BAB 87

REVIEW PENTING 1:

💃 Pada bab ini akan terjawab role mereka. Just read!

REVIEW PENTING 2:

Kalian coba mundur ke bab sebelumnya, terus buka balesan saya di komentar reader ini 🤗 Di sana ada penjelasan panjang lebar kali tinggi bagi yang penasaran juga. Thanks.

"Hahh ....!!" Jirayu mengacak-acak rambutnya frustasi. Inginnya ikut mengobrak-abrik barang, tapi untuk umur sekarang, sepertinya kurang pantas. Akhirnya, dia pun memutuskan untuk duduk sebentar di sana, memukul kursi dengan kepalan tinju, lalu kembali ke kamar. "Sebenarnya aku ini kurang apa padamu?" gumamnya pelan.

Sambil terebah di ranjang, Jirayu menatap ke langit-langit kamar. Dia memandangi lampu gantung di atas sana, berkedip beberapa kali, lalu memijit keningnya yang berdenyut ngilu.

Oh, shit ....

Tak pernah Kim semarah itu setelah beberapa tahun terakhir. Dia pun sudah berhati-hati, tapi kali ini memang fatal sekali.

_________________

"Rencananya bisa berubah tanpa kau tahu. Dan kadang, ada beberapa hal yang tidak perlu kuceritakan lebih dahulu. Karena itu semua bukan urusanmu. Itu semua hanya urusanku."

"...."

"Sekali lagi ini bukan urusanmu. Kenapa susah sekali memahami hal sederhana seperti itu, hah?"

____________________

"Ha ha ... andai segalanya semudah itu," kata Jirayu. "Tapi bagaimana bisa aku tidak peduli? Kalau yang mengalaminya adalah dirimu." Tinjunya kini menggebuk ke kasur berkali-kali. Dia jengkel. Dia marah. Tapi, daripada menghukum Kim Theerapanyakul, Jirayu lebih ingin mencekik dirinya sendiri. Karena dia tak ingin Kim berubah. Atau justru berhenti mempercayainya.

Kalau bisa ... Jirayu malah ingin Kim yang dulu kembali lagi padanya. Sosok bocah yang sering membawa ransel. Atau kadang menggendong tas gitar. Lalu menyelonong masuk ke kamar atau ruang praktik koasnya. (*)

(*) Koas adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan kuliah di jurusan ilmu kedokteran, yang berperan sebagai dokter muda dan terjun langsung ke rumah sakit. Koas jadi tahap pengaplikasian ilmu kedokteran dasar yang telah diperoleh pada masa kuliah.

"Hai, Phi. Kau sibuk? Tapi aku tak peduli dan akan tetap di sini," kata Kim. Lalu bermain gitar dan menulis lagu-lagunya. Bocah itu akan tersenyum penuh percaya diri, meliriknya sekilas, lalu mulai bernyanyi. "Aku yakin kau takkan marah hanya karena kuganggu. Ha ha ha ...."

Paling-paling, Jirayu akan menghentikan pekerjaannya sebentar, mengambil minuman dan snack dari kulkas, lalu meletakkannya di samping Kim Theerapanyakul. "Apa kau kabur lagi dari rumahmu?"

"Tidak juga."

"Atau kau disia-siakan lagi oleh kakakmu?"

Kim malah mengendikkan bahu. "Memang sejak kapan aku punya saudara?" katanya. "Kalau bukan satunya gila, dan yang lain jarang di rumah. Aku tidak bisa bermain dengan mereka."

Jirayu pun langsung tertawa. "Dan kau di sini untuk merecoki tempatku," katanya.

"Benar. Dan kau pun tidak bisa diajak bermain," kata Kim. "Tapi, setidaknya masih sering di rumah. Juga tidak sinting untuk diajak bicara."

Jirayu pun tertawa lagi.

Memang ... kehadiran Kim tidak terlalu membebaninya. Lagipula, bocah itu punya dunianya sendiri. Dia hanya akan tinggal, bermain-main dengan sosial media, atau kalau tidak tidur di sofa rumahnya. Padahal, lucu. Awal Kim sering kemari adalah sejak Ken memperkenalkan si bocah dengan dirinya.

"Oh, jadi kau si koas jenius itu?" kata Kim saat mereka bertemu pertama kali. Bocah itu tampak baru pulang dari les, mukanya penuh minyak berlebih, lalu menatap wajahnya selidik. "Kupikir kita punya beberapa kecocokan." Senyumnya lalu terbit perlahan. "Karena aku juga suka mengutak-atik hal medis."

"Oh, oke."

"Tolong jaga Tuan Mudaku, Kawan," timpal Ken sambil menepuk bahunya. "Hari ini dia benar-benar sendirian."

"Ha ha ... benarkah?"

"Yep. Karena sekolahnya libur dua minggu, dan biasanya keluar dengan pacar kakaknya," kata Ken. "Tapi hari ini mereka punya waktu bersama. LOL ... so, jangan biarkan kesepian saja."

"Hmm ...." Jirayu pun mengamati Kim sambil menyentuh dagu. "Kau ini tidak punya teman atau sesuatu apa?" katanya frontal sekali.

Dan di luar dugaan, Kim justru membalasnya dengan cara sama frontalnya. "Kau sendiri ... apa tidak punya pacar? Menyedihkan selalu di rumah untuk belajar. Karena kakakku yang seumuran denganmu saja sibuk berkencan."

"Sial. Ha ha ha."

"Belikan aku es krim sekarang," kata Kim mendadak semena-mena. "Kau harus dihukum sudah menghina Tuan Muda Theerapanyakul."

Jirayu pun makin tergelak heboh. Dia cukup menikmati momen-momen itu, sebelum menyeret Kim untuk jalan ke swalayan terdekat.

Dasar bocah ....

Jirayu pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena gemas. Sebab untuk anak tunggal sepertinya, menjaga Kim cukup jadi hiburan. Dia seperti punya adik mendadak. Yang manja dan punya mulut setajam ranjau, tapi dia yakin juga punya hati seluas langit. Lagipula, usianya baru 13 waktu itu. Paham apa dia tentang menghormati yang lebih tua?

Kim menikmati es krimnya dengan khidmat saja sudah hal yang bagus.

"Tunggu, apa hari ini kau berulang tahun?" tanya Jirayu yang mengecek nilai-nilai rapor Kim. Di sana, ada data diri si bocah, yang ternyata sekarang waktunya bertambah umur.

"Oh, iyakah? Aku lupa."

"Shit, gila."

Bahkan, Jirayu juga lah yang mewakili tanda tangan orangtua. Karena bocah itu bilang malas memintanya pada sang ayah sendiri.

"Jadi umurku sekarang berapa?"

"Sudah 14, Bodoh. Bisa-bisanya kau sesantai itu."

"Oh ...." Kim hanya kembali memetik gitarnya. "Lagipula memang tidak pernah ada perayaan. Apa gunanya mengingat-ingat?"

"Ya, tapi tidak begitu juga ...." kata Jirayu jengkel. "Ayo keluar bersamaku sore ini. Cepat. Ambil jaket hangat dari lemariku."

"Kenapa aku harus menurut? Kau tidak bisa mengatur-atur darah mafia."

Mulai jengkel, Jirayu versi 21 tahun pun menyeret Kim dari sofanya. "Sudah ayo. Jangan terus menerus di sini. Atau kau takkan kuajari praktik bedah selamanya."

Well, untuk yang terakhir memanglah fakta. Jirayu menyadari Kim bukan bocah biasa. Omongannya tentang mereka cocok adalah fakta, dan tingkat intelegensi mereka hanya berbeda tipis. (**)

Jadi, meski kadang Jirayu sangsi, dia membiarkan Kim ikut masuk ke ruang belajarnya. Untuk membedah mayat. Untuk latihan memasukkan organ-organ segar. Bagusnya, Kim bisa belajar cepat hanya dengan ikut-ikutan.

"Tapi jangan mengatakannya pada yang lain," kata Kim dengan mata yang was-was. "Karena aku tidak mau dikenal sebagai dokter bau darah sepertimu. Fai solo attenzione." (*)

(*) Bahasa Italia: Awas saja kau.

Lihat? Baru kenal 2 Minggu saja, bocah itu bahkan mulai mahir mendebatnya dengan Italian Speaking. Bukankah Jirayu hanya bilang dia separuh blasteran? Kim justru membalas kalau suatu saat dirinya harus mengajaknya jalan-jalan ke Italia sana.

"Terserah, terserah ...." kata Jirayu yang mulai merasa terjajah. Meskipun begitu, dia tak pernah bisa benar-benar marah. Sebab dia merasa temukan banyak hal menarik pada sosok tersebut, walau kadang harus menampari diri sendiri karena sadar memperhatikan bocah di bawah umur. (***)

Puncaknya adalah dua bulan kemudian. Ken mendadak menggebrak pintu rumahnya pada tengah malam hening. Dia menggendong seonggok mayat lelaki di dada, dan ada Kim yang berjaket di belakangnya.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?!" kata Jirayu yang sangat syok. Lelaki itu masih mengenakan piama. Tampak linglung saat Ken menghambur masuk, dan Kim menjajah kunci pintu rumahnya untuk dikantungi seorang diri.

Brakh!

"Kim? What the hell do you think you--"

"Phi, aku sungguh-sungguh punya permintaan ...." kata Kim yang tiba-tiba menjambak kerah piamanya dengan berjinjit. "Cepat buka matamu itu. Bedah jantung lelaki tadi, dan lakukan apapun untuk mempertahankannya dari pembusukan."

DEG

"What?!"

"Akan kulakukan apapun ..." kata Kim. Dari mata ke mata, dia bahkan berani mengancam Jirayu dengan aura gelapnya yang sangat pekat. "Kau bisa minta apapun setelah ini. Tapi, lakukanlah semuanya untukku. Sekarang. Juga."

________________

Apa yang kulakukan itu keliru?

____________

Jirayu kadang menyesali keputusannya, tapi dia tak pernah bisa kembali. Karena yang dia lakukan hanyalah mengawali garis start. Setelah Kim melihat mayat lelaki benama Tawan kian membusuk, bocah itu mulai menggila di dalam laboratorium Jirayu.

Apa dia benar-benar ingin menemukan serum itu? Apalagi Ken membantu Kim mondar-mandir di dalam sana. Dan meskipun Jiraya tidak mengimani kembalinya Tawan ke kehidupan, dia memilih membiarkan mereka usaha di dalam ranahnya.

Sulit sekali melihat Kim begitu stress. Namun, sebagai yang lebih dewasa, Jirayu hanya menyemangati seperti biasa yang dilakukannya.

"Apa kau menyukainya?" tanya Jirayu setelah hari ketujuh. Dia melihat Kim mulai menyutikkan banyak cairan dalam tubuh Tawan yang teronggok diam, dan tak membiarkan kulitnya membengkak sehari saja.

"Ya."

Jirayu pun melirik raut wajah suram Kim Theerapanyakul. "Dia terlihat seperti seumuranku," katanya perlahan.

"Tidak, dia masih lebih tua lagi," kata Kim. Dia menggenggam jemari Tawan yang sudah begitu pucat. "Usianya 25 tahun ini. Dan harusnya, aku memberikan kado bagus meskipun sedikit terlambat."

"Oh ...." desah Jirayu yang tidak menyangka. Sebab, dia pikir hanya dirinya yang sinting. Namun, Kim yang tertarik kepada almarhum kekasih sang kakak ... itu lebih tak terduga lagi.

Hal yang membuat Jiraya mengingat kata-kata bijak Albert Einstein. Bahwa kejeniusan memang beda tipis dengan kesintingan, tetapi itu tidak masalah.

Karena Jirayu paham apa yang Kim rasakan. Bagaimana bisa mereka memikirkan hal-hal yang di luar nalar, walau Kim ini sedikit berbeda.

Bocah itu tak menyerah melakukan apa saja. Dia bahkan pernah nekad melobi harta ayahnya, hanya untuk membeli suplai darah dan organ sesuai untuk lelaki yang dia cintai.

"Kupastikan ini hanya sementara," kata Kim saat menyodet-nyodet perut Tawan dengan gunting bedahnya sendiri. "... juga dengan menggunakan laboratorium milikmu. Secepat mungkin aku akan punya uang. Segera mungkin akan kupindah dia dari rumahmu, Phi. Dan kau tidak perlu khawatir."

Sebagai yatim piatu, Jirayu tidak masalah dengan apapun jalan yang Kim ambil. Toh di rumah dia tinggal sendiri. Mengurus bisnisnya sendiri. Dan bekerja dengan keuangannya sendiri. Namun, semakin hari, dia pun makin mempertanyakan kewarasan Kim yang sudah bergeser.

___________

Tapi sudah kuputuskan untuk tidak mengadili ....

__________

Sebab dengan semua usaha itu, Kim benar-benar mempertahankan tubuh Tawan selama setahun penuh.

Dia luar biasa, walau Jirayu butuh waktu untuk menyelami isi dunianya. Apalagi Ken mulai memberinya ide-ide gila. "Bisa kau memberikan kita jalan?" tanyanya. "Ke Pallermo di Sisilia. Atau apapun yang bisa menembus laboratorium AI di Regio sana."

DEG

"Tunggu. Buat apa, Ken?" kaget Jirayu. Sebab orangtuanya dulu memang pernah jadi tangan kanan ayah Mossimo, walau akhirnya meninggal di dalam tugas. Hal yang membuat Jirayu enggan membahas pekerjaan orangtuanya, tapi Ken sekarang teguh mendesak.

"Ini untuk Tuan Muda," kata Ken yang kemudian menunjukkan ekspresi Kim di balik jendela laboratoriumnya. "Dan dia butuh hal lebih. Itu pun kalau kau masih peduli ...."

Pasti ada yang terjadi dengan mayatnya. Dan semuanya membuat Kim frustasi, hingga Jirayu merasa tak punya pilihan lagi.

Dia tidak pernah benar-benar sanggup--dan membiarkan Kim seperti itu merupakan opsi terakhir yang harus dirinya ambil.

"Baiklah ...."

Walaupun Jirayu tidak menyangka, malam setelah mereka turun di dermaga Pallermo, Kim mendadak membantingnya ke lantai dek kapal.

Brugh!!

"WHAT THE FUCK, KIM?!" teriak Jirayu refleks.

"Berhentilah bohong dan jelaskan padaku ...." kata Kim yang kini berdiri menjulang di atas sana. Kedua kaki bocah 15 tahun itu memonopoli tubuh Jirayu. Dan tatapannya pun berubah menjadi semakin gelap.

Seketika, Jirayu langsung tahu bahwa hari itu juga, dia sudah kehilangan sosok Kim yang dulu.

"Kenapa melakukan hal sejauh ini, Phi? Apa kau menyukaiku?"

Refleks, Jirayu pun menahan napas. Dia serasa kehilangan nyawa, tetapi tidak membantah.

"Tapi maaf-maaf saja ..." kata Kim yang kini menjambak kerah jaketnya. "Apa kau tahu satu hal? Aku ini paling benci tatapan mesum lelaki sepertimu."

"...."

Desisan Kim mulai terdengar. "Itu membuatku jijik, paham? Jadi jangan buat aku membunuhmu juga ...."

DEG

"Apa?!"

"Persis seperti yang kulakukan pada guru lacurku berapa tahun lalu." (****)

Bersambung ....

(**) Awal kemunculan, Jirayu 21 tahun dan sudah lulus kuliah kedokteran hingga di tingkat koas. Jelas sekali bukan? Dia mahasiswa istimewa dengan jalur akselerasi.

(***) Beda dengan Indonesia, di Thailand batas minimal "Usia Persetujuan" (atau seorang individu dianggap bisa memilih terlibat dalam kegiatan seksual atau tidak) itu umur 15 tahun. Semuanya terlepas dari unsur gender atau orientasi, tetapi untuk pernikahan resmi beda lagi, yaitu harus ada 18 tahun ke atas. Sebab ini hubungannya dengan jalur hukum.

Jadi, jika Jirayu punya kegiatan seksual dengan Kim di usia 15, itu tidak dianggap pedofilia. Tapi memang sudah dianggap legal dari segi interaksi seksual. (No judgement here, ok?) Lagipula, pedofilia itu kalau umur lawannya di bawah 14 tahun.

(****) Kalimat Kim terakhir. Menunjukkan dia pernah memiliki trauma seksual atas pelecehan seorang guru sekolahnya di masa lalu. Walau tidak sampai pada keintiman, karena dia sudah membunuh si pelaku terlebih dahulu (Setelah tamat, bagian ini akan ditulis sendiri dalam ekstra chapter).

Traumatis membuat Kim tidak menerima posisi submissive/ditusuk dalam role berhubungan apapun yang terjadi.

Do you get it?