Broken / Patah

The Thyssen-Bornemisza Museum, Madrid, Spanyol

Selama seminggu, museum seni ini dipenuhi dengan penikmat lukisan. Sebagian besar dari mereka datang demi melihat koleksi lukisan hasil torehan tangan Andika Cyutabawa yang dikenal emosional dan ekstrem. Hasil karyanya bisa membangkitkan emosi yang terkubur dalam-dalam di jiwa manusia ketika dipandang. Banyak yang mendapati kalau mereka tersihir melihat lukisan buatannya. Banyak penikmat lukisan mendapati pikiran mereka kosong begitu berhadapan dengan Lukisan Dika.

Salah satu orang yang merasakan dampak begitu kuat adalah Javier Ruiz. Dia menatap salah satu lukisan utama Dika selama berjam-jam. Laki-laki dengan kulit sawo matang itu datang pada siang hari dan tidak beranjak sampai museum ditutup. Sepasang mata cokelat terangnya menatap lukisan itu lekat-lekat dengan dua alis yang dikerutkan. Wajah tampan khas Spanyolnya terlihat menampilkan berbagai emosi bergantian.

Kaki panjangnya tidak mau melangkah meninggalkan tempat itu meskipun seseorang sudah mengingatkannya kalau waktu kunjungan sudah usai. Setelah dibujuk beberapa kali, dia malah menelefon seseorang kemudian tetap tidak mau keluar dari museum. Setelah telefon yang dilakukannya selesai, tak lama, pengelola museum sendiri yang datang untuk mengijinkan Javier tetap berdiri di depan lukisan Dika.

Lukisan itu berjudul "Broken / Patah". Visual lukisan itu adalah dua warna ekstrem yang seakan beradu satu sama lain. Yang satu adalah warna senja yang membakar, yang lain adalah warna malam yang dingin. Warna senja dihiasi dengan semangat kehidupan, cinta, dan kebahagiaan sedangkan warna malam dipenuhi dengan keheningan, kesedihan, dan keputusasaan. Kedua warna kontras itu berkejar-kejaran dalam satu putaran tertutup yang tidak pernah habis. Javier melihat itu seperti melihat penjara.

Dan Javier belum pernah melihat penjara semenakutkan ini.

Penjara itu dilapisi terang gelap yang tidak jelas batasnya dimana. Di dalamnya ada badai penghancur yang akan memakan siapa saja. Namun, tepat di tengah badai itu, ada pendar putih yang seperti sudah tipis dan seakan mau menghilang.

"Luar biasa." Guman Javier emosional.

Broken / Patah mengungkapkan sesuatu yang mengerikan namun sekaligus indah. Pesan di balik lukisan itu begitu sulit terlacak meskipun emosi di atasnya diungkapkan dengan sangat terbuka. Karena itulah Javier memandangi lukisan ini begitu lama. Ada kode yang ingin dia pecahkan.

"Jav, waktunya pulang." Kata sebuah suara yang ingin memanggil Javier kembali ke kenyataan.

Sayangnya suara itu tidak didengarkan.

Karena pemilik suara sudah terbiasa dengan ini, dia langsung mendekati Javier dan menarik telinga laki-laki yang seperti kerasukan itu. Penyiksaan itu membuat Javier menjerit.

"AAH! Rio! Aku sedang fokus!" Teriak Javier karena tidak terima dikasari.

Rio, asisten sekaligus temannya, tidak mau mendengarkan dan menyeret Javier keluar. Tangannya masih di telinga Javier untuk menuntun tuan muda satu ini meninggalkan ruang pameran. Javier bahkan belum makan malam. Mau tak mau ini membuat Rio khawatir. Khawatir gajinya dipotong.

"Aku masih mau di sini!" Kata Javier sambil berusaha melepaskan diri dari jeweran Rio yang makin menyakitkan. "Apa kamu ngga lihat ada pesan di balik lukisan itu?"

"Kamu selalu mengkhayalkan berbagai macam pesan kalau melihat gambar apapun. Itu ngga penting." Sahut Rio tak peduli.

Dia tidak bercanda. Karena mereka teman sejak kecil, Rio sudah pernah melihat Javier membawakannya batu seakan-akan ada pesan tersembunyi di situ. Padahal itu benar cuma batu. Batu yang bisu, ngga ngomong apa-apa, ngga penting, dan ngga misterius sama sekali.

Setelah bersusah payah, akhirnya Javier bisa lepas dari jeweran jahat Rio. Dia kemudian mengelus-elus telinganya yang sudah perih dan merah.

"Tapi ini bener beda." Kata Javier membela diri.

"Beda apa? Apa pelukisnya menggambar SOS di situ? Apa dia perlu diselamatkan nyawanya?" Sahut Rio ketus. Dia harus segera membawa tuan muda ini pulang. Kalau tidak, Javier akan berdiri di depan lukisan aneh itu sampai besok pagi.

Rio sebenarnya tidak serius mengungkapkan pendapatnya tadi. Namun, mendengar kata-kata Rio itu, Javier malah terhenyak dan kemudian berbalik ke arah lukisan Dika. Matanya melebar dan bibirnya terbuka sedikit. Dia kembali menatap lukisan itu tanpa kedip.

"Javier! Ayo pulang!" Kata Rio mulai jengkel.

"Rio." Panggil Javier seakan-akan nyawanya dibawa pergi.

Rio yang mendengar gaya panggilan aneh itu, hanya bisa terdiam dan menatap Javier yang sepertinya menemukan inspirasi.

"Rio, dia mau dikeluarkan dari penjara itu." Kata Javier antara panik dan tercenung.

"Siapa yang kamu bicarakan?" Tanya Rio yang sudah lelah dengan prilaku Javier.

"Andika." Jawab Javier. Wajahnya berubah serius dan menoleh ke arah asistennya. "Carikan aku semua informasi tentang pelukis ini, Andika Cyutabawa." Tambah Javier memberi perintah.

Kepala Rio langsung berdenyut. "Aku harus minta uang lembur untuk ini." Katanya.

"Aku bayar!" Sahut Javier gusar.

***

Malam belum larut namun kegelapan sudah memenuhi pikiran Martin. Rambutnya yang sebagian besar sudah memutih, kini terlihat kacau. Mata obsidiannya dipenuhi kemarahan. Sekali lagi dia harus diingatkan kalau semua Atmajati tidak bisa dipercaya. Kekesalannya pada Farrel belum punah meskipun bertahun-tahun sudah lewat dan sekarang dia harus menambah daftar nama Atmajati yang dia benci.

Di hadapannya, duduk seorang wanita dengan mata cokelat yang seakan bisa menghipnotis. Senyum manisnya mengingatkan Martin pada Erika, adik bungsu kesayangannya namun pembawaan wanita ini mengingatkannya pada musuh bebuyutannya.

"Om, ngga perlu serius gitu. Aku kan cuma minta kunci." Kata Renata setengah manja. Dia mengatakan itu seakan-akan hanya meminta kunci kamar. Akting ini membuat murka di dada Martin seperti ingin meledak.

"Apa kamu pikir kamu sudah menang? Kamu pikir aku tidak akan membalas ini?" Tanya Martin. Dia sudah tidak mau menganggap wanita di depannya adalah keponakannya. Cara barbar yang dipakai wanita ini untuk menekan Artharaya benar-benar tidak bisa diterima.

"Om, aku ngga mau menyakiti orang-orang yang sayang padaku. Percaya deh, aku melakukan ini biar semua orang bahagia. Biar semuanya damai." Kata Renata masih dengan gaya seorang anak yang merayu orang tuanya.

Martin tidak percaya omong kosong itu. Dia sudah terlalu berpengalaman menghadapi Farrel sehingga tidak lagi bisa percaya pada kebohongan Renata. Tidak mungkin orang yang menggerakkan Atmajati dan Underworld untuk menjepitnya adalah orang yang menginginkan kedamaian. Tidak mungkin orang yang menipu ayahnya, Wisudha untuk mendapat akses semua harta dan rahasia Artharaya adalah orang yang ingin semua orang bahagia.

"Renata, kenapa kamu harus memiliki Artharaya juga? Apa Atmajati dan Underworld ngga cukup? Apa kamu lupa gimana kamu disayang oleh kakek-nenekmu?" Keluh Martin jengkel.

"Om, jangan bawa-bawa orang yang udah meninggal. Selain itu, aku tetep minta sepupuku yang ngurus Artharaya kok, yang aku mau cuma kunci itu." Kata Renata dengan gaya kalau dia tidak meminta banyak. Masalahnya kunci yang dimaksud itu adalah kunci pintu untuk semua pengaruh rahasia dan harta tersembunyi Artharaya. Itu bahkan lebih besar dibandingkan semua perusahaan yang dipunya. Awalnya kunci itu tidak begitu penting karena pengamanan di dalamnya lebih ketat. Masalahnya Wisudha yang sudah sinting, sudah meregistrasi sidik jari dan iris cucu kesayangannya itu di sana ketika Renata masih kuliah dan bahkan menguncinya dengan permanen.

"Kamu bisa bunuh aku dulu." Kata Martin kokoh.

"Om, aku ngga mau nyerahin Om ke papa. Bener deh. Jadi kasi aku kuncinya di sini aja. Om tahu sendiri papaku itu bisa apa." Kata Renata lembut seakan-akan memikirkan kebaikan Martin.

Mendengar Renata menyebutkan Lukas, Martin mulai merinding. Lukas adalah orang yang dia benci dan takuti. Tidak mungkin dia tidak tahu apa yang akan Lukas lakukan padanya kalau masih belum menyerah. Orang itu menggunakan penyiksaan untuk menguasai Underworld Jakarta kurang dari tiga bulan. Kekejiannya begitu melegenda sehingga mendatangkan berbagai cerita horor. Jika Martin jatuh di tangan Lukas, mungkin mati akan terasa lebih baik.

Selain itu, sudah tidak ada yang bisa dilakukan. Dia sudah dikunci karena dua saudaranya mengkhianatinya. Entah apa yang Renata gunakan untuk merayu mereka namun mereka malah mendukung keponakan mereka itu mewarisi Artharaya.

Pada akhirnya Martin menarik nafas dalam-dalam. Dia sudah terpojok. Apapun sudah tidak ada gunanya lagi. Dia tidak sanggup menghadapi gempuran yang berlangsung beberapa tahun ini. Jika itu hanya Farrel, dia masih bisa bertahan. Namun entah kenapa ketika Renata ikut berperan serta, semuanya tiba-tiba tidak lagi di bawah kendalinya.

Di saat seperti ini, hanya satu kata yang bisa diucapkan.

"Baiklah." Dia menyerah.

Renata tersenyum manis. Dia kembali diingatkan kalau aset paling berharga yang dia punya adalah ayah dan papanya yang selalu bisa memberikan apapun yang dia inginkan.

***