Porche tidak bergerak dari sana. Dia bukannya tak punya tenaga lagi, tapi malas menanggapi apapun yang dikatakan orang kaya raya ini. Siapa dia memangnya? Porche tak peduli hal itu!
"Lagipula, kalau bukan mainan, kau memang mau menjadi istriku?" tanya Kinn. Pria itu memandang Porche begitu dalam. "Aku ini tahu diri, juga tidak ingin memaksakan diri. Kalau pun ada mainanku yang bertahan setelah tahu betapa kotornya pekerjaanku, tentu aku akan serius padanya."
"Seriusan? Alibi macam apa lagi ini?" pikir Porche.
"Kau masih tidak percaya?" tanya Kinn ulang. "Hmm ... berarti kau menganggap seleraku rendahan. Aku jadi sangat tersinggung." Bibirnya tersenyum lebar saat itu.
Sangat cerah. Sangat tampan. Dia seperti bukan Kinn yang pernah Porche lihat di hari pertama mereka bertemu.
"Jelaskan sejelas-jelasnya, Tuan brengsek," kata Porche. "Jangan membuat orang kecil sepertiku makin pusing!"
Sambil mengobati jari jari terluka Porche, Kinn pun menjelaskan selama ini dia memang menjadikan semua lelaki yang menurutnya menarik sebagai mainan. Bukan karena memang hobi begitu, tetapi demi tidak terluka lagi. Kalau pun mainannya tidak ada rasa, maka Kinn akan lebih mudah melepaskan.
Toh, dia sadar diri jadi pria dengan spesifikasi sosial yang mengerikkan. Memang siapa yang mau jadi pasangan mafia? Kalau dia tidak siap menghadapi dunia nyata yang level brutalnya berbeda.
"Buang, cari lagi. Buang, cari lagi. Itu memang langkah yang kuambil," kata Kinn jujur. Dia menatap kedua mata Porche lurus-lurus. "Tapi, sepertinya kau agak berbeda. Kesulitan melupakanku sampai begini, eh? Aku sudah tahu semuanya."
Kali ini Porche tidak mengeluarkan sepatah kata. Bahkan makian sekali pun. Sebab dia melihat kejujuran dalam mata itu. Hal yang menurutnya agak konyol, lebih-lebih senyum yang kini makin lebar lagi.
"Benar-benar aneh sekali. Sejak kapan si Kinn ini belajar tersenyum seperti itu?" pikir Porche.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Kinn.
Porche pun menarik tangannya yang sudah dibalut plester. "Kau ... tidak bohong?"
"Sudah sampai seperti ini, masih tetap saja curiga?" tanya Kinn balik.
"Terus kenapa tidak datang lagi hari itu?" tuding Porche. "Kau bilang akan langsung kemari paginya, tapi apa?"
"Jadi kau marah rupanya ...." kata Kinn. Perlahan, dia meraih pucuk kepala Porche dan menepuk-nepuknya pelan. "Oke, lanjutkan. Aku mau dengar semuanya."
PLAKK!
"KINNNN! AKU INI TIDAK MAIN-MAIN!!!" bentak Porche.
Akhirnya, Kinn pun tertawa lepas. Porche sampai menutup mulut Kinn agar Porchay tidak bangun di kamarnya.
"Baiklah .... baik. Aku memang ada pekerjaan hari itu--"
"Klise," sela Porche. "Benar-benar menyebalkan--"
"Tapi sebenarnya tidak penting juga," aku Kinn balas menyela. "Hanya saja, kuputuskan untuk tetap hadir. Sekalian mengujimu lebih lama. Memang iya benar-benar membenciku? Kau satu-satunya yang paling sinting setelah kutinggal. Lainnya? Mereka mungkin sakit hati, tetapi bisa menjalani kegiatan sehari-hari seperti biasa."
Jemari Porche seketika gatal ingin meninju. "Bangsat ...." Teringat pula dia sempat merenung di tepi pantai karena situasi hatinya makin memburuk.
Sia-sia saja aku memikirkannya selama ini.
"Aku hanya merasa kurang berharga di mata mereka," kata Kinn membela diri. "Jadi, menurutku sah-sah saja mencari satu yang paling menarik."
Ah, sial. Kalau sudah begini, Porche memang bisa apa? Dia tak pantas melanjutkan amarahnya lagi.
Meski kesal, Porche pun berusaha menanggapi. "Tahu tidak? Caramu itu tolol sekali," katanya. "Sudah berapa lelaki yang jadi korbanmu? Mereka mungkin punya dendam tapi malas berhadapan denganmu."
"Benar."
Porche pun menghela napas panjang. "Jadi, intinya kau suka padaku sungguhan?"
"Hm."
"Bukan kepada mainan?"
"Kurasa semuanya sudah jelas."
Agak ragu, Porche kini mengacungkan jarinya. "Kalau begitu, janji padaku tidak melakukan itu lagi?"
Kinn justru memandangi jari Porche yang lebih ramping dari miliknya. "Kau tahu? Aku lebih suka main jari tengah daripada kelingking."
Seketika itu, Porche benar-benar memukul kepala si mafia paling sopan di dunia. "Keparat!" makinya sangat-sangat jengkel.
***
Begitu masuk ke kamar, Porche langsung mencoba menahan pergerakan Kinn sebisanya. "Oi ... oi ... oi ... haruskah kita bercinta langsung? Kau bahkan belum minta maaf dengan benar padaku."
Kinn tetap membuka dua kancing teratas Porche hingga dadanya terekspos. "Baik, maaf."
"Itu saja?"
"Memang kau mau apa lagi? Aku tidak membawa cincin lamaran ke sini," kata Kinn mulai tidak sabar. "Hanya badan dan pistol di saku celana. Oh, dan pistol lain yang lebih besar di bawah. Kau pasti akan suka jika mencobanya lagi."
"Sial!" maki Porche. "Benar-benar tak berguna. Kau bisa berikan ponsel dan dompetmu sebagai jaminan. Aku pasti akan membakar dua-duanya kalau kau menipu lagi."
Kinn malah menarik tengkuk Porche dan menciumnya cepat. "Dengar, aku benar-benar melemahkan penjagaan saat memutuskan pergi ke sini," katanya. "Tidak ada senjata lain, tidak ada bodyguard yang mengikuti, atau mobil yang menungguku. Menurutmu, kalau aku tak percaya padamu, apa ini akan terjadi?"
Kinn dan Porche berpandangan lekat.
"Kau bukan orang lemah yang tidak terlatih," bantah Porche. "Jangan sok minta simpatiku."
"Dan aku sedang berhadapan dengan klasemen Taekwondo nasional pada masanya," kata Kinn. "Si Phoenix. Petarung bawah tanah yang menawan. Kira-kira keberadaanku di sini bisa sepenuhnya aman?"
Porsche tidak tahu kenapa, dia kini tertawa lepas. "Ha ha ha! Gila! Coba cari cara lain untuk memujiku!"
Kinn pun berebah di sebelah sang kekasih baru, memeluknya erat di dada, lalu mengelus punggungnya seperti bayi. "Baik, baik. Aku paham," katanya. "Maaf selalu memaksamu. Seks-nya bisa ditunda sampai besok cincin itu benar-benar kau pakai dariku."
Seketika, bayangan Porche tentang jari mereka yang dihiasi berterbangan di kepala. "ARRRRGHHH! Seriusan?!" tanyanya nyaris tak percaya. Dia bahkan mendorong Kinn hingga pria itu duduk lagi menghadapnya.
Kinn malah tampak kaget. "Apa aku harus memukulmu biar sadar?"
"Tapi, kenapa langsung menikah? Perasaan baru kemarin aku ini lajang bebas!" kata Porche. Raut wajahnya merah biru karena kepanikan sangat kuat.
"Baik, kalau begitu kita sederhanakan saja," kata Kinn lagi-lagi tak sabaran. "Iya, atau tidak?"
Kepala Porche pun diserang pening. "Tidak. Maksudku, bisa jangan cepat-cepat? Aku masih bingung situasi ini," katanya. "Lagipula, kau ini aneh sekali. Yakin memilihku setelah berpetualang? Aku akan membunuhmu kalau nanti berubah pikiran--"
BRAKHH!
"Arrhh!"
Porche terjembab ke bantal, Kinn maju cepat dan mengadu hidung mancung keduanya.
"Asia, Eropa, Amerika, Afrika, atau Antartika," kata Kinn tiba-tiba. Kedua matanya bersirobok dengan milik Porche sepenuhnya. "Kau tinggal pilih kemana kita akan menandai tempat-tempat itu dengan air mani nantinya."
DEMI APA?!
"Hah?!"
Kinn pun berdecak sebal. "Aku mulai menyesali otakmu sering lambat dalam hal seperti ini," keluhnya pelan. Lalu tanpa peduli lagi, dia merobek kemeja depan Porche untuk mencumbunya hingga pagi.
KRAAAAAAKHH!
"OI! OI! HEI ... KINNN!"
BRUGH!
.
.
.
.
.
.
Di kamarnya, Porchay pun tersentak bangun dari mimpi kanak-kanaknya.
"Phi?! Di mana?! Phi mau diperkosa lagi?!" batinnya dengan jantung berdebaran.
Bersambung ....