Chapter 6 : Kehilangan Kendali

Kim Dokja tidak lupa mengeluarkan sarung tangan dan masker saat mengajak Yoo Sangah masuk ke gedung bioskop, yang terakhir tampak tertegun karena itu. Namun, dia tidak menyerukan komentar apapun, mungkin pria itu seperti wajahnya yang dingin adalah seseorang yang tak suka disentuh atau diperhatikan wajahnya.

Mereka berjalan berdampingan tanpa saling menyentuh, Kim Dokja menyarankan  agar Yoo Sangah membeli popcorn dan minuman, sementara dia memesan tiket untuk film adaptasi karyanya yang menyebabkan antrian panjang di lobi pemesanan tiket.

Yoo Sangah setuju dan segera menuju tempat penjual popcorn dan cola lalu membeli dua untuk masing-masing, dia lupa bahwa pria itu tidak terlalu menyukai popcorn. Meskipun demikian, yang terakhir tak menolaknya. Yoo Sangah berharap dia melepas maskernya saat berada di dalam, tetapi pria itu tetap memakainya membuatnya bertanya-tanya bagaimana dia memakan popcorn-nya?

Yoo Sangah sedikit menyayangkannya. Namun, dia terlihat senang ketika akhirnya duduk di kursi VIP yang telah dipesan Kim Dokja sebelumnya dalam ruangan bioskop dengan kursi merah tua berderetan, tetapi mereka berada di tempat yang nyaman, tidak terlalu tinggi dan rendah, ada di ruang penonton VIP yang mewah.

"Aku nggak menyangka kau memesan kursi VIP," ucap Yoo Sangah sembari menggeser punggungnya untuk bersandar dengan nyaman di kursi berlengan. Di sampingnya, Kim Dokja mengeluarkan dengungan, "Ng." sambil melihat sekantung popcorn dan cola di kedua tangannya dengan mata menyipit.

'Ini canggung,' pikir Yoo Sangah, dia berusaha menemukan topik yang menyenangkan sebelum pemutaran film dimulai. Jadi, dia bertanya, "Apa kau pernah menonton di sini bersama seseorang sebelumnya?"

"Tidak," jawab Kim Dokja dengan cepat dan singkat, dia memakai nada formal karena kebiasaan. Kemudian, dia menyadari bahwa sikapnya terlalu dingin pada wanita yang baik hati di sampingnya, jadi dia menambahkan, "Aku selalu menonton film sendirian." Dengan tatapan tertuju ke depan, melihat siluet bayangan dari orang-orang yang memasuki ruangan.

"Ah, begitu." Yoo Sangah berkeringat di ruangan ber-AC ini, pria di sampingnya sangat padat dan berdinding tebal. Akan tetapi, dia tidak akan menyerah, setidaknya sampai hubungannya menjadi teman yang akrab, yah hanya teman saja tidak masalah, mungkin. Setebal apapun dinding itu, selama dia berusaha menulis sesuatu di baliknya, maka pemilik dinding di sisi lain pasti bisa membacanya.

"Salvation-nim, kau tidak mau memakan popcorn-nya? Aku memilih rasa gurih, jadi itu patut dicoba," bujuknya dengan senyum cerah. Kim Dokja linglung sejenak, lalu akhirnya melepas masker hitam dan sarung tangannya untuk menuruti bujukan wanita cantik di sisi kirinya.

Yoo Sangah bersorak dalam hati sambil mengamati pria yang berwajah putih tanpa cacat itu menikmatinya. Yang terakhir meliriknya dengan alis sedikit terangkat. "Kau mau melihatku makan sampai habis?" tanyanya dengan suara yang enak didengar, dingin dan renyah, seperti es krim dengan lapisan coklat di luarnya.

Yang pertama terkikik sebagai balasan kemudian ikut memakan popcorn-nya sendiri sambil sesekali memperhatikan Kim Dokja dari sudut matanya. Tanpa dia sadari, rona merah muncul di pipinya yang lembut dan perasaan berbunga-bunga yang aneh mulai bermekaran.

"Ini lumayan," komentar pria itu saat pemutaran film dimulai, layar hitam di depan berkedip dan ruangan menjadi gelap gulita dalam sekejap sebelum penerangan diatur untuk kenyamanan.

Judul film ditampilkan dengan huruf besar yang indah diawal pemutaran.

<>

Dan film-nya pun dimulai sehingga Yoo Sangah dan Kim Dokja berhenti makan dan memfokuskan perhatian pada adegannya. Yang terakhir mengagumi aktor yang menjadi pemeran utamanya, seorang pria yang kekar dengan kemampuan penilaian cerdik pada situasi. Meskipun dia sudah menonton film ini sebelumnya, tetapi rasanya berbeda antara menonton sendirian dan bersama seseorang.

Kim Dokja bersyukur bahwa ketenangannya dapat berlangsung lama tanpa obat, dia berpikir untuk mengurangi dosisnya karena semakin lama dia menjadi takut. Itu adalah rasa takut jika dia kehilangan kendali sebab betapa tidak stabil emosinya ketika suara-suara itu datang.

Film itu diawali dengan pemeran utama terbangun di dalam sebuah menara, tepatnya ruangan gelap. Berikutnya, pemeran utama itu mencaritahu asal-usul keberadaannya dan mengorek rahasia tersembunyi dari menara tempatnya membuka mata dengan ingatan yang terhapus.

Bagian awal yang menarik, beberapa bagian dari novelnya dipotong dan hanya diambil adegan tertentu yang mendebarkan. Kim Dokja menutup matanya setelah bagian awal berakhir, dia merasa pusing dan kepalanya berdenyut-denyut. Panggilan yang dekat, dia menyesali tidak membawa obatnya dengan sengaja.

Pikiran naif bahwa dia dapat bertahan tanpa itu, tangannya gemetar dan dia menyembunyikannya sambil mengepal erat. Dengan kesadaran yang hampir hilang, dia berpegang pada seutas tali imajinasi yang menghubungkan akal sehat dan emosinya.

"Salvation-nim?!" Yoo Sangah bertanya dengan panik saat melihat kondisi pria di sampingnya mendadak aneh, seperti orang yang sesak napas.

"Aku … tunggu di sini sebentar," bisik yang terakhir sambil tergesa-gesa berdiri tanpa peduli popcorn dan minumannya tumpah kemudian keluar ruangan meninggalkan Yoo Sangah yang tercengang.

***

Han Sooyoung menyumpah-nyumpah ketika mendapati sahabatnya yang aneh itu bukan lupa, tetapi sengaja meninggalkan semua obatnya. "Dasar bodoh!"

Saat ini, dia menyetir mobil chevrolet hitamnya menuju tempat yang 'mungkin',  didatangi orang bodoh itu, perpustakaan kota.

Dia menelponnya satu jam yang lalu hanya untuk mendapat tanggapan robot, kekhawatirannya meningkat, jadi dia tak mau menunggu sampai malam di restoran Mark, menurutnya orang bodoh itu sedang menghindarinya.

Akan tetapi, Han Sooyoung tak bisa menemukannya di perpustakaan kota, di taman kota, dan di toko buku ataupun di tempat yang biasanya Kim Dokja kunjungi. Dia kehabisan akal sehingga dia terpaksa menghubungi seseorang yang diperlakukan hormat oleh pria itu. Dan satu-satunya yang mengetahui tentang Kim Dokja, termasuk kondisinya selain dia.

—Uriel-nim, apakah Kim Dokja di tempatmu?

Balasan Uriel datang dengan cepat diiringi nada khawatir.

—"Tidak, aku menelponnya satu setengah jam yang lalu, dan dia bilang sedang bersama seseorang untuk nonton film di bioskop dekat Galeri Seni Aileen, aku pikir itu bioskop Trancender."

—Terimakasih, Uriel-nim.

—"Apa semuanya baik-baik saja? Dia tidak lupa membawa obatnya, kan?"

—Ya, dia melakukannya. Tenang, aku akan mengurusnya.

Sambungan terputus.

Wajah Han Sooyoung mengeras, dia belum pernah mendengar sahabatnya pergi bersama orang lain yang tidak dia kenal. Itu berbahaya untuk keduanya, jadi Han Sooyoung segera menaikkan kecepatan mobilnya dan memutar arahnya menuju tempat yang disebutkan. Firasatnya buruk, dan itu selalu menandakan hal buruk akan terjadi.

***

—Kim Dokja … Kim Dokja … Kim Dokja … lompatlah dari jendela!

"Hentikan!" Dia meraung di dalam salah satu bilik kamar mandi sambil memukul pintu, berharap suara itu menghilang.

—Tak ada yang membutuhkanmu, kau seharusnya mati ... kau lah pelakunya, mati … matilah!

"Arrg!!" erangnya saat tubuhnya merosot ke lantai kemudian terengah-engah.

Dak! Dak! Dak!

Dia terus memukul pintu tanpa peduli apakah ada orang yang mendengarnya, justru itu bagus, siapapun itu, dia memohon agar dia dipukul sampai pingsan.

Sakit kepala yang melanda seolah sebuah palu dibenturkan dengan keras ke tengkoraknya. Telinganya berdenging dengan suara bisikan dari dalam kepalanya yang tak mau dia dengar.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi? Anda baik-baik saja?" tanya seseorang di sisi lain pintu.

Dia mengabaikan orang itu sambil menutupi telinganya dan menahan napas selama beberapa detik.

Pada saat itu, smartphone-nya terjatuh dari sakunya, dengan tangan gemetar dia mengambilnya lalu menyalakannya.

Perlahan-lahan dia mendapatkan ketenangannya setelah melihat sebuah foto di smartphone-nya, suara-suara itu juga menghilang.

Tanpa dia kehendaki, tetesan air mata menggenang di permukaan layar smartphone, mengaburkan foto seseorang.

***