Bab ini agak filosofis dan soft daripada yang lain. Vibe-nya beda. SANGAT disarankan mendengarkan instrumen "Daniel Jang - Thought of You," yang tersemat di atas. Atau kalau enggak "Piano Cover - Why Don't You Stay." 🤗

Sebelum tubuhnya dibawa, Porche merasakan ada banyak kaki bodyguard yang mendekat. Mereka pasti siaga. Siap menyeretnya masuk mobil "si Tuan", tapi malah mendengar bentakan.
"Tunggu, tidak jadi," kata lelaki itu. "Biar aku sendiri saja."
Kaki-kaki tadi pun mundur lagi. Digantikan dua yang bersepatu lebih tebal, kemudian sosok itu mengangkat Porche ke dadanya.
"Kau agak berat rupanya," gumamnya dengan suara yang familiar. Namun, Porche tidak dalam kondisi bisa berpikir itu siapa. Dia hanya lunglai dalam gendongan, bahkan tanpa sadar melesakkan wajah ke dada berbalut long coat tersebut."Tapi, tak masalah. Sekarang buka pintunya."

"Baik!"
"Si Tuan" ternyata memiliki wangi citrus yang segar. Parfumnya seperti jeruk, lemon, juga melati di saat yang sama. Maka meski sulit percaya, Porche yakin dia bukan tipe lelaki yang gemar melukai. Hanya saja, aneh. Karakteristik dan pembawaansosok ini benar-benar tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan.
Di mobil, "si Tuan" bahkan mendekap tubuh Porche dengan kedua lengannya. Satu menahan kepala sebagai bantal, satu lagi di antara lipatan lututnya. Dia seperti tak ingin Porche terbentur, padahal mobilnya bergulir tanpa guncangan atau suara.
Sangat halus. Sangat klasik dan elegan. Porche sampai dibuat bingung, tetapi kesadarannya sudah habis di tengah jalan.

Jujur, tadinya Porche pikir "si Tuan" ini akan menghajarnya setelah menculik. Namun, bangun-bangun dia justru rebah di sebuah kamar mewah, ranjang besar, dan ada suara burung di luar.
Porche juga mencium aroma sarapan pagi, meski bukan seperti yang biasa dirinya makan: masakan Italia. Dan dia masih sulit percaya bukan mimpi hingga mencubit lengannya sendiri.
"Sshhh ...." desis Porche sakit. Oh, hasilnya memang dia menghadapi kenyataan.

Porche pun mengucek mata dan turun dari ranjangnya. Dia toleh kanan toleh kiri, berharap menemukan foto atau pajangan sebagai penanda. Sayang, rumah ini sepertinya terlalu monoton. Fokusnya hanya pada dekorasi, bukan barang-barang pribadi pemilik.
"Apa pemiliknya tidak punya hobi atau kesukaan?" batin Porche. Dia pun menyibak tirai jendela. Namun, di luar juga hanya bodyguard dan pelayan yang berjaga. Dengan ekspresi datar yang sama. Dengan tatapan masih seperti boneka. Porche sampai merinding dan langsung menutup tirai kembali.
"Aku benar-benar ada di dalam sarangnya," gumam Porche agak ketar-ketir.
Walau Poeche agak penasaran. Karena tempat mewah yang sebelumnya juga berupa rumah, tetapi bergaya beda. Yang kemarin lebih menonjolkan sisi glamor, yang ini lebih gotik dan menunjukkan pemiliknya punya sisi pendiam dan gelap.
Siapa yang seperti itu?
Porche bertanya-tanya hingga mendengar suara ketukan.

Tok tok.
DEG
"Tuan Porche Pacchara, sudahkah Anda menghabiskan sarapan di meja?"
Suaranya seperti mesin daripada manusia.
"Aa, belum," kata Porche sembari berjalan mendekat. Dia bahkan baru menyadari kalau mengenakan piama bergaris, kaus kaki putih, dan sudah bersih bekas dimandikan. "Tapi, ya. Aku baru akan makan. Kenapa?" tanyanya seperti seolah situasi itu sangat wajar.
Bagaimana pun, ini mirip saat Kinn membawanya ke rumah. Langsung dibawa. Langsung dimandikan dan dikurung di kamar. Lalu diperlakukan seperti ratu--
Hei ... karakteristik mereka sangatlah mirip. Apa jangan-jangan--
"Baik. Semoga menikmati~"
"Hei, Tunggu--"
"Anda akan ditemui Tuan jam 10 nanti. Tolong bersiap-siaplah dengan baik."
Suara mesin itu menjauh dari pintu.

Apa sungguh hanya semudah ini? Porche akan ditemuinya?! Berarti "Si Tuan" benar-benar siap mati.
Porche pun menatap nampan sarapannya dengan curiga. Dia memang sangat-sangat lapar, tapi menolak untuk diracuni jika ada potensi ke sana. Maka sehabis mandi dan memakai jas dalam lemari, dia hanya mengambil pisau dan garpu dari sana untuk disembunyikan di dalam saku.
"Aku sudah selesai," kata Porche di balik pintu kamarnya. Sebab mau keluar sendiri tak bisa. Kenopnya memang terkunci seperti yang diharapkan dari kamar seorang sandera.

"Baik, Tuan sedang ada dalam perjalanan," kata suara mesin di balik pintu. "Mohon bersabar hingga beliau menunggu di ruang tengah."
"Benar-benar formal sekali. Aku ini sebenarnya mau bertemu orang macam apa? Apalagi dengan baju seperti ini."
Meski membatin ini dan itu, Porche tetap tidak menemukan jawaban. Dia kemudian menunggu hingga dibukakan pintu, lalu dikawal menuju ke ruang mereka akan bertemu. Sayangnya, Porche tidak menemukan seorang pun di sana.
"Ini bohong. Aku baru saja dipermainkan sekali lagi--"

Porche langsung menarik kata-katanya. Dia meneguk ludah karena baru memperhatikan ada sebuah peti di tempat itu, lebih-lebih dihiasi dengan rangkaian bunga. Aromanya wangi, baru. Dan karena lilin-lilin belum dinyalakan, sepertinya Porche lebih seperti tamu undangan yang menghadiri acara kematian seseorang daripada sosok khusus yang dinantikan "si Tuan."
Sumpah, Porche tidak pernah menghadiri pemakaman siapapun seumur hidupnya, kecuali orangtua sendiri. Sebab dia tidak suka hal yang mistis, atau berbau ke arah sana. Meskipun begitu, kali ini dia mau mendekat.
[Il mio cuore è uno]
Lagi-lagi ada selarik kalimat itu. Yang kemarin Porche temukan di ukiran tangga, kali ini ada di badan peti.
"My heart is one," guman Porche berusaha mengingat-ingat apa maknanya. "Jantung hatiku satu, kalau tidak salah ...." Suaranya memang pelan, tetapi sepertinya didengar oleh seseorang.
"Memang benar," sahut seorang lelaki entah dari mana. Lalu disusul tepuk tangan yang terdengar elegan.
Prok ... Prok ... Prok ....


Porche pun menoleh ke segala arah. "Kau sudah ada di sini?" tanyanya. "Jika iya, tadi pagi pelayanmu bilang kita akan bertemu."
"Benarkah?"
"Bertemu berarti saling melihat. Kau pikir aku ini siapa? Bukankah jika ada masalah kita bisa mendiskusikannya." Porche lantas mengepalkan tangan. "Dan hentikan sandiwaramu ini. Aku bosan mendengar suara mesin," katanya. "Bodyguard-mu mesin, pelayanmu mesin. Dan sekarang bahkan kau sendiri mesin juga? Aku benar-benar tidak habis pikir ...."
Bukannya menjawab, orang itu justru tertawa. "Ha ha ha ... mendiskusikan, katamu? Memang itu akan berarti apa?" tapi lantas terdiam sejenak.
...
....
Diam yang mendinginkan tengkuk leher.
"...."
"Baiklah," kata lelaki itu pada akhirnya. Kali ini tidak menggunakan filter apapun. Namun, Porche butuh waktu untuk mengingat. Sebab suaranya mulai bercampur alunan merdu grand piano. "Biar kuceritakan kisah yang kau sebut-sebut menyedihkan itu ...."

Porche pun meletakkan setangkai bunga mawar ke atas peti tersebut. "Apa?"
"Seseorang yang begitu baik pernah bernafas di bumi ini," kata lelaki itu. Diam-diam, Porche pun berjalan mendekati sumber suara. Langkahnya pelan, tenang. Mengikuti tiap alunan tuts-tuts merdu diantara patung, pilar-pilar, juga perasaan yang mengambang di awang-awang.

"Senyumnya manis, cara bicaranya terkadang manja, tapi aku tahu dia kuat di belakang sana."
"...."
"Mungkin sebelas dua belas denganmu? Jika ingat aku jadi benar-benar benci."
Meski tak benar-benar mengerti, Porche tetap ingin memancing lelaki itu terus bicara. "Lalu?"
"Sayang waktu itu umurku masih terlalu kecil," katanya. "Maka apapun yang kuperlihatkan, dia tidak menganggapnya serius."
"...."
"Tapi aku masih tidak masalah. Karena jika dia bisa tertawa, maka aku sangat baik-baik saja."
Porche pun diam sebentar di kelokan tangga. Dia memandang ke lantai dua, berpikir sebentar, lalu coba menghubungkan semuanya. "Jadi, dia adalah jantung hatimu?" tanyanya.
"Ya."
"Dan tempat resepsi kemarin untuk dirinya?"

"Ya, andai saja aku masih memiliki kesempatan untuk itu."
Saat petikan piano sempat berhenti, suara lelaki itu pun semakin jelas. Hal yang membuat Porche menjadi yakin, hingga tangannya terkepal erat sekarang. "...."
"Tapi, Kinn membunuhnya di depan mataku."
"...."
"Hanya karena kesalah pahaman kecil, amarah, dan tidak mau percaya," kata lelaki itu penuh kekecewaan. "Aku rasa, aku murka. Tapi waktu itu masih tidak bisa melakukan apa-apa. Ha ha ...."

Dan kepalan Porche pun semakin mengerat. "Kau ...." desahnya pelan. "Jadi kau ingin melakukannya padaku juga?" tanyanya. "Dengan mengambilku tepat di depan mata Kinn."
"...."
"Ya, dan Laura. Kebetulan dia tertarik padamu juga, huh?" Kali ini kekehan sinisnya terdengar. "Kenapa semua tepat sekali? Sejak lama, aku berniat menghukum mafia Italia yang pernah mengirimkan penyusup demi data-data keluarga. Karena mereka ... jantung hatiku harus menghilang."
"...."
"Karena mereka juga, jantung hatiku berusaha terlalu keras. Padahal dia tak harus begitu hanya demi Kinn Anakinn."
"...."
"Toh ... jika kita semua kotor, maka tak keliru bila nanti hancur bersama-sama," kata sosok itu dengan kekehan pedih. "Bukankah begitu, huh?"

Porche pun tidak tahan lagi. Dia memandang kedua telapak tangannya yang mendadak gemetar. Sebab sekarang dia mengerti, apa yang sebenarnya sejak dia hadir di dalam keluarga Theerapanyakul.
Diantara lingkaran setan, diantara panas batin persaudaraan dan cinta, juga dendam yang terpendam sejak lama.
"Aku kadang ... juga merasa terlalu beruntung," kata Porche. Anehnya, meski dirinya dan "si Tuan" kini berjarak dekat, dia tak lagi siaga. Malahan, Porche melepaskan pisau dan garpu yang sejak tadi bersembunyi di balik saku jasnya. "Kenapa Kinn datang padaku malam itu, katanya menginginkanku, tapi dia juga sering tampak frustasi."
"...."
"Aku tahu dia punya penyesalan besar, Kim," kata Porche. "Tapi dia juga tak bisa memperbaikinya."
"Ha ha ha ha ha ...."
"Aku tahu aku tidak seharusnya ada diantara keluarga kalian."

"HA HA HA HA HA!"
Suara tawa itu semakin keras.
"Tapi tolong, jangan sakiti adikku saja," pinta Porche. "Karena selain dia mengagumimu, cukup sekali Porchay merasakan hampir mati di dunia ini. Lebih-lebih, Namsie. Biarkan mereka hidup setelah semuanya selesai."
"HA HA HA HA HA HA HA HA!"
"Oke, Kim?" pinta Porche dengan ketetapan hati yang penuh. "Aku tidak meminta apapun lagi. Aku janji. Walau aku agak tak mengerti ... kenapa setelah malam kita bertarung bersama-sama, kau justru seperti ini ...."
"HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!"
Porche pun hanya terdiam melihat punggung Kim yang membelakanginya. Juga cara bahu Kim gemetar saat dia menghampiri lelaki itu.
"Apa dia menangis?" pikir Porche. "Tapi aku sendiri tidak pernah merasakan kehilangan seseorang yang paling dicintai--"
Oh, Kim .... Seseorang yang dikenalnya sebagai musisi, memiliki senyum paling wajar saat mereka pertama kali bertemu, juga satu-satunya yang mendukung kemampuan Porche dalam meracik minuman.
_________
____________
"Aku setuju. Racikanmu sangat cocok di lidahku. Jadi, kapan-kapan boleh kupinjam calonmu ini, Phi?"

______
___________
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
"Bangsat! Buka mata yang lebar, The Phoenix! Aku jadi ingin menghajarmu!"
"Fuck!"
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
"Ada seseorang yang datang! Ikut aku!"
"KIIIIMMMM!!"
"Shit! Minggir!"
"...."
"Kutanya, apa Phi benar-benar bisa berkelahi?!"
"Kalau jarak dekat, ya!"
"BRENGSEK! SUDAHLAH! SEMENTARA INI DI BELAKANGKU!"
___
______


Tapi kini, yang Porche lihat hanyalah sosok adik yang rusak. Dia bahkan tidak memanggil Kinn dengan sebutan "Phi" lagi, padahal hubungan mereka mereka tampak baik-baik saja. Dia begitu gelap, kata-katanya nyaris tak bisa Porche kenali, dan Kim yang waktu itu seperti sungguhan menghilang.
"Kim?" Porche pun merangkul sosok yang menangis itu dari belakang. Dia tahu ... meski tak ada suara apapun, bila tuts piano menjadi basah, mana mungkin itu hanyalah kebohongan belaka. "Phi minta maaf, oke? Phi janji tidak akan ada di dunia ini lagi--hksss ... maksudku, terserah apa maumu begitu mereka datang kemari." Justru dirinya lah yang tidak tahan merasakan sakit yang teramat besar di bahu-bahu sang adik ipar.
"...."
"Phi sungguh-sungguh minta maaf padamu ...."
Bersambung ....