BAB 11: DIA ITU ORANG YANG SAMA?

Porche jadi penasaran dengan wajah Tawan dan kepribadian lelaki itu. Bagaimana bisa terjadi salah paham diantara Kinn dan dia? Kalau sampai menyebabkan kematian, pastinya parah sekali.

"Apa aku tanya Kinn saja besok pagi?" gumam Porche. Dia membolak-balik badan beberapa kali di ranjang itu.

Porche yakin para pelayan Kinn sering mengganti bantal, seprai, dan selimut boss mereka. Namun, aroma khas Kinn masih tertinggal di sini.

"Hmmmhh ....."

Porche pun menghirup dalam-dalam wangi tubuh Kinn. Dia memejamkan mata, sedikit tenang, lantas memeluk dirinya sendiri.

Poche tidak tahu saat jam dinding mulai menunjukkan pukul 1, Kinn baru menjenguknya ulang dan duduk di sebelahnya.

Pria itu memandangi wajah Porche, lalu menyentuh tulang hidung mancungnya dengan telunjuk. "Hmph, kenapa seperti bukan dirinya?"

Seingat Kinn, Porche adalah lelaki yang tidak mau jadi pelacurnya, kabur menjebol dinding kaca hotel dengan mobil, dan memaki-makinya begitu kasar. Namun, lihat dia sekarang?

Tidur dan bernapas saja kenapa imut sekali?

Benarkah dia "The Phoenix" si petarung bawah tanah itu?

Kinn jadi tertarik mendekati bibirnya yang manyun. Dia mengecup sekali di sana, lalu menatap begitu lekat.

"Maaf sudah mendekatimu dengan cara yang salah," bisik Kinn. "Aku akan berusaha menguranginya, terutama saat dengan adikmu." Dia lantas menggeleng pelan. "Maksudku, mengatur tindakanmu dengan ancaman? Adikmu sekarang bahkan jadi membenciku yang seperti itu."

Napas mereka berhembus menerpa wajah satu sama lain. Sangat hangat. Sangat nyaman. Kinn baru menemukan hal seperti itu lagi setelah kematian Tawan beberapa tahun lalu.

Ah, mungkin agak berbeda.

Dulu, Tawan tidak suka merokok. Melainkan susu putih. Jadi, saat mereka berciuman hanya ada manis-manis di lidah. Namun, saat melakukannya dengan Porche ada aroma rokok yang berpadu dengan manis permen juga.

Hal tersebut membuat Kinn begitu candu, hingga kini melumat bibir Porche lagi dan lagi. Dia mengelus leher lelaki itu perlahan dan menggigit permukaan lembab tersebut secara halus.

Kinn lebih tidak ingin Porche bangun, apalagi dengan kondisi badan begitu. Namun, untuk melepaskannya secepat mungkin, dia juga tak rela melakukannya.

"Hrrrmhh ... mnnh ...." keluh Porche beberapa kali. Namun, lelaki itu tetap lelap dalam mimpi lebih-lebih setelah Kinn mengecup keningnya di akhir.

Walau, kalau diingat-ingat, Kinn dulu tidak suka pasangan yang memiliki kebiasaan merokok, atau bar-bar keterlaluan seperti Porche. Sekarang? Diam-diam Kinn malah tidak suka jika dia sampai merubah sosok Porche yang seperti itu.

"Baiklah, good night. Senang melihatmu lebih baik dari kemarin," gumam Kinn. Dia menarik selimut putih tebal itu hingga sampai dada Porche sebelum beranjak dari tepian ranjang.

"Senang melihatmu serileks itu, Kinn."

DEG!

Kinn pun refleks berbalik saat mendengar suara itu. Bukan karena takut, tetapi lebih disebabkan heran.

Sebab arwah Tawan memang kadang menampakkan diri di hadapannya, tetapi jika biasanya diam tanpa kata, kini lelaki itu tersenyum tipis.

"Tawan ...." gumam Kinn tanpa disadarinya.

"Ssssttt ...." Sosok Tawan itu menaruh telunjuknya di depan bibir. "Kau bisa membangunkannya kalau terlalu berisik."

Kinn pun menoleh ke Porche sekilas sebelum kembali ke sosok itu. Lelaki yang kini transparan, tak bisa dirinya sentuh, dan selama ini tak pernah merespon bahkan meski Kinn mengatakan "Maaf" berkali-kali padanya.

"Jadi, kau sudah yakin akan menikahinya?" tanya Tawan.

Kinn pun refleks mendekatinya, meski tidak bisa meraih kulit hangat yang dulu bisa dirinya rasa. "Ya, tapi, bukan berarti aku mengabaikanmu--"

"Aku tahu, tenang saja, Kinn," sela Tawan dengan kekehan kecil. "Bukan hanya kau, tapi aku pun senang tahu kabar tersebut."

Kinn pun mengepalkan tangannya tanpa sadar. Tawan pasti melihat cincin di jari manis Porche yang dulu pernah ingin dia berikan kepadanya.

Namun, aneh. Tawan yang dikenal Kinn cukup cemburuan itu, kini malah menunjuk ruang rahasia di balik lukisan wajahnya.

"Bisa kau buka itu untukku?" tanya Tawan.

Kinn pun meneguk ludah. "Iya, tapi ....."

"Ini permintaanku, Kinn," kata Tawan menegaskan.

Kinn pun menuruti Tawan. Dia menekan tombol mungil rahasia yang  letaknya di sebelah lukisan. Di sana ada sepasang jas pernikahan hitam dan putih.

Dulu, Kinn juga mempersiapkan itu untuk pernikahan dengan Tawan. Hanya saja, alih-alih mendekati jas putihnya, Tawan justru memuji Porche.

"Sepertinya kau memilih lelaki yang tepat," kata Tawan. "Dengan postur dan tinggi tersebut, dia pasti sangat cocok mengenakannya, Kinn."

Kinn pun meneguk ludahnya kesulitan. "Kau tidak marah sedikit pun padaku?"

"Untuk apa, hm?" kata Tawan. "Dulu, saat merampas dokumen penting keluarga utama dari musuhmu, yang kupikirkan hanyalah kau tersenyum bangga padaku."

"...."

"Dan saat kau meninju dadaku, kupikir ... ahh, kekasihku belum sadar apa yang kulakukan," kata Tawan dengan senyuman yang lebih lebar. "Jika pun aku mati hari itu, senang melihatmu tetap hidup dengan baik sekarang."

Napas Kinn jadi begitu berat. Mungkin dia sudah gila, tetapi bisakah Tawan hidup lagi sebentar saja?

Kinn benar-benar ingin memeluknya untuk terakhir kali.

"Tawan--"

"Hm?"

"Kenapa tidak mengatakan semuanya padaku selama ini?" kata Kinn. Mereka pun berpandangan waktu itu.

Saling menyelami. Memiliki momen satu sama lain. Dan Kinn ingat dia belum menanyakan satu hal penting sejak dulu. "Kenapa diam dan hanya melihatku."

Tawan pun menggeleng pelan. "Kau tahu? Aku sangat percaya padamu melebihi kepada diriku sendiri," katanya. "Jadi, meski hari itu tidak, tetapi kau benar-benar mencari tahu kebenaranya hingga selesai. Itu cukup, Kinn. Aku senang kau tidak lagi membenciku seperti dulu."

Malam itu, adalah malam terakhir Kinn melihat Tawan. Dia tak habis pikir mengapa Tawan secinta itu padanya, bahkan memberikan selamat atas pernikahannya dengan Porche nanti.

Rasa-rasanya, membunuh orang yang menjebak Tawan dalam kesalah pahaman tidak cukup untuk menebus kematian sang kekasih lama.

"Kinn?" panggil Porche tiba-tiba. Lelaki itu membuka mata perlahan dan meraih tangan Kinn yang tergantung di sebelahnya. "Itu kau?"

Kinn pun menghempaskan napas panjang. "Hmm, iya," katanya. "Kenapa?"

"Sejak kapan?"

"Apa penting sejak kapan? Kau harus tidur lagi agar cepat-cepat sembuh," kata Kinn. Niat hati kembali ke kamar tamu pun urung karena Porche mendadak duduk, memeluknya, lalu mengambilkan badan mereka bersama ke ranjang.

BRUGH!

"Hei, hati-hati! Dadamu!" kata Kinn. Wajanya terjembab di dada Porche, tetapi Porche justru tertawa-tawa kecil karena hal sederhana itu.

"Ha ha ha! Siniii ...." kata Porche. "Kau sudah kutangkap, Kinn. Awas saja kalau kabur lagi seperti tadi."

Malam itu, justru Kinn lah yang tak bisa terlelap karena mendengarkan detak jantungnya bersahutan dengan Porche begitu serasi.

"Ahhh ... aku bisa gila lama-lama," batin Kinn, lalu balas mengeratkan kedua lengan hangatnya untuk ke pelukan Porche.

Bersambung ...