Bab 41-Ki Ageng Agung

Takdirmu adalah buku-bukumu

pada halaman-halamannya yang berdebu

terdapat goresan kisah, kasih, cinta dan nafsu

di setiap bab-babnya yang membatu

kau akan menemukan hujan dan kemarau

seperti datangnya hari ini dan masa lampau

Takdirmu adalah sisa genangan air hujan

di pelataran yang berlubang-lubang

kau bercermin di situ

pada setiap masa lalumu

untuk kau kenang seperti bunga dan dedaunan

atau sebagai sandyakala dan jejak-jejak jahanam

Jaka Umbara dan Pramesti Sarayu mengintip dari balik batu-batu besar yang banyak bertebaran di puncak Gunung Agung. Kedua muda-mudi ini sebetulnya sudah semenjak tadi melihat semua kejadian. Dari saat pertarungan antara Ratri Geni melawan Siluman Ngarai Raung yang mengakibatkan kakek siluman itu terlempar ke kawah, hingga peristiwa aneh dan hebat saat peti berwarna emas itu jatuh tepat di hadapan Raden Soca.

Keduanya tidak berani ikut campur karena maklum ilmu kepandaian mereka masih jauh dari cukup untuk membantu Ratri Geni maupun Raden Soca. Kedatangan para Ki Ageng Gunung setidaknya menenangkan Jaka Umbara. Siluman-siluman itu memiliki tandingan setara. Meskipun pertempuran dahsyat nyaris semalaman telah berhenti karena gelegak dahsyat kawah Gunung Agung, setidaknya mereka lega karena Ratri Geni dan Raden Soca selamat.

Sebenarnya Jaka Umbara dan Pramesti Sarayu ingin mematuhi perintah Raden Soca agar mereka menunggu di lereng gunung sampai pagi datang menjelang. Namun rasa cemas dan setia kawan membuat Jaka Umbara nekat mengajak Pramesti Sarayu diam-diam mendaki puncak Gunung Agung dan akhirnya menyaksikan semua peristiwa luar biasa yang sulit untuk dipercaya.

Keduanya sama sekali tidak menyadari tidak jauh dari tempat mereka berlindung, terdapat dua orang juga yang sedang bersembunyi. Hantu Lautan dan Wida Segara tidak ingin memperlihatkan diri karena mempunyai tujuan yang berbeda. Guru dan murid itu menanti saat yang paling tepat untuk mengambil kembali Cupu Manik dari tangan Siluman Kembar Gunung Agung. Hantu Lautan tahu persis bahwa Cupu Manik yang berukuran kecil itu berada dalam genggaman dua siluman kembar itu saat mereka bertarung dan berhasil mendesak hebat Ki Ageng Ciremai dan Ki Ageng Slamet. Kekuatan mereka meningkat beberapa kali lipat karena pengaruh cupu sakti milik Ratu Gaib Laut Selatan. Cupu itu digenggam secara bersama-sama oleh Siluman Kembar Gunung Agung saat mereka bertempur. 

Hantu Lautan memperhatikan dengan teliti. Begitu mereka berhenti bertarung, salah satu siluman kembar meletakkan kembali cupu manik ke dalam saku bajunya. Hantu Lautan menandai siluman yang menyimpan salah pusaka paling bertuah dari laut selatan itu baik-baik. Dia tidak boleh salah orang nanti saat coba merebut cupu manik itu.

Di pinggiran kawah, tiga siluman yang tersisa memandang ke arah peti yang berada di bawah kaki Raden Soca. Mereka tidak berhasil mengambil peti berisi Kitab Langit Bumi tadi. Namun sekarang tidak boleh gagal lagi. Tanpa dikomando, ketiganya menggerakkan tubuh masing-masing. Melesat ke depan sambil meluncurkan pukulan terdahsyat mereka ke arah Raden Soca. 

Bisa dibayangkan betapa dahsyat dan mematikannya pukulan tiga siluman gunung yang sakti luar biasa dan dilakukan pada saat bersamaan. Hawa Pukulan Awan Kelam dan Api Raja membentuk gulungan raksasa yang dalam waktu singkat akan sanggup menghanguskan tubuh Raden Soca. Ketiga Ki Ageng Gunung terpaku tidak bergerak sama sekali. Mereka melihat dengan jelas betapa peti itu terbuka dengan sendirinya. Terlontarlah sebuah kitab kecil berwarna hitam keemasan yang langsung begitu saja meluncur ke arah Raden Soca yang sedang bersiap menahan pukulan raksasa ketiga siluman gunung.

Sungguh aneh, kitab hitam keemasan itu melayang dan masuk dalam saku baju Raden Soca secara ajaib. Bersamaan dengan ayunan tangan Raden Soca melepaskan Pukulan Bayangan Matahari. Di saat yang sama pula, Ratri Geni yang sudah pulih dari luka hebatnya, mengebutkan kedua lengan bajunya mengirimkan Pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang setelah sebelumnya menghantamkan kedua telapak tangan ke tanah sekuatnya menggunakan Gempa Pralaya.

Duuaarr! Duaaarr! Blaaaaarrr!

Ledakan yang terjadi kali ini tidak kalah dengan suara letusan gunung berapi. Gabungan kekuatan Raden Soca dan Ratri Geni beradu dengan gabungan kekuatan tiga siluman gunung yang sakti.

Kedahsyatan Gempa Pralaya membuat tiga siluman itu terpaku di tempatnya. Apalagi pukulan langka itu diisi oleh hawa sakti Langit Bumi yang dikerahkan sekuatnya oleh Ratri Geni. Disusul kemudian dengan beradunya hawa sakti kelima orang dan siluman luar biasa itu. Akibatnya sungguh dahsyat dan tak terbayangkan.

Tubuh ketiga siluman itu terlempar tunggang langgang ke belakang. Mereka tidak kuasa menahan gempuran gabungan Bayangan Matahari dan Busur Bintang dari Raden Soca dan Ratri Geni. Hawa sakti keduanya mampu mengungguli kekuatan gabungan tiga siluman gunung itu.

Tubuh Siluman Lembah Neraka terguling-guling dengan kecepatan tinggi. Kakek renta Siluman Gunung Wilis itu terluka hebat dan dalam keadaan tak sadarkan diri. Tanpa bisa dicegah lagi tubuhnya melayang jatuh ke sisi utara gunung yang merupakan jurang dengan kedalaman tak terukur.

Siluman Kembar Gunung Agung bernasib kurang lebih sama. Meskipun tidak sampai masuk jurang namun keduanya terkapar tak berdaya di sisi gunung bagian timur setelah menabrak batu raksasa di pinggiran jurang. Dua bayangan berkelebat cepat menyambar sosok tak sadarkan diri dua siluman kembar. Dua sosok itu sebentar saja segera lenyap dari pandangan. Hantu Lautan dan Wida Segara mengambil kesempatan baik yang datang tak terduga. Kedua tubuh siluman kembar itu tergeletak tak jauh dari tempat mereka bersembunyi.

Jaka Umbara memberi isyarat Pramesti Sarayu. Mata pemuda yang awas ini tadi melihat Cupu Manik yang dicari-cari oleh Raden Soca sempat diambil oleh Hantu Lautan dari saku baju salah satu siluman kembar saat mereka memanggul tubuh dua kakek itu. Benar saja, belum jauh muda-mudi itu mengikuti larinya Hantu Lautan, mereka berhenti dan menurunkan tubuh kedua siluman kembar itu dan menggeletakkannya di pinggir jalan setapak. Hantu Lautan tertawa terkekeh sambil memperlihatkan Cupu Manik yang hitam berkilauan itu di depan Wida Segara yang menyambutnya dengan kekeh melengking nyaring.

Jaka Umbara hendak melompat menyerbu Hantu Lautan namun mengurungkan niatnya karena lengannya disentuh secara halus oleh Pramesti Sarayu. Mata gadis itu memberikan isyarat. Tunggu dulu. Jangan sekarang. Kita ikuti mereka dan ambil Cupu Manik itu di saat yang tepat. Jaka Umbara mengangguk mengiyakan. Mereka berdua memang tidak tahu seberapa besar kekuatan kedua orang misterius yang sama-sama berwajah pucat seperti mayat itu. Harus hati-hati atau mereka tidak mendapatkan apa yang mereka cari. Jaka Umbara dan Pramesti Sarayu terus membayangi Hantu Lautan dan Wida Segara. Kedua orang itu nampaknya menuju tempat penyeberangan ke Pulau Jawa.

Raden Soca hanya berdiri termangu. Tubuhnya terasa sangat lelah. Dia mengeluarkan seluruh hawa sakti yang dipunyainya. Sisa tenaganya tinggal sedikit dan dia mesti memulihkan diri dengan segera meskipun tidak menderita luka.

Raut wajah Ratri Geni sedikit memucat lagi. Tapi gadis itu baik-baik saja. Tiga pukulan dahsyat yang dilepaskannya secara bersamaan memang menguras tenaganya. Namun hawa sakti Langit Bumi memang luar biasa. Dengan cepat gadis ini bisa pulih kembali seperti sediakala.

Ratri Geni menggandeng tangan Raden Soca. Mengajaknya berjalan pelan menuju tempat ketiga Ki Ageng Gunung berdiri memandangi mereka berdua. Ratri Geni membungkuk hormat.

"Salam para Ki Ageng Gunung. Untunglah kalian segera datang sehingga Kitab Langit Bumi tidak terjatuh ke tangan para siluman berbahaya itu."

Ki Ageng Ciremai menganggukkan kepala dengan hormat. Membalas salam Ratri Geni.

"Kami harus berterimakasih kepadamu Nyi Ageng Merbabu. Kalau tidak karena dirimu dan Ki Ageng Agung ini tiba terlebih dahulu di sini dan mencegah mereka melanjutkan ritual Pemanggilan, mungkin kitab itu sudah berada di tangan siluman-siluman sesat itu." Ki Ageng Slamet dan Ki Ageng Semeru mengangguk-anggukkan kepala setelah juga memberi hormat kepada Ratri Geni dan Raden Soca yang masih dalam keadaan bengong dan bingung.

Ratri Geni mengerutkan keningnya lalu menghela nafas panjang. Ki Ageng Agung. Dia juga melihat dengan mata kepalanya sendiri kitab sakti penjaga gunung itu telah memilih Raden Soca sebagai Penjaga Gunung Agung. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Raden Soca telah diangkat secara gaib menjadi Penjaga Gunung Agung mulai saat ini. Ratri Geni merasa tersayat hatinya. Perasaannya terpukul sekali. Pandangannya menjadi kosong dan hampa. Gadis ini teringat betul apa yang tertulis di halaman terakhir Kitab Langit Bumi.

Orang yang telah dipilih menjadi Ki atau Nyi Ageng Gunung tidak diperbolehkan menikah satu sama lain selama masih mengemban amanat linuwih Penjaga Gunung.

Ketiga Ki Ageng Gunung yang sudah tua itu tahu apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Dua orang yang saling jatuh cinta namun sekarang tidak bisa mempersatukan ikatan hati karena telah menjadi manusia terpilih oleh Kitab Langit Bumi. 

Ketiga Ki Ageng Gunung membungkukkan tubuh dengan hormat kepada Raden Soca dan Ratri Geni. Tubuh ketiganya lenyap dalam sekejap menuruni Gunung Agung yang tiba-tiba saja sepi mamring. 

Sesepi hati Ratri Geni yang menggenggam erat tangan Raden Soca dengan halus.

"Aku harus pergi Raden. Aku harus kembali ke Merbabu. Semoga kau bisa menjalankan tugas barumu sebagai Ki Ageng Agung dengan baik." Ratri Geni membalikkan tubuh siap untuk pergi. Raden Soca menarik lembut lengan Ratri Geni. 

"Ratri Geni, putri Pendekar Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Jangan pergi! Kau harus menemaniku menjalani awal dari tugasku di sini. Sebagai istriku." Raden Soca tersenyum manis dan tulus. Mata Ratri Geni mulai berkaca-kaca. Raden Soca melanjutkan ucapannya. Dengan penuh semangat dan rasa cinta yang luar biasa.

"Aku mencintaimu Ratri. Semenjak pertama kita berjumpa aku sudah jatuh hati kepadamu. Terimalah pinanganku Ratri Geni. Aku akan meresmikannya di hadapan Ayah dan Ibumu." Dua anak sungai mulai mengalir di pipi halus Ratri Geni. 

Raden Soca mengusap lembut airmata Ratri Geni. Pemuda itu mengira gadis pujaannya itu menangis bahagia karena ada senyum juga yang tergambar di wajah cantik itu.

Ratri Geni merasa perih di hatinya semakin menghebat. Gadis ini menggenggam erat-erat tangan Raden Soca yang berbinar-binar bahagia. Ratri Geni membiarkan sungai di pipinya membanjir cepat.

"Aku tidak bisa Raden! Kita tidak bisa! Aku harus pergi dan kau harus tetap di sini." Mata Raden Soca terbelalak hebat. Tidak menyangka mendengar kalimat mengerikan itu keluar dari gadis yang sangat dicintainya. Tubuhnya terpaku seperti patung. Tidak sanggup berkata apa-apa.

Ratri Geni mendekat. Melepaskan genggaman tangan, mengambil Kitab Langit Bumi dan meletakkannya di genggaman tangan Raden Soca lalu mencium lembut pipi kanan pemuda yang dikasihinya itu.

"Aku pun mencintaimu tapi kita tidak bisa bersama. Bacalah Kitab Langit Bumi halaman terakhir, Raden. Maka kau akan mengerti apa sebabnya. Berhati-hatilah selalu. Aku mencintaimu."

Kali ini Ratri Geni mencium pipi kiri Raden Soca. Gadis itu kemudian menggerakkan tubuhnya. Dalam sekejap mata tubuh gadis sakti yang menyandang gelar Nyi Ageng Merbabu itu lenyap dari pandangan Raden Soca yang masih termangu-mangu.

Menyadari tidak ada lagi sosok Ratri Geni, pemuda yang tiba-tiba saja menjadi sangat patah hati itu membuka kitab yang berada dalam genggaman tangannya. Dibukanya halaman terakhir seperti pesan Ratri Geni.

Orang yang telah dipilih menjadi Ki atau Nyi Ageng Gunung tidak diperbolehkan menikah satu sama lain selama masih mengemban amanat linuwih Penjaga Gunung.

Tubuh Raden Soca menggigil hebat. Matanya memandang ke arah langit dengan tatapan lemah. Menoleh ke arah perginya Ratri Geni lalu memalingkan pandangan ke Kawah Gunung Agung. 

Raden Soca menghela nafas panjang. Hatinya yang keras membatin dengan gagah.

Aku akan menjalankan tugasku lalu aku akan mencarimu Ratri Geni. Amanat Linuwih ini tidak akan membuatku berhenti mencintaimu. Aku akan berusaha sekeras batu-batu Puncak Gunung Agung agar bisa bersatu denganmu sebagai suami istri.

T A M A T