Jakarta
Author POV
Lagu I Want to Spend My Lifetime Loving You, mengalun lembut. Itu lagu kenangan Satya dan Anika. Dara tersenyum. Dia tahu lagu itu. Dia tahu bagaimana lagu itu bisa menjadi lagu kenangan Satya dan Anika. Dan dia tersenyum menyadari betapa banyak yang dia ketahui dari pasangan Satya dan Anika. Menjadi bagian dari sejarah hubungan Satya dan Anika.
Ruangan indah itu tampak lebih indah lagi bagi Dara. Kali ini dengan penerangan lampu redup. Membuat suasana jadi terasa sangat romantis.
Dara memandang Devan, tersenyum dan melangkah menatap di belakang Satya-Anika. Kakinya sedikit terasa aneh menapaki karpet kelopak mawar putih. Sepertinya dia sedang berada di negeri dongeng.
Para tamu berdiri merapat. Banyak sekali tamu yang hadir! Padahal Anika sudah takut tamu yang hadir hanya sedikit, mengingat tanggal pernikahan mereka sempat diundur. Semua mata seakan terpusat pada dua insan yang tengah berbahagia. Pancaran aura cinta yang begitu kuat menyebar dari Satya dan Anika. Dara juga dapat merasakan pancaran aura yang kuat itu. Dia turut bergembira bersama Satya dan Anika. Mereka memang pasangan yang sangat serasi. Pasangan yang saling melengkapi.
Saat melangkah pelan, Dara mengalami sensai menyenangkan yang luar biasa.
"Ssstt.... Ssssttt..."
Rasanya ada seseorang yang memanggil Dara.
Dara berpaling dan mendapati Karina tengah mengacungkan dua jempol ke arahnya. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
Dara balas tersenyum, lalu kembali fokus ke jalan di depannya. Ingat, ini pernikahan Anika dan dia hanya jadi bridesmaid. Peraturan utama menjadi bridesmaid: Jangan sampai para tamu lebih memperhatikan bridesmaid daripada pengantin perempuan.
Iring-iringan Anika dan Satya sudah menaiki pelaminan. Dara juga ikut naik, memperbaiki letak ekor gaun Anika, lalu turun lagi.
Acara pemotongan kue pengantin, pemberian kue kepada kedua pasang orangtua pengantin dan saling suap antar pengantin berlangsung meriah. Dara dan Juan bergiliran, memberikan potongan kue kepada Anika dan Satya. Saat Anika dan Satya menyuapkan potongan kue kepada Namira, tampak Namira hanya tersenyum tipis. Tipis sekali, sehingga kalau tidak di zoom, pasti tidak akan terlihat.
"Wedding kiss-nya ditahan dulu ya..." ujar MC lalu berbalik memandang layar besar dan entah sejak kapan sudah berada di sana. "Sekarang, saya ajak hadirin sekalian untuk menyaksikan perjalanan cinta Dimas Satya Wardana dan Anika Prima Maheswari!"
Layar besar itu menampilkan foto-foto Satya dan Anika, hasil karya Devan. Mata Dara terbelalak kaget saat melihat dirinya juga ikut ambil bagian dalam foto-foto itu.
Saat pemutaran video yang merekam acara pertengkaran Satya dan Anika, Anika menutup mata dan merebahkan kepalanya ke bahu Satya. Satya mengelus sayang wajah Anika. Dara tersenyum melihatnya.
"Terima kasih untuk kerabat dan teman-teman kami, adikku Adara Luna Wardana yang sudah dengan jail merekam adegan pertengkaran kami..." Satya mengedipkan sebelah matanya ke arah Dara. "Dan Yusril Devan Sebastian, sahabatku yang sudah membuat perjalanan cinta kami jadi terlihat indah dan menarik!" Satya mengacungkan ibu jarinya ke arah Devan.
"We love you both! Thank you!" ujar Anika sambil meniupkan ciuman ke arah Devan dan Dara.
"Oke!" Mikrofon kembali diambil alih oleh MC. "Sekarang saatnya momen sudah ditunggu-tunggu. Siap, Satya? Siap, Anika?"
Satya dan Anika, saling merangkul, saling memandang dan tersenyum lebar satu sama lain, mengangguk dengan mantap.
"WEDDING KISS!"
Letupan confetti dan taburan gelembung sabun menyemarakkan acara wedding kiss Satya dan Anika. Dari barisan pemain musik mengalun lagu indah yang menyemarakkan suasana.
Dara tersenyum lebar. Inilah cinta sejati yang harus dirayakan dan disuarakan dengan lantang. Agar semua orang dapat mendengarnya. Agar semua orang juga ikut berbahagia.
Hmmm....
Semua orang...
Diam-diam Dara melirik ke arah kedua orangtuanya. Dan.... Dara terkesiap saat mendapati ibunya tersenyum tulus! Ayahnya mengecup keningnya dan tangan Bunda terangkat membelai lembut wajah Ayah. Mungking rasa tidak suka itu memang sudah mencair. Dara mencatat dalam hati bahwa dia harus memberitahukan hal ini kepada Anika.
***
Hara ngeri melihat dua mangkuk soto daging di depan Sultan. Ini hanya makan pagi, makan sebanyak itu. Hari-hari setelah pernikahan Satya dan Anika ini dipakai untuk saling mengenal lebih dalam lagi dengan Sultan. Hara merasa, dia dan Sultan malah seperti orang pacaran.
"Sultan!"
"Ya?" Sultan sudah mulai menyerang mangkuk pertamanya.
"Kamu nggak papa makan banyak kaya gitu?"
"Kenapa? Aku kan laki-laki."
"Nanti kamu buncit, lho!" Hara memperingatkan. "Nggak akan. Aku tetap akan seksi dan kamu tetap akan suka. Karena aku kan rajin renang."
"Ya tapi kan ... makannya diukur dong, secukupnya, jangan berlebihan! Kamu kaya nggak dikasih makan sebulan aja." Sultan tidak tahu mengapa, mungkin keturunan. Papanya makan banyak. Sultan makan banyak. Adam makan banyak. Rama juga makan banyak.
"Kamu makannya yang banyak, kamu kurus." Sultan melihat Hara makan ogah-ogahan. Padahal katanya ini soto kesukaannya.
Sultan tertawa melihat Hara kepedasan dan wajahnya merah sekali.
Hara cepat-cepat mengambil botol minumnya. "Katanya tahan makan cabe?"
"Berisik! Yang tadi itu kurang beruntung." Hara kehabisan air dari botolnya.
"Kalau di sana ... apa makanannya pedes juga?" Hara bertanya sambil mengipasi mulutnya.
"Nggak." Sultan memberikan air minumnya pada Hara. "Mana enak makan nggak pakai cabe?"
Hara mengeluh. "Aku belum pernah coba makan salmon pakai cabe. Kita bisa coba bikin nanti."
"Salmon? Nggak mahal?"
"Nggak, banyak tinggal mancing di dekat sungai aja kalau kamu mau. Kalau kita nggak bisa dapat daging atau ayam di sana, kita makan ikan."
"Gimana tahu halal apa nggak?"
"Tanya sama yang dagang. Nggak semua mau jelasin sih. Ya ... kalau kamu ragu-ragu waktu mau makan atau beli daging, beli aja ikan."
Hara langsung diam lagi. Ini benar-benar akan jadi sesuatu yang tidak mudah. Hara tidak suka makan ikan. "Masa mau makan soto ikan." Hessa terdengar merana.
"Udah, yuk!" Sultan mengajak Hara berdiri, mengambil uangnya dan membayar. "Gimana kalau hari ini kita kencan?" Sultan berjalan di samping Hara, jalan kaki lagi pulang ke rumah Hara.
"Sultan!"
"Apa?"
"Aku suka di sini sama kamu," Hara menjawab dalam hati. "Kita mau ke mana habis ini?" Hara mencoba tersenyum.
"Hmm ... shopping? Mungkin kamu perlu beli baju-baju tebal, kaos kaki, juga sepatu."
"Kamu yang bayar?" Yang menyenangkan dari ini semua, uang milik Hara aman semua.
"Iya." Hara membuka pintu rumah dan Sultan mengikuti di belakangnya. Satya dan Anika belum terlihat di rumah. Hara langsung naik ke kamarnya.
"Kalau kita di sana ... apa kita akan pulang ke sini?" Hara berdiri di depan lemari bajunya yang terbuka lebar.
"Ya. Setahun sekali kita bisa pulang. Aku dapat cuti hampir dua bulan setiap tahun. Jadi bisa pulang dan dua bulan tinggal di sini. Rugi kalau pulang hanya sebentar. Biayanya mahal." Sultan duduk di tempat tidur.
Hara masuk ke kamar mandi untuk mengganti bajunya. "Anika mungkin hamil tahun depan. Apa kita bisa pulang?" Hara keluar dari kamar mandi dan membahas masalah ini.
"Kita lihat nanti. Aku nggak bisa memastikan sekarang."
"Kalau kamu sibuk ... apa aku bisa ke sini sendiri?"
"Nggak." Hara diam menyisir rambutnya. Posisinya tidak baik sekali. Pulang ke sini perlu uang dari Sultan. Sultan sudah membuka semuanya, berapa uang yang dia miliki, juga rencana-rencananya dengan uang itu. Membeli rumah dan rencana besar lainnya, lalu tabungan untuk keadaan darurat, dan sisanya ada di tangan Hara. Tapi menghambur-hamburkan uang untuk sering-sering naik pesawat jelas tidak masuk hitungan.
Tabungan Hara memang ada, tapi tidak ada gunanya juga kalau Sultan tidak mengizinkan pergi. Bukankah dia sudah tahu sejak sebelum menikah, bahwa memang seperti itulah kehidupannya bersama Sultan? Sultan sudah menceritakan pekerjaannya yang sudah dijadwal untuk tahun ini. "Kamu nggak usah memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Nikmati saja waktu kita di sini. Pergi makan ke tempat-tempat yang kamu suka, hang out sama teman kamu, kamu habiskan waktu sama anak-anak."
"Kamu gimana?"
"Aku akan punya banyak waktu sama kamu nanti di sana."
Hara menganggukkan kepalanya sambil berusaha tersenyum.
To Be Continued