Bab 18-Perjalanan Aneh

Saat dua hati

mencoba menyatukan diri

malam akan dianggap sebagai meja makan

tempat memperbincangkan bintang dan kunang-kunang

sedangkan pagi adalah mata air

tempat mereka memutuskan untuk menampungnya

dalam bejana

bertuliskan cinta

Ratri Geni berteriak-teriak menyuruh Raden Soca menunggu. Namun yang diteriaki seperti tidak mendengar atau pura-pura tidak dengar. Langkahnya bahkan semakin dipercepat. Ratri Geni menjadi gemas. Sekali melayang tubuhnya telah menjajari Raden Soca yang berjalan dalam diam.

"Heii! Kita teman seperjalanan. Kau harus lebih menghormatiku. Apalagi aku adalah saksi satu-satunya yang akan mendengarkan kesaksian orang-orang Lawa Agung. Ingat itu! Tanpa aku, maka kesaksianmu bisa disangsikan karena mungkin saja palsu." Ratri Geni diam-diam tersenyum geli.

Raden Soca menghela nafas lalu menghentikan langkahnya. Gadis ini benar. Dia memang memerlukan saksi agar kebenaran yang terungkap tidak hanya berasal dari satu pihak saja. Tapi gadis ini sangat menganggu. Selalu ribut dan gaduh.

"Kita akan berjalan bersama tapi aku minta kau tidak gaduh Ratri." Raden Soca menatap tajam Ratri Geni meminta kesediaannya. Gadis itu malah terkekeh kecil.

"Sejak kapan ada larangan orang untuk berbicara, tertawa, atau kentut sekalipun, Raden yang berlagak angkuh?" Senyum Ratri Geni sangat mengejek. Raden Soca memalingkan muka. Meskipun nada penuh ejekan itu disengaja agar membuatnya marah, namun Raden Soca harus mengakui gadis ini cantik manis bukan main! Sialan!

Raden Soca yang tidak tahu mesti berkata apa lagi, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang meningkat luar biasa semenjak memperoleh pemindahan hawa sakti Ki Ageng Waskita. Tubuh pemuda itu bergerak secepat kilat. Ratri Geni menghentikan senyum mengejeknya. Hmm, pemuda itu menantangnya adu lari rupanya. Gadis yang juga mendapatkan kemajuan pesat semenjak mempelajari Kitab Langit Bumi, tak mau kalah. Tubuh melayang ringan dengan kecepatan tinggi menyusul Raden Soca.

Terjadi kejar-kejaran yang aneh di jalanan menuju pesisir selatan. Dua bayangan seolah tidak menyentuh tanah melesat begitu cepatnya sehingga orang yang melihatnya pasti tidak yakin bahwa dua bayangan itu adalah manusia.

Kedua muda-mudi itu sebetulnya punya kelebihan masing-masing. Namun tetap saja Ratri Geni sedikit lebih unggul karena dia mendapatkannya dari pelajaran dan berlatih keras setelahnya. Sedangkan Raden Soca mendapatkan kekuatan dan kecepatan hebat setelah hawa saktinya berlipat ganda karena Ki Ageng Waskita memindahkan seluruh hawa saktinya kepada pemuda itu.

Ratri Geni dan Raden Soca sama sekali tidak ada yang mengendurkan tenaganya. Keduanya benar-benar berlomba adu cepat entah sampai kapan dan di mana. Keduanya sama-sama berhenti saat petang telah menjelang dan perut keroncongan. Ratri Geni yang lebih dulu sampai di pinggiran sungai kecil itu kembali mencibirkan mulutnya.

"Kau harus mengakui kekalahanmu atau aku tidak akan membagi ikan bakar hasil masakanku." Ratri Geni mengancam dengan gaya kocak. Raden Soca melengak putus asa. Gadis ini memang mau menangnya sendiri saja. Tapi harus diakuinya dia memang kalah cepat dari Ratri Geni dalam adu lari tadi. Perutnya lapar sekali. Iming-iming ikan bakar itu sangat menarik sekali walau harus ditukar dengan sedikit harga diri.

"Kau memang jago berlari Ratri. Aku mengakuinya. Nah! Mana ikan bakar yang kau janjikan?"

Ratri Geni mengangkat telunjuknya menyuruh Raden Soca diam. Gadis itu mengeluarkan alat pancing yang selalu dibawanya kemana-mana dan berjalan menuju tepian sungai. Dia memberi isyarat Raden Soca agar membuat api. Yang disuruh tanpa ba bi bu segera mengumpulkan ranting dan dahan kering lalu membuat api.

Begitu api mulai menyala bagus, Ratri Geni melenggang datang bersama ikan hasil tangkapannya. Bukan ikan besar-besar karena memang sungainya kecil saja sehingga tidak mungkin ada ikan besar di sana. Namun beberapa ekor ikan seukuran telapak tangan itu lebih dari cukup untuk mereka berdua. Kecuali jika ada tamu yang datang berkunjung, maka ikan-ikan kecil itu pasti tidak akan cukup.

Terdengaran auman panjang harimau tidak terlalu jauh dari tempat itu. Raden Soca bersiaga. Hutan menuju pesisir selatan memang tak akan sepenuhnya bebas dari binatang buas. Mungkin bau harum ikan bakar Ratri Geni mengundang kedatangan mereka. Gadis itu memiringkan kepala sekilas lalu kembali sibuk dengan ikan bakarnya.

Raden Soca bisa mendengar perutnya berbunyi keras. Dia sangat lapar. Adu lari tadi benar-benar menguras tenaga. Ratri Geni memandangi jumlah ikan yang sedang dibakarnya. Menghitungnya lalu mengeluh dalam hati. Ini cuma cukup untuk Sima Braja. Sungai kecil itu tidak berlimpah ikan. Auman panjang yang menggetarkan seisi hutan terdengar makin dekat. Raden Soca melompat berdiri dan benar-benar bersiaga. Dia tidak takut sama sekali. Namun melihat Ratri Geni masih saja berjongkok membolak-balik ikan dengan santainya tanpa peduli sekitar, Raden Soca mendekati gadis itu dan melindunginya dari belakang. Gadis sembrono! Sesakti-saktinya orang kalau ceroboh dan kemudian diserang dari belakang, ada kemungkinan akan cukup membahayakan dirinya.

Ratri Geni melirik sekilas. Heran melihat Raden Soca mendekati dan berdiri di belakangnya dengan sikap waspada. Gadis itu mengangkat semua ikan hasil bakarannya, menyusunnya di daun pisang untuk selanjutnya meletakkan di bawah pohon. Ratri Geni duduk termangu sambil melihat ikan yang masih mengepulkan uap panas itu dengan raut wajah lapar.

Raden Soca melongo. Apa sih yang dilakukan gadis aneh ini? Bukannya menawarinya makan malah meletakkan ikan bakar beraroma wangi itu menjauh dari mereka dan gadis itu malah memandanginya dengan lesu, bukannya segera menyerbu makanan yang masih panas itu. Raden Soca tidak sabar. Dia benar-benar lapar. Namun belum juga dua langkah pemuda ini maju, terdengar kesiur angin besar. Sosok bayangan hitam dan besar melompat ke tempat makanan itu disajikan dan menyantapnya dengan lahap.

Raden Soca melongo lagi. Beberapa ekor ikan bakar itu dalam waktu sekejap sudah tandas dimakan seekor harimau hitam raksasa. Harimau itu membalikkan badan sambil menjilati kaki depannya. Menggeram-geram rendah. Ratri Geni mengomel panjang pendek.

"Kau sudah menghabiskannya dalam sekejap sedangkan kami mencicipi saja tidak. Dan sekarang kau bilang kurang? Huh!" Ratri Geni beranjak mendekati harimau raksasa itu lalu mengelus kepalanya dengan sayang. Raden Soca nyaris melompat menyambar Ratri Geni. Tindakan gadis itu sangat berbahaya.

Sima Braja kembali menggeram rendah sambil mengangguk-angguk seolah mengerti omelan Ratri Geni. Tubuhnya mendekam di tanah dalam posisi yang sangat nyaman kemudian…tidur!

Kembali Ratri Geni mengomel panjang pendek.

"Seharusnya kau membawakan ikan besar supaya kami tidak kelaparan, Halilintar. Pemalas!" Gadis itu duduk di sebelah Sima Braja sambil memegang perutnya yang keroncongan.

Raden Soca menyaksikan semua itu dengan mata terpana. Kemudian meledaklah ketawanya. Rupanya harimau itu peliharaan Ratri Geni!

Ratri Geni memandang melotot ke arah Raden Soca yang buru-buru menghentikan ketawanya. Takut gadis itu tambah marah dan mengalihkan omelan kepadanya. Pemuda dari Lawa Agung itu membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju sungai lalu menghilang ke arah hulu dengan cepat. Ratri Geni tidak ambil pusing. Gadis itu merebahkan dirinya di perut Sima Braja lalu memejamkan mata. Mungkin tidur bisa melupakan rasa laparnya.

-********