Karina-Juan

Lombok

Karina POV

Bulan lalu, Jakarta tidak ada dalam daftar rencana untuk aku kunjungi. Namun, seperti yang pernah kubilang, rencana dan kenyataan tidak selalu seiring sejalan seperti tubuh dan bayangannya ini semua karena acara besar Satya dan Anika yang penuh drama 

Semalam, setelah kembali dari Jakarta dan bergelung dalam selimut, aku menghubungi Mommy. Percakapan dengan Dara membuatku teringat kepada Mommy. Obrolan keluarga Juna tentang diriku entah kenapa membangkitkan kerinduan kepada Mommy. Aku menyadari bahwa Mommy tidak pernah memandangku sebelah mata sejak pertemuan kami yang pertama. Di mata Mommy, aku bukan sekadar anak pembantu. Aku adalah anak berbakat yang selalu dibanggakannya kepada setiap relasi. Mommy lebih sering memujiku ketimbang Juan, seolah aku memang benar-benar anaknya sendiri. Ingatan itu membuatku menghubungi Mommy meskipun tahu sudah terlalu larut.

Sejak kemarin, aku belum bicara dengan Mommy, padahal biasanya Mommy menghubungiku paling sedikit dua kali sehari setelah pulang ke Jakarta. Aku pikir, Mommy lupa mengisi baterai sehingga ponselnya mati dan tidak bisa kuhubungi. Ponsel Mommy sering kehabisan baterai karena dia bukan tipe orang yang membawa ponsel ke mana-mana. Tidak banyak kontak yang ada dalam ponsel Mommy karena semua urusan yayasan dan kegiatan sosial ditangani oleh Dara. Ponsel Mommy hanya untuk menghubungi keluarga saja. Dulu, ponsel itu lebih sering aku dan Dara yang mengisi baterainya. Dua hari ini, mungkin saja Dara lupa mengisi baterainya. Atau yang lebih parah, Mommy lupa meletakkan ponselnya di mana, sehingga benda itu kehabisan baterai. Itu juga sering terjadi dulu.

Aku lalu menghubungi Dara, bermaksud bicara dengan Mommy melalui ponselnya. Mungkin saja Mommy belum tidur. "Tante sakit, Rin'' Dara menjawab setengah berbisik saat aku menanyakan Mommy.

"Kok nggak kasih tahu aku sih, Dar?" Aku langsung menyibak selimut dan bangun.

"Tante bilang nggak usah ngabarin kamu, biar kamu nggak khawatir. Untuk sementara, dirawatnya di Jakarta saja kok. Lihat perkembangannya dulu. Kata Om, kalau nggak ada kemajuan, baru dibawa ke Mount Elizabeth''

Sekarang aku sudah khawatir. "Dokter bilang Mommy sakit apa?"

"Tante baru saja dibawa ke rumah sakit, sih, Rin. Kemarin dirawat di rumah saja. Tadi dokter Munir minta tante dibawa ke rumah sakit supaya bisa diperiksa lebih teliti lagi. Barusan sudah ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium. Tinggal tunggu hasilnya. Pemeriksaan lain akan menyusul. Semoga nggak apa-apa sih. Tante memang kelelahan karena beberapa hari ini acaranya Ka Satya dan Anika. Apalagi tante sekarang kan vegetarian. Dia jadi pemilih banget soal makanan''

"Aku akan ke Jakarta, Dar'' Aku langsung memutuskan tanpa berpikir.

"lya, aku pikir juga gitu. Walaupun bilang nggak mau merepotkan, tante pasti senang kalau kamu di sini''

Setelah menutup telepon, aku langsung memesan tiket untuk penerbangan pertama yang bisa aku dapat. Aku baru menghubungi Dara setelah berada di ruang tunggu bandara.

"Kalau bilang mau datangnya sekarang, aku bisa urus dari sini, Rin, biar kamu nggak repot. Aku kira kamu datangnya nanti besok'' Lama-lama, Dara sudah mirip Mommy yang ribet untuk soal-soal remeh seperti ini.

"Aku pesan tiketnya online kok, Dar. Sama sekali nggak repot''

"Ya sudah, aku akan suruh Pak Mul jemput kamu di bandara''

Dan di sinilah aku sekarang. Mendorong koper berisi beberapa lembar pakaian menuju pintu keluar terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta.

Aku malah menangkap sosok Juan saat menebarkan pandangan mencari Pak Mul. Aku hanya bisa menghela napas. Aku lebih suka dijemput Pak Mul daripada Juan. Lebih gampang komunikasinya. Pak Mul tidak akan memancing emosiku dalam situasi apa pun.

"Harusnya kamu ngabarin kalau mau datang, biar Devan bisa jemput kamu ke Lombok" Juan mengambil alih koper yang aku dorong.

"Kamu kok di sini sih?" Aku memilih mengabaikan ucapannya.

"Ya, kan, jemput kamu, Rin''

"Aku bisa dijemput Pak Mul atau naik taksi. Kamu seharusnya menemani Mommy di rumah sakit''

"Kondisi Mommy baik-baik saja. Kalau kondisi Mommy nggak bagus, kamu sudah dihubungi dari kemarin. Lagian, ada Papa dan Dara di rumah sakit. Ada dokter juga. Mommy lebih butuh dokternya daripada aku''

Jawabannya selalu seenaknya. Khas Juan. lya, Mommy memang butuh dokter, tetapi kehadiran anaknya di sisinya adalah dukungan moril yang sangat dia butuhkan.

"Kita langsung ke rumah sakit, ya," kataku setelah mobil yang dikemudikan Juan keluar dari area bandara.

"Nggak mampir naruh koper ke rumah dulu? Bisa istirahat juga. Kamu pasti cape''

Aku nyaris memutar bola mata. Dara sudah memberi tahu rumah sakit tempat Mommy dirawat. Tempat itu dan rumah Mommy lumayan jauh.

"Lombok hanya dua jam dari Jakarta. Lagian, pulang ke rumah dulu praktis."

"Langsung ke rumah sakit saja. aku mau ketemu Mommy''

"Mommy beneran nggak apa-apa. Begitu lihat kamu, Mommy pasti langsung sembuh"

"Mommy sakit kok kamu tenang-tenang saja sih?"

Juan sama sekali tidak terlihat khawatir, dan itu membuatku sebal. Aku sudah ketar-ketir sepanjang perjalanan. Dua jam jadi terasa sangat lama.

"Hasil laboratorium sudah keluar, Rin. Semuanya normal. Dokter bilang Mommy hanya kelelahan saja. Dia hanya butuh istirahat dan makan yang cukup. Dara juga sudah bicara dengan dokter gizi Mommy. Jadi setelah keluar dari rumah sakit, semua kebutuhan gizi Mommy bisa tetap terpenuhi meskipun dia sekarang vegetarian. Sudah diatur oleh dokternya''

Aku sedikit lega mendengar Mommy baik-baik saja. "Kalau nggak bisa duduk tenang di dekat Mommy, kamu harusnya ke kantor. Lebih produktif daripada jalan-jalan nggak jelas kayak gini''

"Jalannya jelas, kok. Kan, jemput kamu''

Lebih baik diam saja, karena seperti kebiasaannya dulu, Juan selalu bisa mementalkan apa pun yang aku katakan kepadanya. Kalimat seriusku akan dibalasnya santai. Lagi pula, apa pun yang dilakukan laki-laki itu, toh, bukan urusanku. Aku membuang pandangan keluar jendela mobil, berharap Juan tidak mengajakku bicara lagi.

"Kok ke sini?" Aku tidak bisa bertahan diam saat melihat Juan berbelok masuk ke sebuah kafe.

"Kamu pasti belum makan kalau jam segini sudah di Jakarta. Sekarang masih susah cari restoran yang sudah buka, jadi sarapan sandwich dan teh saja dulu sambil nunggu makan siang diantar dari rumah. Di sini sandwich-nya enak''

Aku tidak membantah karena perutku mendadak lapar begitu mendengar kata sandwich. Semalam, aku tidak makan di pesta keluarga Juna. Makanan terakhir yang masuk perutku adalah gado-gado, makan siangku kemarin.

"Duduk saja'' Juan menunjuk meja di dekat dinding kaca. "Biar aku yang pesan makanannya''

Aku menurut. Sambil menunggu Juan, aku mengamati kafe itu. Suasananya nyaman dengan interior bergaya retro. Aku belum pernah ke tempat ini. Juan mungkin baru menjadi pelanggan setelah kami berpisah. Atau dia hanya tidak pernah mengajakku ke sini. Kemungkinan terakhir itu membuatku merasa sebal.

Mungkin karena masih pagi, tidak ada pengunjung selain kami berdua. Aku mengeluarkan ponsel dari tas, lalu mulai mengaktifkannya. Aku sedang bicara dengan Mbak Nia ketika Juan datang dan duduk di depanku. Aku tidak sempat mengabari Mbak Nia saat akan berangkat tadi. Rasa khawatir membuatku hanya fokus kepada Mommy.

Aku baru menutup telepon saat pelayan datang dan meletakkan pesanan kami ke atas meja. Wangi teh panas yang mengepul di depanku benar-benar menggugah selera. Karena masih terlalu panas, aku memilih menyuap sandwich lebih dulu. Juan benar, sandwich-nya enak.

"Kamu nggak makan?" Aku mendorong piring yang masih berisi satu potong sandwich ke depan Juan.

"Tadi sudah makan di rumah sakit'' Juan mendorong piring itu kembali ke depanku. "Kamu saja yang makan. Nanti pasti ikutan malas makan kalau sudah mengurus Mommy. Mommy kan manja kalau lagi sakit. Jangan sampai kamu malah ikutan sakit. Kamu belum tidur sejak semalam pas tahu Mommy sakit, kan?"

Aku terus mengunyah sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan Juan. Ponsel yang kuletakkan di atas meja tiba-tiba berdering. Nama Juna muncul di layar. Semalam, dia sempat menelepon, tetapi tidak kuangkat. Aku hanya membalas pesan yang dikirimkannya dan mengatakan sudah sampai di Lombok.

"Nggak diangkat?" Juan menunjuk ponselku.

Aku menggeleng. Rasanya malas bicara dengan Juna. Memang bukan dia yang menjelek-jelekkan aku dan kekanakan menyalahkan dia untuk perbuatan orang lain, tetapi aku tidak sedang ingin bijak sekarang.

"Biar aku yang angkat'' Juan meraih ponselku.

"Jangan diangkat!" ucapku spontan.

Terlambat, Juan sudah menerima panggilan Juna.

Aku hanya bisa menatapnya sebal dan pasrah. "lya, ini memang ponsel Karina"

"Saya mengangkatnya karena Karina nggak mau menerima telepon dari kamu" Juan mengedik saat melihatku memelotot kepadanya. "Kenapa? Kan kamu yang bilang nggak mau angkat. Aku nggak bohong, kan?"

Dasar kekanakan! Aku berusaha merebut ponselku dari tangannya, tetapi Juan berdiri sehingga aku gagal meraihnya. Aku tidak mau terlihat ikut kekanakan, jadi memilih duduk kembali dan menghabiskan makananku. Aku mengabaikan Juan yang membawa ponselku menjauh dan melanjutkan percakapan dengan Juna. Aku tidak bisa menangkap apa yang dia katakan dari tempatku duduk.

"Kamu nggak perlu mengangkat telepon dari dia lagi sekarang" Juan meletakkan ponselku ke atas meja setelah kembali duduk di kursinya.

"Maksud kamu?" Aku menatapnya curiga.

"Nomornya sudah kublokir''

"Apa... ?" Aku tidak bisa menahan suaraku yang meninggi.

"Nomornya sudah kublokir," ulang Juan santai. "Jadi kamu nggak perlu repot-repot lagi ngangkat telepon dari dia'' Aku melepaskan cangkirku pelan-pelan, lalu menarik napas dalam dan panjang sebelum mengembuskannya. Sulit sekali menghadapi laki-laki bertubuh dewasa, tetapi kadang sengaja menolak memakai otaknya seperti Juan ini. "Kamu nggak bisa melakukan itu!"

"Tentu saja bisa. Cek saja kalau kamu nggak percaya nomornya sudah aku blokir''

Sabar ... sabar ... sabar.... Aku mensugesti diri sendiri. "Maksudku, kamu nggak bisa memblokir nomor orang lain dari ponselku seenaknya kayak gitu. Dia itu rekananku. Aku punya bisnis dengan dia!"

"Bisnis kita akan baik-baik saja kalau hanya kehilangan satu pelanggan"

"Satu orang pelanggan itu bisa membawa pelanggan yang lain, atau sebaliknya, bisa membuat kita kehilangan pelanggan yang lain''

"Aku nggak mau berdebat soal laki-laki itu dengan kamu, Rin''

"Kita berdebat soal pelanggan" Aku juga malas berbantahan dengan Juan sekarang. "Lebih baik kita ke rumah sakit saja"

Aku berdiri mendahuluinya. Aku ke Jakarta karena Mommy, jadi tidak akan menghabiskan waktu untuk berdebat dengan Juan.

To Be Continued