BAB 25: AKU MEMBUTUHKAN BUKTI

Kalian udah pernah denger lagu cover "Sam Tsui - Photograph". Keren banget euy! Paka glassware ... Coba play deh. Romantis gimana gitu aaaw!

"Akan kusimpan setiap jengkal keindahanmu dalam memoriku, meski itu berarti hilang bersamaan aku mati nanti."

.

.

.

Awalnya Porche merasa aneh. Sebab gerakan Kinn tidak sebrutal biasanya. Malahan jemari lelaki itu gemetar saat membuka kancing-kancing bajunya. Napas Kinn juga tersendat.

"Kinn?"

Kinn seperti orang mabuk yang baru dicekoki narkoba. Sumpah! Porche sampai duduk dan membantunya melepasi kancing-kancing itu sebelum mencium peluknya sekaligus.

Kinn panik. Dia sungguh-sungguh panik! Dan Porche belum pernah melihat sisi Kinn yang seperti ini sepanjang dia mengenal suaminya.

"Kau ini sebenarnya kenapa?" bisik Porche.

Kinn tetap tidak menjawab. Lelaki itu hanya terus menempel padanya, balas memeluk semakin erat, dan mencumbunya disana-sini.

"Apa dia menahan diri selama ini?" pikir Porche. "Mungkin hanya berpura-pura tenang, padahal tidak begitu, dasar ...."

"Baiklah, baiklah. Sini--aggh! Sssh ....." keluh Porche. Dia kaget karena Kinn menggigitnya di leher tiba-tiba dan itu lebih dalam daripada biasanya. Bekas gigi Kinn sampai menancap indah dan merembeskan beberapa titik darah sebelum Kinn menjilatinya hingga bersih.

Rasanya perih sekali! Namun, Porche menepuk-nepuk belakang kepala Kinn seolah tak masalah jika dia dimakan disana hingga sekarat.

"Mungkin dia takut aku mati seperti yang lain?" batin Porche. "Padahal aku masih di sini ....."

Tidak banyak komunikasi dalam pergumulan mereka siang itu. Keduanya hanya sama-sama diam, saling sentuh, dan berguling diantara tirai-tirai putih yang berkibar.

Aroma laut sangat kental di hidung mereka. Kesejukan, kehangatan, dan rasa intens ikut bercampur karena kegelisahan.

Porche biasanya memberikan beberapa perlawanan agar persetubuhan mereka sedikit menantang. Mungkin sengaja memaki, atau tidak ingin dikuasai, tapi kali ini dia memutuskan ikut apapun yang Kinn lakukan.

Di atas kasur busa kecil itu, Porche mau dibekuk dari atas begitu saja. Menungging, memeluk bantal di bawah, dan membiarkan Kinn mengeluar masukkan penisnya

"Hhrmmmhh .... ahh ... mmnhh ...."

Porche juga hanya menahan malu di sum-sum tulang saat lidah Kinn meniti panjang. Mulai dari tengkuk, turun ke punggung, dan kemudian semakin ke bawah untuk mengaduk bagian dalam dirinya.

Tepat di tengah kerutan, meliuk nikmat di tempat itu hingga Porche menitikkan air mata karena berdebar keras. Deg ... Deg ... Deg ...

"AAAAAAARRRGGHH! Itu kotor tapi seksi sekali, astaga!" batin Porche tak karu-karuan. Dia pasti berteriak dengan makian kasar apabila dia tak meredam mulutnya sendiri.

"Hnnnh ... umhh ... nnh .... Ahh!"

Porche tak ingin Kinn merasa dia memberontak karena akan pergi, atau hal semacamnya.

Porche tak ingin kegelisahan Kinn semakin tinggi, karena dia di sini ada untuk menenangkannya.

Bahkan saat Kinn berucap kotor ini dan itu--Porche hanya mendengarkan dengan telinga memerah.

BRAKH!

"Jangan pernah pergi dariku," kata Kinn. Sesaat setelah dia membalik tubuh Porche agar menghadap padanya. Gilanya, bola mata lelaki itu berkaca-kaca. Hal yang tak tidak pernah Porche sangka seorang Kinn akan bisa begitu juga. "Kau milikku, Porche. Kau milikku, jadi aku harus tahu kau melakukan apa saja setiap hari."

Harusnya cakaran Kinn pada bahunya memang sakit, tetapi Porche justru tak bereaksi. Dia hanya menatap kelopak mata Kinn yang memburam, berkerlap, tetapi tidak memelankan gerakannya sedikit pun di bawah sana.

"Terserah saja, Kinn," batin Porche. Dia kemudian menyambut telapak tangan dingin sang suami, menggenggamnya meski basah keringat, dan mengecupnya sambil terpejam. "Maaf, karena sepertinya kedatanganku terlambat ke keluarga ini."

Porche bersumpah Kinn memang benar-benar bahaya bila dia memperlihatkan sisi rapuhnya ini ke orang yang salah. Dan tentu saja, dia tak ingin menjadi orang yang salah itu.

"Apa kau sudah baikan?" tanya Porche. Saat sore menjelang, Kinn ternyata bangun terlebih dahulu dan duduk termenung memunggunginya.

Kinn tidak menjawab sepatah kata pun. Dia juga tidak bergerak, sampai-sampai Porche butuh merengkuh bahunya dari belakang agar lelaki itu memperhatikannya.

"Oh, kau sudah bangun?" tanya Kinn. Sepertinya dia baru tersadar, dan langsung mengacak rambut Porche yang sudah berantakan. "Aku benar-benar tidak tahu."

"Ha ha, kau lengah sekali di sebelahku," tawa Porche. "Tahu tidak? Kau akan mudah mati kalau terus begitu."

Kinn pun menoleh, dan mengecup bibirnya sekilas. "Memang kau akan membunuhku?"

"Siapa tahu?" goda Porche. Dan dia berhasil memancing senyum Kinn keluar meskipun samar.

"Aku butuh bukti untuk mempercayainya."

"Ha ha ha ...." Porche pun mempererat pelukannya hingga Kinn ikut tertawa.

***

Malam harinya, di tengah-tengah makan malam keluarga mayor dan minor, Thankhun menjadi satu-satunya yang paling ribut soal tadi pagi. Dia terlihat sangat ingin mencakar seseorang, siapa pun itu, tetapi yang lain hanya mendengar ocehannya.

"Demi apa, seharian tadi aku tidak bisa tidur!" kata Thankhun. "Kepikiran, Kinn! Bisa-bisanya ada ada serangan mendadak seperti itu. Tidakkah kalian khawatir? Aku jadi merasa tidak aman dimana pun."

Meski Porche tahu suaminya masih memikirkan banyak hal, luar biasanya Kinn benar-benar bisa memasang wajah normal sebagimana biasanya. "Soal ini, aku secara pribadi tidak akan komentar dulu," katanya. "Ada banyak hal yang harus kupastikan tentunya. Tapi, akan sangat bagus jika ada yang memberikan pendapat."

Vegas justru menanggapi situasi itu dengan senyuman. "Aku juga tidak ada," katanya. "Tapi, kau harus bilang apapun jika butuh bantuan, Sepupu."

Thankhun malah semakin murka. "Aihh! Kalian ini selalu begitu di depanku!" bentaknya. "Pakai rahasia-rahasia. Padahal nanti main-main sendiri. Aku kan juga ingin diajak!"

Yang biasanya diam saat perkumpulan, kali ini Macau bercelutuk ringan. "Diam sajalah, Phi," katanya. "Kalau kau diculik lagi, bisa kacau. Phi mau traumamu kambuh? Masih baik orang-orang itu tidak menghancurkan pulau."

"Apa?!"

Namun Thankhun tidak memberikan tanggapan lagi setelahnya.

Pete lantas ikut menyahut ringan. "Aku setuju," katanya pelan. Lalu melirik Kinn dan Porche yang duduk bersebelahan. "Dan ngomong-ngomong selamat atas pernikahan kalian. Aku bersyukur acara hari ini tidak sepenuhnya gagal. Vegas dan aku jadi belajar ini dan itu. Mungkin, biar pernikahan kami tidak terjadi hal yang sama?"

Korn dan Karn hanya mengedarkan pandangan mereka ke seluruh anggota di meja, sementara Porchay yang tidak paham fokus pada makanannya. Bocah itu memang hanya terbuka di depan Kim atau Big sejak di rumah ini, tetapi mereka sekarang ada urusan masing-masing. Porchay jadi tidak bisa mengobrol dengan siapa pun. Dia cukup tahu mafia bukan sembarang orang. Sebab mereka pasti menyimpan rahasia masing-masing saat berbicara, dan dia tak mau terlibat terlalu jauh.

Namun, saat Porche malah hadir di kamarnya malam itu, dia pun tak tahan untuk tak bertanya. "Oh, iya, Phi ...."

"Hm?"

Porche mengalihkan pandangannya dari buku PR Porchay. "Kenapa?"

"Phi kenapa tidak ikut tidur Kakak ipar?" tanya Porchay dengan raut wajah penasaran. "Bukankah ini malam ... ya ... itulah ...." katanya dengan telinga memerah. Lalu membuang mukanya kembali ke depan.

Porche pun tertawa sambil mengacak-acak rambut adiknya. "Hei, bocah. Kau paham hal seperti itu juga rupanya ...." katanya. "Tapi, jangan khawatirkan kami. Lagipula dia sekarang sedang membahas hal penting bersama Vegas."

"Oh? Jadi, apa karena ini bulan madu Phi ditunda?"

"Ya, begitulah," kata Porche. Lalu memberikan buku Porchay kembali setelah dia koreksi sebentar. "Tapi tak masalah. Ini, cepat belajar lagi. Phi akan temani sampai kau tidur. Dan, aku pastikan 20 butir soalmu benar, walau sisanya Phi sendiri tidak paham."

Porchay pun tersenyum manis, lalu mengangguk pelan. "Baik," katanya.

Diam-diam, dia lega kalau kakaknya terlihat bahagia dengan pernikahannya. Namun, baru saja dia akan mengambil pulpen, mendadak ada ketukan dari pintu kamar mereka.

Tok Tok Tok!

"Tuan Porche?" panggil seorang pelayan. "Apakah Anda ada di dalam?"

"Ya?" Porche pun segera beranjak untuk menemui si pelayan. "Sebentar, oke?" katanya kepada Porchay.

"Mn."

CKLEK!

"Ada apa?" tanya Porche setelah membuka pintu.

Pelayan itu memberikan sesuatu padanya. "Ada pesan untuk Anda dari Tuan Kim," katanya. "Dan setelah membacanya, beliau ingin Anda menemuinya di depan."

"Hm?"

Kening Porche pun berkerut. Namun, dia tetap berterima kasih, dan segera membaca pesan tersebut setelah si pelayan pergi.

Bersambung ....