Bab 40-Kesepakatan Aneh

Rindu akan segantang hujan

di musim kemarau yang jatuh

bukan pada musimnya

adalah dendam usang

yang bertambal kenangan

ketika cinta saling berbisik

namun lupa untuk saling bertabik

Panglima Amranutta menghentikan langkahnya diikuti oleh yang lain. Gadis itu melakukan penawaran untuk membuat kesepakatan. Mereka harus mendengarkannya. Atau tempat ini akan menjadi sebuah perang puputan. Dengan ribuan prajurit yang siap mati, Ratri Geni dan kawan-kawannya juga berada dalam posisi yang berbahaya. Namun jika semuanya terjadi, Panglima Amranutta yakin bahwa benteng yang sudah lama dibangun dan dipersiapkan ini juga akan hancur tak bersisa.

"Hmm, apa tawaranmu Ratri Geni?!" Nada Panglima Amranutta terdengar sekali sangat bergetar. Tidak seperti biasanya. Garang dan gahar.

Ratri Geni tahu bahwa ini saat yang menentukan terutama bagi keselamatan mereka berlima. Dia sempat melirik sekilas saat Raden Soca datang dengan membimbing Galuh Lalita dan Sekar Wangi yang melangkah terhuyung-huyung. Pengaruh totokan kejam yang dilakukan oleh Nyai Sembilang.

Gadis itu juga melihat Siluman Masalembu berdiri bersedekap dan memejamkan mata. Mungkin sedang berusaha memulihkan diri. Nampak jelas sekali raut muka kesakitan akibat luka-luka yang dideritanya akibat pertempuran hebat melawan tokoh-tokoh sakti tadi. Ratri Geni berhitung dalam hati.

"Aku menawarimu perdamaian atau gencatan senjata untuk kali ini saja. Kami akan pergi dan kau tidak akan mencegah kami. Semua urusan akan kita selesaikan lain kali. Tapi jika kau bersikeras untuk mengadu nyawa hari ini, maka aku Ratri Geni, bersumpah akan membuat Lembah Mandalawangi porak-poranda tanpa bersisa. Meski aku harus mati karenanya!" Ratri Geni berusaha keras menunjukkan sikap sungguh-sungguhnya dengan mengambil nafas dalam-dalam dan kembali meletakkan bibir suling ke mulutnya. Panglima Amranutta terkesiap.

"Tunggu! Tunggu!" Raja Lawa Agung mengangkat tangannya. Dia tidak mau hanya gara-gara kedua tawanan itu cita-cita besarnya kandas dan berantakan. Dia tidak ingin mengulang kegagalan Panglima Kelelawar. Lawa Agung harus bisa menaklukkan Jawa bagian barat lalu menguasai seluruh tanah Jawa Dwipa!

"Aku terima kesepakatanmu. Tapi tidak semua bisa pergi begitu saja. Aku minta siluman itu tinggal dan menjadi tawananku! Jika kau tidak sepakat, biarlah kita semua saling mengadu nyawa di sini!" Panglima Amranutta menunjuk Siluman Masalembu yang masih memejamkan mata.

Tentu saja Ario Langit terperanjat bukan main saat tahu dirinya menjadi syarat gencatan senjata itu. Dalam wadagnya yang raksasa itu Ario Langit menghela nafas. Sepertinya Lawa Agung punya rencana khusus terhadapnya. Entah apa. Tapi yang jelas itu pasti tidak baik. Mungkin karena dia berbau amis laut utara sehingga Panglima Amranutta merasa bahwa dia tidak boleh melepasnya pergi. Jika tidak, junjungannya Ratu Laut Selatan akan marah besar dan menghukumnya. Hukum tidak tertulis antara Laut Selatan dan Utara tidak berani ditentang oleh Raja Lawa Agung itu.

Ratri Geni agak kebingungan. Gadis ini menoleh kepada Raden Soca meminta pendapatnya.

"Sebutkan alasanmu kenapa kami harus memenuhi permintaanmu Paman Amranutta?" Raden Soca bertanya meski dia sudah tahu jawabannya. Setidaknya dia ingin memastikan bagaimana siluman hitam ini bersikap terhadap tawar-tawaran ini.

Terdengar geraman rendah yang menggetarkan ketika Siluman Masalembu berkata dengan suaranya yang serak dan berat.

"Ratri Geni, penuhi saja permintaan Raja Lawa Agung itu. Aku tidak akan apa-apa di sini. Kalian pergilah bawa kedua gadis yang sedang tak berdaya itu." Kembali Siluman Masalembu menggeram. Semua pasukan yang berada di lapangan bergidik mendengar geraman yang mengerikan itu.

Ratri Geni memandang kepada Panglima Amranutta. Namun sebelum kata-katanya terucap, gadis ini mendadak menoleh ke Siluman Masalembu dengan wajah penuh tanda tanya. Bagaimana siluman ini tahu namanya? Tapi perhatiannya terpecah lagi dengan sahutan Panglima Amranutta.

"Kau tahu persis apa alasannya Raden. Siluman ini berbau amis laut utara. Aku harus menyerahkan keputusan membebaskan atau menahannya kepada Gusti Ratu."

Ratri Geni mengrenyitkan alis matanya. Jadi benar ini siluman dari laut utara. Tapi bagaimana dia bisa mengenalku? Kembali perhatiannya teralihkan oleh suara Raden Soca.

"Aku tahu itu Paman. Tapi hendak kau apakan siluman ini nantinya? Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya. Karena bagaimanapun dia berniat baik hendak membebaskan dua gadis yang kau tawan ini."

Panglima Amranutta mengangkat bahunya.

"Aku serahkan semua keputusan kepada Gusti Ratu. Namun aku jamin selama di sini dia tidak akan kami apa-apakan. Ini bukan lagi wewenangku."

Terdengar jeritan lemah saat Galuh Lalita sanggup lagi berbicara dari pengaruh totokan.

"Jangan! Jangan! Kalau kalian mau menahan siluman itu, kalian juga harus menahanku! Aku tidak mau pergi!" beberapa butir airmata mengalir di pipi gadis dari Padepokan Maung Leuweung itu.

Semua orang tentu saja terheran-heran kecuali Sekar Wangi. Namun gadis ini masih dalam pengaruh bekas totokan hebat sehingga belum bisa bersuara. Ingin dia mengatakan bahwa siluman itu sesungguhnya adalah Pendekar Langit, namun suaranya hanya tercekat di tenggorokan. Ario Langit melihat gelagat ini dan diam-diam bersyukur bahwa Sekar Wangi masih belum mampu berbicara. Matanya melirik jauh ke arah Ayu Kinasih yang terdiam seperti arca di belakang Panglima Amranutta. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Ayu Kinasih tahu dirinya yang sesungguhnya. Keadaan akan semakin tidak terkendali dan tentu mengancam keselamatan mereka semua. Terutama tentu saja Ratri Geni. Dia tidak ingin Setengah Tunangannya itu terluka.

Sekar Wangi memang dalam kondisi yang sama sekali putus asa. Saat menjadi tawanan, dia menyadari bahwa apa yang diucapkan Galuh Lalita tempo hari adalah benar adanya. Dia melihat sendiri bagaimana mesranya sikap Arya Batara terhadap Putri Anila dan Putri Aruna. Dan itu terjadi tepat di depan matanya! Pangeran itu dengan berani menciumi Putri Aruna dan Putri Anila bergantian tanpa merasa risih sama sekali! Padahal hal itu dilakukannya di depan banyak orang.

Gadis itu tidak tahu lagi mesti berbuat apa terhadap Pangeran Arya Batara. Sudah jelas bahwa cintanya telah kandas dan dia melakukan pencarian selama ini dengan sia-sia. Orang yang dicari sama sekali tidak peduli. Padahal jelas-jelas Arya Batara memandang dan mengenalinya. Tapi sikapnya sangat acuh terhadapnya. Seolah-olah mereka saling tidak mengenal satu sama lain. Pangeran brengsek!

Karena itulah Sekar Wangi yang sudah berpikiran pendek hendak membuat semuanya menjadi kacau sekalian. Biarlah terjadi pertarungan dan ontran-ontran di Lembah Mandalawangi yang penting dia bisa melampiaskan dendam cintanya. Namun semuanya tidak terjadi karena suaranya tersumbat di tenggorokan. Diam-diam Sekar Wangi memaki-maki diri sendiri kenapa tidak punya kemampuan lebih agar bisa segera lepas dari pengaruh totokan Nyai Sembilang.

Ratri Geni kembali kebingungan. Gadis cantik yang menangis itu tidak mau dipisahkan dari siluman jelek ini? Bagaimana dia harus menentukan penawaran kalau situasinya menjadi serba membingungkan begini?

Raden Soca yang melihat kebingungan Ratri Geni merasa iba. Pemuda ini maju ke depan. Bersisian dengan Ratri Geni yang sedari tadi memimpin kesepakatan.

"Begini saja Paman. Siluman ini sudah mau menjadi bagian dari syarat kesepakatan. Sedangkan gadis ini tidak mau dipisahkan dari siluman itu. Aku minta Paman melakukan Sumpah Laut untuk tidak melukai mereka selama dalam tahanan Lawa Agung. Bagaimana?"

----