN PANAS KARENA APINYA BESAR!"

"BANGSAT! RASAKAN ITU HA HA HA HA HA HA HA!"

"AWAAAAAASSSSSSS!!"

Tiba-tiba ledakan besar terjadi dari dinding kiri, semua karena konsleting listrik menjalar dari kabel-kabel yang terbakar hingga Nazha terlempar dari pegangan. Wanita itu terpaksa jatuh ke salah satu balkon rusak. Punggung dan kepalanya terbentur besi, dan Mile segera melompat menyusulnya karena kebetulan dekat.

"Kau tidak apa-apa? Hei--"

"WHAT THE FUCK, MINGGIR!!"

Nazha menyiku dada Mile dan langsung bangkit berlari begitu saja. Dia tidak merasakan tangan yang berdarah, padahal cairannya menetes-netes jatuh ke lantai. "REBA! SAYANG! REBA!" teriaknya mencari-cari. Mile sendiri segera meninggalkan balkon itu saat mendengar deritan besi. Dia awalnya mengejar Nazha, tapi langsung behenti saat mendengar tangisan bayi.

"Oeeeeee!! Oeee!!! Oeeeeee!! Oeeeeee!!"

Suaranya berada di balik dinding. Ruangan bersalin itu sudah terbakar, dan membuat Mile berdebar kencang karena teringat bayi-bayinya.

"SAMMY! KATTY!"

Mile segera memburu masuk, dia mendobrak pintu ruangannya dengan satu kaki. Alangkah terkejutnya Mile karena itu bukan bayi miliknya sendiri. Malahan sang ibu baru sudah mati karena diambruki dinding RS. Kini tinggal bayi itu saja menggeliat di atas ranjang. Dia menangis tanpa henti karena sambil menendang-nendang udara.

"Oeeeee!! Oeeeee!! Oeeeeee!!"

Mile pun segera menggendong bayi tersebut. Dengan pelupuk yang mengucurkan air mata dia mendekap sebuah nyawa yang telah ditinggalkan dalam panasnya suhu ruangan. "Cup, cup. Cup, cup. Kau aman bersamaku sekarang, kau aman ...." bisiknya.

"Oeeeee!!! Oeeeeee!! Oeeeee!! Oeee!!"

Kaki Mile pin terus berlari melewati lobi-lobi merah itu. Dia menepuki punggung si bayi merah dengan perasaan yang teriris-iris. "Sekarang kita cari istri dan anakku bersama, ya? Tenang, tenang ... semuanya pasti akan baik-baik saja ...." katanya coba meyakinkan diri sendiri.

Bersambung ....