Jakarta
Author POV
Rasa kecewa terhadap orang-orangnya membuat Serena enggan datang lagi ke pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Dharma Wanita. Tetapi ketika ganjalan- ganjalan hati itu dikeluhkannya di hadapan Jhonny, tidak mendapat tanggapan yang sekiranya dapat mengusap kekecewaan-kekecewaan yang melukai hati nuraninya itu. Jhonny yang diharapkannya akan memahami dirinya justru menyuarakan kata-kata yang semakin menjauhkan hatinya dari lelaki itu.
"Kamu itu tidak bisa mengikuti arus sih, Ren!" begitu Jhonny menjawab ketika itu. "Sebaiknya kamu tak usah mencari penyakit. Kalau kamu banyak memprotes ini dan itu, bukan saja sia-sia tetapi juga bisa membentur kepalamu sendiri. Bahkan boleh jadi juga, kepalaku ikut terbawa-bawa membentur sesuatu yang bisa berpengaruh terhadap karierku. Ingatlah, sepak terjang istri akan mempengaruhi penilaian terhadap suaminya!"
Serena tak bisa berkata apa-apa lagi kalau pembicaraan sudah sampai ke sana. Jhonny sudah menempati jenjang karier yang sudah mantap atau mapan di kantornya. Dan dalam situasi kehidupan perusahaan yang sudah berkembang sedemikian jauhnya itu, Jhonny begitu saja sudah mengikuti arusnya. Arus yang menyeretnya ke dalam situasi yang mengharuskannya tetap tutup mata kalau melihat ada hal-hal yang tidak pada tempatnya. Hati nurani dibutakan demi kemantapan tempatnya. Dan bersikap pura-pura tak tahu kalau ada hal-hal yang menyimpang. Sebab kalau mau ikut campur apalagi berniat untuk meluruskan penyimpangan itu, ia juga harus berani mempertaruhkan kedudukannya di kantor. Dan itu berarti akan pula berpengaruh kepada stabilitas ekonomi keluarga.
Namun meskipun Serena mengerti jalan pikiran Jhonny, ia tidak bisa menerimanya. Baginya sikap seperti Jhonny itu sikap yang tidak mempunyai kemantapan pribadi. Tak berani bertindak demi kebenaran. Tak berani mengambil risiko, padahal Jhonny sadar bahwa dirinya mempunyai kelebihan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Dan kalau pun tidak, dengan mudah ia bisa pindah kantor. Pernah ada sebuah perusahaan yang menemuinya dengan iming-iming gaji dan fasilitas yang lebih baik dari perusahaan sekarang.
Jelas sudah bahwa semakin lama semakin terasa adanya perbedaan prinsip atau pegangan hidup yang terdapat di antara Jhonny dan Serena. Dan ketidakcocokan di antara mereka berdua pun semakin lama semakin nyata. Ada sekian pandangan hidup dan cara memberi makna kehidupan yang saling bertabrakan. Tetapi sialnya, tidak ada salah seorang pun di antara mereka yang mencoba untuk memahami perbedaan-perbedaan itu sebagai sesuatu yang mau tak mau harus diterima. Sebab perbedaan dan ketidakcocokan sebesar apa pun, mereka berdua adalah suami istri, sepasang insan yang bukan saja sudah terikat tali pernikahan tetapi juga terikat tanggung jawab sebagai orangtua dari dua orang anak yang sedang banyak-banyaknya membutuhkan perhatian mereka secara lahir maupun batin.
Maka tidaklah heran apabila semakin lama mereka berdua semakin merasa hidup dalam suasana yang sangat menekan perasaan. Hubungan manis di awal- awal pernikahan mereka semakin lama semakin pudar dan tak tersisa lagi. Mereka telah tumbuh berkembang dalam kedewasaan yang arahnya semakin berlawanan. Hampir semua pembicaraan mereka diwarnai debat dan saling bersitegang mempertahankan pendapat masing- masing. Sampai akhirnya keduanya sadar bahwa kehidupan pernikahan semacam itu tidak lagi dapat dipertahankan. Sebab segala kemesraan dan kedekatan yang semula membungkus kehidupan mereka berdua, kini telah berubah menjadi ikatan-ikatan yang menyiksa dan menekan hati. Sungguh tak tertahankan lagi,. Dan wadah pernikahan yang semula merupakan tempat yang nyaman dan menyenangkan, kini telah berubah menjadi neraka dunia. Dan hal itulah yang dikemukakan oleh Serena di hadapan kedua wali orangtuanya ketika mereka meminta contoh konkrit yang pernah dialaminya bersama Jhonny.
"Jadi Uncle, Aunty...." begitu perempuan itu berkata lagi sesudah selesai menceritakan hal-hal yang membuatnya tak lagi mampu bertahan untuk tetap hidup bersama Jhonny. "Itulah tadi antara lain contoh-contoh kejadian yang pernah saya alami di dalam kehidupan pernikahan kami. Saya sudah tidak tahan lagi hidup bersamanya. Mohon Uncle dan Aunty bisa memahami perasaan kami berdua. Memaksa untuk tetap menjadi suami istri, hanya akan memperparah keadaan. Tak mustahil kami setiap hari akan bertengkar dan saling melontarkan kebencian, sehingga akan memengaruhi perkembangan jiwa Leon dan Indah. Sedangkan apabila kami jadi bercerai, saya yakin kami tidak lagi akan saling cakar-mencakar tetapi akan menjadi seperti sepasang teman atau sahabat kalau mungkin, yang kebetulan sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap seorang anak yang kehadiran mereka di dunia ini karena kami berdua."
Kedua wali orangtua Serena tercenung lama. Mereka dapat memahami perasaan Serena muapun Jhonny. Bisa dibayangkan betapa menyiksanya hidup di dalam sebuah pernikahan yang begitu rapuh dan gersang semacam pernikahan mereka berdua itu. Tetapi sebagai orangtua yang bijaksana, kedua orangtua Serena tidak mau mengatakan persetujuan mereka begitu saja. Menurut mereka berdua, kalau dicari pasti akan ada celah-celah yang bisa dipakai untuk melihat sisi baik yang ada pada diri Serena dan suaminya itu sehingga paling sedikit, perceraian masih bisa ditunda dan kedua suami istri itu akan mempunyai waktu untuk merumuskan kembali makna pernikahan mereka dan nilai-nilai positif yang bisa diambil.
"Bagaimana Uncle, Aunty...?" Serena bertanya tak sabar.
"Pergi bersantailah dulu di dalam sana, Serena!" sahut pamannya sesudah lelaki tua itu menarik napas panjang. "Aku dan tantemu akan membicarakannya lebih dulu sebelum kami memberi pendapat... apalagi menyetujui keinginan kalian untuk bercerai!"
Serena mengerti permintaan pamannya. la sudah amat mengenai betapa hati-hatinya sang paman akan memutuskan suatu keputusan atau persetujuan yang menyangkut kehidupan penting dalam kehidupan mereka. Maka ia pun pergi ke belakang, masuk ke kamar salah seorang adik perempuannya dan mencoba melupakan persoalan-persoalan yang ada di seputar kehidupannya dengan mengobrol dengan sang adik.
Sementara kedua wali orangtuanya sesudah berbincang-bincang selama bebeapa saat lamanya, dengan diam-diam menghubungi kedua orangtua Jhonny dan membicarakan perjumpaan dengan pihak besan untuk membicarakan masalah yang sama, Jhonny telah melapor dan mengemukakan alasan-alasan apa yang menyebabkan ia dan Serena sama-sama memutuskan untuk bercerai.
Dan akhirnya kedua pasang orangtua itu pun menelorkan satu gagasan yang sama, yaitu meminta Serena dan Jhonny agar sekali lagi memikirkan niat mereka untuk bercerai itu. Alasannya, demi kebahagiaan Leon dan Indah, anak mereka masih sangat membutuhkan perhatian kedua orangtua mereka.
"Kalian berdua dulu hidup begitu penuh dengan cinta kasih dan bergelimang kebahagiaan," begitu paman Serena yang mewakili suara kedua belah pihak orangtua itu berkata. "Cobalah carilah hal-hal yang sekiranya dapat mengembalikan sebagian saja apa yang sudah hilang itu agar kembali mewarnai kehidupan kalian. Mengambil keputusan untuk bercerai hendaknya merupakan langkah paling akhir kalau kalian memang sudah benar- benar tidak mungkin lagi dapat disatukan, dan rumah tangga kalian benar-benar bisa menyebabkan Leon dan Indah ikut terseret dalam penderitaan. Nah, apakah selama ini Leon dan Indah sudah terkena dampak negatif dari keretakan rumah tangga kalian berdua?"
"Barangkali dia sudah ikut merasakannya, Uncle!" sahut Serena.
"Jangan memakai kata barangkali, tetapi jawablah secara jelas," kata paman Serena menyela. "Apakah belakangan ini Leon dan Indah tampak tak bahagia?"
"Tidak Uncle. " jawab Serena terpaksa.
"Jadi itu berarti dia belum terpengaruh." gumam ayah Jhonny ganti menyela. "Jadi Ayah rasa, ada baiknya kalau keinginan kalian untuk bercerai itu ditunda dulu. Janganlah mengambil keputusan tanpa berpikir panjang lebih dulu. "
"Kami sudah berpikir panjang lebih dulu sebelum akhirnya memutuskan rencana kami untuk bercerai itu kami sampaikan kalian" sahut Serena tak sabar. "Sehingga kedua belah orangtua, tidak terkejut kalau apa yang telah kami rencanakan itu menjadi kenyataan."
"Betul... betul...." kata ayah Jhonny lagi. Suaranya terdengar sabar. "Kami percaya, kalian telah berpikir panjang-lebar lebih dulu sebelum masing-masing menghadap kami dan meminta persetujuan kami mengenai rencana perceraian kalian itu. Tetapi Nak, sadarilah bahwa perceraian yang paling baik pun dan paling disetujui demi sesuatu yang lebih baik, tetap saja akan melukai hati anak mereka. Percayalah!"
"Nah, justru karena hal itulah, kami orangtua kalian ini meminta agar perceraian yang kalian inginkan itu ditunda dulu. Cobalah untuk sekali lagi mencari jawaban, apakah memang perceraian bagi kalian akan lebih baik dan tidak akan melukai hati Leon dan Indah!" sambung paman Serena dengan gesit. "Cobalah untuk sekali lagi mempelajarinya!"
"Kami bukannya tidak mau tahu penderitaan batin kalian, Nak!" tante Serena ikut bicara. "Tetapi kami memikirkan hati kedua anak kalian yang masih hijau itu. Jangan sampai mereka menderita. Kasihan, Nak. Kasihan anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang itu. Jangan sampai mereka mengalami hambatan psikologis yang akan berpengaruh pada masa mendatang. Ibu tidak ingin cucu Ibu itu mengalami trauma psikis akibat perceraian kedua orangtua mereka. Jadi sekali lagi, pikirkanlah sekali lagi!"
"Benar kata tantemu itu," sambung ibu Jhonny. "Sebab jangan lupa, kalau kalian bercerai, itu berarti kalian mempunyai peluang untuk mendapatkan pasangan lain. Bagaimana pun juga, kalian masih muda dan fisik kalian termasuk kategori lebih dari lumayan. Pasti akan ada saja godaan bagi janda muda cantik dan duda tampan. Nah, apakah kalian tidak berpikir bahwa semua itu akan menakutkan bagi Leon dan Indah karena dia akan cemas kalau-kalau kasih kalian kepada mereka menjadi berkurang karenanya?"
Baik Jhonny dan Serena menyadari semua saran dan nasihat kedua belah oihak orangtua mereka itu benar. Lebih-lebih karena ibu Serena mencetuskan perkataan yang menggodam perasaan mereka.
"Janganlah kalian berdua menjadi seorang egoistis yang lebih mementingkan diri kalian melebihi kepentingan kedua anak kalian!" begitu tante Serena mencambuk perasaan anak dan menantunya itu dengan kata-katanya yang tajam. Dan berhasil!
Baik Serena maupun Jhonny akhirnya sama-sama bersepakat untuk menangguhkan perceraian mereka bahkan kalau dapat, membatalkannya. Demi Leon dan Dara yang mereka cintai. Maka kembalilah mereka melayari kehidupan pernikahan mereka tanpa berani lagi menyebut-nyebut tentang perceraian. Namun itu bukan berarti hubungan mereka berdua menjadi lebih baik. Sebab pada kenyataannya, mereka bahkan semakin merasa seperti air dengan minyak. Dan belakangan bahkan masing-masing pihak sudah tidak mau tahu urusan pihak lainnya. Serena terang-terangan tak mau lagi ikut campur dengan urusan Dharma Wanita atau apa pun yang ada kaitannya dengan Jhonny.
Mula-mula semua itu tak berakibat apa pun, tetapi lama-kelamaan kesehatan Serena berpengaruh. la jatuh sakit. Macam-macam dan ada-ada saja yang dirasakannya. Dari yang sering merasa lelah tanpa ada sebabnya, sampai kepala pusing-pusing hebat yang sampai membuatnya muntah-muntah. Tetapi dari pemeriksaan medis, tidak terdapat kelainan apa pun. Secara umum, kesehatan fisiknya bagus. Demikian juga segala loto-foto dalam USG, EEG, dan pemeriksaan laboratorium, menunjukkan bahwa ia tidak dalam keadaan sakit. Dan para dokter yang merawatnya sama- sama menyimpulkan satu kesimpulan. Yang sakit pada diri Serena bukanlah fisiknya melainkan pikirannya. Dan itu telah memengaruhi fisiknya. Tekanan dalam batinnya sudah tak tertampung lagi.
Melihat kenyataan semacam itu, kedua belah pihak orangtua Jhonny dan Serena merasa perlu untuk membicarakan semua itu sekali lagi. Dan dari musyawarah itulah mereka semua akhirnya terpaksa menyetujui rencana perceraian anak mereka. Dengan syarat supaya Serena dan Jhonny baru akan mengurus perceraian itu sesudah Leon dan Indah lima tahun.
Dan karena syarat itu memang baik, Serena dan Jhonny pun menerima syarat tersebut. Tiga bulan yang akan datang, mereka akan bercerai secara baik-baik. Dan sekarang, mereka berdua terpaksa masih harus tinggal serumah meskipun segala langkah-langkah ke arah perceraian sudah mulai disiapkan.
"Ajaklah anak-anakmu bicara, Nak," saran paman Serena kepada pasangan suami istri yang berniat akan berpisah itu. "Jangan biarkan mereka seperti boneka yang bisa kalian perlakukan seenaknya saja. Sekecil apa pun mereka berdua, perasaam mereka sama seperti orang dewasa. Bisa sedih, bisa kecewa, bisa tersinggung, bisa terluka, dan bisa marah. Jadi jangan mengejutkan mereka secara tiba-tiba bahwa kalian akan berpisah dan mereka boleh memilih ikut siapa di antara kalian. Itu pasti akan melukai mereka. Jadi sekali lagi pesan Uncle, selama 3 bulan mendatang ini, siapkanlah hati keduanya secara baik-baik dan hati-hati!"
"Tunjukkanlah dan beri pengertian kepada mereka berdua bahwa sebagai ayah dan ibu mereka, kalian berdua sangat mencintai mereka apa pun yang akan terjadi dalam pernikahan kalian!" sambung ayah Jhonny.
"Ayah kalian betul, Nak," Aunty Serena ikut menyambung. "Bagaimana pun juga kalian berdua harus menyadari tanggung jawab kalian sebagai orangtua. Jangan gegabah melakukan sesuatu yang kelak akan kalian sesali sendiri. Sebab perlu diingat sekali lagi, yang paling menderita akibat perceraian suami istri adalah anak- anak mereka!"
"Dan juga yang penting bagi kalian berdua, cara mempersiapkan hati Leon dan Indah dalam menghadapi perceraian kalian berdua nanti hendaklah dilakukan secara bertahap dan dengan bijaksana!" ibu Jhonny tak mau kalah dalam memberi wejangan-wejangan penting. "Ibu sangat prihatin dan berharap jangan sampai perceraian kalian nanti berpengaruh kepada perkembangan psikis mereka sehingga kelak mereka tidak dapat menjadi manusia-manusia dewasa yang matang dan sehat mentalnya!"
Baik Serena maupun Jhonny mengiyakan dan berjanji akan menuruti segala nasihat mereka berempat. Dan begitulah akhirnya, hari itu keputusan untuk bercerai pun telah bulat karena mendapat persetujuan dari kedua belah pihak keluarga meskipun persetujuan itu diucapkan dengan berat hati.
Maka hari ini pun Serena berjalan memasuki rumahnya kembali dengan perasaan baru. Langkah awal untuk nanti menjalani kehidupannya sebagai seorang janda, telah dimulai. Meskipun selama 3 bulan ini mereka masih akan hidup serumah tetapi perpisahan yang menandakan bahwa antara dirinya dan Jhonny sudah tidak ada sangkut-pautnya lagi, akan segera diawali. Mereka bukan lagi sebagai sepasang suami istri. Segala hal yang ada di belakang, adalah masa IaIu belaka, bahkan hanya sebagai sejarah kehidupan saja yang nantinya akan disahlan hitam di atas putih. Apa yang selama ini didambakan yaitu perceraian, sudah di ambang pintu. Langkah kaki sudah maju mendekat ke arah sana. Tinggal menunggu waktu yang tepat.
Sore itu sesudah musyawarah keluarga terjadi di rumah orangtua Jhonny sepanjang pagi hingga siang tadi, Serena mencoba menenangkan perasaannya dengan mandi sore-sore. Dinantikannya kedatangan Leon dan Indah yang dibawa pergi berjalan-jalan oleh Tante Hara selama berlangsungnya musyawarah keluarga tadi. Dan sambil menanti, ia tadi telah membuat cake coklat dengan campuran kacang mete, hasil kreasinya sendiri. Kini penganan kesukaan Leon dan Indah itu telah siap di atas meja teh dan masih memancarkan keharuman dan kehangatannya karena belum lama keluar dari oven.
Serena tidak tahu apakah perasaannya yang lebih mendalam terhadap kasih sayangnya kepada Leon dan Indah itu karena sadar bahwa keutuhan keluarga mereka sedang terancam keutuhannya. Tetapi yang jelas, cake yang dibuatnya tadi ada tambahan resep yang biasa tak terlalu banyak porsinya. Yaitu resep kasih sayang dan keinginan untuk membahagiakan anak-anak.
Ketika akhirnya ia melihat mereka berdua turun dari mobil tante Jhonny dengan riang, matanya menjadi agak basah tanpa ia menyadarinya.
"Terima kasih atas segala-galanya, Tan!" katanya kepada kakak perempuan Jhonny yang mengantar sendiri kedua anak itu.
"Sama-sama, Serena!" sahut Tante Hara yang sebentar lagi juga sudah bukan apa-apanya itu. "Aku hanya ingin menyenangkan anak-anakmu. Dan juga ingin agar persaudaraan dan kedekatan mereka dengan anak-anakku tidak tmenjadi retak oleh... oleh... perceraian kalian nanti. Bagaimana pun, mereka adalah saudara harus saling mengasihi. Jadi Serena, kuharap kamu jangan segan-segan mengatakan kepadaku kalau-kalau ada sesuatu yang tak dapat kamu tanggulangi sendiri. Khususnya kalau itu menyangkut anak-anakmu itu!"
"Sekali lagi terima kasih, Tan!"
Tante Hara tersenyum dan menepuk bahu Serena sebelum minta diri. Katanya sebelum masuk ke dalam mobilnya kembali.
"Bersikap bijaksanalah sedapat mungkin, Serena!"
"Ya, akan kuusahakan!"
"Nah, aku pulang dulu!"
"Hati-hati di jalan, Tan!" sahut Serena dengan haru. "Kuharap, persahanatan kita jangan sampai terputus meskipun nanti.... "
"Pasti tidak, Serena!" kakak Jhonny menyela bicara Serena dengan nada tegas. "Bagaimana pun, aku masih bude kedua anakmu bukan?"
"Ya...." Serena mengangguk dengan bibir bergetar haru.
"Oh ya!" Serena berusaha menunjukkan keriangan hatinya. "Terima kasih tante telah menemani Leon dan Indah ya!"
Sambil melangkah kembali ke rumah menyusul anak-anaknya yang sedang berebut mandi di muka kamar mandi, Serena memejamkan matanya selama beberapa saat lamanya. Memang semakin terasakan adanya sesuatu yang lain di dalam hatinya selain perasaan lega bahwa akhirnya semua keluarganya menyetujui perceraiannya dengan Jhonny. Suatu perasaan asing yang sulit dirumuskan apakah itu merupakan perasaan yang positif ataukah yang sebaliknya? Yang jelas, bisa dikatakan aneh rasanya. Sebab sebelumnya perasaan-perasaan semacam itu tak pernah ada di hatinya.
Mungkin rasa aneh itu karena rumah dan seluruh isinya ini nanti akan menjadi miliknya dan dalam pembicaraan dalam musyawarah keluarga tadi, Leon dan Indah akan tinggal bersamanya sampai mereka berdua nanti mempu memutuskan akan ikut siapa di antara kedua orangtuanya. Berarti, nanti Serena akan menjadi kepala keluarga dan harus mampu menyelesaikan segala masalah yang muncul dalam sebuah rumah tangga. Sendirian, tanpa ada kepala lain yang bisa diajak musyawarah. Dan ia bertekad untuk menunjukkan bahwa keputusannya bercerai dari Jhonny itu tidak keliru.
la akan mampu menjadi ibu dan ayah sekaligus di mata anak-anaknya.
Mengenai harta hasil musyawarah keluarga yang disetujui oleh yang bersangkutan tadi pagi mengatakan bahwa tanah seluas 1.000 meter persegi yang terletak di daerah sedang berkembang yang mereka beli tahun IaIu, menjadi hak Jhonny karena Serena sudah mendapatkan rumah. Dan mobil menjadi milik Jhonny karena lelaki itu lebih memerlukannya. Sedangkan simpanan uang di bank, dibagi dua. Kata mereka semua, itu adalah pembagian yang adil. Jhonny akan dapat membangun rumah di tanahnya apabila separuh dari tanah yang harganya terus membumbung itu dijual. Dan Serena bisa membeli mobil seken yang masih bagus dengan uang bagiannya yang saat itu masih ada di bank dan belum diserahkan kepadanya itu dan selama Serena belum menikah lagi, Jhonny wajib memberi tunjangan hidup baginya dan bagi kedua anak yang ikut dengan mantan istrinya itu. Tetapi selama perceraian belum disahkan secara resmi, roda kehidupan sehari-hari disarankan oleh keluarga mereka masing-masing agar berjalan sebagaimana biasa. Yang berubah hanyalah hubungan antara Jhonny dan Serena yang mulai saat itu sudah boleh dikatakan sebagai orang lain bagi yang seorang dengan lainnya.
Mungkin perasaan aneh yang menghuni hati Serena itu berasal dari kenyataan baru yang mulai terpampag di hadapannya. Sebab tiba-tiba saja ketika ia mendengar suara mobil Jhonny masuk ke halaman rumah, ia merasa tak enak. Saat itu menjelang makan malam dan Mbok Ali sedang sibuk di dapur menyiapkannya. Serena segera saja ke dapur membantunya hanya sebagai usaha untuk menghindari perjumpaan dengan Jhonny tanpa kehadiran orang lain. Dan ia tetap berlama-lama di tempat itu sampai telinganya mendengar suara Jhonny mandi.
Memang lucu kedengarannya, ia tiba-tiba menjadi sungkan terhadap Jhonny. Tetapi itulah yang dirasakannya. Ditunggunya sampai tidak terdengar suara-suara dari arah kamarnya, berharap Jhonny sedang membaca surat kabar Minggu sebagaimana kebiasaannya apabila seharian itu belum sempat menyentuh koran. Lelaki itu suka membaca di teras sambil menunggu saat makan malam. Dengan harapan seperti itu, ketika telinganya sudah tidak mendengar suara dari arah kamarnya dan sesudah meletakkan nasi yang mengepul di atas meja makan serta menutupi seluruh hidangan dengan tudung saji, ia masuk kamarnya.'
Tetapi ternyata perkiraannya bahwa Jhonny sedang membaca koran di teras, keliru. Lelaki itu masih ada di kamar dan sedang sibuk melipat-lipat pakaiannya yang semula tergantung di lemari pakaian dan yang kini bertumpuk di atas tempat tidur.
"Mau diapakan?" tanyanya sambil menekan perasaan tak enak yang tadi mulai muncul kembali di dalam hatinya.
"Mau kubawa ke kamar depan," jawab Jhonny tanpa melihat ke arah yang mengajaknya bicara itu. "Aku tak ingin mengganggu privasimu."
"Jadi maksudmu, seluruh milik pribadmu akan kamu bawa ke kamar depan sana?" tanya Serena lagi.
"Ya. Mudah-mudahan kamu tak keberatan kalau mulai malam nanti, aku akan tidur di ruang kerjaku!" sahut Jhonny sambil masih tetap sibuk melipat-lipat pakaiannya.
"Di sana ada dipan yang bisa kupakai tidur selama aku masih diharapkan untuk tetap tinggal di rumah ini!"
"Aku merasa keberatan?" Serena bersuara dengan nada agak tinggi. "Tentu saja aku pribadi tidak akan merasa keberatan. Dan ada baiknya pula bagi kita berdua untuk mulai belajar memisahkan kehidupan pribadi kita masing-masing sejak sekarang. Tetapi Mas, apakah kamu tidak ingat saran-saran yang diberikan oleh orangtua kita masing-masing tadi?"
"Saran yang mana? Rasanya semua perkataan mereka tadi berisi saran, nasihat, wejangan, dan himbauan!" sahut Jhonny dengan nada pahit.
Kalau tidak sedang dalam keadaan tegang seperti itu, pasti Serena akan tertawa mendengar kata-kata Jhonny. Memang benar, kata-kata kedua orangtua mereka masing-masing tadi seluruh isi pembicaraan mereka hanya berisi saran, nasihat, wejangan, dan himbauan yang tak ada habis-habisnya seolah dia dan Jhonny masih seorang anak sekolah yang baru belajar bermasyarakat.
"Saran yang menganjurkan supaya kita berdua hendaknya jangan melakukan sesuatu yang dapat mengejutkan anak-anak," jawab Serena sabar. "Ingatlah di sepanjang masa pernikahan kita, belum pernah kita pisah kamar. Apa nanti kata mereka kalau tiba-tiba melihat kamu memindahkan seluruh milikmu ke kamar depan padahal tidur pisah kamar saja pun kita belum pernah melakukannya!"
Jhonny terdiam menyadari kebenaran perkataan Serena. Kemudian sahutnya dengan suara yang memperdengarkan makna apa boleh buat.
"Habis, apa yang harus kulakukan? Aku toh tak semestinya lagi tidur di sini bersamamu?"
"Kamu bisa tidur di kamar depan, Mas!" sahut Serena dengan tenang. "Tetapi barang-barang milikmu, biarkan tetap di kamar ini sampai waktu yang lebih tepat!"
Jhonny menganggukkan kepalanya, menyadari saran yang baik itu. Pakaian-pakaiannya yang sudah dilipat maupun yang masih berada pada gantungannya dan berserakan di atas tempat tidur, satu per satu dimasukkannya kembali ke dalam lemari. Serena memperhatikan segala kesibukan itu dengan perasaan yang jelas. Yang nyata, ada semacam kesadaran yang sebelumnya bukan saja tak pernah terpikirkan olehnya, tetapi juga tak pernah melewati ambang kesadarannya. Bahwa dengan adanya perceraian itu nanti, ia dan Jhonny bukan saja akan merupakan dua individu yang tak lagi hidup sebagai suami istri, melainkan juga tidak ada lagi tanda-tanda atau ikatan yang menunjukkan bahwa di antara mereka ada suatu hubungan khusus. Mereka akan pisah kamar, pisah rumah, dan pisah harta milik dengan cara mencabut seluruh akar-akar yang semula ada di bawah kaki mereka berdua sehingga lepas sama sekali. Apa yang semula menjadi milik bersama, menjadi milik Jhonny dan Serena sesudah dibagi adil. Apa yang semula menjadi urusan bersama seperti membicarakan undangan pernikahan dan memilih kado apa yang pantas untuk dibawa, kini bukan lagi menjadi masalah mereka bersama. Atau apabila ada kancing kemeja yang lepas, itu bukanlah urusan Serena lagi. Segala urusan dari persoalan yang semula menjadi masalah mereka bersama, sebentar lagi tak ada kaitannya lagi. Urusan Jhonny adalah urusan Jhonny sendiri. Dan urusan Serena adalah urusan Serena sendiri. Bahkan kehidupan Jhonny adalah kehidupan Jhonny sendiri dan kehidupan Serena adalah kehidupanya sendiri masing-masing dengan privasinya sendiri pula. Dan yang terasa aneh, segala hal yang pernah menjadi bahan pertengkaran dan perbedaan pendapat yang berakibat macam-macam selama ini, sudah pula menjadi sesuatu yang menyejarah. Sudah tidak perlu dipersoalkan, apalagi dibicarakan kembali karena semua itu adalah masa IaIu belaka. Hanya satu hal yang mereka berdua sama-sama menyadari bahwa pernah di suatu masa mereka berdua begitu saling ingin memberi yaitu adanya bukti-bukti yang nyata pada keberadaan Leon dan Indah, kedua anak mereka itu.
Serena mencoba mengusir perasaannya yang tak menentu itu dengan menarik napas panjang dan mengalihkan pikirannya ke tempat lain.
"Kalau pekerjaanmu sudah selesai, sebaiknya kamu makan dulu," katanya kemudian. "Hidangan malam sudah siap."
Jhonny menghentikan gerakannya melipat salah satu dari pakaiannya, menoleh ke arah Serena yang masih berdiri di muka pintu tertutup itu.
"Hmm... jadi... aku masih mendapat jatah makan di sini?" tanyanya kemudian. Ada keraguan dalam pandang matanya.
"Tentu saja, masih. Uang yang kamu berikan sesudah gajian beberapa minggu yang IaIu, masih tersisa banyak," sahut Serena merasa tak enak. Rupanya Jhonny pun sama canggungnya dengan dia, pikir perempuan itu di dalam hatinya. "Lebih-lebih lagi karena kita berdua harus tetap melakukan segala kegiatan hidup sehari-hari seperti biasanya, demi Leon dan Indah. Begitu kan yang tadi disarankan ole kedua belah pihak keluarga kita masing- masing sebelum kita meninggalkan mereka? Dan kita berdua telah berjanji untuk menuruti saran seperti itu demi anak-anak kita. Jadi Mas, kurasa selama 3 bulan menunggu hari ulang tahun anak-anak itu, kita harus berusaha hidup wajar sebagaimana biasanya. Nanti secara bertahap tergantung situasi dan kondisinya, barulah kita pelan-pelan memberitahu rencana perceraian kita ini dengan segala perubahan hidup yang akan kita langkahi di jalur kehidupan berikutnya nanti. Menghadapi dan menjalani realita kehdupan yang pahit haruslah siap mental lebih dulu. Benar seperti kata Bapak dan Ibu, jangan nodai hati anak-anak itu dengan luka batin!"
"Jadi dengan kata yang lebih jelas, kita semua akan menjalani kehidupan sebagaimana biasanya, di hadapan anak-anak kita. Kurasa memang seharusnya demikian agar mereka tidak mengalami kejutan secara mendadak."
"Tiga bulan tidaklah terlalu lama," gumam Serena menghibur. Baik untuk menghibur dirinya maupun untuk menghibur Jhonny. "Tak apa kalau demi anak-anak harus bersandiwara seolah kita masih sebagai suami istri. Begitu pun di hadapan ART. Aku tidak suka menjadi bahan gunjingan orang. Jadi bersikaplah biasa-biasa saja, seolah tidak ada apa-apa di antara kita berdua!"
"Kecuali?"
"Kecuali hal-hal yang paling pribadi kita, menjadi masalah masing-masing. Kita mempunyai jalur kehidupan pribadi yang satu sama lain tak ada sangkut pautnya lagi. Kalau aku mau bekerja, itu adalah hakku dan urusan pribadiku sendiri. Kalau kamu mau berpacaran bahkan mau mencari istri lain sebagai penggantiku, itu juga hakmu dan urusanmu sendiri pula," sahut Serena pelan tetapi tegas. "Singkat kata, kita masing-masing mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri tanpa salah satu pihak boleh ,mencampurinya. Oke?"
"Oke," Jhonny menganggukkan kepalanya. "Memang itu yang harus kita mulai untuk merintisnya sejak sekarang ini. Sebab kalau tidak, perubahan yang terhampar di hadapan kita nanti akan membuat diri kita masing-masing menjadi canggung begitu perceraian disahkan!"
"Aku setuju!" Serena menjawab sambil memikirkan perasaannya yang aneh tadi. Memang benarlah, perubahan-perubahan yang sedang mulai terjadi di hadapannya itu akan dapat membuatnya merasa canggung kalau tidak secepat mungkin diatasi. Baru menyadari bahwa perceraian sudah di ambang pintu saja pun perasaannya sudah kacau. Tidak tahu cara bagaimana berhadapan dengan Jhonny. Harus bersikap dinginkah? Akrab tetapi berjarakkah? Haruskah sikapnya menjadi formal dan melepaskan segala kedekatan yang pernah ada? Yah, memang memerlukan waktu untuk penyesuaian agar tidak terlalu mendadak berada di depannya. Rupanya ada baiknya juga saran kedua belah pihak orangtua yang meminta supaya menunda waktu perceraian itu selama Leon dan Indah belum memasuki umur lima tahun. Sebab bukan hanya kedua anak itu yang akan dipersiapkan untuk menghadapi perceraian oranggtuanya secara setahap demi setahap, tetapi juga dirinya akan mencoba hidup menjanda dengan belajar setapak demi setapak.
Sesudah berpikir seperti itu, Serena memindahkan pandang matanya dari pakaian-pakaian Jhonny yang bertebaran di mana-mana, ke arah yang empunya pakaian itu.
"Lekaslah selesaikan pekerjaanmu Mas, kami menunggu di meja makan!" katanya kemudian sambil bergerak meninggalkan kamar itu.
"Ya."
Serena menutup pintu di belakangnya dan merasakan lagi rasa aneh yang sejak tadi datang dan pergi menggangggu perasaannnya. Pada masa-masa IaIu sebelum mereka berdua sering berdebat dan bertengkar, kalau Jhonny sedang repot dengan barang-barang miliknya, selalu ia akan meminta bantuannya. Seandainya situasi bukan berada di ambang perceraian seperti saat ini, pastilah Jhonny akan berteriak kepadanya kalau ia pergi meninggalkannya.
"Bantu aku melipat pakaianku dulu dong!" pasti begitu yang akan dikatakannya. "Supaya kita bisa segera makan bersama. Perutku lapar nih!"
Tetapi tidak. Hal-hal semacam itu sudah tidak akan pernah lagi terjadi di dalam kehidupan mereka berdua. Semua itu hanyalah tinggal kenangan-kenangan belaka yang ada di belakang punggung kehidupan mereka berdua.
Serena menarik napas panjang dan melangkah menuju ruang makan. Meskipun ia mulai menyadari bagian dari kenyataan hidup itu adalah keinginannya sendiri, yang mau melepaskan dirinya dari ikatan pernikahannya dengan Jhonny, namun sulit mengenyahkan perasaan asing yang sekarang bukan lagi terasa aneh tetapi juga terasa menggetarkannya, ia masih belum tahu bagaimana warna hari esok yang akan dihadapinya nantil ia juga masih belum bisa membayangkan, akan bekerja di manakah nantinya? Dan bagaimana mendidik Leon dan Indah tanpa kehadiran Jhonny, ia juga masih belum mampu membayangkannya.
Satu-satunya hal yang dapat menghiburnya adalah kesadaran bahwa perasaan gentar itu sesuatu yang wajar terjadi. Dia sudah terbiasa saling bahu-membahu dengan Jhonny dalam mengatasi persoalan anak-anaknya. Dan lebih-lebih lagi yang bisa mengusap menjadi pengusap di dalam batinnya dalah adanya kenyataan yang sudah di ambang pintu hidupnya yaitu bahwa ia sekarang bebas melakukan apa pun hal dan pekerjaan yang disukainya. Suatu hal yang pasti sulit didapatkannya apabila masih menjadi istri Jhonny!
To Be Continued