Surabaya
Bunga POV
Aku terbangun oleh suara kicau dan nyanyian burung-burung di belakang. Dengan perasaan enggan aku bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar udara pagi yang sejuk dan berbau rumput basah menyerbu masuk ke dalam kamar.
Lama aku termenung di binkai jendela, menatap halaman samping. Semalaman aku nyaris tak dapat tidur. Ada sesuatu yang mengganggu perasaanku. Peristiwa tadi malam datang berulang kali dalam ingatanku. Seperti seseorang yang memutar sebuah film berulang-ulang.
Sulit bagiku mengusir rasa sakit dalam batinku setiap kali kata-kata Julian terngiang-ngiang di telingaku. Caranya menanggapi kejadian itu sungguh melukai perasaanku. Bisa-bisanya dia menganggapku sebagai wanita kesepian yang haus belaian lelaki. Padahal kenyataannya jauh dari itu.
"Non Dania!" Suara ketukan pintu kamar yang diiringi oleh suara Mbok Sira yang katanya sulit mengucapkan nama Flora, menguapkan lamunanku.
"Masuk, Mbok. Pintunya tak terkunci!" sahutku tanpa berniat pergi dari muka jendela.
Mbok Sira masuk dengan hati-hati.
"Kenapa bangun kesiangan, Non Dania?" katanya kemudian. "Sedang kurang enak badan, ya?"
"Hanya malas bangun saja, Mbok. Ada apa pagi-pagi sudah mencariku?"
"Oh ya, Non Dania. Ini tadi saya dititipi Den Julian surat untuk Non Dania"
"Surat? Ada-ada saja..." sahutku dengan dada berdesir. "Seperti tidak bisa bicara lewat chat saja."
"Mungkin tahu kalau Non Dania pagi ini bangun siang. Tampaknya mau berpesan pada Mbok, tetapi takut keliru. Jadi ia menulis surat ini, Mbok menerka-nerka, ia sedang murung. Mungkin ada persoalan yang dihadapinya dan ingin dibicarakannya dengan Non Dania."
"Mungkin juga. Tentang istrinya, mungkin"
"Mungkin juga." Mbok Sira mempercayai alasanku tanpa curiga sehingga aku merasa lega. Aku tidak ingin orang lain melihat ada sesuatu yang sedang terjadi di antara diriku dan Julian.
Sepeninggal Mbok Sira, aku membuka surat darinya. Aku ingin tahu apa yang dikatakannya. Tetapi ternyata isinya tak banyak.
Dear Flora Dania
Tadi malam aku tak bisa tidur memikirkan peristiwa itu. Pikiranku gelisah sekali. Kurasa ada ganjalan besar di antara kita berdua. Aku tak ingin kehilangan kedekatan yang sudah terpintal kuat di antara kita selama ini. Jadi izinkan aku siang nanti menjemputmu untuk makan siang di suatu tempat. Kalau kau tidak mau, berarti malam nanti aku akan mengalami hal yang sama. Tak bisa tidur lagi. Kau masih mempunyai rasa belas kasihan padaku, bukan?
Julian
Usai membaca surat itu aku menarik napas panjang. Aku dapat membayangkan betapa gelisahnya Julian. Pastilah lelaki itu sedang menyesali perbuatannya, karena dia menganggap peristiwa semalam sebagai sesuatu yang sangat murahan dan menjijikan, pikirku dengan perasaan pahit yang sangat menyiksa.
***
Flora POV
"Lepaskan! Toloooong!" teriakku. Baru saja aku membuka mata, setelah entah berapa lama tidak sadarkan diri.
Mataku menyapu setiap sudut ruangan yang pengap dan kurang pencahayaan. Hening. Tak ada suara apa pun. Bahkan tak ada orang lain, selain diriku di ruangan yang sempit ini.
Dari balik tirai gorden jendela yang ada di pojok ruangan, termaram warna orange masih tampak sedikit terlihat. Pertanda saat ini hari masih senja. Kembali mataku mengedarkan pandangan ke selluruh penjuru ruangan. Ketika dirasa aman, perlahan aku menggeser tubuh, walau dengan kedua tangan yang terikat di belakang.
Tubuhku terasa lemas tak bertenaga, entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Tiba-tiba perutku berbunyi. Cacing-cacing dalam perutku sedang mengamuk karena entah berapa lama perutku tidak terisi makanan.
Saat aku mencoba menggeser tubuh, untuk sedikit merapat ke samping dipan yang berada di depan, ada bagian lengan yang terasa perih, seperti disayat benda tajam. Dalam remang cahaya lampu yang hanya lima watt, aku melihat ada luka sayatan kira-kira berukuran sepuluh sentimeter. Lengan atas kaos yang aku pakai pun sobek sepanjang luka itu.
Tiba-tiba aku merasa kepalaku begitu berat, pusing dan mataku berkunang-kunang. Terasa ada yang mengganggu pandanganku, saat aku sadar di pelipis mataku pun bengkak seperti terbentur benda tumpul. Sayang, tanganku sedang terikat, sehingga aku tidak mampu meraba sebarapa besar bengkak di mataku dan seberapa parah luka di lenganku.
Dari cermin di depan dipan yang saat ini tepat berada di hadapanku, aku melihat pelipis mataku lebam berwarna biru keungu-unguan. Benjolan kecil itu sangat mengganggu pandanganku.
"Sebenarnya aku di mana? Siapa yang membawaku? Apa motifnya? Mengapa?" tanya hatiku memberondong dengan banyak pertanyaan yang tak mampu aku jawab.
To Be Continued