Saat para tamu undangan ribut dan Porche terlihat panik, Kinn tetap diam di tempat. Kacrak! Dia mengokang senjata dari saku celana, mata waspada, tetapi tangan sigap menggenggam Porche agar duduk kembali.
"Tunggu di sini, aku akan memeriksanya sebentar," kata Kinn. Dia baru beranjak dari sana dan melihat situasi di sekitar lebih jelas. Orang-orang menyingkir, mereka memberi jalan, dan ikut para bodyguard yang bertugas mengevakuasi daerah.
Seketika, meja-meja tamu pun bersih dari penghuni. Yang pria bergumam tak jelas, yang wanita mencicing gaun sambil mengomel, tetapi Porche menolak pergi. "Tidak perlu, aku tinggal," katanya. "Nanti pasti masuk kalau Kinn masuk. Kalian urus saja tamu yang lain."
Ah, harusnya mereka tahu, kalau hadir dalam pernikahan mafia, pasti ada saja kejadian tak terduga.
"Tuan Kinn! Apa semua baik-baik saja?!" tanya Big terburu-buru. Dia langsung melompat dari motor begitu sampai dan menghadap Kinn dengan napas tersengal.
"Ya." Kinn mengerjap ke arah Porche, kemudian kepada dirinya sendiri di pantulan mata cemas Big. "Kalau menurutku, yang barusan hanya permainan belaka. Semacam peringatan. Mereka mengebom, tapi pergi. Hanya saja, tetap cek daerah sekitar. Aku ingin tahu dimana pelakunya sembunyi sebelum hilang."
"Baik!" sahut Big sebelum pergi.
Porche sendiri segera mendekat. "Oi, Kinn? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanyanya. "Kalau kau tahu sesuatu, bisa cerita padaku?"
"Toh tinggal kita berdua," batin Porche.
Sebab di depan memang ada pemandangan tebing yang indah, tetapi Kinn tidak menatap ke sana dengan fokus.
"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu," kata Porche, berusaha sabar menghadapi Kinn yang diam, lalu mengecup pipinya dari samping.
Kinn pun menoleh padanya, dan balas mengecup di bibir. "Biar aku berpikir sebentar," katanya. "Dan maaf hal ini membuat pernikahan jadi tidak semulus bayangan kita."
"Hei, aku ini bukan perempuan," kata Porche dengan cengiran. "Jadi, jangan berpikir aku akan merengek karena hal ini saja."
"Seriously?"
Porche mengendikkan bahu. "Setidaknya mereka tidak menghancurkan tempat ini," katanya. "Tapi, kalau yang tadi hanya bermain-main, justru aku berpikir kau yang nanti dalam bahaya. So, hati-hati. Ingat aku tidak jadi pasanganmu untuk ditipu lagi."
Kinn pun menghela napas panjang. "Baiklah ...."
Secepatnya, kebakaran akibat bom pun diatasi, dan kerusakan di sekitar sudah dirapihkan sementara. Para tamu undangan juga dalam perjalanan kembali ke kediaman masing-masing. Mereka diantarkan dengan kapal selam gigantis yang mampu menampung 1000 orang lebih, sehingga pulau itu sepi dalam satu kali hantar.
Hanya anggota keluarga mayor dan minor yang mendiami kondominium di tengah-tengah pulau. Tetapi tidak dengan Kinn dan Porche. Mereka duduk-duduk di ranjang terbuka yang ada di tepi pantai, hanya diam, dan Porche membiarkan suaminya tetap begitu hingga membuka suara sendiri.
"Aku mencintaimu," kata Kinn tiba-tiba. Tanpa menoleh pula. Dan catat, mukanya bahkan lebih datar daripada pantat panci saat ini.
Alis Porche pun langsung naik sebelah. "Hah?!" kagetnya dengan seringai kecil. "Padahal kupikir kau mau langsung bercerita, tapi apa ini?"
"Aku benar-benar mencintaimu," kata Kinn sekali lagi. Kali ini lelaki itu menoleh dengan raut yang cemas. Dia memeluk Porche, mencium lehernya, lalu menggulingkan tubuh mereka ke atas busa putih di sana. "Aku mencintaimu sampai bingung mau bertindak apa dulu, Porche."
"Ha ha ha ha ... benar-benar tak bisa kusangka," kata Porche. Dia malah tersenyum, dan itu memancing senyum Kinn keluar. "Seorang Kinn bisa bicara begitu? Kau mungkin harus ingat hari pertama waktu kita bertemu. Kau menculikku, memperkosaku, dan tidak ragu menodongkan pistol ke kepalaku ...."
"Ha ha ... aku benar-benar melakukan itu?" kata Kinn.
"Kau mau kupukul biar ingat semuanya?" kata Porche.
Kinn justru tertawa kecil. "Pukul saja." Dia memejamkan mata. "Aku lebih lega diberi hukuman, setelah tindakanku menimbulkan kekacauan hari ini."
Bukannya memberi hukuman, Porche justru naik ke tubuh Kinn dan meniti wajah lelaki itu dengan bibirnya. Dari kening, dia mengecup turun. Ke hidung. Ke bibir. Ke leher ....
Porche bahkan menggodai restleting celana Kinn, tetapi tidak membukanya.
"Kenapa tidak dilanjutkan?" tanya Kinn.
Porche mengendikkan bahu. "Lelah sehabis resepsi?" katanya. "Berani sumpah aku tidak pernah membayangkan menikah dengan tamu ribuan. Dan anggap saja itu hukumanmu. Aku takkan memberikan servis apapun, sampai nanti malam tiba."
"Ha ha ....." tawa Kinn lagi.
Kali ini Porche tidak terima. Dia memaksa Kinn untuk mengatakan sesuatu soal kejadian tadi, dan akhirnya Kinn buka mulut juga.
Dia bercerita tentang kedatangan Mae yang ternyata suruhan Laura, kemudian Nam yang dia taruh di panti asuhan, dan terakhir rahasia gelapnya di masa lalu.
Adalah saat umur Kinn masih belum genap 20, dia diajak Korn untuk ke Sisilia. Sang kepala keluarga rupanya sedang mengajari Kinn berhubungan kolega dengan mafia lain di luar negeri. Mereka bertemu dengan Mossimo dan Laura yang baru berstatus tunangan, kemudian tinggal di sana selama seminggu penuh.
Awalnya, kerja sama benar-benar mulus. Bisnis yang mereka jalankan bersama lebih dari kata sukses, hingga Korn dan Kinn disambut dalam sebuah acara makan malam mewah.
Di sana, Kinn duduk satu meja dengan Mossimo dan Laura. Mereka duduk-duduk dan mengobrol formal seperti halnya kolega bisnis, tetapi tidak lagi setelah forum itu selesai.
Sebab ketika Mossimo sibuk berkeliling kondominiumnya dengan Korn, Laura mendadak mendekatinya.
"Hai, Kinn ....." katanya. Suara begitu menggoda, lirikan sangat sensual, barulah wanita itu turun dari kursi yang di duduki dengan pose erotisnya.
"Ya, Laura--"
Wanita itu sudah mendapatkan satu kecupan dari bibirnya sebelum otak Kinn bereaksi. Sebab, Laura memang tak pernah bertingkah aneh selama ini.
Setidaknya di depan Mossimo. Bahkan wanita itu pernah terang-terangan menghina tinggi badan Kinn yang belum sempurna dengan nada candaan. Tapi, apa ini?
KACRAK!
"Mundur ...." kata Kinn memperingati. Dia baru menodongkan pistol ke belahan payudara Laura setelah kembali sadar. Namun, wanita itu tidak bergerak sedikit pun.
Malahan seringainya keluar saat ujung moncong pistol Kinn mengenai bra hitamnya. "Kenapa, Kinn. Langsung tembak saja aku suka. Lakukan ...."
"Apa-apaan kau ini?" kata Kinn. "Jangan sampai aku bertindak lancang di wilayahmu sendiri."
Singkat cerita, Laura ternyata tertarik bercinta dengan Kinn. Wanita sinting! Katanya dia bosan dengan Mossimo, dan ingin merasakan digagahi lelaki muda Asia yang katanya perkasa di bawah sana.
Dia bahkan merangsek maju hanya untuk meremas penis Kinn dari balik celana, yang berakhir membuat Kinn menggamparnya karena jijik.
PLARRRRR!!
Hal fatal yang Kinn sendiri tak pernah menyangka dia melakukannya.
"BAJINGAN!" teriak Laura yang tiba-tiba mengeluarkan pistol dari gaunnya. "Apa yang baru saja kau lakukan pada wajahku, hah?! Remaja jelek Asia!" Sebab pipi Laura kini tercoret luka, mungkin karena goresan dari kuku Kinn bagian ujung.
Refleks, Kinn pun membalasnya dengan hal yang sama. KACRAK! "Kau tahu tidak seharusnya ini dilakukan, Laura," katanya dengan pistol siaga di depan kening wanita itu.
Namun, yang paling sinting adalah saat Korn dan Mossimo tahu kejadian itu dari kejauhan. Mereka berhenti mengobrol hanya untuk saling todong pistol, kemudian Korn sampai berteriak lantang.
"KINN, HENTIKAN!"
Kinn ternyata tidak peduli teriakan ayahnya. Dia merasa benar, dan tidak seharusnya mengalah pada situasi itu. "Maaf saja, jalang. Kau tak bisa begini pada keluargaku," katanya. "Karena aku adalah Theerapanyakul. Sekali kau coba mencemari nama keluargaku, maka aku akan membalas.
"Hmph .... oh, ya?" cibir Laura. Namun baru saja dia akan bertingkah, Kinn sudah menembakkan peluru pertama.
DORRR!!
"Aarrrgkhhh!!!!"
"KINNN!!"
"Kubilang mundur selangkah!" bentak Kinn jadi tidak sabaran. Dia tak peduli Laura kesakitan memegangi bahu bocornya, lalu balas menodong Mossimo yang ada di seberang balkon. "Dan kau, berikutnya kalau tidak mau bicara denganku dulu."
"Cih ... kau pikir aku dalam posisi ingin bersabar?" decih Mossimo. "Kau baru saja mengukir luka pada tubuh yang aku bahkan tak pernah memperlakukannya begitu."
Mossimo rupanya tak kalah jengkel. Mungkin wajahnya biasa saja, tetapi ketika pistol di tangannya mengarah kepada Korn, Kinn bersumpah dia akan membunuh lelaki itu di wilayahnya sendiri kalau melewati batas.
"DIAM, BANGSAT!" tegas Kinn dengan jari siap menarik pelatuk.
Hari itu, adalah hari yang sangat kacau. Perkelahian diantara mereka berempat cukup membuat kediaman Mossimo hancur separuh, tetapi Korn dan Kinn berhasil melarikan diri.
Mereka mungkin tidak terkejar, tetapi Kinn bersumpah, seperti apapun Mossimo membiarkan kejadian itu berlalu, dia yakin senyuman Laura memang mengarah padanya sebelumnya pulang.
"Aku menandaimu, Kinn," kata Laura dalam hati.
Korn tentu saja tidak seceroboh itu membiarkan masalah diantara mereka berbunga setelah mereka pisah. Dia pun bertemu dengan Mossimo sekali lagi setelah dua bulan, lalu memberikan "hadiah" yang besar demi perdamaian. Namun, ternyata Laura masih menyimpan dendam pada Kinn. Maka tidak heran wanita itu bertindak sejauh ini.
Setelah dengar ceritanya, Porsche pun mengangguk pelan. "Jadi, intinya wanita itu pernah suka padamu?" tanyanya, Kinn hanya diam daripada mengiyakan dengan perasaan jengkel. "Terus apa hubungannya dengan bayi? Kenapa ada dia juga dibawa ke rumah kita?"
"Kau benar-benar tak paham?"
"Tidak lah, karena kupikir Nam benar-benar anak wanita itu ... dengan Tawan--ah, maksudku suaminya yang sudah pergi."
"Bukan."
"Lalu?"
"Dia ingin membuatmu kehilangan kepercayaan padaku," kata Kinn. "Beruntung yang menerima tamu Mae aku sendiri, kau tidak. Jadi, sementara usahanya memang gagal. Karena bisa kubilang, Laura tipe yang bermuka dua. Di depan kita semua, atau saat bersama suaminya, dia benar-benar seperti istri idaman. Tapi entah .... saat hanya bersamaku, matanya seolah otomatis memikirkan seks yang panas."
Porche sampai diam tidak berkata-kata.
" ... dan Big, kemarin memberiku sebuah berkas," kata Kinn. "Isinya bukti pembelian bayi ilegal, pembunuhan orangtua bayi yang tidak setuju dengan uangnya, dan foto-foto lelaki yang pernah kudekati sebelum dirimu--mati. Mereka semua dikuliti di bagian wajah sebelum ditembak."
Porsche masih tidak sanggup membalas apapun. "Yang benar saja?!" pikirnya.
"Intinya, Laura tidak suka aku mendapatkan seseorang. Jadi, beberapa lelaki itu hidup jika menerima uang suap, tetapi tidak jika menolaknya," kata Kinn dengan raut yang sulit dijelaskan. "Dan mereka harus bersikap seolah tidak tertarik padaku--ha ha ... mungkin selama ini aku sudah kehilangan beberapa orang yang sepertimu."
....
Jeda.
Kinn mengalihkan padangan ketika dia sadar obrolan itu mendadak terlalu sensitif bagi Porche. "Maksudku, bukan berarti tidak terima," katanya. "Aku senang kau belum sempat didatangi para penyuap Laura, tetapi sudah kuambil. Walau akhir-akhir ini aku justru curiga ... kalau yang meninju dadamu hingga dapat luka dalam adalah orang suruhan."
"Tunggu ... tunggu .... Kinn?" kata Porche. "Bisa kau tenang sebentar? Setahuku arena pertarungan yang kupakai hanya didatangi beberapa orang lokal. Jadi, aku rasa aku tahu siapa lawanku. Mungkin kebetulan saja dia mengenai dadaku. Bukan berarti punya sangkut paut dalam hal ini."
Kinn menurunkan pandangannya pada bibir Porche. Dia malas berdebat, dan juga tidak mau. Apalagi setelah melihat emosi di mata Porche.
"Intinya aku tidak ingin kehilanganmu," kata Kinn. "Itu saja."
Porche pun mengikuti arus, daripada membuat Kinn semakin tak nyaman. Baginya, Kinn yang terbuka seperti ini saja sudah keajaiban. "Baiklah," katanya. Lalu membuka lengan. "Sekarang lebih baik kemari, kupeluk. Kau mungkin lebih butuh ketenangan untuk besok, daripada terus bersitegang denganku."
Bukannya menyambut tawaran itu, Kinn justru langsung menarik tali kelambu putih di sekitar mereka hingga terjatuh.
"Eiiii, Kinn!"
BRUGH!!
Dan begitu tirai-tirai putih itu tertutup, Kinn pun menindih tubuh Porche untuk menyalurkan kegelisahannya.
"Maaf, kali ini aku tidak peduli dengan hukumannya," kata Kinn. Lalu melumat bibir Porche sesuka hatinya. "Buat aku lupa ini sebentar saja, mengerti?"
Bersambung ....