Bab 13-Swastamita

Sedetik yang lalu dunia menghitam

bukan karena matahari terbakar legam

atau bulan terjerembab lebam

semua karena swastamita

kala hari dijinjing sandyakala

menuju haribaan kali dan kalima

Acara lomba makan buah itu berakhir ketika Ratri Geni buru-buru bangkit berdiri dan berlari cepat ke arah sungai. Tak lama kemudian diikuti Pramesti Sarayu. Raden Soca dan Jaka Umbara hanya memandang dengan tatapan heran. Ada apa dengan dua gadis itu? Sima Braja menggeram-geram pelan seolah sedang mentertawakan sesuatu yang baginya sangat lucu. Sementara Siluman Wulung tidak jauh berbeda dengan tuannya. Menunjukkan ekspresi keheranan dengan kepala digeleng-gelengkan.

Tak lama berselang Ratri Geni melenggang datang. Nampak sekali raut mukanya menggambarkan kelegaan yang luar biasa. Disusul kemudian dengan kedatangan Pramesti Sarayu. Tidak lega. Mulutnya bahkan sedikit ditarik menahan rasa nyeri di perutnya yang masih melilit-lilit.

Raden Soca memalingkan mukanya sambil menahan tawa. Rupanya kedua gadis itu diserang perut kembung akibat kebanyakan makan buah rambutan hutan. Salah sendiri sombong. Tidak mau minta dan juga tak mau berbagi. Raden Soca membayangkan betapa tadi keduanya terbirit-birit sambil menahan sakit di perut yang memberontak hebat. Raden Soca mengikik tertawa tanpa bisa ditahan lagi. Membayangkan kedua gadis itu jongkok berjajar di sungai yang sempit di bawah sana. Tanpa bisa dikendalikan lagi tawa pemuda itu meledak hebat.

Jaka Umbara nyaris berpikiran sama dengan Raden Soca. Pemuda yang pendiam dan jarang tertawa itu mengangkat tangannya pamit untuk pergi sebentar dari tempat itu. Setelah dirasa cukup jauh dan tersembunyi dari pandangan semua orang. Jaka Umbara melepaskan tawa lepas. Cukup keras untuk terdengar oleh semua orang. Jaka Umbara lupa bahwa meskipun cukup jauh dan terhindar dari pandangan, suara ketawa sekeras yang dia lepaskan akan bergema di situasi hutan seperti ini.

Ratri Geni membelalakkan mata dengan wajah kesal. Mereka ini sungguh menyebalkan. Huh! Raden Soca tidak berusaha menyembunyikan rasa gelinya dan tertawa terbahak-bahak di hadapan mereka. Lebih menyebalkan lagi Jaka Umbara. Berupaya bersikap sopan dan pergi namun ketawanya terdengar mengejek sekali dari sini.

Raden Soca langsung terdiam mendengar ketawa ngakak Jaka Umbara. Terheran-heran namun kemudian menyadari kalau Jaka Umbara sama sekali tidak sadar bahwa suara ketawanya itu terdengar dengan jelas dari tempat ini. Pemuda lugu dan pendiam itu terperangkap oleh kesopanannya sendiri. Raden Soca tersenyum simpul. Membuat Ratri Geni yang sedang menatapnya sebal, semakin tambah kesal.

Tanpa terasa hari semakin beranjak menuju petang. Seharian itu mereka hanya melakukan lomba berburu buah, makan buah sampai sakit perut, dan sakit perut karena kebanyakan makan buah. Bagi Raden Soca apa yang terjadi di hari ini sungguh sangat menyenangkan. Entah mengapa, bersama-sama dengan Ratri Geni melewati hari seperti sebuah berkah dari Gusti.

Bagi Ratri Geni, hari ini sungguh menyebalkan. Makanan dihabiskan Sima Braja, kelaparan, makan banyak buah rambutan hutan, dan lomba lari ke sungai bersama Pramesti Sarayu. Gadis ini membanting kakinya dengan muka jengkel lalu merebahkan diri dengan seenaknya ke perut Sima Braja yang terlonjak kaget dan langsung melompat menghindar karena menyangka ada serangan datang. Kontan saja tubuh Ratri Geni jatuh ke tanah dengan suara berdebum cukup keras. Gadis itu meringis kesakitan.

Raden Soca yang sedari tadi memang mengikuti semua pergerakan Ratri Geni dengan ujung matanya, kembali tak bisa menahan tawa lagi. Melihat raut muka Ratri Geni yang kesal bukan main membuatnya sedikit puas karena pemuda itu teringat perlakuan kakak seperguruannya itu ketika menyuruh-nyuruh seenaknya dulu dengan dalih kakak seperguruan. Jaka Umbara yang sudah bergabung dengan mereka, kembali mengangkat tangannya untuk berpamitan pergi lagi. Pemuda itu meledakkan lagi suara ketawanya begitu merasa sudah cukup jauh.

Raden Soca menghentikan ketawanya. Lagi-lagi terheran-heran melihat sikap Jaka Umbara yang mengulang lagi kekonyolannya. Menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah geli bukan main. Disusul ketawanya yang membahana membayangkan betapa Jaka Umbara merasa bebas ketawa tanpa tahu bahwa semua orang bisa mendengarnya secara jelas.

"Hmm. Kau telah berlaku tidak sopan kepada kakak seperguruanmu Raden Soca! Sebagai adik seperguruan sekarang kau kuperintahkan mencari makanan bagi kakak seperguranmu ini yang sedang kelaparan. Tidak boleh buah!"

Raden Soca menghentikan ketawanya seketika. Waduh! Kembali kakak seperguruannya ini mulai berbuat semena-mena lagi. Pupus sudah kegembiraan di wajah Raden Soca. Pemuda itu terpaksa berdiri dengan tubuh lemas. Kemana harus mencari makanan selain buah di keremangan petang seperti ini. Huh! Kakak seperguruan yang menyebalkan!

Tubuh pemuda itu melesat ke arah tawa Jaka Umbara yang belum putus-putus. Pemuda itu juga harus bertanggung jawab!

Ratri Geni tersenyum puas. Dia berbisik lirih di telinga Pramesti Sarayu yang terlihat bengong melihat Raden Soca begitu patuhnya memenuhi perintah Ratri Geni. Namun begitu mendengar bisikan Ratri Geni, Pramesti Sarayu mau tak mau ikut merasa geli.

Jaka Umbara menghentikan ketawanya secara mendadak karena tiba-tiba pundaknya ditepuk dengan sedikit keras oleh Raden Soca yang sudah berdiri bertolak pinggang di depannya.

"Gara-gara dirimu Jaka. Aku sekarang harus mendapatkan makanan enak bagi Ratri Geni. Mana hari sudah gelap. Ayo bantu aku mencari binatang buruan atau ikan. Gadis itu tidak mau dibawakan buah-buahan. Perutnya sudah tidak tahan."

Jaka Umbara tersenyum kecil. Hari ini terasa sangat lucu baginya. Menyenangkan. Adil juga jika dia ikut bertanggung jawab. Pemuda itu baru menyadari kesalahannya yang mengakibatkan Raden Soca menjadi terhukum dari Ratri Geni, kakak seperguruan mereka berdua. Jaka Umbara tertawa tertahan. Tidak mau lagi keras-keras. Kalau saja gadis usil itu tahu bahwa dia juga menerima warisan ilmu dari Ki Ageng Waskita pada saat yang bersamaan dengan Raden Soca, bisa jadi gadis itu juga akan memerintah dirinya seenak perutnya.

Kedua pemuda itu tanpa banyak bicara melangkah tergesa-gesa masuk ke dalam hutan mencari binatang buruan atau sungai supaya bisa mencari ikan. Tapi karena hari sudah mulai tenggelam dalam kegelapan, keduanya mengalami kesulitan mencari dua hal tersebut.

Beberapa saat lamanya Raden Soca dan Jaka Umbara berusaha keras mencari yang diperintahkan oleh Ratri Geni, namun tanpa hasil. Keduanya melangkah lunglai dan kembali ke tempat Ratri Geni sambil membayangkan hukuman yang lebih berat telah menunggu mereka.

Raden Soca dan Jaka Umbara telah sampai tapi segera menghentikan langkah dengan wajah sama-sama tertegun. Ratri Geni nampak tertawa-tawa bersama Pramesti Sarayu sambil masing-masing menggenggam paha Kijang panggang dan menikmatinya dengan kalap. Nampak pula Sima Braja dan Siluman Wulung melahap bagian mereka. Raden Soca dan Jaka Umbara menelan ludah mereka yang mengering dengan hati sangat sebal.

-***