Hari-hari berlalu berat bagi Alia. Setelah berhasil mendapatkan 500€, sebagian uang itu langsung digunakan untuk membayar tunggakan sekolahnya. Jumlahnya masih jauh dari cukup. Menjelang kelulusan SMA, bayangan biaya pendidikan yang menjulang tinggi membuatnya semakin tertekan. Bagaimana mungkin ia bisa menyelesaikan sekolah jika terus seperti ini?
"Mau ke mana?" tanya Antonio, ayahnya, suaranya berat dan penuh tekanan. Alia hanya menjawab singkat, "Sekolah."
Wajah Antonio langsung berubah. "Berhenti sekolah! Itu buang-buang waktu! Kau harus menghasilkan uang, banyak uang, untuk ayah!" Nada perintah yang kasar menggema di ruangan kecil itu.
Alia menghela napas. Perkataan ayahnya sudah biasa ia dengar, tetapi tetap saja menyakitkan. Ia muak dengan kehidupan yang dipaksakan ini. Keinginan untuk bebas dari jeratan kemiskinan dan kekerasan ayahnya semakin membara.
Seperti biasanya, Alia berangkat ke sekolah dengan motor bututnya. Jalanan masih sepi, hanya deru mesin motornya yang memecah kesunyian pagi. Untuk hari ini, dunia sepertinya masih memberinya sedikit kebaikan. Namun, di balik senyum tipisnya, tersimpan beban berat yang siap meruntuhkannya kapan saja.
----
Di ruangan yang dingin dan luas, Rafa masih fokus menatap layar komputernya. Sejak subuh ia sudah berada di kantor, tenggelam dalam lautan data dan pekerjaan. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela besar tak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti hatinya.
Seorang pengawal masuk dengan tergesa-gesa, wajahnya tegang. "Tuan! Mereka menolak melepaskan daerah itu, Tuan!" lapornya dengan suara terengah-engah.
Rafa mengangkat sebelah alis. "Mereka masih bertransaksi di sana?"
"Ya, Tuan. Mereka bahkan semakin berani menggunakan daerah itu untuk bisnis haram mereka..."
Tatapan Rafa berubah dingin, seperti es yang membeku. "Habisi mereka. Jangan biarkan satu pun hidup." Suaranya datar, tanpa sedikitpun emosi.
Pengawal itu mengangguk dan segera keluar. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya deru AC yang terdengar. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Giovanni Romano, ayahnya, masuk dengan langkah berat.
"Kau akan bekerja setiap hari seperti ini?" tanya Giovanni, suaranya berat dan berwibawa.
Rafa hanya berdeham, tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
Giovanni menggeram. "Jika orang tuamu sedang berbicara, harus kau perhatikan!" Ia melemparkan sebuah pisau kecil ke arah Rafa. Pisau itu melesat dengan kecepatan tinggi, Rafa dengan sigap menghindar.
Rafa berdiri, tatapannya tajam menusuk ayahnya. "Kau mau membunuh putramu sendiri di kantornya?" Suaranya dingin, mencuat amarah yang selama ini ia pendam. Sejak kematian ibunya setahun lalu, Rafa berubah menjadi pribadi yang dingin dan tertutup. Luka itu semakin menganga ketika ayahnya langsung menggandeng wanita lain, seolah menggantikan posisi Nyonya Romano.
"Hentikan omong kosongmu! Wanita bukan hanya dia! Mengapa kau menutup diri? Menikahlah dengan Erika! Itu akan menguntungkanmu!" Giovanni memaksa.
"Jangan ikut campur dalam hidupku! Ini semua hasil jerih payahku! Aku tak butuh bantuanmu!" Rafa membentak, suaranya bergetar menahan amarah. "Dan dengan hormat, aku suruh kau keluar dari ruangan ini!"
"Ingat, kau adalah putramu! Kau harus tetap menurut padaku!" Giovanni membalas dengan suara keras.
Rafa tertawa sinis. "Jangan berlagak seperti ayah yang baik! Pergilah, atau pengawalku akan mengusirmu!"
Tuan Giovanni Romano meninggalkan ruangan putranya dengan langkah gontai, meninggalkan Rafa yang dipenuhi amarah membuncah.
"Brengsek!" Rafa mengumpat, melemparkan segala sesuatu yang ada di mejanya ke lantai. Pecahan-pecahan barang berhamburan, mencerminkan kekacauan dalam hatinya.
"Kalian!" Rafa berteriak memanggil pengawalnya. Suaranya bergetar karena amarah. "Kalian semua dibayar untuk berdiri di depan saja?! Bagaimana bajingan itu bisa masuk ke ruanganku?!"
Salah satu pengawal menjawab dengan suara gemetar, "Dia mengancam kami dengan senjata, Tuan, jika kami menghalanginya."
"Bodoh! Kalian semua bodoh!" Rafa menggebrak meja. "Sekali lagi kalian membiarkan dia masuk, aku sendiri yang akan membunuh kalian!" Ancamannya terdengar dingin dan mematikan. Ia meninggalkan ruangan, langkahnya penuh amarah yang tak terkendali.
Suasana hati Rafa benar-benar hancur. Perlakuan ayahnya telah melukai hatinya yang sudah lama terluka. Ia menuju basement, menuju mobilnya. Ia ingin pergi, jauh dari mansion megah yang terasa seperti penjara.
Rafa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tanpa memperdulikan rambu lalu lintas. Ia seperti orang kehilangan kendali, dihantui oleh amarah dan keputusasaan. Ia sampai di sebuah rumah tua dan kosong, jauh dari keramaian. Di bawah tanah rumah itu, terdapat sebuah gudang bawah tanah yang gelap dan menyeramkan. Tempat itu adalah neraka pribadinya.
Beberapa orang terikat di kursi, tubuh mereka penuh luka mengerikan. Mereka adalah tawanan Rafa, orang-orang yang telah mengganggu kehidupannya.
"Siapkan dua orang, dan siapkan semua peralatannya," perintah Rafa, suaranya datar tanpa emosi.
Dua pria berbadan besar, dengan kondisi mengenaskan, terduduk di kursi. Mereka telah merasakan siksaan yang mengerikan. Rafa, yang dikenal sebagai Mafia Berdarah Dingin, terkenal kejam dan tak kenal ampun.
Rafa mengambil Feller Buncher, beberapa pisau yang sangat tajam, dan beberapa cairan kimia dari meja. Ia tertawa sinis. "Ha ha ha... Entah mengapa, aku masih merasa baik memberi kalian kesempatan menghirup udara dunia ini."
Dengan gerakan cepat dan tepat, Rafa menggores lengan salah satu pria itu dengan pisau. "A... Ampun... Ampun! Bunuh saja aku!" racau pria itu memohon.
"Bunuh? Sepertinya kau ingin sekali meninggalkan dunia ini," Rafa menyeringai. "Jika begitu, aku tidak akan melakukan hal yang baik..." Ia menancapkan pisau itu, lalu menyeretnya di daging pria itu, membuat sayatan panjang dan dalam. Jeritan kesakitan menggema di ruangan itu.
"Tolong... Tolong bunuh aku saja..." pria itu memohon lagi.
"Ha ha ha ha... Mengapa kau ingin dibunuh? Bukankah ini menyenangkan? Lihatlah pisau ini menikmati setiap goresan dalam dirimu!" Rafa tertawa sadis. Ia menampar wajah pria itu dengan keras.
"Tapi... Dia Daddyku sendiri... Bagaimana caraku menghabisinya...?" Rafa bergumam, suaranya penuh kebingungan dan kesedihan yang tersembunyi di balik topeng kekejamannya. Ia menendang pria itu hingga terjatuh, tubuhnya terbanting keras ke lantai.
Pria itu terkapar tak berdaya, berlumuran darah di atas bangku yang telah patah. Potongan kayu yang tajam menusuk punggung dan perutnya, mengakibatkan luka yang mengerikan.
Rafa tertawa sadis, "Ternyata aku masih punya satu lagi... ha ha ha..." Pandangan matanya tajam dan dingin, seperti mata binatang buas. Ia mengambil Feller Buncher, alat pemotong pohon yang besar dan berat.
"Hidupkan!" perintahnya kepada pengawal yang gemetar ketakutan. Mereka tahu, ketika Rafa dalam keadaan seperti ini, amarahnya tak terkendali.
Rafa memegang Feller Buncher dengan kuat. Dengan gerakan cepat dan tanpa ampun, ia memotong tangan pria itu. Darah menyembur, menodai lantai gudang bawah tanah yang sudah penuh dengan darah. Para pengawal menutup mata, tak sanggup menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Mereka tahu, ini baru permulaan.
Setelah dirasa cukup, Rafa berhenti. Ia meninggalkan gudang bawah tanah yang penuh dengan bau darah dan kematian. Ia memasuki kamar mandi yang luas, membersihkan tubuhnya dengan teliti. Pakaian mahal yang dikenakannya dibuang ke tempat sampah, lalu dibakar hingga menjadi abu.
Ketika Rafa keluar dari kamar mandi, ia tampak bersih dan tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada bekas darah, tidak ada ekspresi yang menunjukkan kekejaman yang baru saja ia lakukan. Ia hanya seorang pria tampan dan berwibawa, yang siap kembali ke dunia luar. Ia melangkah pergi, meninggalkan tempat neraka itu di belakangnya, meninggalkan jejak kematian yang tak terlihat.
----
Setelah pelajaran sekolah berakhir, Alia bergegas menuju kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Ia harus fokus, tidak boleh membuat kesalahan lagi. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum melajukan motornya.
Namun, di tengah perjalanan, beberapa gangster menghalangi jalannya. Alia mengerem mendadak, hatinya langsung dipenuhi rasa takut dan panik.
"Sialan! Apa lagi ini?" Alia mengumpat, turun dari motornya dan melepas helm. Ia berusaha bersikap tenang, meski jantungnya berdebar kencang.
"Wah, bos ternyata wanita cantik!" Salah satu gangster menyeringai, mata mereka menatap Alia dengan pandangan penuh nafsu.
"Bawa dia!" Pemimpin gangster itu memerintahkan anak buahnya.
"Kalian kira aku apa? Lepaskan aku! Aku mau kerja!" Alia membentak, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tegar.
"Ayolah, sayang. Kita akan bersenang-senang," kata pemimpin gangster itu, mencoba merangkul Alia.
Alia menepis tangannya dengan cepat. "Jauhkan tanganmu, bangsat! Aku mau pergi!" Ia mencoba kembali menaiki motornya, tapi pemimpin gangster itu menarik tangannya. Motornya terjatuh.
"Awas!" Alia menendang tulang kering gangster itu. "Ahh, bangsat!" Gangster itu meringis kesakitan.
"Bawa dia!" Pemimpin gangster itu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat Alia seperti karung beras.
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Alia berteriak, memukul-mukul punggung pria yang mengangkatnya.
Tiba-tiba, sebuah suara dingin menghentikan aksi mereka. "Lepaskan dia!"
"Ha ha ha... Ternyata ada pahlawan kesiangan," pemimpin gangster itu tertawa mengejek, menoleh ke arah sumber suara.
"Tolong aku!" Alia memohon, suaranya hampir tak terdengar.
"Sekali lagi kukatakan, lepaskan dia!" Rafa muncul, tatapannya tajam dan dingin menusuk gangster itu. Suaranya tegas dan penuh otoritas.
"Banyak bicara kau," pemimpin gangster itu langsung memukul Rafa. Namun, Rafa dengan cepat menghindar dan menendang gangster itu hingga terjatuh.
Rafa mengeluarkan sebuah borgol besi dari saku jasnya. Dengan cepat dan tepat, ia menghajar para gangster dengan borgol itu. Bunyi benturan logam dan daging memenuhi udara. Para gangster berjatuhan, tak sadarkan diri.
Hanya pemimpin gangster dan pria yang menggendong Alia yang masih berdiri. Alia memanfaatkan kesempatan itu. Ia menggigit punggung pria itu dengan kuat.
"Akh! Sakit!" Pria itu menjerit kesakitan, melepas Alia. Alia langsung berlari ke belakang Rafa, bersembunyi di balik tubuh tegapnya.
Rafa, masih dipenuhi amarah, melanjutkan menghajar pemimpin gangster itu hingga babak belur. Ia memukul dengan tepat, menghindari bagian-bagian vital, namun cukup untuk membuat gangster itu tak sadarkan diri.
"Prok! Prok!..." Alia bertepuk tangan, terpukau oleh kecepatan dan ketepatan Rafa. Ia tak menyangka Rafa bisa mengalahkan semua gangster itu sendirian.
"Eh, kau terluka," kata Alia, menunjuk ke arah kening Rafa yang berdarah.
"Ini tidak seberapa," jawab Rafa datar, mengusap darah yang mengalir.
"Tidak seberapa? Tapi bagaimana kalau infeksi?" Alia sedikit khawatir. "Kau punya P3K?"
"Ada di mobil," jawab Rafa.
"Kemarilah, biar aku bersihkan," kata Alia lembut, menunjukkan kepeduliannya.
Rafa hanya menurut. Entah mengapa, kali ini ia tidak menolak sentuhan Alia.
"Kau ikut denganku. Motormu akan diambil pengawalku," kata Rafa, suaranya masih datar, namun ada sedikit kelembutan yang tersirat.
"Tidak perlu. Aku harus bekerja," tolak Alia.
"Aku yang akan bicara," kata Rafa, lalu langsung masuk ke mobil dan melajukannya dengan cepat. Alia hanya bisa menurut. Lagipula, Rafa telah menyelamatkannya.