Sinar matahari pagi menyinari wajah Alia. Ia membuka matanya perlahan, merasakan sakit kepala ringan. Ia mendongak, melihat langit-langit kamar yang asing. Bukan kamarnya. Kamar ini jauh lebih besar dan mewah, dengan ranjang king size yang empuk dan dinding yang dihiasi lukisan berharga. Ia duduk dan menatap sekitarnya dengan heran.
"Aku… di mana ini?" gumamnya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Ia menatap pakaiannya. Bukan pakaian yang ia kenakan kemarin. Ia mengenakan piyama sutra yang lembut dan mahal. Ia meraba-raba tubuhnya, mencari tanda-tanda luka. Untungnya, tidak ada luka yang serius. Hanya beberapa memar kecil di lengannya.
Tiba-tiba, dua orang pelayan perempuan masuk ke kamar. Mereka mengenakan seragam rapi dan sopan.
"Kalian siapa?" Alia bertanya dengan nada waspada, suaranya bergetar.
"Maaf, Nona," salah satu pelayan menjawab dengan suara lembut, 'kami diutus untuk menangani Nona.'
"Dan… aku di mana?" Alia bertanya, suaranya sedikit tegas.
"Nona berada di kediaman Tuan Rafa Romano. Nona bisa bertanya langsung kepada Tuan Rafa nanti di ruang makan. Izinkan kami membantu Nona bersiap-siap," pelayan itu menawarkan bantuan.
"Kamar mandi di mana?" Alia bertanya, mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Di sana, Nona," pelayan itu menunjukkan arah kamar mandi.
Alia berjalan menuju kamar mandi, pelayan itu menunggu di luar. Setelah Alia masuk dan mengunci pintu, ia menghela napas lega. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi.
Alia menutupi dadanya dengan kedua tangan, merasakan jantungnya berdebar kencang. "Tidak… aku bisa melakukannya sendiri," gumamnya, lalu bergegas menuju kamar mandi dan menutup pintu dengan kuat.
Di dalam kamar mandi, ia menatap wajahnya di cermin. Wajahnya masih pucat, menunjukkan betapa lelahnya ia. Ia mencoba mengingat kembali kejadian semalam, namun ingatannya masih samar.
"Aku harus cepat bersiap. Kalau sampai aku dipecat karena kejadian kemarin, hidupku akan semakin sulit," gumamnya, kemudian mulai mandi.
Setelah mandi, ia menyadari bahwa ia tidak memiliki pakaian. Ia membuka pintu kamar mandi, berharap pelayan itu sudah pergi. Namun, ia terkejut melihat kedua pelayan itu masih berdiri di depan pintu.
"Aduh…" Alia mengeluarkan suara mengejut yang halus, menunjukkan rasa malu dan sedikit panik. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Ia menutup tubuhnya dengan handuk kimononya.
"Maaf, Nona," salah satu pelayan mengatakan dengan suara lembut, sambil menyerahkan sebuah paper bag berwarna krem. "Ini pakaian Nona."
Alia menerimanya dengan ragu. Paper bag itu terasa ringan. Ia membuka paper bag tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah gaun sutra berwarna biru muda, sepasang sepatu hak tinggi, dan sebuah nota kecil. Ia membaca nota tersebut. Ternyata pakaian itu dibeli oleh Rafa. Alia merasa sedikit tidak nyaman, namun ia juga lega karena ia tidak perlu memikirkan pakaian lagi.
"Terima kasih," Alia mengatakan dengan suara yang sedikit kaku. "Kalian bisa tunggu di luar."
Ia kembali masuk ke kamar mandi, merasakan sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi semalam.
Alia tercengang. Dress hitam itu sangat elegan, dengan potongan yang sempurna dan bahan yang mewah. Ia melihat label harga yang tertera di bagian dalam dress: €2000.
"Dua ribu euro?" gumamnya, suaranya bercampur antara kagum dan sedikit takut. Ia merasa tidak nyaman menerima pakaian semahal ini. Ia merasa berhutang budi kepada Rafa, namun ia juga takut akan ada sesuatu yang lebih dari itu.
Ia mengenakan dress itu. Dress itu pas di tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ia merasa lebih percaya diri. Namun, rasa takut itu masih bertengger di hatinya.
Saat hendak menyisir rambutnya, kedua pelayan itu menawarkan bantuan.
"Aku masih punya tangan," Alia mengatakan dengan suara yang sedikit keras. Ia tidak mau terlalu bergantung pada mereka.
"Tapi, Nona," salah satu pelayan mengatakan dengan suara gemetar. "Tuan memerintahkan kami untuk melayani Nona sepenuhnya. Jika kami tidak melakukannya, kami akan…" ia tersentak, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Alia merasakan bulu kuduknya merinding. Ia tahu Rafa adalah orang yang keras dan kejam. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Bayangan pengawal Rafa yang berbadan besar dan berwajah sangar terlintas di benaknya.
Setelah sejenak berdiam diri, Alia mengeluarkan napas panjang. Ia tidak ingin dua pelayan ini terkena bahaya karena dirinya.
"Baiklah," Alia mengatakan dengan suara yang sedikit lemah. "Bantu aku."
Pelayan itu hanya menambahkan sedikit polesan make-up pada wajah Alia, namun itu sudah cukup untuk membuat wajah Alia tampak lebih berseri.
"Nona sangat cantik," puji pelayan itu.
"Panggil saja Alia," kata Alia, suaranya sedikit lebih santai. Ia mulai merasa lebih tenang. Namun, ia masih ingin segera pulang.
"Aku ingin bertemu tuanmu. Aku ingin meminta izin untuk pulang," kata Alia.
"Mari saya antar," pelayan itu menawarkan diri.
Mereka berjalan menuju ruang makan yang mewah. Ruang makan itu dihiasi lampu kristal yang berkilauan, meja makan dari kayu jati yang mahal, dan kursi-kursi yang nyaman. Aroma kopi dan makanan pagi tercium harum. Namun, suasana di ruang makan itu terasa dingin dan menakutkan. Rafa sudah duduk di meja makan, aura dingin yang ia pancarkan membuat para pelayan berdiri kaku dan takut.
Alia menatap Rafa. Ia masih merasa kecewa dengan perlakuan Rafa semalam. "Ini sangat berlebihan," gumamnya pelan.
"Makanlah!" Rafa berkata dengan suara datar, namun tegas. "Aku tidak suka ada suara saat makan."
Alia sedikit kesal mendengar ucapan Rafa. "Ingin sekali aku menghajar wajahnya," gumamnya dalam hati.
Ia memakan sandwich dan minum susu yang tersedia dengan cepat. Ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun, ia harus bersabar menunggu Rafa selesai makan.
"Apa-apaan ini? Mengapa hari-hariku saat ini sangat buruk?" gumamnya frustasi.
Setelah selesai makan, Alia mengikuti Rafa menuju ruang tamu.
"Apakah aku sudah bisa berbicara?" Alia bertanya dengan suara yang cukup tegas.
Rafa hanya berdeham.
"Aku rasa ini sudah sangat berlebihan. Terima kasih atas bantuannya, tapi aku ingin pulang," Alia mengatakan dengan suara yang jelas dan tegas. Ia tidak mau berlama-lama di tempat ini.
Rafa menatap Alia sejenak. Kemudian ia memanggil Matteo, asisten pribadinya. "Matteo, mana?"
Matteo menyerahkan sebuah cek dan pulpen kepada Rafa. "Ini, Tuan."
"Ini untukmu," Rafa mengatakan sambil menyerahkan cek tersebut kepada Alia. "Sebagai ganti rugi atas kecelakaan semalam."
Rafa menuliskan angka 1.000.000€ pada cek itu dan meletakkannya di hadapan Alia. "Ini sebagai ganti rugi atas kejadian kemarin," katanya dengan nada datar.
Alia mengambil cek itu, matanya membesar saat melihat jumlah uang yang tertera. "Ini berlebihan! Kau bayar saja sesuai kerusakannya! Aku bukan wanita yang mengemis!" Alia mengembalikan cek itu dengan tegas. Meskipun uang itu cukup untuk membeli rumah sederhana, ia tidak mau menerima uang yang berlebihan. Uang itu adalah hasil kerja keras Rafa, dan ia tidak mau menerima sesuatu yang bukan haknya.
"Sudahlah, ambil saja. Itu tidak seberapa bagiku," Rafa mengatakan dengan santai, menunjukkan bahwa uang tidak berarti apa-apa baginya.
"Aku tidak bisa menerimanya," Alia menolak dengan tegas.
"Tapi, sayangnya, aku tidak suka penolakan," Rafa menjawab dengan senyum sinis. Ia menikmati permainan ini.
'Kau hanya perlu mengganti kerusakan 500€, bukan 1.000.000€!' Alia menatap Rafa dengan tajam. Ia mencoba menekankan prinsipnya.
Rafa menatap Alia dengan heran. Ia terbiasa dengan wanita-wanita yang mengejar uang dan kuasanya. Alia berbeda. Ia memiliki prinsip yang teguh. Ini membuat Rafa sedikit tertarik.
"Apakah kau wanita gila?" Rafa bertanya dengan nada bercanda, namun matanya penuh dengan kekaguman.
"Kau yang gila!" Alia membentak. "Aku hanya membutuhkan ganti rugi atas kerusakan yang kualami, bukan harga diriku!"
"Kau pikir aku wanita pemeras?!" Alia berteriak, kemudian menambahkan, "Sekarang, berikan 500€ itu dan aku akan pergi! Lama-lama di sini membuatku gila!"
Rafa menatap Alia sejenak, kemudian memanggil Matteo. "Berikan kepada wanita ini apa yang ia minta."
Matteo menyerahkan uang tersebut kepada Alia. Alia menerimanya dengan marah, kemudian bergegas meninggalkan kediaman Rafa. Ia naik taksi dan pergi dengan rasa kesal dan lega. Ia akhirnya bebas dari Rafa, namun ia masih merasa bingung dengan perasaan aneh yang ia rasakan terhadap Rafa.
Tiba-tiba, Alia teringat motornya. "Hei, motorku mana?" tanyanya pada Rafa.
"Nona, motor Nona sudah ada di depan," Matteo menjawab. "Tuan sudah menyuruh pengawal untuk memperbaikinya dan mengembalikannya seperti semula."
Alia naik motornya, masih mengenakan dress hitam mahal itu. Ia merasa sedikit aneh, namun ia juga lega karena motornya sudah baik-baik saja.
Sesampainya di kafe, suasana kafe tampak lebih ramai dari biasanya. Bosnya, Pak Giovanni, sedang berbicara dengan seorang pria tinggi besar yang tampak sangat berwibawa. Alia merasakan debaran jantungnya semakin kencang.
"Pak… maaf, saya minta maaf tidak melakukan tugas dengan baik kemarin," Alia mengatakan dengan suara yang sedikit gemetar.
Pak Giovanni menatap Alia sejenak. "Kau beristirahatlah dua hari ini," katanya dengan suara yang santai. "Tuan Lucius Draco sudah mengganti semua kerugianmu. Itu adalah perintahnya. Jika kau tidak cuti, kafe ini akan ditutup olehnya."
Alia merasa heran. Siapa Tuan Lucius Draco? Ia mengambil pakaiannya di loker dan mengecek teleponnya. Sayangnya, baterainya sudah habis. Ia putus asa dan memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Ia menggunakan uang 500€ untuk membayar setengah biaya sekolahnya. Ia merasakan sebuah campuran perasaan yang rumit. Ia lega karena tidak dipecat, namun ia juga masih penasaran dengan siapa Tuan Lucius Draco dan hubungannya dengan Rafa.