Kepedihan terdalam adalah ketika
pagi terjaga dan hanya menemukan mata
dari orang-orang yang lara branta
namun kehilangan cahaya retina
karena keramaian yang dijumpainya
benar-benar kehabisan kata-kata
Kesedihan terdalam adalah manakala
malam menjelang namun tak didahului sandyakala
sebab kegelapan tergesa-gesa menyeruak
di jendela orang-orang yang hatinya bersemak
karena tak lagi memiliki sisa asa untuk dipasak
Ario Langit melesat secepat hantu. Kedatangan pemuda itu bertepatan dengan tubuh Ibunya yang terhuyung-huyung lalu terjatuh dalam pelukannya yang kokoh. Pemuda itu terisak lirih saat mengetahui luka Arawinda yang luar biasa parah terkena pukulan telak Gora Waja di bagian punggungnya. Arawinda tadi terkena pukulan Dewi Lastri karena lengah. Saat sedang saling serang dengan dahsyat melawan putri Siluman Karimun Jawa yang sanggup mengimbangi kepandaiannya, pendekar itu sempat melirik ke arah gelanggang pertarungan antara Ario Langit yang dikeroyok Matamaha Mada dan Sekar Wangi, serta ke arah Galuh Lalita untuk memastikan gadis itu baik-baik saja setelah kedatangan Siluman Puncak Pangrango yang sangat cepat dan misterius. Di saat itulah pukulan telak Gora Waja mengenai punggungnya.
Ario Langit mulai menangis mengguguk seperti anak kecil. Dia tahu persis luka separah ini tidak akan bisa disembuhkan. Meskipun Arawinda adalah seorang pendekar wanita yang luar biasa tangguh dan sakti serta tubuhnya tidak menunjukkan luka luar yang berarti, hanya darah segar yang terus mengalir deras dari lubang hidung dan telinganya, namun bagian dalam tubuhnya seperti jantung dan hati telah hancur terkena pukulan Gora Waja yang luar biasa itu. Saat-saat terakhir Arawinda telah tiba.
Galuh Lalita yang telah kehilangan lawannya segera mendekat sambil merangkul pundak Ario Langit dan mengelus kepala Arawinda yang nampak mulai kepayahan bernafas. Hanya tinggal satu-satu. Itupun dengan susah payah dilakukannya. Pertempuran juga berhenti karena masing-masing panglima dari dua pasukan meniup terompet jeda pertempuran. Kesempatan yang dipergunakan kedua belah pihak untuk menarik mayat-mayat kawan mereka yang gugur serta melarikan yang terluka ke garis belakang pertempuran untuk dirawat.
Terdengar dua kali kesiur angin tajam ketika sebuah pukulan maut dilayangkan oleh Dewi Lastri ke arah Galuh Lalita di bagian punggungnya, sedangkan satu pukulan lain dilancarkan oleh Nyai Sembilang ke kepala Ario Langit yang nampak tidak waspada atau mungkin bahkan tak peduli sama sekali. Kedua anak muda itu terlalu tenggelam dalam duka yang begitu mendalam sehingga sama sekali tidak menyadari bahwa maut sedang mendatangi mereka berdua.
Bresss! Desss!
"Curang!"
"Keji!"
Dua ucapan yang dilontarkan nyaris bersamaan oleh dua orang yang masing-masing menangkis pukulan curang Dewi Lastri dan Nyai Sembilang.
Tubuh Dewi Lastri terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan saking hebatnya tenaga orang yang menahan pukulan mautnya. Begitu pula Nyai Sembilang terpaksa harus mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya agar tubuhnya yang terlempar tidak terjatuh secara keras.
Dewi Mulia Ratri bertolak pinggang sambil menahan kemarahannya terhadap Dewi Lastri dan Nyai Sembilang. Pendekar wanita ini bersiap menghadapi guru dan murid yang kejam itu.
Di tempat yang tak terlalu jauh, Pangeran Bunga melihat semua kejadian dengan matanya yang cermat. Kedatangan sepasang pendekar luar biasa itu bukanlah hal yang menguntungkan Sumedang Larang. Dia tahu Arya Dahana siapa. Lebih-lebih lagi dia paham Dewi Mulia Ratri adalah ahli sihir tiada duanya yang bisa membuat pasukan Sumedang Larang tercerai berai dan hancur berantakan meskipun berjumlah besar jika pendekar wanita itu sudah mengeluarkan Sihir Ranu Kumbolonya yang bahkan bisa membangkitkan pasukan dari orang-orang mati!
Diam-diam Pangeran Bunga memberi isyarat kepada panglima pasukan Sumedang Larang untuk menarik pasukannya keluar dari Lembah Mandalawangi. Mereka harus menunggu sampai kedua pendekar itu tidak lagi terlibat atau keadaan akan sangat kacau bagi pihak Sumedang Larang. Dalam diam, berduyun-duyun pasukan besar itu bergerak mundur dan keluar dari markas Lawa Agung. Panglima Amranutta mengikuti dari sudut matanya. Raja Lawa Agung itu memerintahkan agar pasukannya tidak berbuat apa-apa. Ini kesempatan bagi Lawa Agung untuk membenahi kekuatan.
Sementara itu, Arya Dahana buru-buru mendatangi Arawinda yang sudah kembang kempis dengan nafas tersisa satu-satu. Pendekar besar itu meraba pergelangan tangan Arawinda lalu menempelkan tangannya di leher pendekar wanita itu. Arawinda seolah memperoleh tenaga tambahan untuk bertahan. Tubuhnya tersentak kaget. Matanya terbuka dan mulutnya tersenyum lembut. Suaranya hanya terdengar sebagai bisik pelan kepada putranya yang terus mengucurkan airmata.
"Ja..jangan menangis putraku. Kau adalah lelaki kuat kebanggaan Ibu. Langsungkan ikatanmu saat ini juga dengan Galuh Lalita, Nak. Ibu ingin menyaksikan di saat terakhir Ibu…"
Tangis Ario Langit semakin tumpah mendengar bisikan Ibunya. Begitu pula Galuh Lalita yang tak bisa menahan kesedihannya. Gadis itu memeluk tubuh Arawinda dengan sepenuh hati seperti pelukan kepada Ibunya sendiri yang tidak pernah dia tahu keberadaannya semenjak kecil. Galuh Lalita bahkan lebih sesenggukan tangisannya dibanding Ario Langit.
Arya Dahana menghela nafas panjang. Luka Arawinda tidak mungkin bisa disembuhkan. Jantung dan hatinya telah hancur. Hanya karena kekuatan dan tekad saja yang masih membuat pendekar wanita itu bertahan. Arya Dahana menganggukkan kepala saat sorot mata redup Arawinda mengajaknya bicara lirih.
"Arya Dahana…tolonglah menjadi saksi bagi ikatan antara anakkku Ario Langit dengan Galuh Lalita. Sekarang juga…."
Dengan sisa-sisa kekuatannya yang ada, Arawinda menggenggam tangan Ario Langit dan Galuh Lalita. Suaranya makin pelan dan nyaris tak terdengar. Arya Dahana paham Arawinda tidak punya waktu banyak lagi. Pendekar ini kembali menyalurkan hawa saktinya yang sempurna mengaliri tubuh Arawinda yang kembali tersentak seolah mendapat tambahan tenaga untuk melanjutkan bicara.
"Putraku sayang…Ario Langit. Dengan ini aku mengikatkanmu melalui pernikahan sakral dengan Galuh Lalita putri dari….?" Tatap mata bertanya Arawinda sebelum melanjutkan kalimat. Galuh Lalita lalu berbisik di telinga Arawinda. Lagi-lagi Arawinda tersentak kaget. Namun meneruskan kalimatnya dengan terbata-bata.
"Putraku Ario Langit, aku nikahkan dirimu dengan Galuh Lalita, putri dari laut selatan…." Arawinda meraih tangan Ario Langit dan Galuh Lalita lalu ditangkupkannya bersama dalam satu genggaman yang kuat. Mata yang sudah sangat redup itu nampak sekali berbinar penuh kebahagiaan. Hatinya lega karena bisa menyaksikan putra terkasihnya itu menikahi seorang gadis cantik yang mencintainya.
Ario Langit tidak bisa menahan diri lagi. Sambil terisak-isak pemuda ini mendekatkan bibir ke telinga Ibunya yang genggamannya sudah nyaris terlepas.
"Ibu, terimakasih selama ini telah membesarkanku dengan penuh kasih. Aku tidak akan melupakanmu seumur hidupku, Ibu. Aku akan mencari perempuan keji yang telah berlaku curang kepadamu. Aku akan memberinya hukuman paling mengerikan yang pernah ada di dunia." Mata Ario Langit yang sembab dan dipenuhi airmata terlihat menyala waktu menyampaikan niat balas dendamnya itu.
Arawinda mencium kening Ario Langit dan Galuh Lalita dengan bantuan Arya Dahana yang menyangga kepalanya. Pendekar wanita yang sudah sampai di ujung maut itu membisikkan kata-kata pendek yang terdengar oleh ketiganya seperti guntur di siang hari bolong.
"Jangan lampiaskan dendam ini anakku, Ario Langit. Aku rela tewas di pangkuanmu asal tuntas semua kewajibanku sebagai Ibu dan sekarang semua sudah tuntas. Aku bahagia. Dewi Lastri adalah kakak kandungmu. Kalian sama-sama putra-putri dari Putri Anjani dan Siluman Karimun Jawa. Jangan simpan dendam ini anakku….ini permintaan terakhirku."
Mata redup Arawinda kehilangan cahaya terakhirnya. Pendekar wanita yang gagah itu tewas dengan senyum di bibir dalam pelukan Ario Langit dan Galuh Lalita yang hanya terpaku dengan sungai airmata yang terus mengalir di pipi kedua muda-mudi yang telah menjadi suami istri itu.
---*