Di dunia ini ada dua tipe orang. Yang pertama, mereka yang mengorbankan orang-orang yang dekat dengannya demi opini orang-orang yang tidak begitu dekat dengan mereka. Yang kedua adalah orang-orang yang mengorbankan siapapun demi orang-orang terdekat mereka. Mana yang lebih baik? Renata tidak tahu. Yang jelas dia adalah tipe ke dua.
Baginya, seberapa banyakpun seseorang berkorban untuk memenuhi opini orang-orang asing itu, semuanya tidak akan pernah selesai. Pendapat mereka penuh paradoks dan tidak akan pernah bisa dipenuhi. Selain itu, mereka tidak akan memberikan apapun meskipun pendapat mereka diikuti. Yang ada hanyalah pengorbanan kosong yang tidak bermanfaat sama sekali.
Inilah kenapa dia tidak setuju pada cara hidup adik keduanya. Hans ingin melihat dunia ini tidak berkorban untuknya sementara dia merasa harus memenuhi norma-norma yang berlaku. Meskipun jelas-jelas hatinya tidak mengikuti norma normal itu, dia berusaha memberi citra pada dunia kalau dia adalah bagian dari semua kenormalan. Dalam prosesnya, dia terus-menerus mengorbankan orang yang terdekat dengannya. Kalau begitu, orang yang paling mencintainyapun akan kehilangan cinta itu. Setelah cinta itu hilang, apa orang asing yang dia berikan pengorbanan itu akan bisa menggantikan cinta itu? Sudah jelas jawabannya tidak.
Karenanya, Renata akan selalu memberikan yang terbaik pada orang-orang terdekat dengannya. Semakin dekat mereka, semakin banyak pula yang akan dia berikan. Cinta orang-orang ini nilainya tidak pernah sama dengan pendapat asing yang sibuk menyalahkan semua orang. Karenanya dia selalu dipenuhi cinta meskipun sikap serakahnya tidak pernah punya batasan. Semua keburukannya termaafkan dan semua sikap egoisnya bisa dia buka lebar. Ini hanya memungkinkan karena dia menjaga semua yang mencintainya dengan sepenuh hati.
Renata akan selalu menjadi tipe kedua. Tidak akan pernah menjadi tipe pertama. Dia akan melakukan apapun untuk membesarkan cinta orang-orang yang paling mencintainya.
Dengan akses ke pengaruh terpendam Artharaya, sekarang dia sudah menguasai sebagian besar pengaruh di Indonesia. Hanya beberapa kelompok kecil yang tidak tergabung di bawah tiga bendera yang dia bawa. Melihat apa yang dia dapatkan, Renata tersenyum lebar. Ingin sekali dia menunjukkan ini pada Hans. Adiknya itu harus tahu kalau hal paling bijaksana yang bisa dilakukan adalah memberikan kebahagiaan berlimpah pada orang yang paling mencintai kita.
Orang-orang yang menyakiti orang terdekat dengannya demi orang yang tidak dekat dengan mereka adalah orang-orang bodoh.
Renata tahu kalau dirinya sudah pernah memberi tahu Hans mengenai ini dan tidak didengarkan. Namun, dia tidak bisa berhenti untuk memamerkan apa yang dia dapat sehingga dia akan mengulang topik ini lagi meskipun apa yang dikatakan jatuh pada telinga tuli.
***
Pagi hari Hans terbangun dengan Dika masih dalam pelukannya. Saat dia membuka mata, yang terlihat adalah wajah lugu Dika dengan rambut pirang. Melihat rambut pirang itu, Hans ingat kalau bulan lalu dia memuji rambut hitam Dika yang berkilau kecoklatan jika tertimpa matahari. Setelah itu, Dika langsung mengecat rambutnya menjadi pirang karena ingin membuat Hans kesal.
Rambut pirang itu sebenarnya tidak mengurangi ketampanan Dika sehingga Hans tidak terganggu sama sekali. Ketika pertama kali melihat rambut pirang itu, Hans sebenarnya ingin mengatakan kalau warna rambut apapun akan cocok. Akan tetapi dia menahan diri. Dia takut Dika akan tiba-tiba menggundul kepalanya jika itu dia ucapkan. Pada akhirnya dia hanya bisa menikmati penampilan baru kekasihnya dalam diam.
Karena matahari sudah agak tinggi, Hans mencium kening Dika cukup lama sebelum akhirnya bangun. Dia melepaskan Dika dengan hati-hati agar tidak mengganggu kekasihnya itu kemudian melihat ponselnya. Dia melihat tiga panggilan tidak terjawab dari kakaknya Renata.
Dia pun segera mengenakan piyama, keluar kamar dan menelepon balik. Tak perlu menunggu lama, Renata langsung menjawab.
'Hallo Hans.' Sapa Renata dengan nada riang seperti biasa.
"Hallo." Sahut Hans datar.
'Hans, gue udah berhasil mendapatkan Artharaya. Jadi sekarang semua pengaruh di Indonesia sudah di bawah kendali gue.' Kata Renata mengabarkan.
Kabar itu membangkitkan emosi rumit dari Hans. Kakaknya ini adalah pewaris satu-satunya yang dipilih Farrel. Farrel bahkan tidak memperhitungkan siapapun dan menyerahkan semuanya pada Renata. Bukan hanya itu, semua yang Lukas miliki juga diwariskan pada kakaknya itu. Setelah semuanya di tangan Renata barulah Renata memberikan posisi pada orang-orang kepercayaannya termasuk Hans.
Hans tidak tahu apakah harus kesal atau berterima kasih pada pengaturan itu. Dia tahu kalau hanya Renata yang benar-benar menerima hubungan Farrel dan Lukas. Namun bagaimana mungkin Farrel menjadi bias seperti itu! Dia punya empat orang anak! Di lain pihak, Hans bersyukur karena tidak merasa berhutang pada ayahnya karena Farrel tidak mewariskan apapun padanya. Selain itu, Renata berbuat adil pada semuanya sehingga tidak menjadi masalah ketika dia yang memegang kekuasaan.
"Selamat." Kata Hans. Farrel dan Lukas benar-benar memanjakan Renata dan melakukan apapun untuk memenuhi kemauan satu-satunya keluarga yang benar-benar mengakui mereka itu. Hans curiga kalau dua orang itu akan melakukan kejahatan apapun sejauh Renata yang memintanya.
Setelah itu, Renata menyombongkan diri tentang seberapa disayangnya dia oleh semua anggota keluarga. Hans hanya mendengarkan tanpa menanggapi. Cerita itu tidak baru sama sekali.
"Makanya Hans, kalau ada orang yang sayang sama lu, perlakukan baik. Ngga ada gunanya lu jaga image untuk orang-orang yang lu ngga kenal. Gue jadi kasihan sama Dika yang suka sama lu." Kata Renata memulai topik yang selalu tidak Hans sukai.
"Kak, gimanapun kita perlu jaga kestabilan perusahaan. Tanggung jawabnya lebih tinggi. Gimanapun ada orang-orang yang tergantung sama kita jadi kita ngga boleh egois." Sahut Hans membela diri.
"Itu cuma asumsi lu doang. Lu aja yang ke-GR-an mengira mereka semua ketergantungan sama lu. Jangan kebanyakan mikir. Pake hati nurani." Kata Renata.
"Elu tuh yang pake hati nurani." Balas Hans. Bukannya dia yang menggunakan hati nurani dan seringkali mencari jalan damai? Sementara itu, Renata cuma punya hati nurani yang mencintai dirinya saja. Kakaknya itu hanya peduli pada dirinya dan orang-orang yang dia suka.
"Maksud gue pake kata hati lu. Tanya ke dalam diri lu sendiri apa yang lu pengenin. Itu jalan terbaik." Jelas Renata lebih lanjut.
"Gue ngga bisa bertindak emosional gitu." Jawab Hans. Dia bukan saudara-saudara atau ayahnya. Pikirannya masih cukup waras dibandingkan mereka. Setidaknya dia tahu kalau seseorang sebaiknya membaur dengan aturan dan norma-norma.
"Ah, susah banget ngomong sama lu. Nanti kalau Dika udah ninggalin lu, lu baru bakal ngerti." Kata Renata setengah mengutuki. Karena itu Hans jengkel.
"Dia ngga bakal kemana-mana. Gue ngga bakal biarin dia ninggalin gue." Jawab Hans.
"Lu mending jadi ngeselin sama orang lain daripada jadi ngeselin sama pacar lu sendiri. Duh adik gue nih masih goblok aja." Kata Renata seakan-akan dia kakak yang pintar padahal kalau urusan akademik, nilai Hans jauh melampaui nilai Renata. Namun itu sudah tidak penting. Hans sudah tidak mau menanggapi kakaknya ini.
"Udah deh, kalau itu doang yang lu mau omongin, gue tutup sekarang." Kata Hans ketus.
"Eh tunggu!" Renata menghentikan adiknya. "Mau makan malam sama ayah dan papa ngga?" Tanya Renata menawarkan.
"Ngga! Lu tahu sendiri gue ngga suka sama mereka." Jawab Hans jengkel.
"Duh! Hans, lu mesti belajar dari ayah dan papa cara memperlakukan pacar lu."
"Gue ngga butuh pembelajaran dari mereka." Jawab Hans yang kemudian langsung menutup telefon. Dia jengkel dua orang itu disebut-sebut.
***
Dika sebenarnya sudah terbangun ketika Hans mencium keningnya. Namun dia tidak mau menyenangkan Hans dan berpura-pura menutup mata. Ketika Hans turun dari kasur dan keluar kamar, barulah Dika benar-benar membangunkan diri. Saat itulah dia menyadari kalau sekali lagi dia jatuh ke dalam pelukan Hans tanpa berdaya.
Karena itu Dika membenci dirinya.
Sampai kapan dia akan membiarkan laki-laki brengsek itu mengendalikannya? Hubungan mereka yang sudah terjalin lama membuat Hans begitu berpengalaman menghadapi Dika sehingga Dika lagi-lagi merasa tidak punya jalan keluar. Hans terlalu hafal bagaimana caranya menggerus kemarahannya dan kemudian menghiburnya kalau sedih. Namun, Dika sendiri tidak punya cara apapun untuk melarikan diri dari kekasihnya itu.
Karena tahu bagaimana meredakan amarah Dika, Hans tidak takut membuatnya marah. Begitu pula dengan luapan kesedihan Dika. Hans juga seringkali tidak masalah melakukan sesuatu yang menyakiti hati kekasihnya karena setelahnya dia akan berhasil menghibur. Namun Dika tidak mau merasakan itu sama sekali. Daripada melakukan sesuatu yang membuat sakit hati kemudian menghibur, bukankah sebaiknya jangan melakukan hal yang membuat hati sakit itu? Inilah kenapa hidup Dika dipenuhi naik turun emosi. Inilah yang membuat kepribadiannya makin bengkok dan terplintir menjadi lebih buruk.
Dika benar-benar lelah.
Di saat seperti ini, dia merasa kalau tidak punya pacar dan hidup single mungkin lebih nyaman. Meskipun dia akan nelangsa melihat orang-orang yang bahagia bersama kekasihnya, setidaknya dia tidak perlu marah begitu sering dan sedih begitu sering juga. Kalau begini terus, dia akan mengira dirinya sudah gila. Apalagi kalau melihat ketenangan Hans menghadapi kemarahannya, dia jadi merasa dirinya emosional sedangkan orang di hadapannya dewasa. Padahal orang itu yang menyulut semua emosi negatif itu di dalam dirinya.
"Gue selalu sayang lu, Ka. Jangan pernah pergi."
Kalimat Hans yang kemarin tiba-tiba menggema di kepala Dika. Itu adalah sesuatu yang rutin Hans lakukan. Tiap kali Dika setengah sadar, ada saja kalimat yang Hans katakan yang kemudian akhirnya menggema berhari-hari di kepala Dika tanpa berhenti. Hans seperti menghipnotisnya dan memberi sugesti. Inilah yang menyebabkan Dika curiga kalau dia sebenarnya dimanipulasi oleh kekasihnya itu. Jangan-jangan semua yang dia rasakan hanyalah tipuan belaka.
***