BAB 39: SINS OF BARTENDER

"Kinn Anakinn Theerapanyakul, bisa jelaskan satu hal? Sebenarnya untuk apa kau mempertahankanku?"

[Porche Pacchara Kittisawasd]

***

Begitu meninggalkan Kinn di haluan kapal, entah kenapa Porche kembali tak nyaman. Padahal Kinn sudah di sini, mereka telah baikan, dan dirinya tadi setuju mengikuti saran lelaki itu. Namun, Porche belum pernah segusar ini. Dia tetap saja benci. Dia semakin tertekan. Dan apapun sebabnya, dia tetap tak bisa membiarkan Kinn mengaturnya begitu saja.

"Kinn, sebenarnya untuk apa kau mempertahankanku?" batin Porche sembari memainkan pematik apinya.

Meski hubungan mereka membaik, sepenuhnya Porche sadar dirinya tetaplah hambatan untuk Kinn. Tak peduli seberapa cepat keinginan Porche untuk jadi makin kuat, waktu tetaplah waktu. Proses tak bisa secepat itu, dan perbedaan mereka terlalu besar.

"Dan pelatihan tadi siang adalah buktinya," batin Porche lagi. "Aku hanya membuatmu tumpul, Kinn. Menghadang langkahmu, memperlambat keputusanmu, dan masih banyak lainnya. Kau bahkan tidak banyak bergerak selama di sini, karenaku."

Dimulai dari luka di dadanya, bagaimana cara Kinn menjaganya, bahkan menyusulnya kemari secara langsung. Tidakkah itu sangat berlebihan? Porche bahkan melihat Kinn memainkan cincin klannya beberapa saat lalu. Apalagi dengan wajah ragu. Dia rasa, semakin Kinn menginginkan kebersamaan mereka, semakin dirinya harus cepat menghilang juga.

Sangking dalamnya pemikiran itu, semalam Porche bahkan terbangun dari tidurnya. Tentang betapa Laura lebih tangguh darinya. Sebab terbukti permainan wanita itu membuatnya berbuat sejauh ini. Padahal kala persoalan datang, bukankah bagus bila Kinn menajam?

Seperti pisau yang diasah, Porche jadi ingin lebih sering menyakiti Kinn agar sang mafia sadar tidak perlu memikirkannya lagi.

"Maafkan aku, Kinn," batin Porche sembari mengesun tangan lelaki itu. Sebab jantung hatinya sendiri perih tiap kali memperlakukan Kinn kasar. Hanya saja, situasi saat ini terlampau gila. Porche merasa menjaga kewarasan pun sulit sekali.

Porche lantas memandangi wajah sang suami beberapa saat. Dia tahu tindakannya salah, tetapi juga merasa ini harus dilakukan. Karena itulah, meski jiwa Porche sangat lelah, tetapi dia tidak ragu sedikit pun untuk bertindak.

Malam itu juga, Porche pun menghubungi Faye diam-diam. Dia memelankan suara demi memastikan Kinn sungguhan tidur, lalu mengatakan tiap rencananya.

"Faye," panggi Porche. Sesekali dia menoleh ke wajah Kinn karena was-was, tetapi sepertinya sang suami sudah benar-benar lelap. "Bisa dengar ucapanku baik-baik? Aku ingin memberimu tugas khusus."

Suara serak Faye pun menyahut dari seberang sana. "Baik, Tuan Porche." Ah, dia pasti sangat bingung. Sebab Porche tidak pernah menelponnya selarut ini. Namun, meski dengan mata terpejam, bodyguard Porche itu tetap mendengarkan dengan saksama.

"Atau, jika ada rekanmu yang bisa bahasa sini, suruh dia saja nantinya," kata Porche. "Jangan kau. Aku tidak ingin Kinn tahu hal ini."

"Oh? Baik," kata Faye. Meski diam-diam dia merasa aneh. Sebab, sekalipun tugasnya di bawah Porche, bila Kinn menanyakan hal ini, mustahil untuk tidak memberitahu. "Memang Anda menginginkan apa, Tuan?"

"Aku ingin kau mengirim pesan," kata Porche. "Untuk Laura--atau siapa pun wanita mafia itu. Yang pasti jangan ketahuan saja."

"Baik."

"Dan jika kau sudah pastikan kegiatannya, lapor padaku. Aku ingin bicara padanya langsung."

"Baik!"

Mengingat percakapannya dengan Faye semalam, Porche rasa wajar bila Kinn tak memaafkannya lagi kali ini. Bagaimana pun, memancing amarah Kinn memang tujuannya. Maka dari itu, dia pun harus bersiap-siap.

"Aku benar-benar mencintaimu, Kinn," batin Porche sambil meremas rambutnya sendiri. "Aku pun mencintaimu sampai tidak tahu harus melakukan apa."

Porche rasa, mendadak kedua matanya memanas. Namun, dia sengaja mendongak agar air matanya terbendung. Sebab dia itu tangguh, kuat, dan bisa! Maka meski sulit, Porche takkan membiarkan benda-benda mati sekali pun menghina kerapuhannya saat ini.

.

.

"Hanya saja, daripada tak berguna, sungguh ... aku lebih senang membuatmu kembali menjadi kuat, cepat, dan menghajar mereka tanpa kecuali."

.

.

"Dan biarlah ini menjadi dosa-dosa terakhirku untukmu ...."

.

.

"Kinn ...."

***

Sore harinya, Porche sudah mendapatkan apa yang dia inginkan.

Rey, bawahan Faye benar-benar bergerak cepat. Bodyguard itu menyamar jadi salah satu bandit kecil, lalu menelusup lewat gorong-gorong dunia bisnis Laura. Yeah, meskipun tidak semulus harapan. Sebab Domenico sudah menghadangnya di sebuah gudang sebelum kemudian melempar Rey ke hadapan Laura.

BRAKH!

"Apa?" tanya Laura yang tengah memeriksa dokumen di villa pribadinya.

"Ini, penyusup kecil untukmu," kata Domenico dengan menodongkan pistol ke kepala Rey. "Dia sepertinya dari Asia, dan pastinya bagus jika bergabung dengan lelaki kemarin."

"Oh?" Laura pun memandangi Rey yang sudah babak belur dan berlutut gemetar. "Jadi, apa sebenarnya yang kau inginkan dari tempatku? Rahasia?" Ujung kuku merahnya membuat dagu Rey menengadah.

"Bukan, bukan!" kata Rey. "Tapi, Anda. Aku punya pesan untuk Anda!"

"Hm?" Alis Laura naik sebelah. "Dari?"

"Tuan Porche."

DEG

"Apa?"

"Tuan Porche Paccara Kittisawasd," kata Rey dengan mata yang nyalang. Dia bahkan berani menatap Laura kali ini, karena wanita itu jadi terdiam. "Beliau bilang sebutkan saja namanya, maka Nona Laura akan tahu."

"Nona Laura?" tanya Domenico penasaran. Sebab lelaki itu bahkan tidak paham, tetapi Laura hanya meliriknya tanpa penjelasan apa-apa.

"Tolong percayalah padaku, Nona," pinta Rey sungguh-sungguh. Dia bahkan bersujud di kaki Laura, lalu membentur-benturkan kening agar wanita itu mau menerima informasinya. "Beliau ada Pallermo saat ini."

Kedua mata Laura pun berkilat sekilas. "Ha ha, benarkah?" katanya dengan senyuman tipis. "Kalau begitu beri aku bukti kalau kau memang suruhan dia."

***

Pada malam harinya, Porche sengaja terlihat bersantai di anjungan kapal bersama senampan kudapan. Dia mengotak-atik senjata dengan baju biasa, seolah takkan pergi kemana pun. Kinn juga tidak menghampirinya. Sang suami sepertinya sedang berdiskusi suatu hal bersama bodyguard-nya di dek kedua. Samasekali tidak ingin mengganggunya.

"Apa dia sungguh-sungguh tidak sadar?" batin Porche sembari melirik sekilas kepada Kinn. Tadinya wajah sang suami terlihat jelas. Lelaki itu tengah berjalan mondar-mandir sembari menelpon, tetapi kini tenggelam di dalam ruangan. "Jika iya, maka bagus. Aku akan lebih leluasa pergi nantinya."

Porche yakin, setelah Rey berhasil menyampaikan pesannya, Laura pasti tengah bersiap-siap. Lebih-lebih, langkahnya untuk menemui wanita itu telah semakin dekat sekarang.

Mendadak, dua pesan baru dari Rey masuk ke dalam ponselnya.

Click! Click!

Rey: [Saint Hill, Plicenton, Bay Street no. 345BB1, Messina, Sisilia. Luke Garden]

Rey: Datanglah kemari, Tuan Porche. Nona Laura mengatakan Anda akan ditemui setelah pesta dansa di sana berlangsung.

Bersambung ....