BAB 12: AYO! AYO! KINN!

Entah sudah berapa hari berlalu. Kesehatan Porche dikontrol secara ketat oleh dokter-dokter pribadi keluarga Theerapanyakul. Dia tidak diperbolehkan keluar kamar, melakukan hal berat, dan hanya beristirahat.

Makan saja dia diawasi oleh bodyguard Kinn yang berjejer-jejer. Katanya, harus habis! Porche tidak boleh malas-malasan demi kesembuhannya.

"Oiii! Kinn! Kinn! Kau tidak bisa begini padaku," rajuk Porche pada awalnya. Meski baru bangun tidur, dia memeluk pinggang Kinn dan melarangnya pergi kerja.

"Dapat kau!" batin Porche. "Takkan kubiarkan kau mencium keningku diam-diam lagi! Hadapi aku dengan jantan, Kinn!"

Kinn justru memaksanya tetap di sana dan berjanji akan menjaga Porchay dengan baik di rumah. "Sementara ini diam saja dulu," katanya sambil menoyor kening Porche agar tidur lagi. "Kau tidak tahu betapa bahayanya luka dalammu itu, paham?"

Porsche tidak tahu Kinn sengaja memerintah dokter-dokternya untuk meracik ulang obat sang kekasih. Sebab Porche sangat bar-bar. Kinn takkan pernah lupa tingkah Porche saat kabur darinya dengan cara berbahaya. Jadi, jika Porche mengantuk sehabis mengkonsumsi racikan tersebut, Kinn tak perlu khawatir dia berulah lagi.

"Terus lalukan sampai dia benar-benar sembuh," kata Kinn di balik meja kerjanya. "Jangan lewatkan satu jam pun waktu dia minum obat."

"Baik!" sahut para dokter yang sempat dia kumpulkan sebentar.

Kinn juga menemani Porche tidur setiap malam. Hanya jika lelaki itu sudah terlelap tentunya. Dia senang menggenggam jemari lelaki itu diam-diam, memandangi cincin yang tak pernah dilepas Porche, dan membayangkan kapan bisa membawanya ke pernikahan.

"Aneh, memang. Dia cepat datang tapi membuatku yakin," batin Kinn. "Apa aku mulai tidak waras?"

Dan saat Porche terbangun, dia pikir rasa pelukan Kinn itu hanyalah mimpi.

Ada dorongan ganjil yang membuat Kinn menahan hasratnya sebisa mungkin. Selain solo, dia melampiaskan frustasi seks dengan bekerja semakin larut, jarang pulang hanya untuk mabuk di bar, lalu meraba-raba tubuh tidur Porche di balik piamanya bila sudah tidak tahan.

Kadang, tengah malam Kinn juga termenung sendirian di ruang tengah meski tidak melakukan apa-apa. Dia pijit keningnya yang sangat pening, lalu melipir berebah ke sofa panjang di kamarnya.

Memandangi Porche dari jauh.

Rindu, tapi tidak ingin menyentuh. Malahan menyakiti dirinya sendiri dengan tidur yang kadang jadi sangat tidak tenang.

"Tidak perlu. Jangan," larang Kinn suatu siang. Dia menolak seorang bodyguard yang merangkap jadi simpanannya di ranjang. Dulu, orang-orang itu sering memberi servis mulut dengan berlutut sebentar di depan dua kakinya. Mereka bersembunyi di balik meja kerja, menatapnya, lalu membuatnya lepas dari segalanya. Namun, kali ini dia bahkan sampai mendorong lelaki itu hingga terjengkang jatuh. "Aku baik-baik saja, sungguh."

"Anda yakin, Khun Kinn?" tanya bodyguard itu. Tidak perlu sebut nama, Kinn saja kadang lupa siapa mereka karena selalu berganti wajah. Kadang si A. Kadang si B. Tapi, otaknya sekarang seperti dijajah Porche. Makin dia berhasrat, hanya senyum sang kekasih lah yang dia bayangkan.

"Iya," kata Kinn. "Cukup bereskan saja berkas-berkasku." Lantas menyusul Porche yang sudah meringkuk lucu.

Untungnya, tadi sore salah satu dokter melaporkan peningkatan pesat dari kondisi Porche. Lelaki itu sudah boleh melepaskan infus! Besok pagi lebih tepatnya, tapi rasa penantian Kinn paling lama justru malam ini.

"Jadi, dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa?" tanya Kinn sekali lagi. Pagi itu, dia tampak gelisah memandang luar jendela, padahal pelepasan infus Porche sudah diurus dokter di dalam sana.

"Iya, Tuan," kata dokter lain yang melapor.

"Bagaimana kalau kuajak jalan keluar?" tanya Kinn memastikan sekali lagi. Mungkin hanya ke gedung resepsi? Aku ingin dengar pendapatnya tentang acara pernikahan yang mungkin pernah dia bayangkan.

Ajaibnya, mendadak Porche melompat keluar dari dalam kamar waktu itu. "Eeeiii, Kinn! Tadi kau bilang akan mengajakku keluar? Seriusan?!"

Cengirannya begitu cerah. Senyumnya menghangatkan hati, tetapi Kinn berusaha menahan diri. "Iya, tapi tidak hari ini."

"Aihhh!! Terus kapan?" kata Porche. "Aku bosan sekali di sini! SUMPAH! Dan dengar-dengar Porchay juga akan dibawa kemari? Apa kabar dia? Serius dia baik-baik saja?"

"Iya, benar. Tapi juga bukan hari ini," tegas Kinn ulang. "Aku masih ada urusan--"

"Ckckck ... urusanmu memang tidak habis-habis," cibir Porche.

Kinn pun pura-pura menelpon seseorang agar lelaki baru sembuh ini tidak banyak bertingkah dulu.

"Iya, halo? Aku bisa datang hari ini. Tenang saja. Sekarang dalam perjalanan ke sana."

Porsche justru menarik tangannya hingga ponsel itu terjatuh, dan membawanya lari-lari keluar dari rumah.

PRAKH!!

"HEI!"

"Oh, cepatlah ... AYO! AYOOOO!! KINN!" kata Porche penuh kegembiraan.

Mau tak mau, Kinn pun mengalah. Dia membawa Porche keliling kota tanpa tujuan seharian, makan sebentar di resto, kemudian melihat kegilaannya di gedung butik.

"KIIINNN! TADAAAAAAAAAH!" seru Porche dengan senyuman lebar. Kinn sampai nyaris jantungan melihatnya.

Demi apapun! Kinn jadi ingin meninju ruang ganti di belakang lelaki banyak tingkah itu.

"Bagaimana? Cantik tidak? HA HA HA! Aku mendadak ingin pakai wig-wig kece di toko ini!" katanya. Seolah umurnya menyusut lagi ke taraf belasan. "Buat seru-seruan saja, oke? Aku masih mau coba yang lain!"

"Ck ... Oi, Porche!" Kepala Kinn pun nyut-nyutan melihat Porche masuk lagi ke ruangan ganti. Sang kekasih tenyata sudah membawa berbagai varian wig ke dalam sana untuk ditunjukkan kepada Kinn tiap dia usai berganti.

"Kalau yang ini? Aku pasti kelihatan manis sekali!"

"Ya ampun ...."

"Terus yang ini? Lebih kelihatan tomboy kan ya?"

"Porche, cukup ...."

Porche justru masuk lagi dan berganti untuk kesekian kalinya.

"Lihat aku!! Kinn! Jangan cemberut, tolonglah. Aku tahu kau menyukai wajah super femininku!"

"Tunggu dulu, hei--"

"Sudah diam dulu, Kinn!" teriak Porche dari dalam kamar ganti.

Sepuluh detik kemudian. Lelaki itu muncul lagi dengan wujud terimutnya. "Bagaimana? Aku sudah mirip dengan artis Korea?"

Kinn hanya bisa mendesis meresponnya. "Sssshhh ...."

"Atau kau suka aku full make up?"

"APA?!"

Porche tertawa dan melanjutkan kesintingannya.

"HA HA HA! Aku pasti seksi sekali. Rawwwrrrrr!" kata Porche sambil mencakar udara layaknya kucing. Dia membuat Kinn risih dengan hal tersebut, sampai-sampai Kinn menjambak lepas rambut pasangan yang terakhir.

Srathh!

"Oke, kali ini sudahi main-mainnya!" tegas Kinn. Bukannya takut, Porche justru menatap Kinn dengan senyuman manja.

"Oh, ya? Yakinnn? Aku masih bisa berubah jadi yang lain."

Kinn pun meremas udara daripada meninju sang kekasih hati. "Sebenarnya kenapa kau jadi mendadak gila?" tanyanya terang-terangan. "Aku tak pernah menyuruhmu jadi wanita!" tegasnya benar-benar sebal.

Ditatap begitu lama dari samping, Porche pun memandang Kinn lalu mengecup pipinya secepat kilat. "Kau harusnya melihat cermin," katanya. "Beberapa detik lalu, kita terlihat cocok sekali."

Kening Kinn pun mengernyit dalam. "Apa maksud dari perkatanmu?"

"Yaahh, dengar-dengar ... anggota keluargamu, baik mayor maupun minor akan berkumpul dalam waktu dekat," kata Porche. "Mereka datang hanya untuk menyambutku, Kinn. Padahal kau pewaris keluarga utama dan kaya raya. Bukankah menikah dengan perempuan jauh lebih melegakan?"

Kinn pun diam tanpa kata-kata.

"Aku memikirkannya berulang kali selama sakit," kata Porche. "Kalau untuk main-main, aku masih paham kenapa ayahmu membiarkannya. Tapi ini untuk menikah! Kenapa keluarga kalian seolah tidak menerima hal buruk?"

"...."

"Setidaknya, kalau hanya untuk tampil cantik, kurasa wajahku cukup mumpuni melakukannya. Ya kan? Barusan kau melihat standar gandaku sendiri."

Tak peduli, Kinn memilih mencium bibir Porche saat itu juga. Persetan lah kalau ini butik orang! Kinn bisa membelinya kalau terlibat masalah dengan normalitas, lalu menutupinya dalam hitungan detik.

BRAKHH!

"Umnhh .... Kinn ...!!"

Saat itu, tubuh Porche pun tergebrak ke dinding padat.

"Ah! Persetan! Kau tidak tahu seberapa sulit aku menahannya selama ini!" batin Kinn sebelum mendesak Porche ke dalam pintu kamar ganti.

Bersambung ...