Surabaya
Author POV
Gwen menatap keheningan malam berbulan sabit itu lewat kaca jendela kamarnya. Perasaannya teramat baur. Seluruh ketenangan batin yang telah berhasil diraihnya di tahun- tahun terakhir ini, mulai terusik hebat. Pelan-pelan ia memejamkan matanya selama beberapa saat, berharap bisa menenangkan kegalauan batinnya. Namun ketika mata indahnya terbuka kembali, tak secuil pun kegundahan dalam perasaannya berkurang.
Sambil menghela napas panjang, untuk kesekian kalinya Gwen merapatkan lagi kimono suteranya yang melekat di dadanya yang penuh itu. Seakan, ia hendak melindungi dirinya dari rayapan rasa dingin yang menyebar ke seluruh tubuhnya hingga ke relung dadanya.
Gwen sadar betul, rasa dingin yang merayapi sekujur tubuhnya dan yang membuatnya menggigil itu bukan karena ulah AC yang ia setel pada suhu terdingin melainkan karena perjumpaannya dengan Rangga siang tadi di Jakarta, acara pernikahan Satya dan Anika. Hendak ditunjukkannya pada laki-laki itu bahwa dirinya bukan seperti Gwen yang dulu, yang sederhana, lugu dan tak mempunyai kepercayaan diri ini padanya. Tetapi, keinginannya yang agak kekanak-kanakan itu telah sirna sama sekali dari pikirannya dan lenyap pula dari angan-angannya. Ia berhasil menerima kenyataan dan bersekutu dengan realita yang ada, bahwa Rangga adalah masa lalunya belaka.
Gwen harus memompa mati-matian kekuatan dirinya agar tetap tampak tegar dan tenang, seolah pertemuan itu tidak berpengaruh pada dirinya. Tetapi sekarang setelah ia berada seorang diri di kamarnya yang sunyi, ketenangan semu tadi buyar berantakan.
Terkadang, Gwen yang sangat mencintai keluarganya itu menyesali pernikahannya dengan Rangga. Ia tahu betul, keluarganya merasa sedih melihat keadaannya yang berlimpah harta tetapi hatinya kosong. Dan tak jarang pula, Gwen merasa heran menghadapi sikap kedua mertuanya yang manipulatif terhadapnya. Pikimya, intelektualitas seseorang temyata bisa tak seiring dan sejalan dengan kematangan kepribadiannya. Padahal menurut Gwen, ilmu pengetahuan seharusnya bisa mencerahkan pikiran dan budi seseorang serta membuka cakrawala yang lebih luas, memperdalam juga kearifannya. Dan bukanya sikap arogan, snobbish, merasa diri lebih segalanya dari yang lain sebagaimana yang dilihatnya pada keluarga Rangga.
Tetapi yang akhimya membuat daya tahan Gwen mulai luruh adalah keberadaan Serena yang hadir kembali dalam lingkup keluarga Wardana seolah tak boleh hilang begitu saja dari kehidupan Rangga. Belakangan kalau datang berkunjung ke rumah, ibu Rangga atau salah seorang saudara Rangga, hampir selalu mengajak Serena. Yang menyebalkan, entah hanya sekadar mampir saja atau memang sengaja berkunjung, sikap mereka tidak pernah menghargai keberadaan Gwen sebagai nyonya rumah. Mereka bukan saja menganggap Gwen seperti angin, tetapi juga menunjukkan sikap bahwa rumah yang ditempatinya itu bukan kepunyaannya melainkan milik keluarga besar mereka. Bahkan apa pun yang dibeli oleh Rangga dianggap bukan milik Gwen. Dengan enak saja mereka membawa pulang makanan, buah, atau minuman dari dalam kulkas tanpa menganggap perlu untuk mengatakannya kepada sang nyonya rumah.
Mencontoh apa yang dilakukan oleh orangtua Rangga maupun saudar-saudaranya, Serena yang beberapa kali datang sendirian dengan dalih mampir atau mau menumpang ke toilet, juga melakukan hal yang sama. Makanan, kue-kue, majalah, buku dan bahkan yang belum sempat dibaca oleh Rangga maupun Gwen, dibawa pulang begitu saja. Padahal saat itu yang ada di rumah hanya asisten rumah tangga saja.
Meski telah sedemikian jauhnya sikap keterlauan keluarga Rangga dan juga Serena, namun Gwen yang sudah mulai merasa kehilangan rasa sabarnya itu masih berusaha mengendalikan diri sebisa-bisanya. Tetapi tak habis-habisnya ia berpikir, kenapa seorang sarjana plus yang sering melihat luasnya dunia di luar negeri dan sekarang bekerja di sebuah perusahaan asing, serta mendapat kepercayaan dari atasannya, bisa bersikap serendah itu. Bahwa kecantikan fıisk dan keanggunan penampilan seseorang temyata bisa merupakan sesuatu yang semu belaka. Hanya ada di permukaan saja. Tak sampai masuk ke dalam sanubarinya.
Namun Gwen adalah manusia biasa dengan darah dan daging yang sama rentannya dengan milik orang lain. Sering diperlakukan seperti angin akhimya ia tak lagi mampu untuk tetap bisa bersabar seperti semula. Dan lama kelamaan ia juga tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Kejadian ini jauh sebelum kematian anak kedua kami, Rafa.
"Disindir bahkan diteror seperti itu setiap hari, lama kelamaan otakku jadi mampet tak bisa diajak berpikir, Mas. Hasil ujianku jelek semua..." katanya kepada Rangga.
"Bersabar dan berlapang dadalah, Gwen. Daripada menyesalinya, lebih baik belajar lagi untuk ujjan perbaikan!"
"Apakah yang kulakukan selama ini bukan bersabar, Mas?" Gwen yang sudah nyaris berada di ambang batas pertahanan dirinya, menukas perkataan sang suami. "Diperlakukan seperti angin seolah aku tidak ada di dekat mereka dan aku diam saja, apakah itu bukan berlapang dada namanya?"
Rangga memeluk dan mencium pipi sang istri berulang-ulang.
"Maafkan mereka, Sayang. Kalau itu sulit, tunjukkanlah sikap sebagai orang yang lebih matang dan lebih daripada mereka," katanya kemudian. "Lama-lama mereka pasti akan malu sendiri."
"Itu semua sudah kulakukan, Mas," dengan perasaan sebal, Gwen memotong perkataan Rangga. "Bahkan ketika Serena datang sendirian dan merasa dirinya berhak berbuat apa saja di rumah ini, aku juga masih berusaha untuk tetap bersabar dan ini sepertI saranmu itu. Tetapi lama-kelamaan aku tak tahan lagi menghadapi ulahnya yang keterlaluan itu. Setiap kali datang, selalu ada saja yang ditinggalkannya di rumah ini. Entah saputangannya, entah lipstiknya, entah scarfnya. Meskipun ia mengatakan barang-barang itu ketinggalan di sini tetapi aku tahu ia melakukan hal itu secara sengaja karena hendak menunjukkan bekas-bekas kehadirannya yang istimewa di rumah ini!"
"Apanya yang istimewa?" Rangga mendengus.
"Ya semuanya, tentu saja. Kecantikannya, kepandaiannya, kariernya yang bagus, dan terutama tempatnya di hati keluargamu."
"Tetapi tidak di hatiku!"
Gwen ingin mempercayai Rangga, tetapi hatinya mengingkarinya. Apa yang pernah diucapkan oleh Serena kepadanya, tak pernah bisa terlupakan olehnya.
"Meskipun kelihatannya kalem, tetapi Rangga orang yang tak sabaran lho, Gwen!" begitu ia mampir membawakan penganan titipan ibu Rangga.
Waktu itu Gwen sedang menduga-duga adanya udang di balik batu sebab ia tak yakin, kedatangan Serena hanya untuk membawakan titipan itu saja. Rasanya tidak masuk akal, mertuanya sengaja ingin mengirim makanan. Bukankah biasanya apa yang ada di kulkas atau di atas meja makan, diambil begitu saja? Gwen lebih percaya, ibu mertuanya sengaja menyuruh Serena datang untuk mengganggu ketenangan batinnya. Nyatanya, gadis itu terus saja bicara yang bukan-bukan. Dan caranya begitu wajar, seolah menceritakan kisah yang ringan-ringan saja.
"Dan sebetulnya, dia menaruh hati kepadaku," begitu antara lain yang dikatakannya mengenai ketidaksabaran Rangga itu. "Tetapi karena aku lama bersekolah di luar negeri, ia tak sabar lagi menungguku. Maka begitu melihatmu, ia langsung mengambil kesempatan mengisi hatinya yang kosong."
Sebenarnya Gwen tak mau memasukkan perkataan-perkataan semacam itu ke hatinya. Tetapi, ketika berulang-ulang Serena menyindir bahwa dirinya lebih pantas menjadi pendamping hidup Rangga, lama kelamaan hatinya menjadi panas juga. Timbul perasaan cemburu di dalam hatinya. Bahkan diam-diam ia juga mengakui kebenaran ucapan gadis itu. Serena dan Rangga memang merupakan pasangan yang amat serasi, sama-sama sebagai eksekutif muda dengan karier yang cerah. Sama- sama pandai pula. Dan dalam waktu yang relatif singkat sudah menggondol gelar master. Sedangkan Gwen merasa penampilan dirinya lebih tampak sebagai mahasiswi daripada seodang nyonya dari kalangan elit.
Dengan perasaan bimbang, Gwen mulai meragukan dirinya dan menanyakan kebenaran perkataan Serena kepada sang suami.
"Apakah Mas pernah mencintai Serena waktu kalian bersama?" begitu antara lain yang ditanyakannya saat ia mulai kehilangan rasa percaya diri.
"Tidak."
"Tetapi, Serena tidak mengatakan demikian."
"Dia boleh saja bercerita apa saja kepadamu. Tetapi pada kenyataannya, kami memang tidak pernah saling mencintai begitu dalam."
"Tetapi kalian sering pergi bersama kan? Serena bilang begitu!"
"Pergi bersama dan mencintai itu tidak sama, Gwen," Rangga memotong perkataan sang istri dengan perasaan sebal.
Rangga juga sudah mulai kehilangan rasa sabarnya. Bukan hanya karena menghadapi ulah keluarganya saja tetapi juga menghadapi sikap Gwen yang semakin lama semakin memperlihatkan kehilangan rasa percaya dirinya. Padahal laki-laki itu tidak menyukai hal seperti itu. Ia ingin melihat Gwen yang tegar dan memiliki harga diri yang kuat. Ketika itu Gwen lebih mampu memperlihatkan pribadi yang kuat, memegang prinsip-prinsip hidupnya dengan teguh hati dan bersikap anggun. Tidak seperti sekarang.
"Tetapi kata Serena, kamu dulu sangat mencintainya..."
"Itu dulu, Gwen. Dulu sekali, ketika aku masih di awal-awal SMA. Itu pun tidak lama. Apalagi setelah itu Serena bersekolah keluar negeri dan kemudian melanjutkan studinya dengan kuliah di sana pula. Ayahnya bertugas di sana bertahun-tahun lamanya dan aku sudah tidak ingat lagi bagaimana perasaanku itu. Jadi anggap sajalah itu hanya sebuah cinta monyet belaka, yang hilang ditelan waktu."
"Tetapi kata Serena, kamu jatuh hati kepadanya. Dan ketika lama dia tidak pulang ke Indonesia, kamu jadi kehilangan rasa sabar lalu kamu dengan implusif menikah denganku," papar Gwen.
"Terserah kamu lebih mempercayai siapa, Gwen. Aku capek berurusan dengan hal-hal yang sebenarnya sepele seperti itu. Apa tidak ada pembicaraan lain yang lebih bermutu sih?"
Meskipun Gwen mempercayai perkataan Rangga tetapi ia sudah terlanjur kehilangan rasa percaya diri. Setiap ada yang datang berkunjung ke rumah setiap itu pula Gwen semakin merasa dirinya kecil. Hal itu mengakibatkan keluarga Rangga dan bahkan juga Serena, menjadi semakin besar kepala dan semakin menjadi-jadi. Ada-ada saja ulah mereka yang menyebabkan hati Gwen semakin sedih.
Rangga sama sekali tidak menyukai perubahan itu. Dia ingin agar perempuan itu tampil sebagaimana mestinya seorang istri. Sebab bukankah dengan kedudukannya sebagai istrinya, Gwen memiliki posisi yang lebih kuat daripada mereka? Dan bukankah pula ia memiliki hal yang lebih daripada siapa pun untuk bersikap tegas dan berani di dalam rumah tangganya sendiri? Meskipun rumah ini dibelikan ayahnya, namun di sinilah Gwen tinggal dan menjadi nyonya rumahnya. Bukan ibunya, bukan saudara-saudara. Dan terlebih lagi, bukan Serena yang cuma kerabat ibunya.
Maka ketika di suatu saat Gwen mengeluhkan lagi sikap ibu mertuanya, Rangga langsung saja mengatakan apa yang mengganjal di dalam hatinya itu.
"Gwen, tunjukkan kepada mereka bahwa kamu adalah istri yang menikah denganku dalam pernikahan sah 100%. Dan juga bahwa kita menikah karena saling mencintai. Jadi jangan biarkan siapa pun mengintimidasi kita," katanya kepada sang istri. "Maka kalau kesabaranmu sudah habis, tunjukkanlah itu dengan terus terang. Tentu bukan dengan bertengkar atau semacam itu, tetapi dengan sikap yang tegas. Misalnya, kalau kamu mau belajar katakan terus terang kepada mereka. Kamu tidak usah menemani duduk dan mendengarkan apa saja yang mereka ocehkan. Kalau kamu tidak menyukai sikap mereka, katakan pula sejujurnya."
"Dan membiarkan mereka menganggapku tidak sopan dan tak tahu aturan?" Gwen menanggapi perkataan Rangga dengan nada tinggi. "Kamu tidak mengalaminya langsung sih, Mas! Dan persoalannya tidak semudah apa yang kelihatan. Apa pun yang kulakukan atau kukatakan, tidak ada yang betul di mata mereka. Sebab, intinya hanya hanya satu. Mereka itu masih merasa kecewa besar karena tidak bisa melihat Serena menjadi istrimu."
"Apa pun alasannya, mereka harus sadar bahwa aku menikah denganmu karena keinginanku sendiri. Karena yang kudambakan adalah menikah dengan perempuan yang benar-benar kucintai. Dan perempuan itu jelas bukan Serena atau siapa.pun juga."
"Apa bukannya untuk menunjukkan egomu agar keluargamu sadar bahwa dirimu adalah seorang laki-laki dewasa yang berhak menentukan pilihan-pilihan dalam hidupmu..."
"Pikiran seperti itu pasti bukan berasal dari pikiranmu sendiri," Rangga mulai marah. "Kamu pikir aku mengalami masalah kejiwaan dan kamu menjadi sarana penyeimbangnya, begitu? Wah, tampaknya kamu lebih mempercayai perkataan mereka daripada kata-kata suamimu sendiri!"
Kejadian itu bertepatan dengan hari kematian Rafa. Mereka mulai bersitegang adu otot leher. Dan sejak hari itu, rumah tangga Rangga dan Gwen goncang. Mereka juga mulai sering berselisih pendapat dan bahkan bertengkar mengenai hal-hal yang seharusnya tak perlu dipersoalkan. Sesuatu yang sebenarnya hanya sebagai pelampiasan dari perasaan mereka yang tertekan saja. Maka ketegangan demi ketegangan pun mewarnai hari- hari mereka sampai akhirnya Gwen merasa tidak tahan lagi. Terutama setelah melihat beberapa kali Rangga mau saja mengantarkan Serena pulang ke rumahnya setelah dengan sengaja mampir tanpa membawa mobilnya sendiri. Ketika akhirnya hal itu dipersoalkan Gwen, Rangga menjawab dengan kesal.
"Kau harus tahu Gwen, aku mengantarkannya pulang dengan perasaan terpaksa. Sama sekali bukan kemauanku. Seharusnya, kamu ikut bersamaku bukannya membiarkan dia yang duduk di sisiku."
"Kamu tidak memìntaku untuk ikut bersama kalian."
"Memang, sebab aku ingin agar kamu yang memutuskan sendiri untuk ikut mengantarkan Serena. Bukan karena aku yang memintamu untuk ikuf bersamaku mengantar dia. Tetapi karena inisiatifmu sendiri. Kamu berhak untuk mengatakan ya atau tidak, Gwen," Rangga menjelaskan dengan perasaan semakin kesal.
Sebenarnyalah, Rangga ingin sekali melihat istrinya bersikap tegas. la tidak menyukai perempuan yang tak mempunyai keberanian untuk menunjukkan kebenaran. Sayangnya, Gwen tidak memahami hal itu. Sedangkan Rangga tidak mau mengatakannya karena ia ingin agar hal ini muncul dari pikiran Gwen sendiri.
"Tetapi aku tidak ingin melihat wajah Serena jadi mendung seperti mau ada badai besar!" Gwen menanggapi ucapan Rangga tadi dengan ketus.
"Tetapi Gwen, aku lebih suka melihat mendung di wajahnya daripada melihat mendung yang sama ada pada wajahmu!" Rangga melampiaskan apa yang diinginkannya dengan terang terang. "Seharusnya, kamu menunjukkan sikap yang tegas dan jelas. Sebab kamu adalah istriku."
Begitulah yang sering terjadi. Ketegangan demi ketegangan mulai mengisi seluruh sudut rumah tangga Rangga dan Gwen. Dan di titik kulminasi perasaannya,
Gwen pun menyerah. Akhirnya, ia mengajukan keinginannya untuk mengakhiri pernikahan mereka.
"Aku mulai sadar Mas, bahwa cinta saja tidak mencukupi untuk dijadikan bekal membangun sebuah rumah tangga," katanya dengan berurai air mata. "Aku tidak sanggup lagi melanjutkan pernikahan kita yang semakin lama semakin jauh dari harapan kita untuk meraih kebahagiaan..."
"Apa maksudmu, Gwen?" mata Rangga membesar kaget mendengar perkataan sang istri.
"Aku tak sanggup menjadi istrimu lebih lama lagi..."
"Maksudmu, kamu ingin kita bercerai?" Rangga memelototkan lagi kedua belah matanya.
"Ya."
"Dan kamu biarkan dirimu bertekuk lutut, kalah sebelum maju berperang?" Rangga yang tidak mempercayai keinginan Gwen untuk bercerai darinya, tak mampu menahan perasaannya. Betapa pun seringnya mereka bertengkar belakangan ini, cintanya terhadap Gwen tak pernah surut. Dan menempuh perceraian, tak pernah sekali pun masuk ke dalam pikirannya.
"Ya. Dan apa pun istilahnya itu, jawabannya akan tetap sama. Aku tak lagi memiliki kesanggupan untuk melanjutkan pernikahan kita. Dunia dari mana kita berasal terlalu jauh berbeda. Ada banyak jurang di antara kita yang rasanya mustahil untuk diseberangi, Mas. Membuat jembatan untuk mengatasinya, akan membuat kita berdua merasa kecewa dan frustasi karena hanya akan sia-sia saja."
"Rupanya, kamu tidak merasa berat untuk berpisah denganku. Entah, apakah cintamu kepadaku masih ada... aku tak tahu..."
"Aku masih mencintimu, Mas. Amat sangat," Gwen memotong perkataan Rangga yang tersendat-sendat itu. "Justru karena itulah aku ingin pergi dari sisimu sebelum cinta itu tercuil-cuil dan berubah menjadi kebencian."
Saat Gwen mulai kembali menunjukkan harga dirinya meskipun dengan cara yang salah itu, Rangga sudah terlanjur sulit memegang kendali yang semula masih bisa digenggamnya. Gwen betul-betul dan sungguh-sungguh ingin pergi dari sisinya. Apa pun keberatan yang diucapkannya, tak masuk ke hati perempuan itu. Dan mungkin juga ke telinganya. Maka meski dengan air mata darah di hati masing-masing, akhirnya mereka berdua pun mengurus perceraian. Namun demikian, selama menunggu proses perceraian mereka, keduanya menghabiskan malam-malam penuh dengan pelampiasan cinta yang sebentar lagi akan terputus itu.
Setelah perceraian sah mereka terjadi, Rangga yang begitu memikirkan kebutuhan Gwen, memaksa agar mantan istrinya itu mau menerima sejumlah uang guna biaya hidup dan anak mereka. Jumlahnya cukup besar sehingga Gwen menolaknya mentah-mentah.
"Aku tidak membutuhkan uangmu, Mas."
"Apa pun itu, kamu berhak untuk menerimanya karena kamu pernah menjadi istriku dan karena kamu ibu dari anakku, Kasih. Pakailah akal sehatmu, Kasih masih sekolah dan aku tidak sebejat itu untuk memisahkan kalian. Jangan sia-siakan itu," Rangga marah mendengar penolakan Gwen.
"Aku akan bekerja, Mas. Jangan khawatir!"
"Aku tak bisa tidak merasa khawatir, Gwen. Aku bahkan merasa cemas memikirkan dirimu. Kalau kamu tidak mau menerima uang yang menjadi hakmu ini, aku tidak akan bisa hidup dengan tenang selamanya. Ingatlah keadaan orangtuamu, anak kita, dan kebutuhan mereka semua. Mana bisa kamu melanjutkan kuliah dengan tenang?"
"Tak apa, Mas. Setidaknya aku tidak berhutang padamu..."
"Jangan keras kepala, Gwen. Dan bersikap realistislah. Uang itu bukan pemberianku, tetapi hakmu sebagai istri dan ibu anak kita selama kita hidup berdua. Anggap sajalah itu harta gono gini. Apalagi selama kita menikah, aku belum sempat membahagiakan keluargamu."
"Kamu tak usah merasa bersalah karena hal itu, Mas. Keluargaku tidak mengharapkan apa pun darimu kecuali ingin aku bisa hidup berbahagia bersamamu. Bahwa harapan itu pupus, itu soal lain. Kamu tak perlu melakukan kompensasi dalam bentuk apa pun."
"Ini bukan bentuk kompensasi, Gwen. Tetapi karena perasaan cintaku padamu. Aku tidak akan bisa makan dengan enak kalau kamu menolak uang ini. Dan hidupku akan terasa berat membayangkan keadaanmu tanpa uang. Jadi Gwen, jangan mementingkan perasaanmu sendiri. Pikirkanlah perasaanku dan pikirkanlah pula keadaan orangtuamu dan Kasih, kebutuhan biaya kuliahmu dan sekolah Kasih. Kamu tidak kasihan kepadaku dan kepada mereka hanya karena lebih mementingkan harga diri yang tak perlu."
Apa-apa yang dikatakan oleh Rangga secara terus menerus akhirnya membuka pikiran Gwen. Dan meskipun dengan berat hati, uang itu diterimanya juga. Bahkan kemudian ia merasa lega juga karena dengan uang itu ia bisa melanjutkan kuliahnya tanpa membanting tulang yang pasti akan mengurangi konsentrasi belajarnya. Selama ini, dengan uang itu pula ia bisa membantu membiayai kehidupan orangtuanya dan sekolah Kasih. Terlebih setelah adanya suatu perkembangan baru yang sama sekali tak pernah terduga olehnya. Bahkan membayangkannya saja pun tidak. Beberapa bulan setelah perceraiannya dengan Rangga, ia tahu bahwa dirinya hamil. Rupanya malam-malam selama menunggu proses perceraian, pelampiasan cinta mereka itu telah membuahkan keturunan. Sesuatu yang tak pernah datang di saat-saat yang seharusnya.
To Be Continued