Flashback On
Author POV
Pengalaman pertama biasanya tidak terlupakan. Seseorang pasti bisa menceritakan dengan jelas bagaimana rasanya pertama kali naik pesawat, pertama kali mengenakan seragam SMA, pertama kali bisa menyetir kendaraan, pertama kali hidup jauh dari rumah, dan banyak hal pertama lain. Termasuk pertama kali jatuh cinta. Sampai berpuluh tahun kemudian, besar kemungkinan kita masih bisa mengingat siapa nama orang yang membuat hati kita berdebar untuk pertama kali, melamun sepanjang hari, menulis namanya dan nama kita di dalam gambar hati pada bagian belakang buku tulis atau menunduk tersipu ketika berpapasan di lorong sekolah.
Jatuh cinta untuk kali pertama memang mudah. Tetapi untuk mengungkapkan? Itu urusan lain. Hingga hari ini Dara tidak juga menemukan keberanian untuk menyam- paikan rasa cintanya kepada Devan. Surat cinta yang dia tulis dengan sepenuh hati—kertasnya bahkan disemprot dengan parfum favoritnya—masih tersimpan rapi di dalam amplop putih di sela halaman salah satu buku Harry Potter miliknya. Dara menunggu waktu yang tepat untuk menyerahkan kepada Devan. Namun setiap kesempatan baik datang, nyali Dara ciut kembali. Takut Devan mentertawakannya. Khawatir Devan tidak menganggap serius perasaannya. Bagi Dara, jatuh cinta kali pertama seperti menyerahkan busur panah kepada seseorang, memercayai orang itu untuk menarik tali busur dan mengarahkan mata panah tepat ke tengah jantung kita. Setelahnya kita hanya bisa berharap orang tersebut tidak pernah melepaskan anak panah. Tidak pernah membuat hati kita berdarah-darah.
Sayangnya, dalam kasus Dara, seseorang itu tidak tahu bahwa kini dia memegang kendali atas hati Dara.
Dara berteriak kesal ketika alarm di samping tempat tidurnya berbunyi. Saat sedang membaca siang tadi, tiba- tiba kantuk datang dan Dara memutuskan untuk tidur sebentar. Kalan tidur siang terlalu lama, Dara susah tidur di malam hari. Sambil menguap lebar, Dara keluar kamar. Karena besok di sekolah hanya ada lomba-lomba memperingati ulang tahun sekolah, sore dan malam ini dia bisa melanjutkan membaca. Atau menggambar.
Menggambar apa? Dara mengerang dalam hati. Setiap memegang pensil dan kertas, yang ingin dia lakukan adalah mendesain undangan pernikahannya dengan Devan. Hand lettering yang dibuatnya bukan lagi tentang kutipan-kutipan bijak. Melainkan namanya sendiri. Adara Luna Wardana. Dan nama calon suaminya. Yusril Devan Sebastian. Bukan. Bukan sekarang dia ingin menikah. Tetapi sepuluh atau lima belas tahun lagi. Kalan semua cita- citanya sudah tercapai.
lya, itu semua hanya angan-angan bodoh. Dara tahu. Memangnya ada orang yang menikah dengan cinta pertama mereka? Usianya saja sekarang baru lima belas tahun. Masih anak-anak. Perjalanan hidupnya masih panjang. Harus kuliah setelah ini. Sangat mungkin universitas tujuannya akan berbeda dengan Devan. Beda kota. Beda negara, bahkan. Mereka akan sama-sama punya dunia baru. Pergaulan mereka semakin luas. Kemungkinan Devan akan bertemu dengan gadis lain yang lebih baik dari Dara besar sekali. Demikian juga sebaliknya.
Memikirkan itu semua membuat Dara yakin bahwa menyatakan cinta sekarang tidak akan ada gunanya. Meskipun lebih muda, Dara akan lulus bersama Devan, setelah Dara loncat kelas saat SD, SMP, dan SMA. Secara intelektual, memang Dara bisa mengimbangi Devan. Bahkan melampaui. Namun dari segi emosional dan sosial, Dara merasa belum bisa mengejar. Tidak enak menjadi seseorang yang paling muda dan paling pintar di kelas. Siswa-siswa lain enggan bergaul dengannya. Akibatnya, Dara lebih banyak diam dan menghabiskan waktu dengan buku. Teman-temannya sudah boleh punya SIM dan diizinkan bepergian ke mana-mana sendiri. Sedangkan Dara, karena usia dan peraturan ayahnya, masih harus diantar dan ditemani orang dewasa setiap ingin pergi ke suatu tempat. Kecuali bersama Devan, orangtuanya tidak akan melepasnya pergi dengan tenang hati.
"Apa Mama lihat buku Harry Potter-ku!" Dara masuk ke dapur dan mendapati ibunya sedang mengupas buah di meja dapur. Tadi sebelum tidur Dara membaca di sini.
"Mama sudah sering bilang, Dara, kamu sendiri yang harus merawat barang-barang pribadimu. Setelah dipakai, letakkan di tempat semula. Simpan kembali. Jadi kalau kamu butuh, kamu tidak menanyai orang serumah apa mereka melihatnya atau tidak."
Dara mengerucutkan bibir. Tinggal menjawab iya atau tidak, kenapa malah jadi berkembang panjang begitu.
"Bik Jum tidak bertanggung jawab atas barang-barang pribadimu," potong ibunya, ketika bisa menebak bahwa Dara akan meminta tolong Bik Jum untuk mencarikan barangnya.
"Aku cuma man nanya, Mama, siapa tahu Bik Jum lihat saat beres-beres." Peraturan di rumah ini, seluruh asisten rumah tangga hanya mengurus barang-barang yang dipakai bersama. Seperti ruang tengah dan seisinya. Baju kotor pun, kalan tidak dibawa sendiri ke ruang cuci, tidak akan diambil oleh asisten rumah tangga. Kamar tidur juga harus dibersihkan sendiri.
"Tadi bukunya di sini. Masa Mama nggak lihat?" Dara menarik kursi dan duduk. "Buku Harry Potter, Mama. Warna biru."
"Mama tidak tahu, Dara. Kamu punya banyak buku. Mama tidak hafal."
"Harry Potter yang berbahasa Swedia, Mama. Tadi di sini." Dara mengoleksi buku terkenal tersebut dalam berbagai bahasa. Ke negara mana saja orangtuanya mengajaknya berlibur, Dara membeli edisi bahasa setempat.
"Oh, yang itu, sepertinya dipinjam Devan."
Jawaban santai ibunya membuat Dara hampir terjungkal dari kursi. "Kenapa Mama bolehkan Devan pinjam sih, Ma?!"
"Jangan berteriak di dalam rumah, Dara." Ibunya menatapnya penuh peringatan. "Kenapa dia tidak boleh pinjam? Kamu bisa baca buku yang lain. Seperti bukumu cuma satu saja. Lagi pula, seingat Mama, buku berbahasa Swedia itu hadiah dari Devan."
"Ada suratnya di buku itu," gerutu Dara. "Sekarang Devan mana?"
"Mama tidak tahu Devan di mana. Mama bukan ibunya."
"Kenapa Mama nggak panggil aku waktu Devan ke sini?"
"Mama bilang kamu sedang tidur. Devan bilang dia akan tunggu sampai kamu bangun. Dia duduk di sini, makan es buah dan baca bukumu. Karena kamu tidak bangun- bangun, dia pamit pulang dan meminjam bukumu. Kalau kamu tidak ingin ada tamu menyentuh barang-barangmu, seharusnya kamu simpan . . . mau ke mana kamu, Dara?"
"Ke rumah Devan!" teriak Dara menjawab pertanyaan ibunya.
Dara tidak ada waktu untuk mendengarkan ceramah ibunya. Bergegas Dara mengambil sepedanya di garasi dan meloncat ke atasnya dengan cepat. Hampir menubruk ayahnya yang berjalan membawa kardus besar di tangan.
"Dara, nanti temani Pa—"
"Aku sibuk, Papa!" Sekuat tenaga Dara mengayuh sepeda menuju rumah Devan.
Devan tidak suka membaca buku Harry Potter. Saat menunggu Dara tadi, pasti Devan hanya iseng membuka- buka buku itu di meja. Setelah menemukan amplop putih dengan tulisan kaligrafi palsu 'Untuk Devan' ala Dara di bagian muka, Devan langsung pamit pulang dan meminjam buku tersebut kepada ibu Dara. Pasti seperti itu kronologi kejadiannya.
Memang sekarang sudah terlambat untuk meminta kembali surat tersebut. Tetapi setidaknya, Dara tahu lebih cepat seperti apa reaksi Devan setelah membaca ungkapan perasaan Dara. Tidak suka? Menganggap tingkah Dara konyol?
Kalau harus menunggu sampai besok pagi, ketika Devan menjemputnya untuk pergi ke sekolah bersama, Dara tidak akan sanggup. Bisa-bisa dia tidak tidur semalaman karena sibuk membayangkan Devan sedang tertawa dan menganggap Dara bodoh dan kekanak-kanakan karena menulis surat cinta. Bagaimana kalau Devan sembarangan meletakkan kertasnya? Lalu kedua adik Devan membaca dan mereka mengolok-olok Dara seumur hidup?
"Setiap hari, orang selalu punya satu saat' yang paling dinanti. Ketika ulangan Matematika berakhir. Ketika serial favorit mereka mulai. Aku juga sama. 'Satu saat'yang kunanti selalu tiba di pagi hari. Ketika dia berdiri di depan pintu rumahku, tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. ..."
Dara menjerit memikirkan isi suratnya. Memang dia memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan segala sesuatu. Termasuk perasaannya kepada Devan. Tetapi kali ini, tidak bisakah dia pintar sedikit? Cukup menyukai Devan dalam diam? Tidak perlu menyuarakan dalam surat atau apa pun? Jadi kalau Devan terbukti tidak memiliki perasaan sama, Dara tidak perlu susah payah berusaha menghanguskan barang bukti seperti ini.
Sesampainya di depan rumah Devan, Dara mendesah lega karena sopir keluarga Devan tengah mencuci mobil dan membiarkan pagar rumah terbuka. Tanpa memedulikan sepedanya yang kini ambruk, Dara berlari masuk rumah melalui pintu depan yang juga terbuka lebar.
"Oh, Sayang, hati-hati." Mama Silvia, ibu Devan, tertawa dan menahan tubuh Dara ketika Dara hampir menubruknya. "Kamu mau ke mana, kok buru-buru sekali?"
"Devan . . . ada?" tanya Dara di sela napasnya yang terengah.
"Ada di kamar. Sejak pulang dari rumahmu tadi, Devan tidak keluar. "
Tanpa menunggu Mama Silvia menyelesaikan kalimatnya, Dara berlari menuju tangga. Sejak kecil Dara terbiasa keluar masuk rumah ini. Segala seluk-beluk ruangan Dara hafal di luar kepala. Sudah tidak bisa dihitung dengan jari berapa kali Dara menginap di sini. Mama Silvia selalu ingin punya anak perempuan, tetapi rezeki berkata lain. Ketiga anaknya laki-laki. Karena persahabatan antara Mama Silvia dan Namira—ibu Dara—sangat rapat, maka Dara sering 'dipinjamkan' kepada Mama Silvia. Dengan ketiga anak Mama Silvia pun Dara dekat.
Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, Dara langsung membuka pintu kamar Devan. Terserah kalau Devan sedang telanjang atau apa. Salah sendiri tidak mengunci pintu. Begitu menatap ruangan di depannya, mulut Dara ternganga lebar. Kalau tidak sedang kesal—dan khawatir— Dara pasti akan tertawa terbahak-bahak melihat Devan sedang menari-nari seperti orang gila di tengah kamar. Bokongnya bergerak ke kanan dan ke kiri.
Seandainya dia membawa kamera digital miliknya dan bisa merekam. Semua penggemar Devan di sekolah pasti akan senang melihat kejadian ini. Anak laki-laki yang katanya paling ganteng, keren, dan dewasa, ternyata bisa bertingkah seperti babun begini. Dara menggelengkan kepala. Tidak penting Devan menari menyerupai hewan apa. Misi Dara adalah merampas kembali surat cintanya. Mata Dara melebar melihat kertas di tangan kanan Devan. Sumber malapetaka itu.
"Devan!" teriak Dara sekuat tenaga.
Devan langsung membeku di tempat. Namun sebelum Dara bergerak maju, lebih dulu Devan berbalik dan melangkah dengan pasti ke arah Dara.
"Dara. . .," bisik Devan, seakan memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi.
Seksi. Suara Devan—suara orang dewasa—saat membisikkan nama Dara terdengar seksi sekali. Karena mereka tumbuh bersama, Dara menyadari semua perubahan dalam diri Devan. Seluruhnya. Dari suara melengking kekanak-kanakan, menjadi berat dan sedikit parau.
Devan berdiri menjulang di depan Dara. Pipi tembam Devan hilang sejak mulai masuk SMP. Digantikan tulang- tulang rahang yang semakin tegas. Kelas tiga SMA, tinggi badan Devan sudah mendekati maksimal. Kalau dia tumbuh lebih tinggi daripada ini, orang tidak akan bisa membedakan mana manusia maria pohon kelapa. Meski tinggi, Devan tidak pernah bergabung dalam klub basket sekolah, seperti Juan—sepupu Dara—yang haus ketenaran. Devan adalah pelari jarak pendek tercepat. Bukan hanya di sekolah, tetapi di seluruh negeri. Banyak sekali medali tingkat nasional dan internasional dikumpulkan Devan.
Ini bukan saatnya mengingat kelebihan Devan. Dara membuka mulut, hendak bersuara dan menuntut Devan mengembalikan suratnya. Tetapi kemampuannya berbicara hilang karena Devan tengah memandangnya dengan tatapan yang . . . Dara tidak bisa mengartikan. Tatapan penuh penghargaan. Kekaguman. Bercampur rasa terkejut dan apa lagi? Otak Dara berusaha keras menerjemahkan dan tetap tidak menemukan hasil. Namun Dara merasa dirinya adalah satu-satunya gadis paling berarti di dunia. Di dunia Devan.
"Mau ... ngapain ... kamu?" tanya Dara dengan bingung ketika Devan menyentuh dagu Dara dengan jemarinya.
"Mau mencari masalah," jawab Devan, sambil tersenyum penuh makna.
Dara tidak tahu harus melakukan apa ketika kepala Devan perlahan turun. Napas hangat Devan membelai lembut wajah Dara. Kupu-kupu semakin banyak beterbangan di perut Dara.
Devan mau menciumku! Dara menjerit dalam hati. Seandainya mungkin bagi Dara untuk mengumumkan ke seluruh dunia. Mengenai ciuman pertamanya dengan anak laki-laki yang sangat disukai dan diinginkannya.
"Pejamkan matamu, Dara," perintah Devan.
Bibir Devan kini hampir tidak berjarak dengan bibir Dara.
"Tapi ... aku mau melihat wajahmu...." Dara tidak ingin menutup mata dan kehilangan kesempatan melihat reaksi Devan ketika tahu Dara hanya bisa berdiri mematung seperti orang bodoh. Apakah Devan akan kecewa? Atau menganggap Dara tidak cukup dewasa seperti para remaja perempuan di kelas mereka? Yang seumuran dengan Devan. Lalu Devan memutuskan untuk tidak melanjutkan. melanjutkan apa . . . Dara tidak tahu, karena Dara masih kekanak-kanakan?
"Lihat aku dalam hatimu. " Devan berbisik.
Tidak susah menemukan Devan dalam hati Dara. Karena sejak dulu Devan sudah ada di sana. Menjadi penghuni tetap hatinya. Seandainya saja manusia bisa melihat jauh ke masa depan. Dara ingin tahu apakah Devan dan dirinya akan tetap bersama lima puluh tahun dari sekarang, dan sedang mengulang ciuman ini untuk yang kelima ribu kali.
To Be Continued