Preview: "Pesta dansa, huh?" gumam Porche tanpa berkedip. Dia memandangi pesan dari Rey dengan dada yang hampa. Meskipun begitu, benar-benar tak ada yang menghentikannya untuk pergi malam itu.
***
Pallermo, Sisilia, Italia.
Laura sebenarnya tahu tujuan Porche datang kepadanya. Apalagi jika bukan untuk balas dendam? Bagaimana pun dia telah melakukan banyak permainan hingga lelaki itu keluar dari zona amannya. Namun, semakin menantang suatu hal, semakin dia bersemangat juga.
Memangnya apa yang Laura takutkan saat ini? Jawabannya adalah tak ada.
Sebab bila Mossimo bisa bermain-main dengan wanita di belakangnya, mengapa dirinya tidak?
Toh "Laura lemah" yang gampang diculik di masa lalu sudah mati. Kini dirinya adalah "Laura baru", maka takkan dia biarkan seorang pun memonopolinya, meski mereka berusaha keras.
"Apa aku sebaiknya menguncir rambut kali ini?" gumam Laura di depan cermin. "Tapi, hmmm ... sepertinya malah akan berlebihan."
Sebab menguncir rambut adalah memori pertama kali dia makan malam dengan Mossimo dulu. Laura jadi enggan mengulangi hal yang sama, apalagi jika untuk bertemu Porche Pacchara.
Walaupun Porche memang bukan sosok lelaki yang seperti diinginkannya, tetapi Laura tahu Porche beda jauh dengan Mossimo. Dia memiliki hati yang lebih lembut dan tidak mudah mengabaikan perasaan orang-orang di sekitarnya. Hal itu membuat Laura yakin dirinya bisa memegang Porche bila mereka bertemu nanti.
"Aku harap kau yang sebenarnya tidak terlihat mengecewakan, Sayang," batin Laura dengan senyuman tipis.
Akhirnya, Laura pun benar-benar memoles dirinya dengan penampilan yang jauh berbeda. Dia menggunakan lipstik natural, riasan mata yang cantik, lantas mengenakan topeng dansa estetik. Oh, jangan lupa pisau rahasia di balik gaun hitamnya. Dia takkan pernah lalai dengan satu benda itu demi kewaspadaan dalam situasi apapun.
Tentu saja, saat hadir di "Luke Garden", Laura tetap masuk ke sana bersama Mossimo. Sebab pertemuan bisnis gelap seperti ini, baik formal maupun non-formal, semua merupakan ranah mereka. Namun, meski dirinya dan Mossimo bergandengan tangan ... segalanya terasa seperti biasa.
Ingatlah, bagi seorang wanita, berpura-pura bukanlah hal sulit untuk dilakukan setiap saat, begitu tak ada hati lagi yang tersisa untuk dirinya sendiri.
Mau itu menyapa kolega bisnis, berbincang dengan musuh dalam selimut, tersenyum seperti badut, atau berdansa dengan suami seolah mereka pasangan paling harmonis diantara keramaian....
Itulah alasan mengapa meski sama-sama tahu mereka tak lagi sejalan, Laura dan Mossimo paham bagaimana cara mereka bertahan di hirearki tersebut.
Mau itu sedih, bahagia, mulai gila, atau benci diam-diam, tak ada yang perlu dipertanyakan lagi dari hubungan mereka saat saling menatap seintens itu.
"Tunggu dulu, aku baru ingat sesuatu," kata Mossimo tiba-tiba. Lelaki itu pun melepaskan Laura, lalu mengakhiri dansa mereka.
"Apa?"
"Pekerjaan," kata Mossimo. "Ada klien penting di belakang, Dear. Bisa kau tunggu di sini dulu? Aku akan menemuinya lalu kembali." Lelaki itu mengecup pipi Laura sekilas.
"Tentu saja, Babe," kata Laura. Wanita itu pun balas mengecup di bibir Mossimo. "Jangan lupa jadwal berikutnya saja. Aku akan menunggu kabar baik darimu." Setelah itu, lirikan matanya menelusur ke sekitar. Seolah-olah dia sedang mengatakan pada siapapun, bahwa memang begitulah cara bertahan jika kau ingin berada di posisi tinggi dalam waktu yang lama.
Meski, kehidupan mana yang sempurna? Baru saja Mossimo berlalu, Laura sudah melihat suaminya dipepeti wanita lain, dan itu bukanlah hal baru. Namun, dia mengabaikannya khusus malam ini. Toh, bukan Mossimo pusat dunianya malam ini, melainkan Porche.
Ah, bagaimana kira-kira penampilan lelaki itu? Laura sungguh penasaran. Sebab dia hanya melihat ketampanan Porche dari kamera bawahannya selama ini, dan dia tidak mengundang Porche kemari dengan cara yang biasa.
"Hei, Baby. What's up?" kata wanita di seberang sana kepada Mossimo. Dan saat sang suami benar-benar sudah sibuk sendiri, Laura pun segera mundur dari keramaian untuk pergi ke tempat perjamuan makan malam di sisi taman yang berbeda.
***
Saint Hill, Plicenton, Bay Street no. 345BB1, Messina, Italia.
Porche mengerutkan dahi ketika mendatangi tempat Rey menjemputnya. Apalagi bawahannya babak belur dan bersama lelaki asing. Dia pun agak antipati, tetapi tak sempat bertanya apa yang terjadi.
"Aku Domenico, dan ini pemberian Nona untukmu," kata lelaki bercambang itu.
Porche pun menerima topeng perak tersebut. "Untuk dansa? Tapi aku tidak bisa menari," katanya.
Domenico refleks mendecih pelan. "Siapa bilang Nona akan mengajakmu dansa?" katanya. Lalu menabrakkan sebuah kotak hitam ke dada Porche. "Kau akan berpakaian butler ke sana, paham? Karena Tuan Mossimo juga hadir di tempat itu--"
"Kau ...." desis Rey tidak terima. "Apa yang kau lakukan pada Tuanku! Berikan rasa hormat sedikit padanya!"
KACRAK!
Namun Porche sendiri lah yang menahan Rey untuk tak menarik pelatuk. "Rey ...." katanya.
Pertengkaran kecil itu pun segera diakhiri. Sebab meski Domenico keliru, Porche lebih perhatian pada instruksinya untuk cepat hadir ke tempat pertemuan. Maksimal 10 menit dari sekarang.
Begitu tiba, luar biasanya Porche langsung menerima serbet serta lilin. Kata Rey, semua demi pembauran. Hal yang Porche sempat bingung harus bagaimana, tetapi tidak lagi ketika ditunjukkan kemana dia harus menuju.
"Lewat situ, Tuan," bisik butler lain yang mendadak ada di sisi kupingnya. "Jika Anda jalan terus, maka Nona Laura sekarang ada di sana."
"Oh, terima kasih," kata Porche. Dia pun meniru cara jalan tegap para butler di sekitar, meski ragu apakah benar tekniknya. Dan saat sosok yang dia inginkan di depan mata, wanita itu pun melepas topengnya perlahan.
"Laura ...."
Bersambung ....