BAB 13: APA KAU SUDAH GILA?!

"Kinn!" teriak Porche, sebelum bibirnya dijajah sang kekasih tidak sabaran. Kinn menarik pinggang dan tengkuknya sekaligus, dan mengaduk-aduk mulut Porche dengan lidah. Tiap detik, kepala Porche makin mundur dan membentur dinding.

DUKH!

"Aduh!"

Namun, beda dari dulu, Kinn kini melemparkan tubuhnya sendiri agar gantian dirinya yang terbentur dinding di belakang. Rasanya, kalau sampai kelewatan lagi, Porche bisa rusak di tangannya kapan saja.

"Ahh ... mnnnh ... awh!" Porche mendongak kala leher jenjangnya digigiti. Jemarinya bergeliatan di lengan kekar Kinn dan meremas di sana. Tatapannya mulai berair, dan hanya langit-langit lah yang bisa dia lihat, meski kabur.

Mulai dari ceruk leher, bibir lembab Kinn memutar di sana dan terus ke atas. Dia membuat beberapa jejak merah yang merata hingga ke jakun.

Dan semakin gemetar rintihan Porche di telinganya, Kinn pun semakin memperdalam gigitannya.

"Kubilang barusan adalah pertama dan terakhir kau melakukannya," kata Kinn setelah dia melepaskan Porche. Meski sangat puas dengan hasil perbuatannya di leher itu, Kinn samasekali tidak senang. Dia membelai di sana dengan jemari, lalu mengecup pelan sebagai penutup. Cup.

"Kenapa? Kupikir kau senang karena itu sangat-sangat lucu?" balas Porche. Mukanya boleh terhias senyum, tapi sayang. Nada bicara lelaki itu tetap saja kentara kepanikannya.

Kinn pun meremas kedua bahu Porche. "SEHARUSNYA KAU YANG MELIHAT CERMIN!" bentaknya tidak sabaran. "Menurutmu wajah ini lucu? Aku saja tidak memikirkan wanita, tapi kau sendiri ribut? Kita kemari untuk mencari setelan bagus untukmu. Bukannya mempermasalahkan hal tak penting."

"Tapi--"

"Apa kau sudah gila?!"

Porche pun menatap kedalaman mata Kinn. Sang mafia konglomerat ternyata memang khawatir padanya.

"Baiklah," kata Porche. Dia mengalihkan pandangan. Tak kuasa melihat emosi berkobar di mata sang mafia. Kinn pun menciumnya beberapa kali lagi sebelum membawanya keluar.

"Oh astaga! Ah!" teriak seorang shopkeeper. Wanita itu tampak merona karena ketahuan mendengarkan pertengkaran sepasang kekasih itu di dalam. Lalu segera melipir pergi daripada memarahi.

Sungguh di luar dugaan.

Porsche pun menatap Kinn seolah-olah ingin mencakarnya. Dia marah. Dia belum terbiasa dengan situasi gay panic seperti barusan, tetapi Kinn justru menggandeng tangannya erat.

"Tidak apa. Ayo ke sana. Kita cari jas yang tepat untuk kita menghadiri pertemuan keluarga," kata Kinn.

Meski badmood, Porche pun ikut dengan Kinn. Dan dalam hitungan menit, Kinn dan dirinya berdiri di depan cermin berdua dengan setelan yang telah dipilih.

"Kenapa?" tanya Porche. Dia menoleh dan menatap Kinn setelah pria itu memandangi sisi wajah cemberutnya cukup lama. "Menyesal sudah memilih lelaki rewel sepertiku? Aku tidak memaksamu melanjutkan hubungan kita."

Kinn justru mengepalkan dasi hitam itu ke lehernya sekali lagi. "Diam, siapa bilang akau menyesal? Kau tidak tahu seberapa sakit aku menahan beberapa minggu ini untuk tidak menyentuhmu."

"Apa?"

Kinn merengkuh Porche dan menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. "Aku senang sekali dengan kesembuhanmu. Sangat. Jangan sembarangan lagi di luar sana, meskipun aku yang membuatmu begitu."

Kepala Porche pun mendadak pening. "Bukan aku, tapi sepertinya kau yang sudah gila," katanya. "Bukankah selama sakit kau menghindariku? Aku sampai bosan cuma bertemu orang-orang suruhanmu, tidak boleh keluar, makan diawasi dan ditakar. Kau pikir aku ini peliharaan?"

Kinn pun diam sejenak, "Kenapa tidak protes sejak awal?" tanyanya. "Maksudku, tadi pagi. Kenapa terlihat biasa saja? Malahan tertawa-tawa. Kupikir kau tidak punya masalah apapun jika demi proses pengobatan."

"Sat!" maki Porche. "Aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana orang sepertimu bisa jadi seorang leader. Karena yang kulihat, kau bahkan tidak mengerti perasaan pasanganmu."

"Terus?"

"Apa?"

"Aku tanya marahnya masih ada lagi? Kalau ada pasti kudengarkan," kata Kinn. Dia tahu Porche mengepalkan tangan saat itu, tetapi yakin takkan memukulnya. "Aku sudah bilang, Porche. Aku mencintaimu. Kalau tidak, menurutmu cincin itu akan ada di jarimu?"

"...."

"Kau juga tidak perlu berubah jadi wanita, atau orang lain. Siapa bilang kita tidak cocok di cermin?"

Porche pun membuang muka, kemudian menjawab pelan. "Para bodyguard di rumahmu," katanya.

"Apa?"

"Beberapa dari mereka itu simpananmu kan, Kinn?" tanya Porche dengan kedua mata terluka. Hal yang dia sembunyikan sendiri selama Kinn sering meninggalkannya, dan dikurung dalam proses penyembuhan. "Kau tidak tahu, saat kau main pergi-pergi dan aku bertanya tentang Tawan, mereka malah bicara ini dan itu."

Kali ini Kinn yang terdiam bisu. Sebab semua itu memang benar. Beberapa bodyguard Kinn ada yang merangkap jadi mainannya. Wajar bila beberapa dari mereka tak suka kedatangan Porche yang mendadak dan diseriusi.

Ah, sial. Kinn benar-benar lupa dengan hal ini! Sangking fokusnya dia pada kesehatan Porche, atau stress-nya sendiri, malahan menghasilkan hal fatal seperti sekarang.

"Memang mereka bicara tentang apa saja?" tanya Kinn. Di mobil, setelah makan mal di restoran, dia tetap ingin melanjutkan pembahasan tadi. Kinn tahu Porche malas bicara. Sang kekasih bahkan sudah bungkam sejak tadi, tetapi dia takkan membiarkan hubungan mereka merenggang lagi.

"Macam-macam," kata Porche. "Mereka menyinggung pekerjaanku. Mereka membicarakan badan lemahku--katanya sih begitu. Maksudku, tentang luka dalam."

Kinn pun makin merasa bersalah mendengarnya. "Kau tahu sebelumnya tidak seperti itu."

"Yang pasti intinya beberapa membenciku," kata Porche. Dan aku sadar kok, kalau aku bukan siapapun dibanding denganmu. Harusnya kau dapat yang lebih layak, Kinn."

"Mereka yang bilang begitu pun hanya bodyguard-ku," kata Kinn. Sambil membelokkan setir, dia tetap berusaha membuat Porche lega hati.

Sayang, Kinn salah langkah. Bukannya senang, Porche malah semakin menundukkan kepalanya malas. "Tapi mereka hanya mainan. Tak masalah jika kalian beda status sosial," kata Porche. "Sementara aku? Kau berniat menjadikanku pasangan. Beda jauh, Kinn. Memikirkannya saja membuatku ingin kabur lagi, tapi kau pasti takkan membiarkanku."

Kesal, Kinn pun menghentikan mobilnya di tengah-tengah jembatan gantung. Dia tak peduli dengan hawa dingin dan angin yang menerpa dari luar sana, toh semakin kencang berhembus ke arah Porche, Kinn makin bisa melihat keindahan wajah sang kekasih.

Rambut Porche berkibar lembut. Kinn bisa melihat keningnya terlihat, dan poni poni Porche yang tampak begitu lembut. Kinn jadi ingin mencium sanbil menjambaknya sekarang, tetapi tidak dia lakukan.

"Kutanya, Porche. Kau mencintaiku juga atau tidak?" tanya Kinn.

"Pertanyaan macam apa lagi itu?" tanya Porche dengan bersungut-sungut.

"Jawab saja."

"Tidak mau, Kinn."

"Porche."

Porche pun menelan ludah, lalu memandangi bibir Kinn yang tampak menahan getar emosi. "Sama," katanya. Lalu fokus ke kedua mata sang kekasih. "Tentu saja sama denganmu, Kinn. Kalau tidak, buat apa cincin ini kupakai?"

"Kalau begitu masalah selesai," kata Kinn. Dia menarik dagu Porche, mendekatinya, tetapi justru melabuhkan bibir ke leher. Cup. Kinn juga mengendus aroma khas Porche beberapa saat, sebelum kemudian mengeluskan ujung hidungnya ke sepanjang jakun. "Asal kau tahu saja," bisiknya. "Aku tidak butuh apapun dari pasanganku. Status sosial? Uang? Jabatan dan hal-hal yang semacam. Aku sudah punya semuanya."

Porche pun balas menggenggam jemari Kinn, yang mendadak meraba cincin di jari manisnya. "Seriusan?"

"Hm, jadi jangan terlalu diambil hati," kata Kinn. "Kalau omongan bodyguard saja kau telan, lalu bagaimana dengan keluarga sepupuku?"

Kening Porche pun mengernyit.

"Maksudku adalah, kalau kau menikah denganku, bodyguard itu akan jadi bawahanmu. Cepat atau lambat, hm?" kata Kinn menyadarkan. "Aku hanya butuh kau selalu ada. Waktu aku sedang stress. Waktu aku benci dengan banyak hal di luar sana--aku ingin kau di rumah saat aku mencari."

Porsche justru ingin meninju wajah Kinn karena kata-kata tersebut. "Kau tahu aku takkan menurutimu."

Kinn justru tersenyum tipis mendengarnya. "Aku tahu," katanya.

Lalu meraih belakang kepala Porche agar dia bisa mengecup hidung lelaki itu. "Paling tidak, kau harus memberitahu tujuanmu setiap kali ingin pergi."

Mereka lantas bertatapan lekat. "Cuma itu?"

"Ya." Kinn mengusap belakang kepala Porche sayang. "Dengan begitu aku akan mudah menemukanmu lagi."

Sepulang dari perjalanan, Kinn pun langsung mengumpulkan bodyguard-nya di ruang tengah. Mereka memutar, berbaris-baris, dan menatapnya takut setelah menyinggung hal yang dikeluhkan Porche.

"Aku membawanya kemari bukan untuk kalian musuhi," kata Kinn. "Mungkin kali ini hanya peringatan, tapi kedepannya, aku akan membuat kalian menyesali perbuatan itu."

Mereka pun meneguk ludah kesulitan, lalu mengangguk patuh. "Baik!" sahut mereka serentak.

.

.

.

Tiga hari kemudian ....

Air muka Porche sudah berubah banyak. Dia tak lagi memusingkan persoalan bodyguard, rendah diri, atau lain sebagainya. Langkahnya mantab saat memasuki ruang pertemuan keluarga utama, sementara Kinn menunggunya di balik pintu kaca untuk mengenalkannya pada mereka.

"Ayo," kata Kinn. Dan Porche pun tersenyum manis sebelum memberikan salam ke setiap calon anggota keluarga barunya di dalam sana.

"Halo, khrub. Namaku ...."

Bersambung ...