Bab 41-Sentuhan Cinta

Ketika aku merindukanmu

saat itu aku adalah buku-buku

beserta halaman-halamannya yang ingin juga kau rindu

Manakala aku memutuskan mencintaimu

ketika itu aku adalah seorang lelaki pendulang malam

bersama hatinya yang selalu menggenggam masa silam

Panglima Amranutta tercenung sejenak. Raden Soca tahu persis bahwa dia akan dengan mudah melanggar sebuah janji biasa. Tapi Sumpah Laut? Seujung rambutpun dia tidak akan berani melanggar jika sampai dia melakukan sumpah mengerikan itu. Terlalu besar bahaya bagi seseorang dari laut selatan yang berkhianat terhadap Sumpah Laut. Ratu Laut Selatan dengan mudah akan mengirimkan hukuman mengerikan yang tak terbayangkan dahsyatnya. Panglima tua itu bergidik.

Putri Aruna dan Putri Anila mendelik ke arah Raden Soca. Keduanya maju dan menudingkan telunjuknya.

"Raden keparat! Untuk apa kau meminta Raja kami melakukan Sumpah Laut?! Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?!"

Raden Soca mengangkat alisnya.

"Dan untuk apa aku melakukannya Bibi Anila dan Bibi Aruna? Kami hanya ingin jaminan bahwa dua orang yang kami tinggal ini tidak kalian celakakan. Sumpah Laut adalah satu-satunya jalan. Dan aku minta Sumpah Laut itu dilakukan oleh kalian bertiga. Bukan hanya Paman Amranutta."

Situasi berbalik. Raden Soca menekan dengan keras. Tangannya meraih tangan Ratri Geni yang memegang Seruling Bidadari Bumi. Diangkatnya dengan lembut sehingg seruling itu kembali menempel di bibir Ratri Geni. Lagi-lagi Panglima Amranutta tercekat. Putri Anila dan Putri Aruna malah melompat mundur dengan raut muka ketakutan. Keduanya segera dipeluk dengan mesra oleh Pangeran Arya Batara. Mata Sekar Wangi seolah melompat keluar dari tempatnya melihat kejadian itu. Di sisi lain, Siluman Masalembu sedikit menyala sorot matanya. Nampak sekali betapa Raden Soca menganggap Ratri Geni adalah seseorang yang istimewa di matanya. Ingin rasanya dia menghajar pangeran Lawa Agung sialan itu.

Ratri Geni tertawa dalam hati. Gertakan Raden Soca mengena. Hanya saja tangan gadis ini sekarang bergetar hebat. Genggaman hangat tangan Raden Soca membuat gadis itu sedikit belingsatan.

"Baiklah! Baiklah! Aku penuhi permintaanmu Raden! Aku akan melakukan Sumpah Laut. Sekarang juga!" Panglima Amranutta memberi isyarat kepada Putri Anila dan Putri Aruna untuk mendekat.

Ketiganya berlutut menghadap ke arah selatan sambil mengangkat kedua tangan. Seorang hulubalang berlari mendekat sembari membawa sebuah cawan berisikan air laut selatan. Panglima Amranutta memang kemana-mana selalu membawa bekal air laut selatan untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ingin meminta bantuan junjungannya.

Ketiga pimpinan Lawa Agung itu menggerak-gerakkan bibirnya membaca sedikit mantra sebelum secara bersama-sama bersuara dengan suara menggelegar.

"Kami! Panglima Amranutta, Putri Aruna, Putri Anila, dengan ini menyampaikan Sumpah Laut disaksikan badai, gelombang, batu karang Laut Selatan! Kami tidak akan menyakiti sedikitpun tawanan kami yang bernama Siluman Masalembu dan Galuh Lalita selama dalam tawanan kami! Biarlah Laut menjatuhkan hukuman bagi kami jika melanggar Sumpah Tertinggi ini!"

Blaaaarrrrr!!

Semua orang terperanjat dan nyaris terjengkang ke belakang saat kilatan petir tiba-tiba menyambar cawan berisi air laut yang berada di hadapan Panglima Amranutta, Putri Anila dan Putri Aruna. Tidak ada hujan, tidak ada angin, bahkan setitik mendung hitampun tidak nampak sama sekali di langit. Sambaran petir itu sebuah pertanda. Sumpah Laut telah didengarkan oleh Laut Selatan.

Ketiga orang itu bangkit berdiri. Sekujur tubuh dan wajah nampak basah kuyup oleh keringat. Sumpah Laut memang ritual yang sangat berbahaya. Tidak boleh dilanggar dan dikhianati. Karena lebih dari sekedar kematian yang akan didapati.

Raden Soca mengangguk lega. Dia menggamit lengan Ratri Geni yang masih saja menempelkan Seruling Bidadari Bumi di bibirnya. Gadis cantik itu buru-buru menurunkan tangannya. Semua dilakukannya dengan cepat. Takut ketahuan betapa lengannya kembali bergetar hebat.

Raden Soca berpaling ke arah Sekar Wangi yang matanya semakin melotot marah saat menyaksikan Pangeran Arya Batara menyambut Putri Anila dan Putri Aruna kembali ke tempatnya dengan beberapa kali ciuman. Pangeran brengsek! Raden Soca mengerutkan keningnya. Gadis ini seolah tidak peduli dengan ajakannya agar pergi dari sini. Raden Soca baru sadar bahwa gadis itu belum bisa bicara dan belum punya kekuatan cukup untuk menggerakkan tubuhnya. Pemuda itu menoleh ke arah Ratri Geni.

"Bagaimana dengan gadis ini, Ratri? Dia masih lemah tak berdaya." Tatapan mata pemuda itu mengusulkan sesuatu. Ratri Geni menggeleng keras dan menyambar tubuh Sekar Wangi kemudian berjalan dengan waspada meninggalkan tempat berbahaya itu. Enak saja dia mau menggendong gadis cantik bertubuh aduhai ini! Huh!

Raden Soca terperangah sejenak kemudian mengikuti Ratri Geni sambil menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti. Maksudnya hendak menggendong Sekar Wangi tadi sebenarnya baik. Agar Ratri Geni tidak perlu bersusah payah lalu kelelahan. Raden Soca lalu menyumpahi dirinya sendiri. Mana mungkin gadis dengan hawa sakti yang luar biasa itu lelah jika hanya menggendong beban seberat itu. Sedangkan mengangkat Sima Braja saja dia pasti kuat.

Seperti mendengar kata hati Raden Soca, terdengar auman luar biasa dahsyat menggema di Lembah Mandalawangi. Mengiringi langkah cepat Ratri Geni dan Raden Soca keluar dari gerbang. Raden Soca dan Ratri Geni saling pandang dan menjeritkan kata yang sama sebelum akhirnya tubuh mereka melesat seperti bayangan.

"Sima Braja!"

Ario Langit yang masih dalam wadag Siluman Masalembu melihat dengan masgul kepergian Setengah Tunangannya bersama Raden Soca. Hati pemuda ini terbakar oleh rasa cemburu yang hebat. Namun dia masih bisa berpikir jernih untuk tidak berbuat aneh-aneh karena tidak ingin terjadi apa-apa terhadap Ratri Geni.

Galuh Lalita dengan wajah gembira berjalan mendekati Siluman Masalembu lalu memegang tangan sebesar pelepah pisang itu dengan lembut dan penuh kasih. Ario Langit seperti tersengat kalajengking begitu tangan Galuh Lalita menyentuh tangannya. Tubuh besar Siluman Masalembu bergetar hebat seperti terkena sambaran petir. Perlahan-lahan tubuh raksasa itu menyusut. Ario Langit kelabakan. Pemuda itu berusaha keras mengembalikan wujudnya menjadi Siluman Masalembu kembali dengan memusatkan perhatian sambil memegang cincin kayu hitam di jarinya kuat-kuat.

Namun perubahan itu tetap terjadi. Tak sampai beberapa kedipan mata, Siluman Masalembu sudah lenyap. Digantikan oleh si Pendekar Langit yang tengah berdiri kebingungan. Bersamaan dengan itu terdengar jeritan mengerikan saat Ayu Kinasih menerjang ke depan dan menjatuhkan pukulan maut ke arah kepala Ario Langit.

"Kau! Kau! Keparat!"

Ario Langit hanya pasrah saja. Biarlah mungkin ini memang takdirnya mati di tangan wanita yang tengah mengandung anaknya. Dia rela dan tidak akan melawan. Rasa bersalah yang teramat besar juga mencegah pemuda ini untuk sekedar mengelak atau menangkis pukulan mematikan itu. Galuh Lalita yang baru bisa menggerakkan tangannya dengan lemah memandang dengan mata tak percaya melihat wanita hamil berambut riap-riapan itu menyerang Ario Langit dengan tujuan meremukkan kepalanya. Galuh Lalita menutup mulut menahan jeritan lemahnya.

----*