Sultan-Hara

Jakarta

Author POV

"Bawa buku-buku yang kamu sukai dari sini," Sultan memberi tahu saat mereka masuk ke toko buku.

"Lebih menyenangkan membaca buku yang pakai bahasa Indonesia, kan?" Sultan mengambil sebuah majalah dari rak.

"Iya. Tapi kan ada e-book." Hari ini dia mengajak Sultan ke mall lagi, nonton film dan ke toko buku.

"Lebih menyenangkan baca buku seperti itu." Sultan menunjuk deretan buku di rak di depan mereka.

Hara membenarkan dalam hati apa yang dikatakan Sultan.

"Nanti aku ajak kamu ke perpustakaan di sana, dekat dengan flat kita. Kamu bisa baca buku di sana. Buku berbahasa Inggris, jadi nggak perlu beli."

Sultan mengikuti Hara pindah untuk melihat-lihat buku dongeng.

"Aku sudah baca hampir semua buku dongeng di sini," Hara memberi tahu, mengambil secara acak buku Charles Dickens.

"Oh ya? Kamu geek juga ya." Sultan tertawa.

"Nggak. Aku bukan geek."

"Apa kamu juga delusional? Kamu pasti membayang-bayangkan didatangi pangeran tampan yang menyelamatkanmu dari penyihir jahat."

"Nggak!" Hara membantah.

"Bohong!"

"Aku cuma membayangkan aku naik unicorn."

"Nanti malam baca dongeng buat aku ya, Hara?" Sultan merangkul pinggang Hara.

"Jangan kaya anak kecil!" Hara tidak mau melakukannya.

"Kamu nggak mau, ya?"

"Ya nggak mau. Malu." Hara menjauh dari Sultan.

"Tapi aku pengen denger. Kaya yang di video-video kamu itu."

"Ya, lihat di internet sana!"

Sultan mengikuti Hara berpindah lorong lagi.

Hara membeli juga buku kerajinan tangan, tentang merajut, menyulam dan apa saja yang bisa dipelajarinya dan dilakukannya nanti di sana. Untuk membuatnya sibuk, selain dia akan kursus bahasa, kalau Sultan tidak sempat mengajarinya. Hara harus bisa bahasanya karena beberapa kali pembicaraan dengan Sultan, Sultan menyiratkan untuk mengajak Hara tinggal sangat lama di sana.

"Aku udah selesai." Hara memberi tahu Sultan.

Sultan bersisian dengan Hara menuju kasir untuk membayar semua belanjaan Hara.

"Ada yang mau dibeli lagi?" Sultan menoleh kepada Hara sebelum menyerahkan kartu kreditnya.

Hara hanya menggeleng.

"Apa kita akan jalan-jalan begini juga nanti di sana?" Hara bertanya saat mereka berjalan keluar.

"Tentu saja. Di sana banyak tempat bagus."

"Apa aku boleh pergi sendiri kalau kamu kerja?"

"Boleh. Nanti di sana aku kasih tahu caranya. Kamu akan senang di sana. Santai saja." Sultan merangkul pundak Hara.

"Semoga aja ya." Hara juga berharap semua akan mudah untuk mereka berdua.

***

"Kamu kelihatan lebih bahagia, ya?" Sarah tersenyum mengamati wajah Hara. Hari Minggu ini Hara berkunjung ke rumah Sarah, sebelum Hara meninggalkan Indonesia. "Ya. Aku nggak ada masalah nikah sama Sultan. Kecuali bagian aku harus pindah ke Swiss itu." Hara meminum orange juice-nya sampai habis.

"Seleramu berubah banget. Dari cowok gaul nggak memikirkan masa depan kayak si ... mantan kamu itu ... jadi ke Sultan cowok model-model juara kelas." Sarah berkata sambil tertawa.

"Biasa aja. Hanya dia itu mau kerja keras dan punya rencana yang jelas." Hara ikut tertawa setelah menjawab.

Sultan tidak pernah membahas sesuatu yang sulit dimengerti oleh Hara. Sultan mungkin penganut paham kepintaran itu seperti pakaian dalam. Sesuatu yang penting tapi tidak perlu dipamer-pamerkan. Sultan tidak terobsesi menceritakan kehebatannya, kecuali Hara yang bertanya lebih dulu.

"Har!"

"Apa? Ngelamun dikit tadi." Hara mengambil sepotong pizza buatan Sarah di meja.

"Habis ini kapan kita ketemu lagi, ya?"

"Mungkin tahun depan. Kalau anakmu udah lahir."

"Nanti aku bisa liburan ke sana, Har. Ya, kan?"

Hara hanya tertawa.

"Mending kamu ke Prancis, Italia atau Spanyol. Kata Sultan di sana lebih hangat."

"Nggak ketemu kamu, dong."

"Ya aku sama Sultan ke sana."

Hara menjawab dengan cukup yakin, dengan catatan kalau Sultan tidak sibuk.

Hara berdiri di dapur Sarah, memanggang sayap ayam. Makanan kesukaan mereka berdua. Di belahan dunia mana pun, rasanya Hara tidak akan bisa menemukan sahabat seperti Sarah.

"Jangan dicabein!" Sarah sekali lagi mengingatkan Hara.

Hara hanya tertawa. Dia akan menyiapkan APAR kalau lidah Sarah kebakaran.

"Udah gede kok nggak doyan makan cabe." Hara menyelesaikan tugasnya dan membawa ayam-ayam itu ke meja makan.

"Kamu dijemput jam berapa, Har?"

"Habis ini." Hara menerima piring dari Sarah.

"Sultan nunggu kamu di mana?"

"Di rumah."

"Aku pengen suamiku kaya gitu. Dia sih kalau nggak diiket di kursi bakalan mencelat ke mana-mana."

"Tahu nggak, Sar?"

"Apa?"

"Hidupku bakal terasa sempurna kalau Sultan itu tinggal dan kerja di sini."

"Kamu secinta itu sama dia ya, Har?" Sarah tersenyum menatap Hara.

Hara tidak pernah memikirkan itu. Mungkin sebelumnya mereka adalah dua orang yang benar-benar asing, tapi sama-sama berkomitmen untuk menjalani pernikahan ini sebaik-baiknya. Bukankah banyak pasangan juga seperti itu? Berawal dari dua orang asing yang sebelumnya tidak saling kenal. Lalu takdir membuat mereka berpapasan. Di sekolah, di kampus, di tempat kerja, di kafe, di mana saja. Lalu salah satu tertarik dan mencari tahu. Kenalan. Berteman. Sama-sama jatuh cinta. Pacaran. Menikah jika memang ditakdirkan.

"Ya. Mungkin aku secinta itu sama dia."

Mungkin. Hara belum yakin. Orang-orang bilang, cinta itu kalau kita rela melakukan apa pun untuk orang yang kita cintai. Meskipun itu bertentangan dengan keinginan kita. Meskipun itu hal yang paling tidak kita sukai. Keinginan mereka lebih utama daripada keinginan kita. Hara tidak dengan senang hati meninggalkan negara ini untuk hidup dengan Sultan Swiss. Hara terpaksa melakukannya. Bukan dari hatinya.

Hara baru menikah kembali, belum genap dua minggu umur pernikahannya. Semuanya masih tampak seperti surga.

***

"Kamu udah makan?" Sultan menjemput Hara di rumah Sarah.

Sultan tidak percaya dia akan menanyakan ini pada wanita ini lagi dalam hidupnya. Sebelum ini dia tidak pernah peduli orang sudah makan apa belum. Tanpa Sultan sadari, naluri untuk lebih perhatian kepada istrinya muncul begitu saja.

"Ngemil-ngemil aja tadi." Hara menyalakan radio di mobil.

"Mau makan di luar dulu sebelum pulang?"

"Mau makan bakso."

Sultan sudah tahu tempat favorit Hara untuk makan bakso. Di belakang Kantor Pos.

Sultan membawa Hara untuk berpamitan dengan bakso favoritnya.

Hara duduk setelah mengatakan pesanannya, bakso tanpa tahu putih.

"Biasa aja ngasih cabenya." Sultan heran melihat Hara menuang cabe cair banyak-banyak.

"Nggak papa. Ini enak. Kamu payah nggak doyan cabe."

Sultan tidak pernah mengerti apa enaknya cabe, hanya membuat lidahnya sakit dan mati rasa. Tidak bisa merasakan enaknya makanan.

"Kamu kenapa?" Sultan melihat mata Hara berair.

"Pedes."

"Kita bisa bikin bakso juga nanti di sana. Daging giling kan ada."

"Sultan...!"

"Apa?"

"Aku foto sama Sarah tadi." Hara menunjukkan HPnya pada Sultan.

"Kalian cantik."

"Lebih cantik Sarah atau aku?"

"Jawaban sebagai laki-laki atau suami?" Sultan mengembalikan HP Hara.

"Laki-laki."

"Lebih cantik Sarah," Sultan menjawab dengan jujur.

"Huh! Kalau suami?"

"Kamu paling cantik." Sultan mengacak rambut Hara.

"Kamu ngeselin, ah!"

"Orang jawab jujur dibilang ngeselin."

Sultan menunggui Hara yang makan lebih lambat darinya.

"Ayo pulang!" Sultan berdiri dan mengajak Hara pulang setelah Hara meletakkan gelas esnya. Hara mengangguk dan berjalan lebih dulu ke mobil sementara Sultan membayar makanan mereka.

***

Sultan menarik Hara agar duduk lebih dekat dengannya. Sultan senang saat-saat seperti ini. Saat dia dan Hara membicarakan apa saja. Berbaring santai di tempat tidur. Sultan bukan orang yang suka bicara banyak, apalagi membicarakan dirinya sendiri. Sultan merasa hidupnya membosankan dan tidak menarik untuk diceritakan. Tapi Hara mendengarkannya bicara, tidak menyela, tidak mengantuk, dan memperhatikan seakan-akan cerita Sultan adalah cerita paling menarik sedunia.

"Kenapa kamu nggak ikutan sama temenmu itu?"

"Ikut apa?"

"Making love sama cewek-cewek di sana."

"Buat apa? Buang-buang waktu. Aku tetap kerja kalau ada waktu luang. Lainnya ya belajar."

"Pasti banyak cewek yang deketin kamu, ya?"

"Kenapa kamu pikir gitu?"

Hara sudah meneliti bagaimana penampilan Sultan, bajunya, celananya, sepatunya, dan lain-lainnya. Untuk orang yang lebih banyak hidup di lab dan mengaku cuek dengan penampilan, he is fashionable. Jauh lebih baik daripada teman-teman kerja Hara dulu.

"Ya kan sekali lihat bisa bikin tertarik."

"Aku nggak peduli dengan hal-hal seperti itu."

"Kamu sih hidupnya serius amat."

"Aku lebih suka diakui orang karena hebat, bukan ganteng "

"Tidur, yuk!" Sultan berdiri untuk mematikan lampu.

"Jangan tidur dulu! Nanti cepet pagi."

Hara tidak ingin hari-hari cepat berakhir dan tanggal keberangkatannya ke Swiss semakin dekat.

"Jadi kita nggak tidur? Danish class?" Sultan langsung duduk lagi.

"Apaan?" Hara tidak mengerti.

"Pillow way yang kubilang itu. "

Hara tidak tahu bagaimana Sultan bisa begini. Saat bersama keluarga Sultan, Sultan kadang-kadang bicara walaupun tidak sering. Dengan keluarga Hara, Sultan lebih banyak diam. Bicara sopan dan seperlunya. Tapi Sultan bicara banyak kalau di kamar begini.

"Aku tidur kalau gitu." Sultan memejamkan matanya karena Hara tidak menjawabnya.

"Jangan dong, Sultan!" Hara memaksa membuka kelopak mata Sultan dengan jarinya.

"Sultannnn!" Hara mengguncang lengan Sultan.

"Apa, Sayang?" Sultan tertawa.

"Kamu panggil aku sayang?" Hara membuka matanya lebar-lebar.

"Apa kamu nggak suka? Kalau nggak suka, aku nggak akan lagi........ "

"Suka.... kalau kamu mau ulangi lagi." Hara tersenyum menatap Sultan.

"Dengan senang hati, Sayang.. "

Sultan mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Hara.

"Aku nggak mau kamu merasa dilecehkan dan direndahkan kalau aku melakukan ini." Sultan menatap Hara tepat di matanya. Kalau Sultan tidak menghormati keinginan Hara dan melakukannya tanpa seijin Hara, Sultan tidak lebih dari seekor binatang.

Hara diam sebentar, mengerti apa yang dimaksud Sultan.

"Apa setelah ini aku akan bisa bahasa Swiss dengan lancar?" Hara bertanya.

Sultan terkekeh. "Kalau kita rajin melakukannya ... kurasa ... ya, kamu akan lancar."

Hara memejamkan matanya saat bibir Sultan bergerak ke telinganya.

To Be Continued