BAB 8: AIR MATA SAMPAH, ATAU?

"Ughhmmn ... ummn ... ahhh ...."

Sangking nikmatnya persetubuhan malam itu, Porche sampai ingin memukul seseorang. Demi apa! Mereka sudah mengulangi ini sampai cadangan kondom Kinn habis! Namun, di atasnya, Kinn masih setia mengguncang tubuhnya tanpa henti. Pria itu menyatukan jari-jari mereka di ranjang. Membuatnya sulit bahkan hanya untuk menggeliat saja.

"Porche ... hhh ... Porche ...." bisik Kinn di telinga Porche. Dia tidak sadar mendesahkan nama lelaki yang telungkup di bawahnya itu..

Kinn menggigit daun telinga tipis Porche gemas. Antara ingin menggilas atau menghancurkannya, Kinn memilih menjilat bagian itu hingga ke sepanjang rahangnya.

Rasanya kebas sekali di bawah sana, tetapi baik Kinn maupun Porche tidak ada yang berhenti bergerak.

Mereka mungkin bisa mengambrukkan ranjang itu bila saja Porche tidak mengeluarkan air mata.

Deg!

Kinn pun refleks bergairah lebih, tetapi hanya sekejap.

"Porche ... oi, Porche?"

Brakhh!

Kinn pun membalik posisi Porche. Dia menatap wajah letih di depannya saat memberikan seluruh benih ke dalam sana.

"Ahhh ... mmmh ...." lenguh Porche. Kedua matanya tertutup, dan meski Kinn sudah melepaskan cengkeraman di pergelangan tangan merahnya, Porche tetap kaku di sana.

"Porche ... hei ...." Kinn panik seketika. Dia mendekap Porche, menyibak poninya yang berkeringat, lantas mengecup di sana beberapa kali. "Apa aku berlebihan? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

Pandangan Porche justru berkunang-kunang. Dia bukannya lemah, tetapi seks setelah bertarung gila-gilaan di arena bawah tanah?

Porche tak bisa menanganinya.

"Kinn ...."

Dia balas mendekap Kinn sebisanya, lantas meremas di bahu kekar tersebut. "Ha ha ... ha ha ... kenapa malah berhenti? Kau sudah puas denganku? Sungguhan?"

Kinn biasanya tak peduli dengan kondisi pasangannya, tetapi entah kenapa raut Porche sekarang agak menyakitkan. Dia pun tidak betah mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Porche, meski Kinn yakin itu bukan karena dia kesakitan.

"Kau ini jangan menakutiku!" bentak Kinn, tapi dekapannya semakin erat. Dia juga terpejam kuat karena begitu takut. Dia sendiri sulit mengendalikan perasaan itu. "Brengsek! Bangun! Buka matamu sekarang ...."

Porche mendekat menggigit leher Kinn sekuat tenaga. JAB!

"HAAAAA! RASAKAN ITU! HA HA HA!!!"

Sangking perihnya, Kinn hanya mendesis "khhh--" saat taring-taring Porche menembus kulit lehernya nyaris ke nadi. Ada darah yang mengalir dari sana, tetapi Porche langsung melepasnya sebelum kehabisan tenaga.

"Itu untuk balasanku, paham?"

Kinn memang tidak marah, tetapi tetap membentak Porche karena lelaki itu agak pucat.

"FUCK! Jangan pingsan!!!" kata Kinn panik. Dia segera melepaskan Porche, turun dari ranjang tanpa apapun dan langsung menyambar ponsel dengan tangan yang berkeringat. "Pete! Pete! Cepat kemari SEKARANG! YA! SEKARANG!" teriaknya dengan urat-urat leher yang keluar.

Kinn agak gemetar saat menoleh kepada Porche, tetapi si korban sendiri malah tersenyum manis. Dia menggamit jemari Kinn yang hangat, lalu menggenggamnya senang.

"Aku tidak selemah itu, bajingan ...." kekehnya. "Sini ...." pintanya. "Bisa peluk aku lagi? Aku mendadak merasa ini cuma mimpi."

Kinn pun mendecih kesal.

Kesal karena nafsunya belum bisa benar-benar tenang, padahal Porche sudah seperti itu.

Kesal juga karena lupa diri, padahal nyata-nyata Porche tadi baru terluka karena pertarungan.

Lihat itu?

Apa gunanya mengobati jari-jari dia beberapa saat lalu?

Sekarang perban Porche sudah melebar kemana-mana.

"ARRRRGH!"

BRAKHH!

Kinn menendang bagian bawah nakas begitu keras.

Pagi buta pukul 3 lebih, Kinn langsung menggendong Porche ke mobilnya. Dia membalut Porche dalam selimut tebal putih seperti mayat busuk, yang bahkan menutupinya dari kepala hingga kaki.

"RUMAH SAKIT! SECEPATNYA!!" bentak Kinn kepada Big. Bodyguard-nya itu bahkan belum sempat menyelesaikan laporannya tentang Pete yang memiliki tugas lain. Jadi, dia pun menggantikan datang.

Big pun bergerak cepat, meskipun dia agak kerepotan.

Kinn tidak ikut dalam mobil itu. Dia menuju ke mobil lain yang disiapkan Arm setelahnya, lalu menyusul di belakang Porche.

PLAK!!

"Arrrgh! Arrgh!" keluh Kinn terus menerus. Dia memukul setir beberapa kali selama perjalanan.

Sebenarnya Porche kenapa?! Kinn yakin dia memang kasar saat bercinta tadi, tapi tidak sebegitunya juga.

"Saudara Porche memiliki luka dalam di bagian dada dan perut bawahnya," kata dokter setelah memeriksa kondisi Porche. "Ini mungkin tidak terlihat, atau dirasakan penderita segera, tetapi sangat berbahaya. Bisa jadi disebabkan pukulan luar yang terlalu fatal, sehingga sampai di titik vital dan efeknya hingga ke organ."

Kinn mengepalkan tangan refleks karena itu. Dia memandangi Porche yang tadinya bergumul di ranjang dengannya, tetapi kini berbaring menggunakan infus dan bahkan alat bantu napas ruang UGD.

Mereka hanya terpisah dinding kaca, sangat tipis, hanya saja terasa jauh sekali.

"Apa penanganannya terlambat?" tanya Kinn berusaha tenang.

"Sedikit. Apalagi penderita kehabisan tenaga di saat-saat gentingnya. Jadi, ini agak sulit, jujur saja. Namun, Anda tak perlu khawatir. Kalau Saudara Porche mau melakukan terapi tiga bulan pertama, dia akan baik-baik saja," kata dokter itu lagi.

"Baiklah," kata Kinn. Dia menghela napas panjang, lalu menatap dokter itu tajam. "Lakukan saja yang perlu dilakukan. Aku ingin bawahanku diperbolehkan di sini untuk memantau kondisinya padaku."

"Baik," jawab si dokter. Namun, sejenak kemudian dia berdehem. "Oh, iya ... kalau boleh tahu, Anda ini keluarganya?"

Dengan kening yang berkedut, Kinn pun menjawab dengan suara agak membentak. "Ya, aku ini suaminya. Puas?" Dia mendecih karena sadar terlalu emosi, lalu mengulangi jawaban tersebut. "Maksudku, maaf, hmm ... pokoknya kuserahkan dia padamu," katanya canggung.

Pagi itu, Kinn memang membiarkan Porche bermalam di rumah sakit selama 3 hari. Big dan Arm tidak dia perbolehkan pulang hingga saat Kinn memboyong tubuh Porche ke rumahnya langsung.

"Phi ...! Phi ...!" panggil Porchay dengan mata yang memerah. Anak lelaki itu mungkin syok setelah mendengar banyak desahan yang keluar dari kamar kakaknya beberapa waktu lalu. Namun, daripada fokus ke hal itu, Porchay kini menatap Kinn benci.

Anak itu pasti paham apa yang dilalui kakaknya selama dua Minggu ini.

Dia diam, hanya saja menjauhi Kinn kecuali saat diajak berbicara penting.

"Terus saja begitu. Atau aku akan membiarkan kakakmu mati," ancam Kinn, meski tak mungkin dia benar-benar melakukan itu.

Porchay pun berhenti mengejar mobil Big yang membawa tubuh kakaknya yang masih tertidur. Dia berdiri di depan Kinn, lalu mengepalkan tangannya hingga gemetar.

"Kakak benar. Kau ini orang jahat, Phi Kinn. Kau datang karena cuma mau sesuatu darinya. Harusnya aku lebih percaya Phi-ku waktu itu," kata Porchay.

Si bocah ingusan bahkan bisa menyudutkan boss mafia hanya dengan kata-katanya.

"Dia mengatakan itu?" kata Kinn separuh tidak percaya. Dia lantas menggeleng agar tetap fokus ke pembicaraan. "Ah, ya. Baik, terserah. Memang aku yang membiarkan dia sinting dua Minggu ini. Terus, kenapa? Kau mau balas dendam padaku?"

Kepalan tangan Porchay semakin kuat. "Ugh ... ugh ...." keluhnya pelan. Mungkin, dia ingin sekali menghajar Kinn, tetapi berpikir lima puluh kali lagi saat melihat bodyguard berbaris-baris di belakangnya.

Porchay pun berlari pergi tanpa kata setelahnya.

"Tuan Kinn, apa perlu kita mengurus dia?" tanya Big.

"Tidak perlu. Cukup awasi dan jaga saja di belakang," kata Kinn. "Lagipula dia cuma bocah. Tapi tetap jadi tanggung jawabku selama kakaknya ada dalam perawatan."

Big pun mengangguk pelan. "Baik."

Setelah pulang, Kinn pun kembali memandangi tubuh Porche yang kini gantian terkulai di ranjang pribadinya. Lima menit, sepuluh menit. Dia baru memantabkan hati untuk masuk setelah mengusir semua bodyguard-nya dari dalam kamar.

...

.....

"Oi Porche, kapan kau membuka mata lagi untuk jadi pengantinku?" gumamnya sendirian di ruangan itu.

Bersambung ....