"Apa aku salah bicara?" tanya Porche dengan tatapan mata yang tenang. Anehnya, Laura tidak bereaksi hingga Porche meraba jari yang mengenakan cincin pernikahannya.
"JANGAN!!"
PLARRRRRRRRRRRRRRRRRR!!
Seketika, wajah Porche pun terpaling paksa. Sebelah pipinya merah, tetapi begitu selesai menggampar, Laura justru tersengal-sengal. Wanita itu seperti tak menyangka dengan tindakannya sendiri, lalu menatap tangannya yang masih terasa panas.
"Jesteś mój! Jesteś mój! W każdym razie jesteś mój!" (*)
(*) Polandia: "Kau milikku! Kau milikku! Pokoknya kau itu hanya milikku!"

Laura menjambak kerah Porche dengan kedua tangannya. Dia tampak begitu frustasi, hingga tak peduli rambutnya yang mulai meraup seluruh wajah. Punggung Laura membungkuk, rapuh. Bahunya gemetar hebat, dan Porche sendiri tidak menyangka isakkan kecil mulai terdengar dari wanita itu.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kini air mata Laura mulai berjatuhan di wajah Porche. Menetes-netes tanpa berjeda. Serbuannya seperti hujan. Lebih-lebih saat ada tawa kencang di sekitar mereka.
"HA HA HA HA HA HA HA! OH MY GOD, ITU BENAR-BENAR LAURA BIEL?!
"Oh, shit, ini semua seperti lelucon!"
"Man ... drama apa yang baru kulihat ini?"
Kemudian tawa-tawa berikutnya semakin riuh. Hal yang Porche yakin nyaris tidak pernah dirasakan Laura sepanjang hidup, dan itu membuatnya seperti bercermin kepada diri sendiri.
"Apa yang telah membuatmu sampai seperti ini, Laura?" batin Porche. Namun, sebelum dirinya memberikan empati, wanita itu sudah melempar pisau dari pahanya ke salah satu penonton.
SRATH!
CRAKH!!
"SHUT YOUR F*CK UP!" teriak Laura dengan wajah bengisnya. Entah sejak kapan wanita itu mencabut pisau, yang pasti kericuhan pun dimulai begitu pria dengan kening bocor itu tumbang. Mereka bubar bagaikan semut. Bertabrakan. Dan semuanya semakin kacau karena ada satu wanita bersuara melengking yang terus histeris sendiri.
"AAAAAAARRRRGGHHHHHHH!!"

DORRRRR!! DORRRR!! DORRRR!!
"TUAN MOSSSIMO, DI SANAAAAA!!"
Jantung Porche pun berdebar hebat. Sebab dari arah Timur, Mossimo dan gerombolan bodyguard-nya mulai bermunculan dengan lari yang begitu kencang. Target mereka tentu adalah dirinya. Namun, Laura ternyata lebih tangkas daripada bayangan Porche.
Wanita itu tiba-tiba naik dengan pistol yang dirampas dari tangannya, menginjak pahanya dengan heels berkilau, lalu balas menembaki mereka.
DORRRR!! DORRRRRR!!! DORRR!!
"MOSSSSSIMOOOOOOO!!" teriak Laura seolah tengah kerasukan. Padahal maskara di wajahnya luntur, dan air mata belum kering dari pipi itu. Namun, Laura samasekali tidak ragu untuk melindunginya.
DORRRR!! DORRRR!! DORRRRR!!
Hal yang membuat Porche sadar tembakan Laura nyaris tak meleset satu pun, bahkan wanita itu masih sempat-sempatnya melompat seperti bajing hanya demi menggulingkan kursinya ke rerumputan.
BRAKKKH!!
"MERUNDUK!" teriak Laura. Dia juga menodongkan pistol kepada Domenico yang sempat kebingungan. Lalu membuat kakinya cedera dengan pisau-pisau lain di balik gaunnya.
"Tapi, Nona--"
CRAKH!
CRAKH!
CRAKH!
"ARRRRRRHHHHH!"
"KAU LUKAI DIA AKU AKAN MEMBUNUHMU, PAHAM?!" ancam Laura. Lalu dia memblokade badan Porche dengan dirinya sendiri saat sang suami datang.
"LAURA, WHAT THE HELL ARE YOU DOING?!" bentak Mosssimo begitu menyadari para pengawalnya tumbang satu per satu. Lelaki itu pun tampak gusar melihat Laura melempar sepatu heels-nya yang sudah patah ke udara.
"AKU?!" Laura mencengkram tangan Porche, lalu menggeser lelaki itu agar sempurna di belakangnya. "MENURUTMU MEMANG AKU MELAKUKAN APA?!"
"What?!"
"Kau pikir aku tidak tahu, Mossimo?" kata Laura dengan tawa sinisnya. "Jika kau melindungi bayi-bayimu setiap saat, kenapa aku dilarang melakukannya?"
Porche benar-benar tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Sebab bukan hanya tamu-tamu, dia pun heran dengan kejadian ini. Peristiwa dimana dia terjebak diantara chaos pertama kali, tanpa pengalaman sebelumnya. Porche bahkan diam kala Laura merogoh saku celananya paksa.
KACRAK!
Wanita itu pun mengisi peluru secepat kilat. Dia tampak tidak kehilangan fokus sedikit pun, lalu menodong suaminya sendiri. "Ingat, Mossimo. Kau dan aku adalah rekan. Dalam hidup, dalam bisnis ... tapi jangan harap aku memikirkan apapun tentang dirimu, kecuali kau melakukan sesuatu pada pilihanku sekarang."
Mossimo pun menatap Porche yang wajahnya tertutup separuh oleh rambut Laura. Rautnya begitu kaku, penuh amarah, tetapi kemudian menurunkan senjatanya sendiri. "Baiklah ...." katanya. Sebab meski tahu rahasia kotor satu sama lain sejak lama, baru kali ini sang istri mengatakannya begitu lantang.
"Tuan? Argh ...." kata Domenico tak menyangka. Lelaki itu menyeret sebelah kakinya kesakitan, tetapi Mossimo hanya melempar lirikan padanya.

"Segera obati lukamu," kata Mossimo sebelum mengantungi pistolnya sendiri. "Lalu datanglah ke lounge. Kutunggu. Jangan membuat pekerjaanku terhambat lagi, Dom."
"What?!"
"Urusan kita selesai," kata Laura dingin. Wanita itu mendadak tampak benci kepada tangan kanannya sendiri. Lalu berbalik hanya untuk memastikan seperti apa kondisi Porche. "Bagaimana keaadanmu, Sayang? Apa baik-baik saja?"
"Baik-baik saja, katamu?" batin Porche. Dia ingin tertawa karena keberhasilan rencananya melebihi ekspektasi, tetapi entah kenapa sedih pada saat yang bersamaan. "Tidak, aku tak ada masalah," katanya berusaha tetap tenang. "Walau jawaban pertanyaanku yang ketiga terlalu meriah. Maksudmu, yeah ... aku tidak menyangka tebakanku ada yang benar."
Sumpah Demi Tuhan, baru kali ini Porche gagal menggunakan nada jenaka. Suaranya sedikit goyah, dan itu jelas menandakan bahwa dirinya syok dengan yang barusan.
"Ha ha ha, benarkah?" tawa Laura sembari merapikan kerah Porche yang baru saja dibuatnya berantakan. "Padahal, kau tinggal memintanya padaku, Sayang. Dengan cara lembut atau kasar, terserah. Aku takkan mempermasalahkan apapun," katanya sembari yang menatap Porche lurus. "Maka, aku akan memandumu dari awal hingga akhir, bagaimana cara bertarung seperti itu."
Menyadari maksud Laura, Porche pun terkekeh gamang. "Ha ha, begitu?"
Lama-lama otakku bisa sinting di tempat ini.
"Tentu," kata Laura penuh percaya diri. "Karena melatih merupakan keahlianku, andai kau belum tahu saja." Wanita itu lantas menepuki bahu Porche, seolah-olah dia percaya lelaki itu kini ada di pihaknya.
"Ya, ya, terserah," kata Porche malas. Dia berusaha bersikap wajar, lalu menelengkan kepalanya lucu. "Tapi, sebelum itu, mungkin harus kudapatkan dulu penawarku?"
"Oh ...."
"Berhentilah membuat adikku menuju gila, oke? Itu merupakan kesepakatan yang telah kita buat barusan," kata Porche berusaha mengingatkan.
"Oke, fine," kata Laura dengan senyuman lebar. Meskipun begitu, bagi Porche Laura hanya tengah menutup ulang luka yang telah dibukanya beberapa saat lalu.
Betapa wanita yang hebat, bukan?
Porche bisa membayangkan dirinya lah yang mati dengan kening bocor apabila tadi bertindak ceroboh sedikit saja.
"Kalau begitu sekarang ikut denganku. Kita akan mengambilnya segera," kata Laura.
"Oh?"
Setelah melemparkan kontak mobil, Laura mengerling kepada Porche dan berjalan mendahuluinya. Wanita itu tampak puas seolah baru saja menunjukkan pentas terbaik. Bahunya tegak, rambutnya mengayun, dan langkahnya tetaplah cantik, bahkan meski kedua kaki kecil itu tak lagi mengenakan heels kebanggaan. "Ayo."
Porche juga tak menyangka Laura akan menunggunya di gapura daun taman. "Apa?" tanyanya bingung.

Sembari tersenyum tipis, Laura pun mengulurkan sebelah tangannya. "Tidak mau menggandeng tanganku?" tanyanya penuh percaya diri. "Karena meski tak suka, anggaplah ini ganti aku mengantarmu."
Porche pun menghela napas panjang. Dia sangat penasaran kenapa si wanita Eropa tertarik padanya, tetapi gestur Laura sungguh penuh kejujuran.
"Baik, oke," kata Porche. Toh apalah arti bergandengan dibandingkan nyawa Porchay? Sang adik jelas-jelas lebih berharga, dan itu sebenarnya bukan balasan yang cukup setara. Namun, sebelum dia meraih tangan Laura, mendadak dua peluru cepat melesat ke arah mereka.
DORRR!! DORRR!!
"AWAAAAAAAASSSSSSSSSSSS!!"
BRAKKKH!
"LAURAA!!"
Dan insting wanita itulah yang menyelamatkannya ....
.
.
.
.
.
.
.
... hingga sebuah ledakan mesiu jatuh ke mobil mereka yang tak jauh dari sana.
BOOOOOOOOMMMMMMMMM!!!

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hmph, benar-benar mengharukan," desis seorang wanita dengan nada sinis. "Jadi, hanya begitu akhir hidup dari sang ratu mafia? Ini terasa terlalu mudah ...."

Bersambung ....
Gimana rasanya abis naik roaller coaster? 😊 Mabuk nggak? Jantung aman? Terus apa kabar kaum overthinking?
Hmmm, kira-kira siapa wanita ini? B'coz sometimes, kita lupa kalau ada villain di atas villain.
[Psssst ... 👀 Adakah yang berubah pandangan kepada Laura di bab ini?] FYI, dia nyaris gak pernah lengah. Tapi karena baru bahagia banget, hmm ... begitulah yang terjadi 😊 Satu lagi, kemunculan Kinn ditunda ke bab berikutnya. Karena gak sadar pas diketik udah 1 bab aja. Hehehe.