Bab 11-Jalannya Sayembara

Orang-orang bertanya kapan musim hujan tiba

saat itu mereka sibuk dikerubuti kemarau

setelah itu ribuan tanya bertubi-tubi berujar

kapan musim tanam padi

ketika sawah-sawah mereka mulai ditanami cerahnya pagi

kemudian kalimat tanya berebutan mengalir

kapan musim dingin akan berakhir

kami sedang berusaha menaklukkan takdir

Perjamuan makan malam sangat meriah. Semua orang tertawa-tawa sambil menikmati semua hidangan yang terus mengalir. Tuak dengan cita rasa tinggi tak ada hentinya disajikan. Sebagian orang yang tidak bisa menghentikan kenginan minumnya, mulai mabuk. Tubuh-tubuh bergeletakan di mana-mana di pendopo yang sangat luas itu.

Seorang pemuda bertubuh raksasa membuka baju atasnya. Memperlihatkan otot-otot kekarnya dengan jumawa dan berjalan menghampiri Ario Langit yang dengan tenang menikmati ikan bakarnya yang kedua. Sudah lama dia tidak makan ikan bakar selezat ini lagi semenjak terpisah dengan ibunya dan ikan bakar yang dimasak oleh Ratri Geni di Gunung Ciremai.

"Heh! Kau rupanya yang berjuluk Pendekar Langit. Aku kira sebelumnya Pendekar Langit adalah seorang lelaki gagah perkasa berotot kawat dan bertulang besi. Tidak tahunya hanyalah seorang pemuda yang seluruh tubuhnya saja tidak sebesar lengan-lenganku ini!" Pemuda itu memamerkan otot-otot lengannya yang luar biasa besar.

Ario Langit tidak menanggapi. Selain tidak mau ada keributan di acara yang diadakan tuan rumah yang menjamu mereka, pemuda itu juga sedang enak-enaknya mengikis daging yang menempel pada duri-duri ikan. Galuh Lalita bangkit berdiri karena mulai marah dengan gangguan pemuda tinggi besar itu, namun Ario Langit menyentuh tangannya dengan lembut. Menyuruh Galuh Lalita duduk kembali dan langsung dituruti oleh Galuh Lalita dengan patuh. Sentuhan ringan itu membuat dadanya berdebar-debar tak karuan.

Pemuda raksasa itu memegang kedua bahu Ario Langit dan memaksanya berdiri. Tapi tubuh Ario Langit tidak bergeming sama sekali. Seolah menjelma menjadi batu gunung raksasa yang tertanam dalam-dalam di tanah. Pemuda itu terus berusaha sambil mengerahkan seluruh kekuatan otot tubuhnya. Tetap saja. Tubuh Ario Langit sama sekali tak bergerak. Pendekar Langit itu masih dengan santainya memegang tulang ikan sambil berusaha menghabiskan dagingnya hingga tandas.

Pemuda raksasa itu semakin marah. Karena tidak kuat mengangkat, sekarang dia mencoba mempermalukan Ario Langit dengan mendorongnya keras-keras agar pemuda itu terjungkal dari tempat duduknya. Lagi-lagi usahanya gagal. Tubuh Ario Langit tak bergeser sedikitpun meski pemuda raksasa itu sudah bermandikan keringat.

Saking kesalnya dipermalukan seperti itu, apalagi sedari tadi terdengar tawa dari sana sini melihatnya aksinya yang terus-terusan gagal, pemuda raksasa itu tak mampu lagi mebendung kemarahannya. Tangannya yang besar terkepal dan terayun kasar mengarah kepala Ario Langit yang menghela nafas dan mengangkat tangannya. Pemuda raksasa itu menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Buku-buku jarinya penuh tertancapi duri-duri ikan besar!

Sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan pemuda raksasa itu buru-buru pergi dari pendopo karena maklum bahwa tak mungkin dia bisa mempermalukan Ario Langit. Dialah yang dipermalukan secara telak oleh Pendekar Langit itu.

Galuh Lalita memegang lengan Ario Langit yang hendak mencuci tangannya di kobokan setelah menghabiskan ikan. Wanita dengan selisih usia beberapa tahun di atas Ario Langit itu dengan lembut mencucikan tangan Ario Langit hingga bersih. Pemandangan yang ditatap dengan rasa iri oleh puluhan orang peserta sayembara yang ada di pendopo.

Ki Sambarata sedari tadi melihat semua runutan kejadian. Tapi ketua Padepokan Maung Leuweung itu sama sekali tidak berkomentar dan membiarkan saja semuanya terjadi. Termasuk bagaimana putrinya nampak sekali sangat tertarik secara terang-terangan kepada Pendekar Langit padahal dia sedang disayembarakan dan Ario Langit adalah salah satu peserta sayembara.

Ketua padepokan besar itu termasuk salah satu orang aneh yang ada di dunia persilatan. Sangat berbeda dengan saudara seperguruannya yang memimpin Padepokan Pringgondani di Lembah Serayu, Ki Ageng Jatmiko yang sangat lurus, bersih dan penuh adab kesantunan, maka Ki Sambarata adalah seorang yang kasar dan seenaknya sendiri. Dia bisa menjelma menjadi seorang malaikat yang dengan mudah menolong siapapun dalam bentuk apapun dan dengan risiko apapun. Namun juga sebaliknya, orang tua itu bisa dengan mudahnya menjatuhkan tangan menghajar orang yang tidak disukainya walau dengan alasan yang paling sederhana.

Karena itulah Ki Sambarata dimasukkan dalam golongan abu-abu yang merupakan golongan orang yang tidak termasuk golongan hitam atau putih.

Keesokan harinya, alun-alun padepokan penuh sesak dengan orang. Padepokan Maung Leuweung memang tidak membatasi siapapun untuk menonton acara yang langka ini. Para peserta sudah bersiap di tengah lapangan dan mendengarkan pengumuman dari padepokan bahwa uji ketahanan di air dan akan dilanjutkan dengan uji kecepatan di gunung akan segera dimulai. Sepuluh orang pertama yang menyentuh garis akhir akan lolos ke babak selanjutnya esok hari yaitu menaklukkan Kebo Giras. Siapapun yang sanggup menaklukkan kerbau liar raksasa yang telah dimantrai itu akan lolos ke babak pertarungan. Pertarungan akan menggunakan sistem gugur. Pemenang dari pertarungan adalah juara yang berhak bersanding dengan Galuh Lalita sekaligus pewaris Padepokan Maung Leuweung yang kaya raya.

Seratus dua puluh lelaki yang sedang mengadu peruntungan itu bersiap. Mereka harus berenang melintasi sebuah danau yang cukup luas bernama Situ Lengkong. Setelah itu mereka harus saling bersaing memutari lereng Gunung Sawal Panumbangan pada rute yang telah ditentukan dan kembali ke alun-alun padepokan. Ini pertarungan ketahanan fisik yang luar biasa. Orang yang bisa kembali ke alun-alun sebelum matahari persis berada di atas kepala sudah pasti lolos. Dan jika tidak, maka hitungannya paling banyak sepuluh orang yang tiba sebelum matahari terbenam akan dinyatakan lolos ke babak berikutnya.

Ario Langit beradu pandang dengan Galuh Lalita. Pemuda itu membuang mukanya karena jengah ditatap dengan penuh kasih dan harapan oleh wanita cantik jelita itu. Matanya langsung bertemu dengan tatapan Sekar Wangi yang nampak kecewa. Ario Langit tidak mengerti apa yang membuat gadis itu kecewa. Mereka baru saling kenal. Tidak mungkin gadis itu cemburu atau semacamnya.

Lagipula Ario Langit menjadi sedikit heran dengan sikap Sekar Wangi yang aneh. Kenapa harus menunggunya menyelesaikan semua ini baru mereka berangkat ke pantai selatan? Ario Langit sudah menyarankan tadi begitu Sekar Wangi membujuknya untuk segera pergi dari tempat ini dengan diam-diam mumpung banyak kesempatan dengan begitu banyaknya orang yang lalu lalang dan berdesakan di Padepokan Maung Leuweung.

"Kau pergilah terlebih dahulu jika memang itu sangat penting bagimu Sekar. Beritahu aku di mana kita harus bertemu di pantai selatan. Tempat yang kau sebutkan bahwa Ratri Geni berada dalam bahaya. Aku harus menyelesaikan ini karena sudah keluar janji dari mulutku untuk menjadi peserta sayembara. Aku tidak akan berusaha kuat agar berhasil namun aku juga tidak akan berupaya agar gagal karena kesengajaan."

Sekar Wangi menggelengkan kepala berulangkali. Gadis itu menegaskan mereka harus pergi bersama-sama supaya dia bisa memberitahu Ario Langit tempat Ratri Geni berada. Hal yang membuat Ario Langit sedikit curiga. Jangan-jangan gadis ini malah tidak tahu di mana Ratri Geni dan hanya mencoba memanfaatkannya saja. Untuk kepentingan apa? Ario Langit sama sekali tidak tahu dan juga tidak berusaha bertanya.

-*