Surabaya
Bunga POV
Aku membisu sepanjang perjalanan, kendati suasananya jadi terasa menekan perasaan.
"Enaknya makan di mana kita?" tanya Julian minta pendapat.
"Terserah. Aku tidak nafsu makan!" jawabku pendek. Nadaku terdengar ketus.
"Mau makan apa?" tanya Julian sambil mengulurkan daftar menu.
"Kan sudah kubilang, aku tidak nafsu makan, jadi ya terserah!" suaraku masih terdengar ketus.
"Baik, akan kupesankan menurut seleraku yang sehat!" sahut Julian terdengar jengkel, "Flora, bersikaplah dewasa dan rasional. Aku ingin minta maaf kepadamu atas peristiwa semalam dan mohon lupakan peristiwa itu"
"Peristiwa yang mana? Rasanya semalam itu ada sekian banyak peristiwa yang terjadi" dengusku sinis.
"Semuanya"
"Tidak bisa!" jawabku tegas. "Bagaimana mungkin aku bisa melupakan hal itu? Kamu telah menjatuhkan nilai persahabatan kita selama ini."
"Flora, aku benar-benar minta maaf..." kata Julian tersendat. "Hal itu tak akan kuulangi lagi. Aku terpengaruh oleh suasana malam."
Aku terdiam. Aku tahu kini, Julian masih belum paham, kesalahan apa yang dilakukannya. Sudut pandangnya terhadap kejadian semalam masih diwarnai dengan penilaian jasmani.
Melihatku terdiam, lelaki itu menarik napas panjang lagi.
"Flo, kata-katamu yang mengatakan bahwa aku telah membuat hubungan kita menjadi seperti sampah busuk dan barang murahan di pinggir jalan membuatku merasa amat tertekan." katanya kemudian. "Padahal demi Tuhan, sedikit pun aku tak pernah bermaksud seperti itu. Bahkan memikirkannya pun tidak."
"Secara sadar memang tidak. Tetapi secara tak sadar, kamu sendirilah yang menilai hubungan kita dan bahkan diri kita masing-masing ini sampah."
"Jelaskan kata-katamu, Flo..." pintanya kemudian dengan suara memohon. "Aku sungguh tak mampu mencapai jalan pikiranmu"
"Ingat-ingat sajalah apa yang kamu katakan setelah .... setelah kejadian semalam"
"Aku tak merasa ada yang salah."
"Oh begitu?" darahku pelan-pelan mulai menggelegak. "Jadi, artinya kau anggap aku ini wanita murahan yang mau saja bercumbu dengan suami orang? Jadi pikiranmu begitu?"
"Flo, aku sungguh tidak bermaksud seperti itu. Bagaimana mungkin aku menilaimu serendah itu" kataku tergesa-gesa.
"Sudah kukatakan, secara sadar mungkin tidak. Tetapi secara tidak sadar? apa yang keluar dari mulut secara terpeleset adalah yang sebenarnya ada di dalam hati yang tersembunyi."
"Jangan menyamaratakan, Flora"
"Jangan? Lalu apa kalau begitu? Pujiankah yang kamu katakan itu?"
"Jangan sinis seperti itu"
"Lalu apa yang harus kukatakan kepadamu kalau begitu?!" suaraku meninggi hingga Julian menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Aku hanya ingin kesalahanku bisa dimaafkan. Itu saja"
"Memaafkan itu mudah. Tetapi melupakannya itu sulit"
Aku melihat Julian memejamkan mata.
"Aku menyadari itu, Flora. Sebab aku sendiri juga tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Justru karena itulah aku mengkhawatirkan dirimu, agar jangan sampai tertekan oleh rasa bersalah terhadap siapapun termasuk istriku" kata lelaki itu sesudah beberapa saat lamanya terdiam.
Aku tidak menjawab.
"Mungkin aku bicara terlalu blak-blakan ya, Flo...?" katanya kemudian. "Maafkanlah. Aku bicara hanya untuk menjelaskan masalah ini, agar kita juga dapat melihatnya dengan jelas. Setelah itu kita cari jalan keluarnya, agar kita berdua sama-sama dapat melupakan peristiwa itu dan kemudian membuka lembaran baru."
Aku tetap tak mau memberi komentar.
"Flora..." Julian memecah keheningan yang sedang mulai aku nikmati.
"Flora," katanya lagi sesudah beberapa saat lamanya aku tetap tak mau menjawab panggilannya. "Jangan biarkan keakraban dan kedekatan kita dulu ternodai oleh peristiwa semalam. Untuk itu, aku memohon, lupakanlah meskipun aku tahu itu tidak mudah. Seperti kataku tadi, hadapi masa-masa mendatang dengan membuka lembaran baru. Dan satu hal yang harus kamu percaya, bahwa apapun yang terjadi, percayalah, bahwa aku tak berniat buruk terhadapmu. Jadi artinya, juga tak setitik pun aku mempunyai niat untuk merendahkan dirimu."
Seperti tadi, aku masih tetap diam sehingga Julian menjadi jengkel.
"Kalau mau marah terus, silahkan marah!" katanya.
Bola mataku bergerak dan sinarnya menyambar ke wajahnya.
"Flo, terimalah ucapan maafku!" katanya sambol mengulurkan telapak tangannya ke arah tanganku yang bertumpu pada meja.
Aku melirik lagi. Hanya sesaat
"Sambutlah tanganku, Flo. Kecuali kamu belum pernah belajar bagaimana caranya bersopan santun terhadap orang yang beriba-iba meminta maaf kepadamu" katanya.
Bibirku mengetat dan dahiku agar berkerut. Meskipun demikian tanganku mulai bergerak.
"Terima kasih..." katanya dengan suara serak.
Aku diam saja. tetapi mataku menatap matanya dengan pandangan sedih. Aku menyadari ketulusan hatinya.
***
Flora POV
"Astaga! Sudah berapa lama aku di sini. Kenapa tidak ada orang sama sekali. Tolong! Tolong!"
Kembali aku berteriak meminta pertolongan. Saat tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang laki-laki dengan kumis tebal, kira-kira berumur empat puluh tahunan masuk. Kulitnya sawo matang, pakaiannya lusuh, pandangannya tajam dan bengis menyodorkan sepiring nasi beserta lauknya dan segelas air putih.
"Diam! Jangan berisik! Makan dulu agar kamu tidak cepat-cepat sekarat. Menyusahkan saja!" kata laki-laki berkumis tebal itu.
"Siapa kamu! Lepaskan aku! Mengapa kalian menculikku?!" teriakku sambil meronta-ronta minta dilepaskan.
"Jangan banyak bertanya! Jangan berisik! Cepat makan! Atau kau ku lenyapkan sekarang!" bentaknya.
Laki-laki itu mendekat, aku beringsut dari tempat duduk. Dalam panik aku sempat berpikir.
"Aku yakin, dia hanya disuruh seseorang. Kalau aku jual mahal, pura-pura tak mau makan, dari mana aku mendapat kekuatan untuk melawan mereka dan melarikan diri. Ah, aku ikuti saja dulu permainan mereka."
Laki-laki berkumis tebal itu semakin mendekat, lalu berhenti ketika aku menghentikan langkahnya.
"Stop! Jangan mendekat!" seruku.
"Aku mau membuka ikatanmu. Bagaimana kamu bisa makan, kalau tanganmu terikat!" ucap laki-laki itu kasar.
Setelah ikatan di kedua tanganku terbuka, segera aku melahap makananku.
"Rakus sekali kamu! Makan seperti pengemis kelaparan!" kata laki-laki berkumis tebal, yang menungguiku makan.
"Aku lapar. Sudah berapa lama aku di sini. Lepaskan aku. Aku harus menemui keponakan dan sepupuku. Tolonglah! Apa salahku?" pintaku.
"Persetan! Bukan urusanku!"
Setelah aku selesai makan, laki-laki itu kembali mengikatku.
"Tolong lepaskan aku! Jangan ikat aku lagi. Paling tidak obati dulu lukaku. Aku kesakitan. Sebenarnya apa yang kalian inginkan dariku?" rengekku, menurunkan nada bicaraku.
Tanpa banyak bicara dan tidak memedulikan rengekanku, laki-laki berkumis tebal itu langsung keluar dari ruang itu, sambil membawa gelas dan piring bekas makanku. Aku mendengus perlahan. Kecewa saat rengekanku tidak digubris oleh laki-laki berkumis tebal itu.
Perutku terasa begah kekenyangan, hal yang sama sekali belum pernah aku lakukan selama hidup, makan bagai orang kesetanan. Sambil meringis menahan sakit aku beringsut dari tempat dudukku mendekati jendela satu-satunya di ruang itu. Saat tiba-tiba kembali pintu terbuka.
"HEI! Brengsek! Mau ke mana kau. Jangan pikir kau bisa melarikan diri. Semua tempat ini dijaga ketat. Tubuhmu juga terikat. Jangan paksa aku berbuat kasar. Keparat!"
Laki-laki berkumis tebal itu segera masuk dan menyeretku kembali ke tengah ruangan di dekat dipan. Dia mengeluarkan kotak P3K. Mengompres luka lebam di pelipis mataku, lalu memberi obat merah dan memakaikan kain perban. Hal yang sama juga dia lakukan dengan luka di lenganku. Sebelum keluar, kembali laki-laki itu mengancam dengan kata-kata kasar.
"Jangan macam-macam! Atau kau akan membusuk di ruang ini. Aku bisa saja menghabisi nyawamu kapan saja aku mau. Tapi nyawamu terlalu berharga. Akan kutukar nyawamu dengan sebuah pulau berikut ratusan gadis cantik yang akan menghiburku setiap hari!"
Tawa laki-laki itu sungguh menjijikan. Ingin rasanya aku meludahi wajahnya. Setelah semua beres kembali laki-laki itu melangkah keluar dan mengunci pintu ruangan itu rapat-rapat. Sayup-sayup terdengar percakapan laki-laki itu dengan seseorang melalui sambungan telepon.
"Pastikan wanita itu tetap hidup. Beri dia makan dan minum tepat pada waktunya. Jangan biarkan wanita itu mati sebelum waktunya. Julian harus merasakan betapa sakitnya kehilangan seseorang yang dia cintai. Perkatat penjagaan, jangan sampai dia melarikan diri. Besok siang aku kirim helikopter ke situ. Bawa dia ke markas utama."
"Siap Bos!" jawab lelaki di luar ruangan itu.
Seketika tubuhku panas dingin. Belum terjawab rasa penasaranku tentang banyak hal. Kenapa aku berada di tempat ini? Bagaimana dengan orang-orang di rumah? Dengan kekuatan dan kekuasaan Julian bukan tidak mungkin aku akan segera ditemukan. Namun, besok aku sudah dipindahkan ke markas utama. Di mana markas utama itu? Bagaimana jika aku akan dijual ke luar negeri? Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku.
"Shit! Kenapa aku terjebak di sini?" desahku.
To Be Continued