Setelah menceramahi Hans, Renata selalu melanjutkan dengan rutinitas lain yaitu mengunjungi Dika di studionya. Dia selalu merasa bersalah pada sahabatnya sejak SMP itu namun tidak bisa berbuat apa-apa. Adiknya tidak bisa dinasehati sama sekali dan hobi menyiksa dirinya dan pacarnya. Meskipun dibujuk agar membuka hubungan mereka, Hans tetap tidak setuju. Itu tidak masuk akal untuk Renata yang merasa kalau tidak akan ada yang menghalangi hubungan keduanya. Sayangnya adiknya yang keras kepala itu punya pemikiran berbeda dan merasa kalau itu tidak boleh terjadi.
Ketika Renata datang, Dika menoleh ke sahabatnya dengan wajah lelah. Dia lelah dengan hidupnya bukan Renata. Bagaimanapun Renata adalah sahabat yang sangat dekat dan saking dekatnya, banyak yang dulu mengira mereka pacaran. Ketika SMA dan kuliah, banyak orang mengira kalau Dika menyukai Renata dan bersahabat dengan Hans padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
"Hi Ka, gimana kabar lu?" Tanya Renata.
"Ngga baik. Bisa ngga lu nyuruh Hans putusin gue aja?" Jawab Dika dengan ekspresi tidak mengenakkan. Baru kemarin malam dia dipermainkan oleh orang itu sehingga moodnya menjadi rumit.
"Lu tahu sendiri ngga ada yang bisa bilangin dia." Sahut Renata.
Dika tahu itu. Sangat tahu malahan. Keempat saudara itu tidak pernah mendengarkan siapapun dan melakukan apapun yang mereka ingin lakukan. Sebagai orang yang mengenal mereka berempat selama belasan tahun, Dika sangat paham. Namun, kepahaman itu malah membuatnya makin terjerumus ke dalam depresi. "Gue ngga sanggup kalau gini terus." Kata Dika letih.
"Ka, mau makan gelato? Gue bisa minta supir gue ambilin dari rumahnya Amanda." Kata Renata menawarkan sekaligus mengalihkan fokus Dika ke arah lain. Gelato buatan koki Artharaya selalu jadi favorit siapapun sehingga Renata sering menggunakannya untuk menjadi senjata menghibur temannya itu.
"Re, lu sama aja kayak Hans, ngga menyelesaikan akar masalahnya dan cuma nutupin itu pake hal lain." Gerutu Dika jengkel.
Keluhan itu sebenarnya hanya bisa dijawab oleh Renata dengan fakta pahit bahwa dia juga tidak punya solusi. Namun dia tidak mau Dika melempar kanvas ke arahnya sehingga Renata menjawab dengan kalimat paling bijaksana yang bisa dia pikirkan. "Jadi, lu mau gelatonya apa ngga?"
"Jelas gue mau." Jawab Dika dongkol. Temannya ini selalu penuh muslihat tapi karena Renata berusaha menghibur, Dika tidak bisa membalas usaha itu dengan prilaku ketus.
****
Lima belas tahun yang lalu.
Dika duduk di meja belajar Renata dan mengerjakan soal-soal Fisika yang seharusnya adalah PR temannya itu. Renata sendiri dengan santainya memakan cokelat sambil membaca novel. Dia tidak peduli sama sekali pada PR-nya setelah Dika datang dan mau mengerjakan.
"Re, kalau lu nyuruh gue ngerjain ini, lu ngga bakal ngerti. Nanti UTS sama UASnya gimana?" Tanya Dika yang masih sibuk menulis.
"Tenang aja, itu urusan nanti. Lu ga usah banyak teori." Jawab Renata tanpa menoleh ke arah Dika.
"Tapi lu udah keseringan remed. Gue jadi ngerasa gagal jadi guru les lu." Keluh Dika frustasi.
"Ka, remed itu bukan akhir dunia. Lu mesti belajar positif thinking." Kata Renata santai. Sebagai guru les selama lebih dari tiga tahun, Dika tidak paham bagaimana temannya bisa sesantai itu. Yang menjengkelkan, Renata bahkan sempat menjadikan kegagalannya sebagai filosofi. Jika dia begitu cerdas untuk membuat filosofi, bagaimana kalau menggunakan kecerdasan itu untuk lulus ujian?
Semua perkara ini diawali tiga tahun lalu ketika Renata mendekati Dika di sekolah untuk meminta bantuan belajar. Saat itu Dika masih kelas tiga SMP sementara Renata kelas dua. Gadis itu mengatakan kalau Dika adalah kakak kelas yang dirasa bisa membuatnya paham matematika dan fisika karena wajah Dika membuatnya bersemangat. Bujukan itu menghasilkan kehebohan gosip di kalangan kelas tiga karena banyak orang langsung berpikir berlebihan. Dika yang saat itu tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena adik kelas paling populer merayunya, tidak bisa mengatakan tidak.
Ketika bercerita pada orang tuanya kalau dia akan memberi les pada Renata, ayahnya syok dan tiba-tiba menjadi heboh. Reaksi ayahnya itu membuat Dika akhirnya paham kalau keluarga Renata bukanlah keluarga biasa. Sejak itulah Dika meniti karir menjadi tali silaturahmi antara keluarganya dan Atmajati karena dipaksa ayahnya.
Berstatus sebagai guru les, Dika sering datang ke rumah Atmajati untuk mengajarkan Renata matematika dan fisika. Lebih tepatnya membuatkannya PR karena Renata sudah muak dengan semua hitungan yang harus dikerjakan. Temannya itu kelihatannya sudah menyerah dengan dua mata pelajaran itu sehingga tidak begitu peduli lagi kalau cuma mendapat nilai minimum.
Ketika Dika sibuk membujuk Renata mengerjakan PR-nya, pintu terbuka dan Hans muncul dari balik daun pintu. "Kak, temen-temen lu dateng tuh." Kata Hans menginformasikan. Mendengar informasi itu, Dika hanya bisa kembali pada PR Renata dengan pasrah. Kalau begini, Renata akan melarikan diri dengan alasan sibuk menyambut teman-temannya yang susah payah datang ke rumah.
"Oke gue turun." Kata Renata bersemangat. Entah bersemangat karena bisa melarikan diri dari PR-nya atau bersemangat karena teman-temannya.
Setelah Renata pergi, Hans tidak langsung menutup pintu dan malah masuk ke kamar kakaknya itu untuk mendekati Dika. "Masih banyak ngga?" Tanya Hans dengan kepala dicondongkan di atas pundak Dika untuk melihat apa yang dikerjakan.
"Dikit lagi sebenarnya." Jawab Dika ringan. Dia menyisakan soal itu agar Renata belajar. Sayangnya itu tidak berguna sekarang.
"Mau main game?" Tanya Hans begitu dekat di telinga temannya. Suara itu terdengar seperti bisikan setan di telinga Dika namun dia berusaha keras menjaga pikirannya agar tidak melenceng.
"Iya. Nanti kalau udah selesai, gue ke kamar lu." Jawab Dika sambil menoleh ke samping. Mata cokelat tuanya melihat kepuasan di wajah Hans yang kelihatannya tidak mengubah ekspresi. Ketika mata obsidian Hans bertemu dengan matanya, Dika merasa jantungnya berdetak tidak karuan. Gejala ini sudah berlangsung selama beberapa bulan. Karena itu, Dika menyadari kalau dia punya perasaan tidak biasa pada temannya ini.
Hans adalah orang yang paling dekat dengan Dika di antara empat saudara Atmajati. Dika sebenarnya akrab dengan Renata namun temannya itu terlalu tidak bertanggung jawab sehingga sering menghilang kalau Dika mengerjakan PR-nya. Sementara itu, saudara kembar Renata, Johan dan Theo selalu berada di dunia mereka sendiri dan melakukan apapun hanya berdua sehingga mereka sulit didekati. Karena itulah, Dika paling banyak mengobrol dengan Hans dan mereka menjadi akrab.
Selama bersahabat, Dika berperan dalam mengeluarkan Hans dari perpustakaannya yang nyaman untuk mencoba game online. Dia memulai itu dengan mengajak Hans yang pendiam lebih banyak bicara. Lama kelamaan, Hans pun lebih terbuka dan tidak hanya bicara lewat emosi di dalam mata obsidiannya. Setelah cukup dekat, Dika pun membujuknya untuk melakukan banyak hal bersama, salah satunya game.
Setelah mencoba game untuk pertama kali, Hans ternyata lebih addict daripada Dika. Karena itu, mereka akhirnya sering bermain game bersama di rumah Dika atau di rumah Atmajati. Karena keakraban mereka, keberadaan Hans di rumah Dika juga menjadi sesuatu yang normal seperti kehadiran Dika di rumah Atmajati. Hans seringkali keluar masuk seenaknya seakan-akan itu rumahnya sendiri.
Mereka juga banyak menghabiskan waktu di timezone atau tempat permainan lain. Karenanya, keduanya sudah punya komunikasi yang hanya mereka pahami berdua tentang tempat-tempat yang ingin mereka datangi. Kata "timezone" menunjukkan Timezone yang lokasinya di mall dekat rumah Atmajati. Kata "besok?" artinya apakah besok jadwal main mereka berubah atau tidak. Semua komunikasi yang seharusnya panjang menjadi sangat pendek namun keduanya paham.
Segalanya berjalan lancar selama tiga tahun. Keduanya bersahabat baik dan sering bermain bersama. Hans juga berbicara lebih banyak pada Dika dan tidak sepenuhnya pendiam. Sayangnya, setelah Dika kelas dua SMA, ada hal yang mulai mengusiknya. Suatu malam, dia bermimpi aneh.
Di dalam mimpi itu, Hans menyentuh seluruh tubuh Dika dan melakukan hal-hal terlarang padanya. Ketika terbangun, Dika menyadari kalau malam sebelumnya dia sudah bermimpi basah. Dia begitu malu pada dirinya karena memimpikan hal-hal kotor itu tentang sahabatnya. Meskipun begitu, mimpi itu tidak berhenti datang. Dia memang tidak diganggu tiap malam namun cukup sering. Ini membuatnya stress dan membayangkan hal yang tidak-tidak begitu melihat Hans. Itu tidak berhenti meskipun dia sudah kelas tiga dan Hans masuk ke sekolah yang sama dengannya. Mimpi itu bahkan makin parah setelah semakin sering melihat Hans di sekolah.
Sialnya, dia tahu kalau sahabatnya itu adalah casanova yang sudah berpacaran dengan banyak perempuan. Meskipun pendiam dan tidak banyak bercerita tentang kisah cintanya, Dika mendengar kalau di kelasnya sudah ada tiga korban. Itu baru di kelas Dika saja, belum di kelas lain. Kalau sudah seperti itu, tidak mungkin dia tidak tahu sisa berita tentang ke-playboy-an Hans. Karenanya, Dika mengabaikan semua mimpinya dan tetap berteman saja.
Sayangnya godaan wajah Hans yang terlihat tenang dan menawan membuat Dika goyah. Setiap melihat sepasang mata obsidian Hans, jantungnya menjadi tidak karuan. Bukan hanya itu. Yang lebih mematikan adalah senyum Hans yang jarang sekali muncul. Ketika senyum itu diarahkan padanya, pikiran Dika langsung kosong. Dengan semua ciri itu, mau tak mau Dika menyadari ketertarikannya pada sahabatnya itu. Makanya setiap Hans dekat seperti ini, Dika tidak pernah bisa merasa tenang.
"Ok, gue tunggu di sebelah." Kata Hans kemudian menarik kepalanya. Setelah Hans pergi, barulah Dika bisa menenangkan diri. Makin lama, semuanya makin sulit. Temannya itu kerap dekat tanpa kepedulian sama sekali. Mereka terbiasa melingkarkan tangan di pundak yang lain, duduk dekat, dan melakukan semua sentuhan lain yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Sayangnya semua itu kini menjadi serangan ke hati Dika karena dia jatuh cinta pada sahabatnya itu.
Berlanjut...