BAB 86

Review Tidak Terduga:

Jirayu, ya ... hmmm ... 🤓 Kupikir kalian gak bakal notice tokoh ini sampe akhir. Wkwk. Oghey, kebetulan bab ini mengungkap dia. Here we go!

Setelah perjamuan makan selesai, Kim melirik kepada Jirayu. "Phi, bisa kau ikut denganku?" katanya. Jirayu pun langsung beranjak menyusul di belakangnya.

Ken melirik mereka sebelum tersenyum pada yang lain. "Apa kalian mau tour kecil-kecilan?" tawarnya. "Sebenarnya mansion ini yang paling luas, walau secara arsitektur aku paling suka yang kalian hancurkan."

Keramahan Ken hanya ditanggapi dengan saling pandang. Suasana bukannya mencair, justru semakin menegang saja.

"Oh, ayolah ... jangan sia-siakan kesempatan bagus ini," kata Ken. "Ada kolam renang indoor dan outdoor, oke? Itu pun airnya gabung ke semua lantai. Kalian bisa memilih yang mana saja--tapi tidak disarankan berenang untuk siapapun yang terluka."

Keheningan lainnya terjadi.

"Aku benar-benar seorang tour guide yang bagus lho," kata Ken. Masih berusaha tersenyum ramah.

Porche pun angkat bicara. "Bagaimana kalau pandu kami ke tempat beristirahat?" katanya. "Adik ipar bilang akan menghukum kami semua. Bukankah sebelum itu lebih baik tidur layak? Lagipula sepupu iparku terluka parah.

Maka, daripada jadi tour guide, aku lebih berterima kasih jika kemampuan medismu dipakai untuk menolongnya."

"Oi, Porche ...."

"Diam kau, Kinn," kata Porche. "Aku mau bukti soal perkataannya yang masih setia ke keluarga utama. Apalagi menyangkut keselamatan."

Kinn si pencerita pun langsung terdiam.

"Oh, hoho ... baiklah, tak masalah," kata Ken sambil melirik Vegas. "Asal Khun Vegas tidak menggigitku saja. Aku akan melakukan yang terbaik."

Mereka pun bubar setelah itu. Mossimo diantar ke kamar peristirahatan istrinya. Vegas dan Pete dipandu Ken. Sementara Kinn dan Porche di kamar lainnya.

Mereka mendapatkan waktu jeda masing-masing. Untuk mandi. Untuk mengurus diri sebentar. Lalu berebah demi mensyukuri napas.

"Istirahat dan jangan pikirkan apapun," kata Kinn. Meski baru keluar dari kamar mandi, lelaki itu tidak langsung berganti pakaian. Dibelainya rambut Porche yang sudah tenggelam dalam selimut, tapi masih tampak memikirkan sesuatu.

"Maaf, tapi tiba-tiba aku ingin memeluk Namsie," kata Porche. Lantas melirik Kinn sekilas. "Dan Porchay, bahkan Ayah Korn dan bantal di rumah."

Kinn pun menggaruk telinganya tanpa sadar. "Oh ... bayi itu mungkin sudah mulai telungkup."

"Yeah? Dan aku kehilangan momennya," kata Porche. "... ahh ... memang kita sudah pergi berapa minggu?"

Kinn pun mencondongkan tubuhnya untuk berbisik ke telinga Porche. "Ingat kau ingin keliling benua?" tanyanya. "Bulan madu kita nanti bisa saja berbulan-bulan."

Mendengarnya, Porche justru mendengus. "Nanti itu kapan memangnya?" batin lelaki itu. "Hidup sampai besok saja sudah bersyukur."

"Terus?" tanya Porche.

Kening Kinn pun mengernyit dalam. "Kau bilang tak mau kehilangan momen," katanya. "So, apa nanti kita akan membawa Namsie?"

"Oh, kenapa tidak?" kata Porche tanpa ragu sedikit pun. "Aku akan senang membawanya kemana pun."

Jawaban yang sungguh di luar dugaan. Sebab tadi Kinn hanya menggoda, tapi--wow ... sang mafia baru saja menggali kuburnya sendiri. "Oh, seriously?"

"Aku akan menggendongnya kemana pun, Kinn," kata Poche. "Kalau perlu, kita harus banyak-banyak foto bersama, pulang, lalu mencetak semua hasilnya."

"...."

Oke, cukup. Kinn tak mau bicara lebih jauh, atau dia akan semakin sengsara. Shit!

Bayangkan mereka nanti membawa bayi kemana-mana. Mana mungkin Kinn bisa memonopoli Porche? Yang ada, bayi perempuan itu lah yang akan mengalihkan perhatiannya--

"Aku mau tidur dulu," kata Porche tiba-tiba. Lalu memunggungi Kinn begitu saja. "Kau yang gantian jangan pikirkan hal aneh. Dah."

Seketika, Kinn pun menghela napasnya kesal. Baik, Namsie. Sekarang musuhku adalah dirimu ....

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Suara Porche mendadak terdengar lagi.  "Ngomong-ngomong, Kinn ...."

"Hmm ....?"

"Soal tadi ...." kata Porche. "Menurutmu apa yang akan dibicarakan Kim dengan Jirayu?"

JUGGHH! BRAKHHH!!

Begitu mereka hanya berdua, Kim langsung menghajar wajah Jirayu. Lelaki itu pun terpental ke pintu hingga luka di wajah tampannya bertambah. Yang tadinya hanya di kening, sekarang bonus di sekitar tulang pipi. Meskipun begitu, Jirayu tidak marah samasekali. Dia hanya mengusap cairan itu dengan jari, kemudian menegakkan badannya perlahan.

"Oke, aku tahu aku salah," kata Jirayu. "Soal Laura, Mossimo ... dan itu membuat atap markasnya hancur."

"Aku tidak butuh permintaan maaf," kata Kim dengan raut kerasnya. "Tapi tanggung jawabmu atas tindakan itu, paham?"

Jirayu pun menghela napas panjang. "Fine, nanti pembangunan ulangnya dari danaku," katanya. Lalu menangkup kedua bahu Kim. "Tapi tolong berhentilah marah. Semua memang di luar dugaan. Kau pikir aku berencana melakukannya? Lagipula siapa yang bilang ingin menyembelih mereka bertiga?"

"Aku, tapi tidak pernah kukatakan kau yang harus mendapatkan wanita itu," kata Kim. Mata ke mata. Mereka kini sanggup berhadapan. Tidak seperti 8 tahun lalu, ketika tinggi badannya hanya sedada lelaki ini. "Kupikir instruksiku sudah jelas, Phi.  Hanya aku yang memegang kendali. Jadi, tak peduli apapun yang kau lakukan ... jangan bergerak kecuali aku yang mengizinkan."

"Kim ...."

"Aku tidak terima jenis pembelaan apapun," kata Kim. "Karena faktanya, sesuatu yang di luar pengetahuanku, PASTI RUSAK! Kau pikir kenapa Ken dan kau tidak kuberikan akses. So, stop it, Phi. Non cambiare il mio punto di vista su di te!" (*)

(*) Bahasa Italia: "Jangan buat pandanganku padamu berubah!"

Jirayu pun tersengal sebentar, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku sudah bilang semua akan baik-baik saja," katanya. "Soal aparat dan lain-lain, biar nanti kuurus segera. Aku janji tidak sampai seminggu. Trust me."

"Aku tidak membutuhkan bualan kotormu ...." kata Kim. "Kau pikir seminggu itu waktu sebentar?"

"Kim ...."

Urat-urat di mata Kim muncul mendadak. "KEPARAT! MEMANG DI MEJA TADI KAU ANGGAP TINJA APA?, HAH?! MEREKA ITU ORANG-ORANG YANG JADI BIDAK CATURKU!!"

"Ok, I'm so sorry ...."

"KAU TIDAK KUIZINKAN UNTUK BERMAIN, PHI! TIDAK PERNAH! ATAU AKU SENDIRI YANG MEMBUNUHMU PERTAMA KALI!"

KACRAK!!

Begitu senjata ditodongkan mendadak, Jirayu pun refleks berhenti mendekat. Bahkan dia mengangkat kedua tangannya.  "Aku janji ini yang terakhir kali, oke?" katanya dengan napas mulai tersesak. Meskipun begitu, secara ajaib suaranya menjadi halus. Seolah-olah hanya dirinya yang salah, padahal miskomunikasi memang terjadi pada semua orang kemarin. "Karena Kinn dan lelaki itu sudah kau bawa, kupikir kau akan senang kalau kubawakan si ketiga ...."

"Rencananya bisa berubah tanpa kau tahu ...." desis Kim masih begitu murka. "Dan kadang, ada beberapa hal yang tidak perlu kuceritakan lebih dahulu. Karena itu semua bukan urusanmu. Itu semua hanya urusanku."

"...."

Kim membentur-benturkan ujung pistolnya ke bahu Jirayu. "Sekali lagi ini bukan urusanmu ...." katanya. "Kenapa susah sekali memahami hal sederhana seperti itu, hah?"

Mulai lelah berdebat, Jirayu pun hanya memandang Kim. Mereka bahkan betah seperti itu selama beberapa menit. Hingga Jirayu bisa mengambil pistolnya dari tangan Kim, lalu meletakkannya ke meja wardrobe.

"Sudah?" tanya Jirayu pelan.

Kim justru berbalik dan mengobrak-abrik barisan koleksi beberapa kotak arloji. "HAAAAARRRGHHHHHH!!!!!" teriaknya.

SRAAAAAKHHH!! BRAKHHH!!

"Just--what the hell with this shitty shit ...." maki si bungsu Theerapanyakul itu. Lalu meninju dinding beberapa kali lagi. Membuat tangannya memar, berdarah ... barulah Jirayu baru memeluknya dari belakang.

"Everything will be okay ...." bisik Jirayu sepelan angin. "We just need to calm down for now...." Dia mengeratkan pelukan di pinggang Kim, lalu mengecup leher jenjang itu dari belakang.

"Fuck ...." maki Kim tak henti-henti. Meskipun begitu, dia membiarkan Jirayu tetap di sana.

"Karena bukan kau saja yang memiliki jantung hati, oke?" kata Jirayu. "Aku pun akan menjaga milikku sebaik mungkin."

"...."

"Kau pikir aku mau menghancurkan rencanamu? Itu dalam daftar terakhir, serius," kata Jirayu meyakinkan. "Kau pun harus memahami perkataan sederhanaku yang satu ini."

Meski wajahnya tetaplah datar, Kim juga tidak mendorong Jirayu yang mulai mencium. Dari telinga ke pipinya, bahkan juga ke bibirnya.

Kedua mata Kim lurus menatap dinding cermin di depan mereka. Sangat tajam dan seolah sanggup membolongi apapun bahkan benda-benda di baliknya. Dia mengepalkan tangan terlalu kuat, hingga Jirayu tidak bisa menyatukan jari mereka karena angkara menumpuk. Hal yang begitu sulit untuk ditepis, tetapi memang begitulah kadang sesuatu berjalan.

Bertahan, lalu menyerang. Menyerang, lalu bertahan. Dan mereka terus seperti itu selama 8 tahun.

Atau mungkin ... bahkan sebelum itu.

"Aku tidak ingin melakukannya hari ini," kata Kim saat Jirayu mulai melepas satu kancing jas luarnya. "Jadi, bisa kau minggir sebentar? Kita bicara lagi kalau kau sudah selesaikan semua masalah tadi."

Jirayu pun mundur dua langkah oleh sikuan kasar Kim. Meskipun begitu, dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya berdiri di tempat, lantas menyaksikan jantung hatinya membanting pintu untuk meninggalkannya seorang diri.

BRAKHHH!!

Bersambung ....